You are on page 1of 8

Metafora Siang hari hujan turun amat lebat.

Lapisan lumpur yang telah berbulan-bulan mengeras seperti batu, kini terendam air. Sawah luas yang mengelilingi Dukuh Paruk tergenang. Dukuh Paruk menjadi pulau. ( Ahmad Tohari, 2011: 56 ) Pada kutipan di atas, gaya bahasa metafora dimanfaatkan pengarang untuk menggambarkan keadaan Dukuh Paruk yang berlumpur karena hujan lebat. Air tergenang di mana-mana, sehingga Dukuh Paruk dimetaforakan sebagai sebuah pulau yang dikelilingi air. Dengan pemanfaatan metafora ini, pengarang berusaha melukiskan keadaan Dukuh Paruk yang memprihatinkan, setelah dilanda musim kemarau yang panjang akhirnya musim hujan datang. Tetapi, hal tersebut membuat kondisi Dukuh Paruk memburuk karena air yang tergenang. Untuk menkonkretkan lukisan tentang suasana alam tersebut, maka Tohari mengumpamakan Dukuh Paruk seperti pulau. Pemahaman awal tentang pulau adalah daratan yang dikelilingi oleh laut, sehingga bayangan tentang Dukuh Paruk yang dikelilingi oleh genangi air semakin jelas dalam gambaran angan kita. Tetapi aku dalam kelengangan pekuburan Dukuh Paruk menjadi sekadar seonggok benda alam. Tiada beda dengan batu-batu berlumut di hadapanku, atau dengan berpuluh nisan cadas yang terpaku mati dan terserak memenuhi pekuburan itu. ( Ahmad Tohari, 2011: 66 ) Gaya bahasa metafora pada kutipan di atas menggambarkan betapa tidak berartinya kita di hadapan Sang Pencipta. Pengarang menggambarkan tokoh aku melalui sebuah metafora yang berkaitan dengan alam sekitar. Aku disamakan dengan seonggok benda alam, tepatnya batubatu berlumut dan nisan cadas. Pengarang mengaitkan tokoh aku yang sedang merenung dalam kelengangan Dukuh Paruk dengan lukisan keadaan alam di sekitar si aku. Makna yang dapat ditangkap dari pernyataan tersebut adalah bahwa manusia harus mawas diri, semakin bertambah usia semakin pendek perjalanan di dunia ini. Tepatlah kiranya jika pengarang menyamakan si aku dengan batu yang berlumut karena dimakan usia. Begitu pula dengan kehadiran metafora nisan cadas memberi kesadaran bahwa pada akhirnya kita akan kembali ke sisi Sang Pencipta.

Oleh dukun ronggeng yang dibantu Dower, Sulam diangkat dan dibaringkan di atas lincak. Seekor kambing jantan telah dikalahkan oleh ciu dan tipu daya. ( Ahmad Tohari, 2011: 75 ) Pada kutipan di atas, seorang laki-laki diperbandingkan dengan seekor kambing jantan. Sulam yang begitu sombong akhirnya takluk pada taktik seorang dukun. Dia diperdaya sampai mabuk, padahal di awal kedatangannya dia begitu bersemangat dan bertindak seolaholah tidak terkalahkan. Oleh pengarang, karena tekadnya yang kuat, Sulam dimetaforakan sebagai kambing jantan, yang pada akhirnya kalah oleh tipu daya. Godam pertama mengguncangkan tiang kesadaran yang menopang akal budi Srintil, yakni ketika dia mendapatkan kenyataan citanya menjadi istri Bajus adalah sebuah pundi-pundi hampa. Srintil masih sempat merasakan perih dan pahitnya guncangan ini. Deraan kedua membuat tiang kesadarannnya miring, tidak kuat menahan beban perintah harus melakukan beban perzinahan; sejarah lamanya sendiri yang sudah ingin ditinggalkan dengan suatu tekad membaja. Kemudian tiang itu ambruk sama sekali ketika sebuah jari setajam mata tombak menudingnya sebagai PKI dan siap menyeretnya kembali ke rumah tahanan, sebuah tempat yang boleh jadi bisa disebut sebagai neraka dunia. ( Ahmad Tohari, 2011: 383 ) Pernyataan gaya bahasa metafora pada kutipan di atas, memberikan gambaran konkret tentang hilangnya kesadaran kejiwaan pada diri Srintil. Kesadaran tersebut disamakan seperti tiang yang menopang akal manusia. Demi memperhalus kenyataan bahwa Srintil kehilangan akalnya atau gila, pengarang memanfaatkan metafora yang bervariasi. Cobaan pertama, diumpamakan sebagai pukulan godam yang masih dapat dirasakan deraan sakitnya oleh Srintil. Kemudian cobaan kedua, karena harus menanggung beban perzinahan yang sudah lama ingin ditinggalkannya membuat kesadarannya yang dimetaforakan sebagai tiang mulai miring. Pernyataan ini juga ditambah dengan penggambaran betapa besar tekad Srintil yang tidak ingin menjadi ronggeng lagi, pengarang memanfaatkan metafofa lagi; tekad diumpamakan sebagai baja. Berikutnya, metafora tiang ambruk dipadukan dengan jari setajam mata tombak. Kesadaran Srintil akhirnya runtuh karena tudingan yang bakal membuatnya kembali ke sel tahanan yang seperti neraka dunia. Bajus terenyak ke belakang dan amplop yang menggembung jatuh ke lantai. Gagap dia. Sulit baginya menerima kenyataan bahwa kemanusiaan kadang tidak lebih tebal dari kulit bawang. ( Ahmad Tohari, 2011: 386 )

