You are on page 1of 17

PENDAHULUAN

Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Quran yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Quran terhadap hal-hal yang masih bersifat umum. Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma, Qiyas. Sebagai salah satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum. Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-Quran, Hadist, Ijma, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM


A. Pengertian Ijtihad 1. Menurut Ahmad bin Ali al-Mugri al-Fayumi menjelaskan bahwa Itihad secara bahasa adalah : Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian suatu upaya sampai kepada ujungyang ditujunya. 2. Menurut al-Syaukani, arti ethimologi Ijtihad adalah : Pembicaraan mengenai pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja. 3. Menurut al-Quran, arti Ijtihad dalam artian jahada terdapat di dalam al-Quran surat al-Nahl ayat 38, surat al-Nur ayat 53 dan surat Fathir ayat 42. Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dam kekuatan (badzl al-wusI wa al-thaqoh), atau juga berarti berlebihan dalam besumpah (al-mubalaghat fi al-yamin). 4. Menurut al-Sunnah, kata Ijtihad terdapat sabda nabi yang artinya pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah (yajtahid) pada sepuluh hari terakhir (bulan ramadhan). 5. Menurut para ulama pengertian Ijtihad secara bahasa mempunyai pendapat yang sama tetapi istilah yang meliputi hubungan Ijtihad dengan fiqih, Ijtihad dengan al-Quran, Ijtihad dengan al-Sunnah, dan Ijtihad dengan dalalah nash. 6. Menurut Abu Zahirah, secara istilah, arti Ijtihad adalah Upaya seorang ahli fiqih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci. 7. Menurut al-Amidi Ijtihad adalah Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang Zhanni dari hukum-hukum syara. 8. Menurut Ibrahim Hosen bahwa cakupan Ijtihad hanyalah bidang fiqih, dan pendapat yang menyatakan bahwa Ijtihad secara istilah juga berlaku dibidang akidah atau akhlak, jelas tidak bisa dibenarkan. 9. Menurut Harun Nasution, pengertian Ijtihad hanya dalam lapangan fiqih adalah Ijtihad dalam pengertian sempit. Dalam arti luas, menurutnya, Ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat. 10. Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk mengeluarkan ( istinbat ) hukum dari kaidah-kaidah syara yang umum.

11. Hasby Ash-Sidiqy mengemukakan bahwa ijtihad adalah :menggunakan segala kemampuan untuk mencari suatu hukum dengan hukum Syara dengan jalan zhan. 12. Adapun ijtihad dalam keputusan hakim (pengadilan) adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang maupun dengan menginstinbatkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash. Jadi kesimpulan dari pengertian Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara dari dalil dalilnya. Ijtihad ( Arab : ,ijtihad) adalah pembuatan keputusan dalam hukum Islam (syariah) oleh usaha pribadi ( jihad ), secara independen dari setiap sekolah ( madzhab ) dari yurisprudensi ( fiqh ). sebagai lawan taqlid , menyalin atau mematuhi tanpa pertanyaan. Ijtihad secara harfiah berarti 'mengerahkan'. Dalam terminologi Islam, itu berarti untuk mengerahkan dengan maksud untuk membentuk penilaian independen pada pertanyaan hukum. Ia memiliki asal-usulnya dalam ayat terkenal dari Al-Qur'an "Dan untuk mereka yang mengerahkan kita menunjukkan jalan kami. '

Sementara mendefinisikan Ijtihad Shatibi menulis, "Sebuah proses di mana satu upaya diberikannya seseorang untuk kapasitas penuh seseorang untuk memperoleh pengetahuan tepat atau mungkin atau mencapai putusan dalam kasus yang diberikan." Ijtihad dan Nabi Muhamad SAW Nabi Muhammad SAW, saat mengirim Ma'ad Ibnu Jabal ke Yaman sebagai gubernur, adalah dilaporkan telah bertanya tentang bagaimana dia akan memutuskan hal-hal yang datang di hadapannya. 'Aku akan menghakimi hal-hal yang menurut Kitab Allah, "kata Ma'ad. Tetapi jika kitab Allah berisi apa-apa untuk memandu Anda 'maka saya akan bertindak pada preseden Nabi Allah. Namun jika preseden gagal? "Lalu aku akan mengerahkan membentuk penilaian sendiri". Nabi (saw) menyetujui jawaban-jawabannya. Ayat Alquran 'mereka urusan yang (dilakukan) oleh pengacara saling', diterapkan sampai batas

yang paling penuh oleh Nabi (saw) dalam kehidupan pribadi dan publik dan sepenuhnya ditindaklanjuti oleh khalifah. B. Kedudukan dan fungsi Ijtihad Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al Quran dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara yang dalilnya tidak terdapat dalam Al Quran maupun hadits dengan tegas. Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan : a. Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang . b. Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara di suatu daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan. c. Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan ijtihad.

