You are on page 1of 9

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia

ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).

Sejarah
Latar belakang pembentukan PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII: 1.Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959. 2.Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada. 3.Pisahnya NU dari Masyumi. 4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU. 5.Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya. Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jamaah.

Organisasi-organisasi pendahulu
`Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU. Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU


Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah: 1.A. Khalid Mawardi (Jakarta) 2.M. Said Budairy (Jakarta) 3.M. Sobich Ubaid (Jakarta) 4.Makmun Syukri (Bandung) 5.Hilman (Bandung) 6.Ismail Makki (Yogyakarta) 7.Munsif Nakhrowi (Yogyakarta) 8.Nuril Huda Suaidi (Surakarta) 9.Laily Mansyur (Surakarta) 10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang) 11. Hizbulloh Huda (Surabaya) 12. M. Kholid Narbuko (Malang) 13. Ahmad Hussein (Makassar) Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Muamalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari P apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.

Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain. Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.

Makna Filosofis
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu Pergerakan, Mahasiswa, Islam, dan Indonesia. Makna Pergerakan yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. Pergerakan dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya. Pengertian Mahasiswa adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara. Islam yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jamaah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized). Sedangkan pengertian Indonesia adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.

SUSUNAN PENGURUS BESAR PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA MASA KHIDMAT 2008 2010

MAJELIS PEMBINA NASIONAL Ketua : Drs. H. Muhyidin Arubusman

Wakil Ketua : Ir. Suwadi D. Pranoto

Sekretaris : Dr. Affandi Muchtar

Anggota : Drs. H. Slamet Effendy Yusuf Drs. H. Suryadharma Ali, M.Si. Prof. Dr. H. Ahmad Mubarok Prof. Dr. Nasarudin Umar Drs. H. Andy Muawiyah Ramli, M.Si Prof. Dr. Mansur Ramly Dr. Ahmad Dimyati, MSc Drs. Muzayyin Mahbub Drs. H. Gani Lasya, MM Drs. H. Endin Aj Soefihara Drs. H. Numan Abdul Hakim Drs. H. Syaiful Tamliha Drs. H. Slamet Irianto Prof. Dr. Masykuri Abdillah H. Indra Sahnun Lubis, SH Drs. H. Arief Mudatsir Mandan Prof. Dr. A.H. Hafidz Anshary AZ, MA Drs. H. Abdul Aziz Drs. H. Arvin Hakim Thoha Drs. Ali Masykur Musa, M.Si. Drs. H. Mujib Rahmat Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa Drs. H. Muhaimin Iskandar, M.Si. Drs. Saiful Bahri Ansori, M.Si. Amsar A Dulmanan Nusron Wahid, SS Drs. A. Malik Haramain Hery Haryanto Azumi Dra. Lilis Nurul Khusna Dra. Luluk Nurhamida, M.Si Dra. Wahidah Suaib, M.Si Dra. Saidah Sakhwan

Dra. Badriyah Fayumi, Lc Dra. Maria Ulfah Ansor, M.Si Thamrin Ferli, SE Dra. Ermalena

BADAN PENGURUS HARIAN PENGURUS BESAR PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA MASA KHIDMAT 2008 2010

Ketua Umum : Muhammad Rodli Kaelani

Ketua Bidang Kaderisasi Nasional : Naeni Amanulloh Ketua Bidang Penataan dan Aparatur Organisasi : Solahudin Ketua Bidang Waca dan Pengembangan Pemikiran : Adien Jauharudin Ketua Bidang Jaringan Perguruan Tinggi dan Kampus Umum :Wahyuni Alamsyah Ketua Bidang Agama, Budaya dan Jaringan Pesantren : Ahmad Fauzan Al Qosh Ketua Bidang Jaringan Media dan Opini Publik : M. Khusen Yusuf Ketua Bidang Kajian dan Hubungan Internasional : Dianta Sebayang Ketua Bidang Jaringan OKP dan Antar Lembaga : M. Mahbub Zaki Ketua Bidang Jaringan Ekonomi dan Pengembangan Profesi : Herry Sandjaya Ketua Bidang Kebijakan Publik dan Sumber Daya Alam : Faisal Ketua Bidang Advokasi Hukum dan Ham : Shaleh Ketua Korp PMII Putri : Eem Marzu Hiz

Sekretaris Jenderal : Zaini Shofari

Sekretaris Bidang Kaderisasi Nasional : Abdullah Kamil Sekretaris Bidang Penataan dan Aparatur Organisasi : Mukhlis Hasyim Sekretaris Bidang Waca dan Pengembangan Pemikiran : M. Jaelani Sekretaris Bidang Jaringan Perguruan Tinggi dan Kampus Umum : Subronto Aji Sekretaris Bidang Agama, Budaya dan Jaringan Pesantren : Fahrul Abdul Muid Sekretaris Bidang Jaringan Media dan Opini Publik : Adius Zaelani Sekretaris Bidang Kajian dan Hubungan Internasional : Ahmad Hadinudin Sekretaris Bidang Jaringan OKP dan Antar Lembaga : Dody Dwi Nugroho

