You are on page 1of 4

Reformasi Hukum Islam, Tinjauan Tipologis dalam Kerangka Ijtihad Oleh : Ahmad Mufid Bisri, S. HI.

* Secara umum tujuan pemberlakuan Hukum Islam (Maqashidus Syariah) adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin selalu memberikan tendensi terbaik bagi umat manusia. Salah satunya mengakomodir problematika yang dihadapi dalam mewujudkan kemaslahatannya. Di sisi lain, banyak persoalan baru menyangkut hukum yang belum ditegaskan dalam Al-quran dan Sunnah. Para praktisi hukum menyebut kondisi ini sebagai kekosongan hukum. Dalam literatur Islam kontemporer, kata pembaruan silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjih, islah dan tajdid. Namun yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformasi dari bahasa Inggris (reformation) yang berarti membentuk atau menyusun kembali. Sebenarnya, ide pembaruan Hukum Islam (baca : reformasi Hukum Islam) bukanlah hal baru di Indonesia. Pada tahun 1986 misalnya, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) melalui salah satu majelis hakimnya melegitimasi (meskipun prosesnya memakan waktu tiga tahun) pernikahan beda agama (interfaith marriage) antara Adrianus Petrus Hendrik (Kristen) dengan Andy Voni Gani Parengi (seorang Muslimah) yang sebelumnya ditolak oleh KUA dan Kantor Catatan Sipil. Pada pertengahan 1990-an MA-RI juga memberi jatah warisan kepada ahli waris non muslim melalui sarana wasiat wajibah yang sebelumnya tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqih manapun.

Peranan Ijtihad dalam Reformasi Hukum Islam Dalam Lisan ul Arab Kata ijtihad diambil dari kata al-Jahd dan al-Juhd yang secara etimologi berarti tenaga, kuasa dan daya. Menurut arti harfiah, ijtihad berarti mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha dengan sungguh-sungguh (maksimal) untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Sedangkan menurut istilah, ijtihad adalah upaya maksimal dari seorang ahli fiqih dalam memperoleh ketentuan hukum yang bersifat dhanny. Menurut Al-Ghazaly (1324:35) melaksakan ijtihad merupakan perbuatan berat dan sulit yang hasilnya wajib diyakini oleh mujtahid dan para pengikutnya. Paling tidak ada dua hal pokok yang harus diperhatikan agar ijtihad dapat berperan dalam reformasi Hukum Islam. Pertama, pelaku adalah orang yang memenuhi

kualitas sebagai mujtahid. Kedua, ijtihad harus dilakukan pada tempat-tempat yang dibenarkan oleh syara. Seberapa jauh seorang mujtahid berperan dalam reformasi Hukum Islam sangat tergantung pada seberapa besar ia memaksimalkan kemampuan untuk menggali hukum-hukum yang terkandung dalam Al-quran dan Hadish. Peran ijtihad sangat besar dalam reformasi Hukum Islam. Reformasi tidak mungkin dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi syarat. Mengutip keterangan Abdul Manan (2006: 185) reformasi Hukum Islam terbagi menjadi beberapa tipologi, di antaranya :

Proyeksi Penyusunan Ensiklopedi Fiqih Pertama kali muncul gagasan untuk menyusun ensiklopedi fiqih adalah dalam konferensi Fiqih Islam Internasional di Paris pada tahun 1951 M/1370 H. hasil konferensi ini dijadikan momentum untuk menjadikan fiqih sebagai ilmu Hukum Islam sesuai

dengan gaya bahasa modern dan kamus yang sesuai dengan perkembangan zaman. Orang pertama yang menyusun ensiklopedi fiqih adalah Ibnu Hazm dalam AlIsmal. Sayang buku itu tidak diketahui lagi kebaradaannya. Imam Nawawi berusaha menyusun materi serupa dalam Al-Majmu walaupun akhirnya tidak berhasil dan berhenti pada jilid ketiga. Oleh dorongan kebutuhan masyarakat muslim, pada tahun 1956 M/1375 Fakultas Syariah Universitas Damaskus merintis penerbitan buku-buku ensiklopedi fiqih dalam sistem modern seperti fiqih ibnu hazm dan petunjuk-petunjuk istilah fiqih. Usaha ini diharapkan dapat membangun kembali pemikiran tentang Hukum Islam yang telah lama berhenti akibat pemahaman pintu ijtihad telah tertutup.