Pernyataan gaya bahasa metafora pada kutipan di atas menekankan tentang kemanusiaan yang sudah sirna. Untuk melukiskan kemanusiaan yang bisa musnah kapan saja, Tohari memanfaatkan metafora kulit bawang. Seperti pemahaman semua orang mengenai kulit bawang yang sangat tipis dan mudah robek, begitu pula dengan kemanusiaan, bisa sangat rapuh. Tepatlah jika pengarang memakai kulit bawang sebagai perbandingan untuk menyampaikan pesan yang sarat makna ini. Semula aku berkeyakinan sikapku terhadap dukuh Paruk sudah benar; membiarkan tanah airku hidup seperti apa adanya adalah sama berharganya dengan membiarkan lumut atau bunga bangkai tumbuh dalam kebebasannya. Atau membiarkan katak berjuang antara hidup dan mati dalam mulut ular. Atau bersikap toleran terhadap cerpelai yang sekali-sekali mencuri anak ayam agar kehidupan jenisnya selamat dari kepunahan. ( Ahmad Tohari, 2011: 391 ) Pada kutipan di atas, terlihat bahwa pengarang memanfaatkan metafora dengan bervariasi. Pengarang menggambarkan metafora melalui tokoh si aku yang membiarkan tanah airnya hidup seperti apa adanya, hal tersebut disamakan dengan membiarkan lumut atau bunga bangkai tumbuh dengan bebas. Melalui pernyataan ini, Tohari ingin menyampaikan bahwa membiarkan Dukuh Paruk tetap seperti itu, dengan sumpah serapah dan kecabulannya sangatlah berbahaya dan tidak pantas. Jika lumut dan bunga bangkai terus dibiarkan tumbuh dengan bebas, maka dapat merusak pemandangan, memberikan kesan tidak terawat. Selanjutnya, membiarkan katak berjuang antara hidup dan mati dalam mulut ular adalah suatu sikap putus asa. Bahkan ditambah lagi dengan toleran terhadap cerpelai yang mencuri anak ayam, hal tersebut jika menjadi suatu kebiasaan maka akan terus dilakukan sehingga pada akhirnya menimbulkan kerugian. Mata Srintil yang telah kehilangan daya tantang; mataharinya telah berubah menjadi bulan yang redup. Senyumnya tidak lagi seperti lambaian berahi; kumbang yang liar telah berubah menjadi kupu-kupu yang jinak memelas. ( Ahmad Tohari, 2011: 356 ) Pada kutipan di atas, gaya bahasa metafora dimanfaatkan untuk melukiskan tokoh Srintil yang kehilangan keceriaan dan pesonanya karena cobaan hidup. Pernyataan pada kutipan tersebut dapat bermakna bahwa mata Srintil diumpamakan sebagai matahari dan dia