C. Macam-macam Ijtihad Secara garis besar ijtihad dibagi kedalam dua bagian, yaitu ijtihad Fardhi dan Jamii. a. Ijtihad fardhi adalah : Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang, namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara ( Tasyri Islami: 115) Ijtihad yang semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasul kepada Muadz ketika Rasul mengutus beliau untuk menjadi qodhi di Yaman. b. Ijtihad Jamii adalah : Semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin. ( Ushulu Tasyri :116 ) Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh hadits Ali bin Abi Thalib pada waktu beliau menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Ketika itu Nabi bersabda : Kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin untuk memecahkan masalah itu dan jadikanlah hal itu masalah yang dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang. ( H.R. Ibnu Abdil Barr ) Disamping itu, Umar bin Khatab juga pernah berkata kepada Syuraikh : Dan bermusyawarahlah ( bertukar pikiran ) dengan orang-orang yang saleh. D. Syarat syarat Mujtahid a. Mengetahui isi Al-Quran dan hadits yang bersangkutan denagn hokum itu, meskipun tidak hapal diluar kepala. b. Mesti mengetahui bahasa arab dengan alat-alat yang berhubungan dengan itu seperti Nahwu, Shorof, Maani, Bayan, Badi, agar dengan ini mentafsirkan ayat-ayat Al-Quran atau As-Sunnah dengan cara berfikir dengan benar. c. . Mesti mengetahui ilmu usul fiqh dan qoidah-qoidah fiqh yang seluas-luasnya, karena ilmu sebagai dasar berijtihad. d. Mesti mengetahui soal-soal ijma, hingga tiada timbul pendapat yang bertentangan dengan ijma itu. e. Mesti mengetahui nasikh mansukh dari Al-Quran dan As-Sunnah. f. Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan: mana hadits yang sahih dan hasan, mana yang dhoif, mana yang maqbul dan mardud. g. Mengetahui rahasia-rahasia tasyrii ( asrarusy syariah) yaitu qoidah-qoidah yang menerangkan tujuan syara dalam meletakan beban taklif kepada mukallaf. E. Tingkat kekuatan Ijtihad Al-Allamah Abdullah Darraz mengatakan bahwa : Ijtihad adalah menghabiskan seluruh kemampuan dan memeberikan segala kekuatan pikiran. Hal itu dilaksanakan untuk memperoleh hukum syari dan menerapkannya yakni menetapkan hukum yang telah ditetapkan atas tiap-tiap kaidah, seperti menetapkan kaidah segala yang tidak dilarang syara. Ijtihad ( memperoleh hukum ) hanya dapat dilaksanakan oleh ulama ulama yang mempunyai keahlian yang sempurna dalam urusan ijtihad. Ijtihad mentatbiqkan hukum dan seluruh orang yang memiliki