Proyeksi Pembentukan Undang-undang Pada tahun 1910 M di mesir disusun sebuah undang-undang hukum keluarga yang berorientasi pada mazhab Abu Hanifah. Undang-undang ini tidak sempat diberlakukan karena ada perlawanan dari rakyat Mesir yang menghendaki agar dalam hukum keluarga dilakukan pembaruan tidak lagi hanya berpegang pada mazhab Abu Hanifah saja, melainkan bersandar pada empat mazhab lainnya. Setelah melalui proses panjang, akhirnya pada tahun 1920 M pemerintah membentuk tim perumus yang terdiri dari para Mashayikh, Ketua Pengadilan Tinggi dan Mufti Negara untuk merumuskan undang-undang hukum keluarga yang disandarkan pada mazhab Abu Hanifah dan empat mazhab lainnya. Undang-undang ini selesai pada tahun 1923 M dan diganti pada tahun 1930 M. Puncaknya pada tahun 1936 berhasil

disusun Undang-undang Keluarga tanpa terikat pada mazhab tertentu. Proyeksi Fatwa Reformasi Hukum Islam melalui proyeksi fatwa sangat luas cakupannya dan kompleks. Seperti diketahui, fatwa-fatwa Hukum Islam dalam berbagai bidang dikeluarkan oleh lembaga internasional, lembaga yang dibentuk oleh negara maupun lembaga organisasi Islam dan riset perguruan tinggi Islam. Lembaga fatwa berstandar Internasional misalnya bisa kita jumpai Darr Al-Ifta di Mesir dan Lajnah al-Fatwa di Saudi Arabia. Di Indonesia, fatwa-fatwa Hukum Islam dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pedomannya ditetapkan dalam keputusan MUI Nomor U 596/MUI/X/1997. Organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) mendirikan Forum Bahstul Masail Pondok Pesantren (FBMPP) pada tingkat kabupaten/kota dan Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) pada tingkat propinsi. Muhammadiyah mempercayakan fatwa Hukum Islam pada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MT-PPI) Muhammadiyah. Persatuan Islam (Persis) juga mempunyai Dewan Hisbah untuk penerbitan fatwa. Selain tersebut diatas, ada juga fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh perorangan yang kapasitasnya sangat dihormati oleh umat Islam, sebut saja Mahmud Syaltut, Hasanuddin Makluf dan Yusuf al-Qardhawi.

Proyeksi Kajian Ilmiah dan Penelitian Reformasi Hukum Islam dengan proyeksi ini dilaksanakan melalui karya-karya ilmiah orisinal seorang ulama yang memiliki spesialisasi ilmu dan penelitian serta kajian serius yang diajukan dalam program untuk mencapai gelar master dan doktor. Ada juga hasil penelitian ilmiah yang diajukan seorang profesor dari perguruan tinggi untuk kenaikan jenjang dalam bidang ilmiah yang disebarkan melalui majalah-majalah ilmiah secara rutin.

Proyeksi Putusan Pengadilan Agama Di beberapa negara seperti Pakistan dan India, reformasi Hukum Islam telah dilakukan sejak abad pertengahan. Bahkan sejak Islam tersebar di Spanyol. Pengadilan di beberapa negara tersebut telah memutus perkara dengan metode ijtihad. Sedangkan di Indonesia reformasi Hukum Islam dilaksanakan sejak tahun 1974, ketika Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan.

Kemudian dilanjutkan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun

1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Tahun 1991 pemerintah menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang menginstruksikan untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) kapada masyarakat. Peratuaran-peraturan tersebut yang digunakan sebagai pertimbangan hukum oleh Pengadilan Agama. Maka muncullah putusan-putusan tentang wasiat wajibah, ahli wari pengganti, ahli waris beda agama dan beberapa hal baru dalam perkawinan, perwakafan dan hibah. Kesemuanya itu merupakan hal baru dalam perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Kita tentu sangat familiar dengan adagium Al-Muhafadhotu ala al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah (menjaga pedoman lama yang baik dan mengambil pedoman baru yang lebih baik). Dengan munculnya pelbagai fenomena Hukum Islam di atas, tidak berlebihan kiranya lahir adagium Al-Muhafadhotu ala al-qadim as-shalih wa al-ijad bi al-jadid al-aslah (menjaga pedoman lama yang baik dan menemukan pedoman baru yang lebih baik). Wallahu alam

(*) Alumni Pesantren Tebuireng, Calon Hakim di Pengadilan Agama Palu.

You might also like