dimetaforakan sebagai kumbang liar. Namun, karena beban hidup yang sangat besar, dia kehilangan kekuatannya. Tohari kembali memanfaatkan metafora untuk melukiskan keadaan tokoh. Mata Srintil yang kehilangan daya tantang dipersamakan dengan matahari yang berubah menjadi bulan redup. Maksudnya, mata yang pada mulanya berbinar dan ceria, kini sudah memudar karena hidup yang keras. Hal tersebut semakin menarik dengan adanya tambahan metafora yang mengumpamakan Srintil sebagai kumbang liar yang berubah menjadi kupu-kupu yang jinak memelas. Dapat dimaknai bahwa Srintil pada mulanya adalah gadis yang bebas dan ceria dalam menjalani hidupnya. Tetapi, pada akhirnya karena deraan hidup, dia berubah dan menjadi wanita yang patut dikasihani. Tamparan kedua membuat Rasus terpelengos sekali lagi. Rasus tegak kembali, tetapi bukan untuk mengambil sikap sempurna, melainkan buat melayangkan tinju ke arah rahang ajudan. Seekor binatang jantan mengaum hebat dan menghantam musuhnya dengan kekuatan tangan serta kekuatan jiwa yang meledak dahsyat. ( Ahmad Tohari, 2011: 273 ) Pada kutipan di atas, pengarang memanfaatkan gaya bahasa metafora untuk menggambarkan kemarahan tokoh Rasus yang sudah lama tertahan tetapi pada akhirnya meledak tidak terkendali. Untuk memperbesar kesan terhadap kemarahan Rasus pengarang memanfaatkan metafora seekor binatang jantan. Rasus dimetaforakan sebagai seekor binatang jantan yang mengaum hebat dan menghantam musuhnya dengan kekuatan dahsyat. Maksudnya, tokoh Rasus mengamuk tanpa mempedulikan sekitarnya, dia melampiskan semua kerisauan dan kekecewaannya karena Srintil dipenjara, tanpa dia bisa berbuat apa-apa. Dengan pemanfaatan metafora ini, kalimat menjadi lebih menarik. Retoris Dan apabila benar aku mencintai Dukuh Paruk, mengapa aku berdiam diri dan membiarkan orang-orang sepuak tumbuh liar dengan segala akibatnya berupa kekalahan-kekalahan hidup? Membiarkan mereka ternista oleh saringan alam? ( Ahmad Tohari, 2011: 391 ) Nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk merasa segala cicak dan tokek ikut mencibir dan menertawakannya? Dan nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk hanya merasa sebagai

tinja kehidupan? Tinja yang harus ada pada diri orang paling bermartabat sekalipun, namun tinja sendiri jauh dari segala martabat. ( Ahmad Tohari, 2011: 276 ) Ironi Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit, tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil sekalipun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang diberikan alam. ( Ahmad Tohari, 2011: 79 ) Pernyataan gaya bahasa ironi pada kutipan di atas, dapat terlihat pada penggambaran keadaan alam sekitar pedukuhan, dikatakan bahwa Dukuh Paruk dikelilingi amparan sawah tetapi ironisnya penduduknya tidak memiliki lumbung padi meski yang paling kecil sekalipun. Hal tersebut karena masyarakat di sana terlalu bodoh dan menerima nasibnya begitu saja, tanpa berusaha memperbaiki taraf hidupnya agar lebih baik. Mereka tetap mempertahankan kebiasaan turun-temurun yakni membantu orang lain mengolah sawah dengan imbalan berupa padi. Personifikasi Hujan turun makin deras. Alam menghiburku dengan tiris lembut, menyapu tubuhku yang tergulung kain sarung. ( Ahmad Tohari, 2011: 56 ) Pernyataan gaya bahasa personifikasi pada kutipan di atas dapat dilihat pada kalimat alam menghiburku.... Alam yang merupakan benda mati, diberi sifat manusia yang dapat menghibur. Melalui pernyataan ini, pengarang menyampaikan maksudnya bahwa hujan deras terkadang juga bisa menjadi hiburan, membuat kita nyaman dan tidur nyenyak. Dukuh Paruk seperti hendak berangkat tidur. Anak-anak tak satu pun kelihatan. Bahkan suara mereka tiada lagi terdengar. ( Ahmad Tohari, 2011: 69 ) Pernyataan pada kutipan di atas termasuk ke dalam gaya bahasa personifikasi karena Dukuh Paruk diberi sifat insani, dilukiskan bahwa Dukuh Paruk yang hanya berupa benda mati seperti hendak berangkat tidur. Padahal gaya ini dimanfaatkan pengarang untuk mewakili penduduk yang hidup di pedukuhan tersebut. Maksudnya, orang-orang yang tinggal di Dukuh

Paruk sudah mulai bersiap-siap istirahat, mereka meninggalkan aktifitasnya. Pengarang memanfaatkan gaya bahasa personifikasi untuk melukiskan keadaan latar suasana di malam hari agar lebih konkret. Berikut ini, kutipan beberapa gaya bahasa personifikasi yang memanfaatkan dan memperlakukan Dukuh Paruk seperti manusia. Dukuh Paruk bertindak semena-mena kepadaku. Aku bersumpah takkan memaafkannya. ( Ahmad Tohari, 2011: 80 ) Dukuh Paruk sepanjang usiaku mengatakan perkara mencubit pipi sama sekali tidak tabu, apalagi dosa. ( Ahmad Tohari, 2011: 85 ) Lebih dari itu; Dukuh Paruk sama sekali tidak memberi bekal kejiwaan kepadaku untuk berbuat sesuatu melalui penggunaan senjata. Dukuh Paruk hanya mengajariku tentang keselarasan dan penyelarasan yang bersumber dari kesantunan. ( Ahmad Tohari, 2011: 389 ) Selama ini aku mencintai Dukuh Paruk dengan cara membiarkannya lelap dengan mimpi cabul, menggigau dengan segala macam sumpah-serapah. Aku telah sekian lama membiarkan kumbang tahi beterbangan bebas, membiarkan koreng merayapi kaki dan tangan anak-anak sedarah dan membiarkan mereka puas makan singkong. ( Ahmad Tohari, 2011: 390 ) Dukuh Paruk merambat perlahan seperti akar ilalang menyusuri celah cadas. ( Ahmad Tohari, 2011: 275 ) Sebagai pihak yang dianggap mempunyai kesalahan historis yang tidak kepalang, maka Dukuh Paruk tidak boleh tertawa. Dukuh Paruk meski diam merunduk. ( Ahmad Tohari, 2011: 283 ) Di barat bulan hampir menyentuh rumpun bambu, pucat, seakan takut tertangkap basah oleh matahari. ( Ahmad Tohari, 2011: 359 ) Maka orang akhirnya harus percaya akan keperkasaan sang Waktu, akan kecanggihan isi perutnya yang mampu menyimpan segala rahasia sejarah. ( Ahmad Tohari, 2011: 277 )