ilmu yang sudah dalam tentu dapat mengerjakannya. Dan disepakati bahwa ijtihad ini tiada putus putusnya sepanjang zaman. Seorang ahli fiqh yang menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap suatu hukum agama dengan jalan istinbat dari Al-Quran dan As-Sunnah, atau dari suatu dalil yang dibenarkan syara, dinamai mujtahid. Ringkasnya ijtihad itu ada dua tingkatan : a. Ijtihad Darakil Ahkam ( menghasilkan hukum yang belum ada ) b. Ijtihad Tatbiqil Ahkam ( menerapkan hukum atau kaidah atas tempat yang menerimanya) Mengapa perlunya Ijtihad muncul ? Selama kehidupan Nabi, ia mendapat pesan ilahi dari Allah, dan hidupnya sendiri adalah suatu usaha untuk menerapkan apa yang konkret teks berarti. Hal ini tentu saja dalam arti metaforis. Tidak banyak kesenjangan antara pesan dan makna. Ketika ia meninggal pertanyaan mengenai makna teks muncul. Setiap manusia melihat sesuatu secara berbeda, sehingga perbedaan bisa diselesaikan melalui wacana. Al-Iftilah atau perbedaan pendapat di kalangan ulama terjadi. Jika hanya ada satu interpretasi, ada akan menghasilkan sebuah kediktatoran, Dogmatisme, monisme. Jadi perbedaan adalah rahmat dari Allah. Ini memberikan ruang bagi manusia untuk menafsirkan Quran dan beradaptasi, dan berlaku untuk situasi yang berbeda, berbagai masalah. Ijtihad merupakan sebuah upaya intelektual untuk mencari solusi dari hari ke hari masalah. Ijtihad telah ditekankan dalam Islam. Ini adalah pendekatan rasional dan analitis, berdasarkan Quran dan ajaran Sunnah, untuk menafsirkan hal-hal agama. Waktu dan lagi Quran mengatakan bahwa ayat-ayat nya adalah untuk para pemikir. Ini menekankan latihan dari pikiran rasional. Dalam Sura ini Heifer Quran mengatakan: "Jangan memperlakukan tanda-tanda Allah sebagai olok, tetapi berlatih sungguh-sungguh nikmat Allah kepada Anda, dan fakta bahwa Dia diturunkan kepadamu Kitab dan kebijaksanaan, instruksi Anda." (2:231) Ayat ini menunjukkan. bahwa Buku dan kebijaksanaan merupakan prasyarat untuk menjaga masyarakat pada jalur dan jalan progresif dan benar. Tuhan telah menempatkan kita di tengkorak otak kita tidak di pergelangan kaki kami. Tempat otak di bagian atas tubuh manusia menandakan nilai dan pentingnya pikiran. Buku ini telah meletakkan dasar-dasar, tetapi kita harus bijaksana dalam mengambil langkah-langkah untuk membangun kehidupan kita di atas melalui perjalanan waktu.

Sejarah Beberapa sarjana barat seperti Joseph Schacht mengatakan "penutupan pintu ijtihad" telah terjadi pada awal abad 10 CE: "maka konsensus secara bertahap didirikan sendiri untuk efek yang dari waktu itu seterusnya tidak ada yang bisa dianggap telah kualifikasi yang diperlukan untuk penalaran independen dalam hukum agama, dan bahwa semua aktivitas masa depan harus dibatasi pada penjelasan, aplikasi, dan, paling-paling, interpretasi doktrin seperti itu telah ditetapkan sekali dan untuk semua. " Sarjana lain (misalnya Wael Hallaq ) menunjukkan bahwa ijtihad tetap merupakan bagian penting dari tradisi Muslim Sunni, meskipun penekanan pada taqlid. Hallaq menulis bahwa minoritas selalu mengklaim bahwa seorang sarjana benar-kualifikasi harus memiliki hak untuk ijtihad setiap saat. [ kutipan diperlukan ] Lama setelah abad ke-10 prinsip-prinsip ijtihad terus dibahas dalam literatur hukum Islam dan Asharites terus berdebat dengan Mutazilites tentang penerapannya untuk ilmu pengetahuan. Al-Amidi (1233) menyebutkan dua belas kontroversi umum tentang ijtihad dalam bukunya tentang hukum Islam ( ushul al-fiqh ), seperti pertanyaan apakah Nabi sendiri tergantung pada ijtihad dan apakah mujtahid harus diperbolehkan untuk mengikuti taqlid. Ironisnya, hilangnya penerapannya dalam hukum tampaknya telah juga menyebabkan kerugian dalam filsafat dan ilmu-ilmu, yang beberapa sejarawan berpikir menyebabkan masyarakat Muslim untuk stagnan sebelum jatuhnya 1492 dari al-Andalus

