You are on page 1of 9

KARSINOMA SERVIKS UTERI

EPIDEMIOLOGI Di antara tumor ganas ginekologik, kanker serviks uterus masih menduduki peringkat pertama di Indonesia. Selama kurun waktu 5 tahun (1975-1979) penulis menemukan di RSUGM/RSUP Sardjito 179 di antara 263 kasus (68,1%). Soeripto dkk menemukan frekuensi relative karsinoma serviks di propinsi D.I.Y 25,7% dalam kurun 1970-73 (3 tahun) dan 20% dalam kurun 1980-82 (2 tahun) di antara lima jenis kanker terbanyak pada wanita sebagai peringkat pertama. Umur penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasive memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia <35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS terdapat pada wanita di bawah 35 tahun. Mempertimbangkan keterbatasan yang ada, kita sepakat secara nasional melacak (mendeteksi dini) setiap wanita sekali sajasetelah melewati usia 30 tahun dan menyediakan sarana penanganannya, untuk berhenti sampai usia 60 tahun. (coverage). FAKTOR RESIKO Sebab langsung dari kanker serviks masih belum diketahui. Ada bukti kuat kejadiannya mempunyai hubungan erat dengan sejumlah factor ekstrinsik, diantaranya yang penting: jarang ditemukan pada perawan (virgo), insidensi lebh tinggi pada mereka yang kawin daripada tidak kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama kali pada usia sangat muda <16 tahun, insidensi meningkat dengan tingginya paritas, apalagi jika jarak persalinan amat dekat, mereka dari golongan sosio ekonomi rendah (higien seksual yang jelek, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan (promiskuitas)), jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya disunat (sirkumsisi), sering ditemukan pada wanita yang mengalami infeksi virus HPV (human Papilloma Virus) tipe 16 atau 18, dan akhirnya kebiasan merokok. Yang penting dalam pelacakan ini adalah cakupannya

Skrening Pemeriksaan awal yang dilakukan untuk mendeteksi adanya Ca Cervik yakni dengan melakukan Pap Smear. Dengan pemeriksaan Pap Smear dapat mendeteksi preinvasiv dan awal terjadinya invasive pada perkembangan Ca Cerviks. Hasil negative pada awal pemeriksaan dikatakan dapat menurunkan resiko Ca Cerviks sekitar 45% dan jika didapatkan negative pada 9 kali pemeriksaan selama seumur hidup dapat menurunkan resiko sebanyak 99%. Namun hanya sebagian wanita saja yang dapat menerima manfaat dari pemeriksaan Pap Smear ini, masih ada sub populasi tertentu yang belum mendapatkannya seperti wanita tua, tidak memiliki asuransi, etnik minoritas, dan wanita dengan social

ekonomi yang rendah. Sebagai bukti didapatkan fakta bahwa sekitar 10% wanita yang mengalami invasive Ca Cancer tidak pernah melakukan Pap smear dalam jangka waktu 5 tahun sebelum terdiagnosis. Jadi pada wanita dengan umur 65 tahun harus terus menjalani skrening, dimana 25% dari semua kasus Ca cerviks terjadi pada umur tersebut dan 41% angka kematian akibat Ca Cerviks terjadi pada populasi umur ini. y Ras Berdasarkan studi populasi didapatkan bahwa orang dengan kulit hitam memiliki 2 kali lebih tinggi resiko terkena Ca cervik daripada kulit putih. Namun jika dilakukan control social ekonomi didapatkan bahwa resiko terjadinya Ca Cerviks pada kulit hitam turun dari > 70% menjadi <30%. Bila dibandingkan dari segi harapan hidup 5 tahun wanita yang terkena Ca Cerviks didapatkan bahwa 59% pada wanita kulit hitam sedangkan 67% pada wanita kulit putih.

Faktor seksual dan reproduksi Koitus pertama sebelum umur 16 tahun dapat meningkatkan 2 kali resiko terkena Ca Cerviks bila dibandingkan dengan wanita yang melakukan koitus setelahumur 20 tahun. Hal ini juga terkait dengan banyaknya jumlah pasangan seksual.

Merokok

Merokok merupakan etiologi yang signifikan pada kejadian squamouse cell carsinoma pada cerviks. Setelah dilakukan observasi yang lama didapatkan resiko yang meningkat hingga 2 kali lipat pada orang yang merokok. Hal ini dikaitkan juga dengan efek genotoxoc ataupun imunosupresiv dari merokok, yang berasaldari nicotine dan cotinine.

Immunosuppression Keberadaan sel-sel mediasi imunitas merupakan factor yang penting dalam perkembangan Ca Cerviks. Padawanita yang imunocompromais (seperti pada transplanstasi ginjal, atapun pada HIV) bukan hanya beresiko tinggi terkena namun juga dapat mempercepat progresi dari preinvasiv ke invasive cancer, dan biasanya kematiannya diakibatkan oleh Ca Cerviks itu sendiri.