Simile Aku tidur melingkar seperti trenggiling. Dengan demikian `panas tubuhku agak terkendali. ( Ahmad Tohari, 2011: 56 ) Pernyataan gaya bahasa simile pada kutipan di atas dinyatakan dengan kata penghubung seperti. Aku diumpamakan sebagai trenggiling. Pada kenyataannya, trenggiling jika tidur akan menggelungkan badannya seperti bola, sehingga dia tidak terlalu terganggu oleh cuaca di luar karena panas tubuhnya dapat dikendalikan. Untuk menunjukkan si aku yang tidur

dengan menggelung serapat mungkin untuk mencegah kedinginan, maka pengarang mengangkat trenggiling tersebut sebagai gambaran persamaan. Kukira Emak pun akan berlaku seperti induk burung keket itu. Dia akan melindungiku, mencarikan makan selagi aku masih kanak-kanak. Hal. 62 Kukira kicau burung keket serta bunyi air yang tumpah lewat punggung pematang akan terus membawaku melamun bila Warta tidak datang mengusik. Hal. 62 Seperti kembang ilalang tertiup angin kemarau, Bajus keluar dari kamar Blengur dan berjalan cepat kembali ke vila di seberang jalan. 385 Tanpa sekali pun menoleh ke belakang, Srintil terus berlari seperti pipit dikejar alap-alap, jatuh-bangun, jatuh dan bangun lagi... Halaman 278 Mungkin pula tak ada orang mengerti bahwa Srintil merasa tatapan mata orang-orang sekelilingnya seperti serpih bambu yang menusuk jantungnya. Halaman 281

Hiperbola Katak dahan berteriak-teriak. Tidak seperti kodok atau katak hijau, katak dahan bersuara selang waktu yang jarang. ( Ahmad Tohari, 2011: 57 ) Aku belum mengenal perjaka Pecikalan itu. Tetapi kebencianku padanya langsung melangit. Hal. 60 Di Dukuh Paruk anak-anak berkenalan dengan singkong sejak lahir. Halaman 80 Tidak, Bah. Terima kasih. Jawab Srintil sedingin keringat di kuduknya. Halaman 281 Kemudian tiang itu ambruk sama sekali ketika sebuah jari setajam mata tombak menudingnya sebagai PKI dan siap menyeretnya kembali ke rumah tahanan, sebuah tempat yang boleh jadi bisa disebut sebagai neraka dunia. ( Ahmad Tohari, 2011: 383 ) Pernyataan pada kutipan di atas termasuk gaya bahasa hiperbola karena sebuah jari dikatakan setajam mata tombak, pernyataan ini sangat berlebihan, tidak ada jari seperti itu. Pengarang memanfaatkan gaya ini untuk melukiskan kesan ngeri dan menakutkan yang dihadapi tokoh Srintil. Hal tersebut memberikan pemahaman betapa besarnya tuduhan itu berpengaruh pada Srintil. Dia ketakutan sampai jiwanya terguncang.

Sinekdoke Pasar Dawuan sedikit demi sedikit merenggangkan hubunganku dengan Srintil. Bukan hanya dalam arti lahir, terlebih-lebih dalam arti batiniah. Pasar Dawuan juga ternyata memberikan cakrawala luas padaku tentang banyak hal. Halaman 84 Di sana adalah orang-orang sepuak yang berjumlah tidak lebih dari tujuh puluh kepala. Menggembalakan mereka mestilah bukan pekerjaan yang terlampau sulit. 391 Blengur tidak boleh dikecewakan, bahkan dengan santapan yang sudah berada tepat di ujung lidah. 382

Alegori Aku hanya mempunyai Dukuh Paruk yang kuharap masih setia memangku sebuah gubuk doyong di mana aku ditumbuhkan sebagai kecambah manusia. 390

You might also like