Fungsi Ijtihad Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada

dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Bagaimana Mungkin Ijtihad Jadilah Kembalinya ? Salah satu kesalahan paling berbahaya Muslim telah berkomitmen, menurut Qazwini, adalah menutup pintu ijtihad. Mereka telah membatasi penafsiran hukum hanya empat sarjana terkemuka: Malik Ibn Anas, Abu Hanifah Al-No'man, Muhammad bin Idris al-Syafi'i, dan Ahmad Ibnu Hambal-kepala dari Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali sekolah pemikiran. Motivasi untuk ini adalah politik. Selama Dinasti Abbasiyah (750-1258 M), Abbasiyah memutuskan untuk melarang semua sekte-sekte lain dalam rangka kontrol ketat agama dan ibadah, serta hal-hal politik. Menutup pintu ijtihad telah memiliki konsekuensi yang sangat merugikan bagi dunia Muslim. Menurut Qazwini, keputusan ini telah menghasilkan stagnasi intelektual kronis, seperti ribuan mujtahid potensial dan ulama telah dilarang menawarkan solusi yang terbaik untuk masalah yang baru muncul. Pemikir Muslim telah menjadi tawanan aturan yang dibuat lama, meninggalkan sedikit ruang untuk berpikir liberal atau inovatif. Pemerintah di negara-negara Muslim saat ini, banyak yang korup, sangat manfaat dari tidak adanya ijtihad. Selain itu, pemerintah membantu menjaga pintu ijtihad tertutup untuk mengontrol pembentukan agama. Karena badan-badan keagamaan di negara-negara Muslim bergantung pada pembiayaan pemerintah, ini membuat mereka tawanan kebijakan pemerintah. Dominasi dari yayasan agama oleh pemerintah sekuler telah begitu kuat sehingga sering membuat otoritas keagamaan terlihat tidak kompeten. Langkah pertama menuju membuka pintu ijtihad, menurut Qazwini, harus pembebasan yayasan agama dari pengaruh rezim politik. Otoritas agama harus menjauhkan diri dari rezim politik sehingga mereka secara independen dapat menerbitkan dan menginterpretasikan hukum agama.

Tidak mungkin ada ijtihad benar, Siddiqi menjelaskan, kecuali ulama bebas untuk mengekspresikan pendapat mereka dan para sarjana lainnya bebas untuk mengkritik mereka jika mereka membuat kesalahan. Kebebasan berekspresi adalah melekat dalam konsep dan praktek ijtihad. Ini berarti bahwa demokratisasi masyarakat Muslim dan kebebasan dasar untuk sarjana adalah sine qua non untuk proses bekerja. Reformasi sistem pendidikan Islam juga penting, termasuk merevisi kurikulum sekolah agama dan seminari. Alih-alih belajar tentang hanya satu sekolah penafsiran, yang merupakan praktek umum, siswa harus terkena semua sekolah tersebut. Alih-alih hanya mempelajari putusan dan interpretasi dari sekolah, siswa juga harus belajar tentang bukti yang digunakan untuk sampai pada interpretasi, serta metode penafsiran lainnya. Siswa juga harus belajar perbandingan agama, logika modern, filsafat, psikologi, dan sejarah, serta ekonomi dan teori politik sebagai latar belakang untuk interpretasi ditingkatkan. Sekolah-sekolah Islam dan seminari juga harus lebih memperhatikan literatur Islam yang besar pada tujuan syariah. Shiddiqi juga menegaskan bahwa ijtihad harus menjadi usaha kolektif. Saat ini ada beberapa nasional dan internasional fiqh dewan (dewan yurisprudensi dan interpretasi syariah), tetapi mereka harus lebih terorganisir dan mereka harus bekerja sama secara kolaboratif. Ahli syariah, baik laki-laki dan perempuan, harus menjadi anggota dewan ini. Keanggotaan tidak harus dibatasi pada sarjana syariah, para ahli dari bidang kedokteran, astronomi, ekonomi, ilmu sosial dan politik, dan hukum juga harus dimasukkan sebagai konsultan dan penasihat. Bahkan nonsarjana Muslim yang bersimpati dan tujuan harus diundang untuk berkontribusi. Dewan-dewan ini seharusnya tidak hanya mengeluarkan peraturan tetapi juga memberikan bukti dan metodologi balik keputusan mereka. Mereka juga harus berusaha untuk membangun konsensus sebanyak mungkin. Sebagai Masmoudi menunjukkan, keempat panelis menyebutkan kurangnya kebebasan dan demokrasi sebagai hambatan serius untuk ijtihad. Tanpa kebebasan dan demokrasi, yang tajam terbatas dalam dunia Muslim dan khususnya di negara-negara Arab, ijtihad tidak dapat dilakukan. Demokrasi adalah kunci untuk membuka ijtihad, dan ijtihad merupakan kunci untuk memecahkan masalah utama yang dihadapi dunia Islam saat ini.