Infeksi virus human papilloma HPV menginfeksi epitel sel dari kulit dan mukosa membrane. HPV memiliki genom yang terdiri dari 3 region. Region upstream regulatory (URR) yang berfungi dalam mengontrol produksi viral protein. early region berfungsi mengkode protein E1 ,E 2, E 3, E 4, E 5, E 6, E 7 yang mana mempengaruhi infeksi dan replikasi virus. Late region mengkode protein L1dan L2 yang mana berfungsi sebagain mayor dan minor kapsaid virus. Dari study epidemiologi didapatkan bahwa 99,7% pada invasive Ca Cerviks didapatkan positif HPV DNA. HPV type 16 dan 18 kira-kira 67% dapat menyebabkan invasive kancer cerviks. Infeksidari HPV dapat menyebabkan translasi dantranskripsi dari early protein. Dimana E6 dan E7 nantinya akan berikatan dengan p53 dan retinoblastoma (Rb) yang merupakan tumor supresor gen. Setelah berintegrasi akan menghasilkan overexpresidari E6 dan E7 yang berguna untuk infeksi dan replikasi virus dan juga akan menonaktivkan protein tumor suppressor. Sehingga akan menyebabkan neoplastic transformasi.

Type HPV dibagi menjadi 3 grup berdasarkan proses neoplastic dan malignannya. Onkogenik rendah yakni type 6, 11, 42, dan 44 dan biasanya hanya akan menyebabkan condiloma acuminate dan beberapa dapat juga menyebabkan lesi kecil pada intraepitel

squamous. Onkogenik tinggi yakni type 16, 18, 31, 45, dan 56 dan biasanya akan menyebabkan lesi dengan grade tinggi pada intraepitel squamus dan dapat juga menyebabkan invasive kanker. Dan yang terakhir intermediate yakni type 33, 35, 39, 51 dan 52 yang beresiko intermediate untuk terjadinya invasive carcinoma. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat affinity E6 dan E7 dengan p53 dan Rb, yang mana semakin kuat maka dapat menyebabkan semakin onkogenik.

PATOLOGI Karsinoma serviks timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis servikalis yang disebut sebagai squamo-columnar junction (SCJ). Histologik antara epitel gepeng berlapis (squamous complex) dari porsio dengan epitel kuboid/silindris pendek selapis bersilia dari endoserviks kanalis servikalis. Pada wanita muda, SCJ ini berada diluar ostium uteri eksternum, sedang pada wanita berusia > 35 tahun, SCJ berada di dalam kanalis servikalis. Maka untuk melakukan pap smear yang efektif, yang dapat mengusap zona transformasi, harus dikerjakan dengan skraper dari Ayre atau cytobrush sikat khusus. Pada awalnya perkembangan kanker serviks tak memberi tanda-tanda dan keluhan. Pada pemeriksaan dengan speculum, tampak sebagai porsio yang erosive (metaplasia skuamosa) yang fisiologik atau patologik. Tumor dapat tumbuh: 1. eksofitik mulai dari SCJ kea rah lumen vagina sebagai massa proliferative yang engalami infeksi sekunder dan nekrosis; 2. endofitik mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung untuk mengadakan infiltrasi menjadi ulkus 3. ulseratif mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jarigan serviks dengan melibatkan awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas. Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasia (erosio) akibat saling desak mendesaknya kedua jenis epitel yang melapisi. Dengan masuknya mutagen, porsio yang erosive (metaplasia skuamosa) yang semua faali/fisiologik dapat berubah menjadi patologik (displastik-diskariotik) melalui tingkatan NIS-1, II, III dan KIS untuk akhirnya menjadi

karsinoma invasive. Sekali menjadi mikroinvasif atau invasive, proses keganasan akan berjalan terus. Periode laten (dari NIS-I s/d KIS) tergantung dari daya tahan tubuh penderita. Umumnya fase prainvasif berkisar antara 3-20 tahun (rata-rata 5-10 tahun). Perubahan epitel displastik serviks secara kontinyu yang masih memungkinkan terjadinya regresi spontan dengan pengobatan/tanpa diobati itu dikenal dengan Unitarian concept dari Richart. Histopalogik sebagian terbesar (95-97%) berupa epidermoid atau squamous cell carcinoma, sisanya adenokarsinoma, clear cell carcinoma/mesonephroid carcinoma, dan yang paling jarang adalah sarkoma. Squamous sel karsinoma pada serviks biasanya muncul di skuamocolumnar junction (SCJ) dari lesi displastik yang sudah ada sebelumnya, yang dalam banyak kasus diikuti infeksi HPV. Meskipun sebagian besar perempuandapat dengan segera membersihkan virus ini, namun mereka yang dengan infeksi persisten dapat mengembangkan penyakit servikal displastik preinvasive. Secara umum, perkembangan dari displasia menjadi kanker invasif memerlukan beberapa tahun, namun ada variasi yang luas pada hal ini. Perubahan molekular yang terlibat dengan karsinogenesis serviks sangat kompleks dan tidak sepenuhnya dipahami. Diduga karsinogenesis merupakan hasil dari efek interaktif antara pengaruh lingkungan, kekebalan host, dan variasi sel somatik genom.