Apa yang Harus Dikenakan Isu untuk ijtihad ? Banyak masalah yang dihadapi umat Islam saat ini membutuhkan ijtihad, dan perhatian mendesak dapat terdaftar di bawah ini sebagai: Peran perempuan. Peran perempuan dalam Islam perlu dikaji dengan hati-hati memeriksa teksteks asli. Sunni dan Syiah. Kesenjangan dalam doktrin antara berbagai madzhab Islam (sekolah dan posisi sektarian) harus dipersempit. Semangat globalisasi. Menggunakan ijtihad modern, umat Islam harus menafsirkan kembali pembagian klasik dunia menjadi Darul Islam (dunia Islam) dan Darul Harb (dunia non-Muslim). Penekanan harus ditempatkan pada satu pandangan dunia dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab di desa global kita. Ijtihad juga harus digunakan untuk mendorong hubungan yang lebih baik antara orang-orang dari agama yang beragam dan budaya dengan mempromosikan dialog antara berbagai kelompok daripada mendorong gagasan tentang benturan budaya dan peradaban. Ekonomi. Ada kebutuhan untuk memikirkan kembali secara radikal teori ekonomi Islam, dalam proses menggabungkan unsur-unsur teori ekonomi modern. Mengapa dunia Muslim miskin dan bagaimana ini bisa berubah? Apa jenis kolaborasi adalah mungkin antara Muslim dan badanbadan ekonomi dunia tanpa mengorbankan nilai-nilai Islam yang otentik dan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan keadilan? Persatuan antara negara-negara muslim. Pemikiran politik Islam dan tata negara juga harus ditinjau. Bagaimana negara-negara muslim dibawa bersama-sama untuk bekerjasama lebih erat, dan apa struktur baru diperlukan untuk mempromosikan persatuan di antara negara-negara Muslim? Standar etika dan moral negara Islam perlu diperiksa, seperti halnya promosi kebebasan individu, terutama kaum minoritas agama. Muslim di negara non-Muslim. Ijtihad harus digunakan untuk memandu hampir sepertiga dari umat (komunitas Muslim di seluruh dunia) yang hidup sebagai minoritas di negara non-Muslim. Apa aturan Islam dan pedoman yang harus diikuti para Muslim untuk menjadi warga negara yang baik dari tanah mereka asli atau diadopsi? Bagaimana mereka bisa menjadi peserta aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan negara-negara ini sementara tidak mengabaikan keyakinan dan nilai-nilai Islam mereka? Kendala utama lain yang dihadapi umat Islam dan praktek ijtihad saat ini termasuk prasangka,

stagnasi intelektual, kediktatoran politik, penolakan orang lain, kurangnya demokrasi dan kebebasan, faksionalisme, dan ekstremisme. Sayangnya, penyakit ini meresap dalam masyarakat Muslim memburuk, mencapai titik di mana mereka bisa lepas kendali.

Definisi seorang mujtahid ? Pekerjaan penafsir teks ini adalah untuk memastikan keaslian sumber (s) dan kemudian 1.menemukan hukum-hukum melalui interpretasi dari sumber-sumber; 2. memperpanjang undang-undang untuk kasus-kasus baru yang mungkin mirip dengan kasuskasus yang disebutkan dalam sumber-sumber hukum yang tidak dapat ditemukan melalui interpretasi literal (ini disebut metode analogi, atau qiyas), dan 3. memperpanjang undang-undang untuk kasus baru yang belum tercakup oleh dua metode sebelumnya dengan melihat prinsip-prinsip umum dan tujuan syariah tersebut (metode ini dikenal sebagai istihsan atau istislah-umum kepentingan masyarakat).

Etimologi dan definisi Kata ini berasal dari akar verbal yang tiga huruf Arab dari - - J - H - D (jahada, "perjuangan"): "t" adalah dimasukkan karena kata adalah batang VIII berasal verba. Dalam teori politik Islam, ijtihad sering dihitung sebagai salah satu kualifikasi penting dari khalifah , misalnya dengan Al-Baghdadi (1037) atau Al-Mawardi (1058). Al-Ghazali membagi-bagikan dengan kualifikasi ini dalam teori hukum dan delegasi latihan ijtihad para ulama agama (ulama ).

Sunni kualifikasi Kualifikasi yang diperlukan ditetapkan oleh Abu'l Husain al-Bashri (wafat 467 H / 1083 M ) dalam "al Mu'tamad fi Ushul al-Fiqh" dan kemudian diterima oleh Sunni ulama, termasuk alGhazali. Kualifikasi ini dapat disimpulkan sebagai pemahaman tentang tujuan dari syariah dan pengetahuan tentang sumber dan metode deduksi.

Ini termasuk :

menjadi orang yang tegak penilaian orang dapat percaya kompetensi dalam bahasa Arab yang memungkinkan pemahaman yang benar dari

Al- Qur'an dan dari sunnah sehingga dapat menarik potongan akurat.

yang memadai pengetahuan tentang Al-Qur'an , kejadian-kejadian seputar wahyu dan

isinya hukumnya (ayat al-ahkam) - sekitar 500 ayat, menurut al-Ghazali - dan dengan semua komentar-komentar klasik pada ayat al-ahkam, khususnya pemandangan sahabat Nabi dan dengan insiden pembatalan (menangguhkan atau membatalkan putusan) serta penggunaan narasi dan perumpamaan dan bagian yang berkaitan dengan akhirat untuk menyimpulkan aturan hukum di Sunni qiyas , pengetahuan mendalam tentang peraturan dan prosedur yang memungkinkan penerapan hukum yang diwahyukan untuk kasus belum pernah terjadi sebelumnya.

yang memadai pengetahuan tentang sunnah, terutama yang terkait dengan spesialisasi

yang, keandalan relatif dari perawi dari hadits , membedakan antara, umum dan khusus mutlak dan berkualitas. Salah satu perkiraan (oleh Ahmad ibn Hanbal ) menunjukkan bahwa 400.000 hadits (termasuk varian dalam kata-kata dan sanad) perlu diketahui.

kemampuan untuk memverifikasi konsensus ( ijma ) dari sahabat Nabi , para penerus

dan memimpin imam dan mujtahideen dari masa lalu, terutama berkaitan dengan spesialisasinya, dan keakraban dengan isu-isu yang tidak ada konsensus.

memahami tujuan mengungkapkan dari syariah yang terkait dengan "pertimbangan

kepentingan umum" termasuk Lima Pilar dari yang baik, perlindungan ", agama kehidupan, keturunan kecerdasan, dan harta" dan pepatah umum untuk interpretasi syariah, yang meliputi dengan "penghapusan kesulitan", bahwa "kepastian harus menang atas keraguan" dan pencapaian keseimbangan antara terlalu kaku dan terlalu bebas interpretasi.

Berikut ini adalah kondisi bahwa Imam Baghawi ditata untuk ijtihad:
1. Pengetahuan tentang Quran 2. Pengetahuan tentang hadits Nabi Mahakudus 3. Pengetahuan tentang ucapan-ucapan Salaf-kita-Salaheen, yaitu untuk mengetahui

keputusan mereka tidak setuju dan di mana mereka bulat.


4. Pengetahuan tentang linguistik Arab 5. Pengetahuan tentang Qiyas, pengetahuan dimana seseorang belajar metode berasal

keputusan dari Quran dan Sunnah. Dalam hal ini, putusan yang disebutkan di atas (yang berasal dari Quran dan Sunnah) tidak harus jelas dalam Quran dan Sunnah atau Ijma '. Jika tidak ada derivasi yang terlibat karena ketegasan yang berkuasa dalam Quran dan Sunnah, daripada orang semacam ini tidak menurut definisi seorang mujtahid.

Jenis Mujtahid
Mujtahid Mustaqil, Dia mengatur ushul dari madhab, la studi, penelitian, dan engrosses

dirinya dalam ayat-ayat dan hadis Nabi Diberkati untuk menemukan bukti untuk masalah yang dihadapinya. Dia menyukai salah satu bukti atas yang lain ketika mereka bertentangan satu sama lain. Dia juga menguraikan pada referensi dari mana ia berasal aturan-Nya. Dia menghadapi masalah-masalah baru yang belum dibahas dan menyajikan mereka dalam terang bukti (dari Quran dan Sunnah).
Mujtahid Muntasib: adalah orang yang adalah pengikut gurunya dalam ushul dan yang

membutuhkan bantuan dari dia dalam mencari bukti tentang hukum. Dia tahu aturan dalam terang bukti-bukti mereka dan sepenuhnya mampu berasal keputusan dari bukti. Mujtahideen fil shara ': Ini adalah empat imam yang merancang putusan ushul dan berasal dari empat sumber (yaitu, Al-Quran, Sunnah, Ijma', Qiyas) tanpa muqalideen (pengikut) dari siapa pun dalam beberapa ketentuan hukum yang mendasar atau turunan.
Mujtahideen fil madhab: Seperti Imam Abu Yusuf (hura), Imam Hassan bin Muhammud

Shaybani (hura) dan semua siswa Imam Abu Hanifah (hura) yang berasal keputusan menggunakan ushul Imam Abu Hanifah (hura) yang berasal dari sumber utama.