Tingkatan pra-maligna Porsio yang erosive dengan ektropion bukanlah termasuk lesi pramaligna, selama tak ada bukti adanya perubahan displastik dari SCJ. Penting untuk dapat menggaet sel-sel dari SCJ untuk pemeriksaan eksfoliatif sitologi, meskipun pada pemeriksaan ini ada kemungkinan terjadi false negative atau false positive. Perlu ditekankan bahwa penanganan/terapi hanya boleh dilakukan

atas dasar bukti histopatologik. Oleh sebab itu, untuk konfirmasi hasil pap smear, perlu tindak lanjut upaya diagnostic biopsy. Penyebaran Pada umumnya secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3 arah: a) kea rah fornises dan dinding vagina, b) kea rah korpus uterus, dan c) ke arah parametrium dan dalam tingkatan yang lanjut menginfiltrasi septum rektovaginal dan kandung kemih.

Melalui pembuluh getah bening dalam parametrium kanan dan kiri sel tumor dapat menyebar ke kelenjar iliak dalam (hipogastrika). Penyebaran melalui pembuluh darah (bloodborne metastasis) tidak lazim. Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja. Tergantung dari kondisi imunologik tubuh penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasive dengan menembus membrane basalis dengan kedalaman invasi < 1 mm dan sel tumor

belum terlihat dalam pembuluh limfa atau darah. Jika sel tumor sudah terdapat > 1 mm dari membrana basalis, atau < 1 mm tetapi sudah tampak berada dalam pembuluh limfa atau darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin telah menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi scara klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang demikian disebut sebagai ganas praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor menjadi invasive, penyebaran secara limfogen menuju kelenjar limfa regional dan secara perkontinuitatum (menjalar) menuju fornises vagina, korpus uterus, rectum dan kandung kemih, yang pada tingkat akhir 9terminal stage) dapat menimbulkan fistula rectum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar limfa regional melalui ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliak, obturator, hipograstika, prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoretis dapat lanjut melalui trunkus limfatikus di kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati, ginjal, tulang dan otak. Biasanya penderita sudah meninggal lebih dahulu disebabkan oleh perdarahanperdarahan yang eksesif dan gagal ginjal menahun akibat uremia oleh karena obstruksi ureter di tempat ureter masuk ke dalam kandung kemih. Gambaran klinik Keputihan merupakan gejala yang sring ditemukan. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera sehabis senggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75-80%). Perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah makin lama akan lebih sering terjadi, juga di luar senggama (perdarahan spontan). Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat klinik yang lebih lanjut (II atau III), terutama pada tumor yang bersifat eksofitik. Pada wanita usia lanjut yang sudah tidak melayani suami secara seksual, atau janda yang sudah menopause bilamana mengidap kanker serviks sering terlambat datang meminta pertolongan. Perdarahan spontan saat defekasi akibat tergesernya tumor eksofitik dari serviks oleh skibala, memaksa mereka datang ke dokter. Adanya perdarahan spontan pervaginam saat defekasi, perlu dicurigai adanya kemungkinan karsinoma serviks tingkat lanjut. Adanya bau busuk yang khas memperkuat dugaan adanya karsinoma. Anemia akan menyertai sebagai akibat dari perdarahan pervaginam berulang. Rasa nyri akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf, memerlukan

pembiusan umum untuk dapat melakukan pemeriksaan dalam yang cermat, khususnya pada lumen vagina yang sempit dan dinding sklerotik yang meradang. Gejala lain yang timbul adalah gejala-gejala yang disebabkan metastasis yang jauh. Sebelum tingkat akhir (terminal stage), penderita meninggal akibat perdarahan yang eksesif, kegagalan faal ginjal (CRF=Chronic Renal Failure) akibat infiltrasi tumor ke ureter sebelum memasuki kandung kemih, yang menyebabkan obstruksi total. Membuat diagnosis karsinoma serviks uterus yang klinis sudah agak lanjut tidaklah sulit. Yang menjadi masalah ialah, bagaimana mendiagnosis dalam tingkat yang sangat awal, misalnya dalam tingkat pra-invasif, lebih baik bila dapat menangkapnya dalam tingkatan pra-maligna (dysplasia/diskariosis serviks).

SUMBER: Schorge, J.O., Schaffer, J.I., Halvorson, L.M., Hoffman, B.L., Bradshaw, K.D., Cunningham, F.G. 2008. Williams Gynecology. The Mcgraw-Hill Companies: USA.

Winkjosastro, H., Saifuddin, B., Rachimhadhi, T. 2007. Ilmu Kandungan Edisi ke-2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta.

Baiq Trisna Satriana (H1A008042)

You might also like