Meskipun mereka tidak sepakat dalam beberapa peraturan turunan dengan Imam Abu Hanifah (hura), mereka muqallideen-Nya (pengikut) dalam ushul tersebut. Perbedaan antara mereka (mujtahideen fil madhab) dan mu'aaredheen fil madhab (beasiswa paralel) seperti Imam Syafi'i '(hura) adalah bahwa mereka (mujtahideen fil madhab) adalah (Imam Abu Hanifah t) nya muqalideen dalam ushul Imam Syafi'i sementara' ( rah) tidak.
Mujtahideen fil masaail: Mereka berlatih ijtihad dalam peraturan di mana tidak ada

pendapat diketahui Imam Abu Hanifah (hura). Kategori ini termasuk para sarjana seperti Khassaaf, Tahawi, Syams ul-Aima Halwani, Syams ul-Sarakhsi, Fakhr-ul-Islam Bazdawi, dan Qazi Khan, dll Hal ini sekelompok ahli berikut Imam Abu Hanifah (hura) dalam ushul dan derivatif nya peraturan, tapi berasal keputusan, berdasarkan ushul-nya, pada isu-isu di mana tidak ada pendapat yang diketahui atau yang berkuasa oleh Imam Abu Hanifah.

KESIMPULAN
Al-Quran merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Quran tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Quran masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Quran. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas. Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash syariat yang jelas.

PENUTUP
Puji syukur ke Hadirat Allah Swt. yang telah memberikan segala kenikmatan baik nikmat Iman maupun Islam dan sehat walafiyat sehingga kami dapat meyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda alam, yakni Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga-Nya , sahabat-Nya, dan kita sebagai umat-Nya. Kami sebagai penyusun makalah ini mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaiknnya makalah ini, terutama kepada dosen mata kuliah Ushul Fiqh II yang telah memberikan sebagian ilmunya untuk penyusunan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi amal shaleh bagi seluruhnya. Amin.

Daftar Pustaka
1. Hans Wehr Dictionary of diedit Arab modern Ditulis oleh JM Cowan, 3rd edition, 1976.

hal 143
2. Momen, Moojan, Sebuah Pengantar Islam Syi'ah, Yale University Press, 1985, hal.203 3. Wael Hallaq : "Apakah Gerbang Ijtihad Tertutup?", Jurnal Internasional Studi Timur

Tengah, 16, 1 (1984), 3-41.


4. Glass, Cyril, The Encyclopaedia Concise Islam, 2nd Edition, Stacey Internasional,

London (1991) ISBN 0-905743-65-2


5. Goldziher, Ignaz (diterjemahkan oleh A Dan R Hamori), Pengantar Teologi Islam dan

Hukum, Princeton University Press, Princeton New Jersey (1981) ISBN 0-691-10099-3
6. Kamali, Mohammad Hashim Prinsip Fikih Islam, Islam Text Society, Cambridge (1991)

ISBN 0-946621-24-1 .
7. Carlos Martnez, "Membatasi Agama Kekuatan dari Dalam: Probabilism dan Ishtihad,"

dalam Agama dan lain nya: Konsep sekuler dan sakral dan Praktik dalam Interaksi. Diedit oleh Heike Bock, Jorg Feuchter, dan Michi Knecht (Frankfurt / M., Kampus Verlag, 2008).
8. Abdul Majid Asy-Syarofi, 2002. Ijtihad Kolektif, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 9. Father-Rahman Djamil, 1995. Metode Ijtihada Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:

logos Graphic Design Center.


10. Harun Nasution, 1985. Dasar Pemikiran Pembaharuan Dalam Islam, dan dalam M.

Yunan.
11. Harun Nasution, 1988. Ijtihad Sunber Ketiga Ajaran Islam, dan dalam Haidar Baqir,

Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan.


12. Luwis Maluf, 1986. al-Munjid fi al-Lughat, Beirut:Dar al-Masyriq. 13. Yusuf, et. al. (ed), Cita Dan Citra Muhammdiyah, Jakarta: Pustaka Panjimas.

You might also like