Sekretaris Bidang Jaringan Ekonomi dan Pengembangan Profesi : Sarifudin Salwani Sekretaris Bidang Kebijakan Publik dan Sumber Daya Alam : Basir Laupe Sekretaris Bidang Advokasi Hukum dan Ham : Juanda Sekretaris Korp PMII Putri : Surtanti R Bendahara Umum : M. Afifudin Bendahara : Baitul Khoeri Bendahara : Hanief Palopo Wibowo Bendahara : Mahfudz Salama Bendahara : Irvan Bullah Bendahara : Chusnuniyah Bendahara : Syamsir

Visi Dikembangkan dari dua landasan utama, yakni visi ke-Islaman dan visi kebangsaan. Visi ke-Islaman yang dibangun PMII adalah visi ke-Islaman yang inklusif, toleran dan moderat. Sedangkan visi kebangsaan PMII mengidealkan satu kehidupan kebangsaan yang demokratis, toleran, dan dibangun di atas semangat bersama untuk mewujudkan keadilan bagi segenap elemen warga-bangsa tanpa terkecuali.

Misi Merupakan manifestasi dari komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, dan sebagai perwujudan kesadaran beragama, berbangsa, dan bernegara. Dengan kesadaran ini, PMII sebagai salah satu eksponen pembaharu bangsa dan pengemban misi intelektual berkewajiban dan bertanggung jawab mengemban komitmen ke-Islaman dan keIndonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dan membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan baik spiritual maupun material dalam segala bentuk

Menggagas Feminis Modern di PMII, Membangun Demokrasi Masa Depan


Oleh: Eva Yulianti Teori Feminis modern bertolak dari sejumlah pertanyaan sederhana. Bagaimana dengan perempuan? Di mana posisi perempuan. Bila wanita tak berperan, mengapa? Bila berperan, apa yang sebenarnya mereka lakukan? Bilamana mereka mengalami situasi?Apa yang mereka sumbangkan untuk itu? Apa artinya itu bagi mereka? ( Teori Sosiologi Modern, George Ritzer-Douglas J. Goodman) Meluruskan Pemahaman Membicarakan feminisme sangat erat kaitannya dengan sosialisme. Apa yang diungkapkan oleh George Ritzer-Douglas J. Goodman di atas

adalah fenomena feminis kuno yang akan menyebabkan minoritas pola pikir. Minoritas pola pikir ini adalah terjadinya pengaburan peran wanita dalam situasi sosial, peran wanita dalam kebanyakan situasi sosial, meskipun penting, masih kurang mendapatkan penghormatan dan tersubordinasikan peran lelaki. Indikator-indikator semacam itulah yang menyebabkan pemikiran pengetahuan bahwa wanita selalu berada pada pihak minorotas, telah terjadinya ketidakadilan, kesenjangan, dan perbedaan peran yang nyata antara laki-laki dan perempuan. Nur Amin Samhuri mengatakan bahwa feminisme sebagai sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan. Menurut saya pendapat Nur Amin Samsuri tersebut, bertentangan dengan teori feminis modern. Secara logika argument tersebut, akan melahirkan pemikiran bahwa perempuan menjadi pihak minoritas atau kelompok kecil yang bersumber pada peran mayoritas laki-laki. Sekali lagi, belajar feminis moderen tidaklah sama dengan teori minoritas atau kelompok kecil. Namun, mari kita berpikir bahwa teoritis mendasar feminisme akan menghasilkan perubahan revolusioner dalam pemahaman kita tentang kehidupan social itu. Pengetahuan selama ini dokonstruk oleh anggapan keabsolutan dan universal tentang kehidupan sosial ternyata adalah pengetahuan yang berasal dari pengalaman semata. Pengalaman yang dimaksud adalah bagian dari masyarakat yang berkuasa yakni dari lelaki sebagai tuan. Pemikiran itu akan menjadi rancau tatkala sudut pandang kita selama ini hanya pada kacamata kekuasaan seorang lelaki yang menyebabkan wanita disubordinasikan secara fungsional struktural. Padahal ada hal yang lebih penting lagi untuk kita luruskan adalah teori feminis merupakan teori pencapaian kesejajaran kehidupan sosial dalam konteks perubahan hidup. Realitas Feminisme dan Gender di PMII Sampai sekarang, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) selalu menyajikan forum diskusi tentang teori feminisme. Fenomena ini terjadi mulai dari rayon, komisariat, cabang, koordinator cabang dan lembaga tertinggi yiatu pengurus besar. Bahkan di setiap level masingmasing lembaga tersebut, disediakan wadah khusus untuk memberikan pemahaman konsep feminisme itu. Melalui investigasi teoritis, sering kita temukan kader-kader PMII masih memiliki pemikiran ala Nur Amin Samsuri. Realitas`seperti ini pada sisi kaderisasi akan berdampak jangka panjang bagi organisasi tentang pemahaman feminisme. Pemaknaan tersebut selalu diawali dengan timbulnya gerakan feminisme atas dasar penindasan kaum laki-laki terhadap perempuan. Kita tidak boleh terjebak dengan kata Penindasan. Dalam artian konsep penindasan jangan diartikan sebagai sebab-akibat dari perilaku laki-laki yang berperan aktif secara absolut. Hal ini jelas akan menyebabkan direct vis-a vis antara laki-laki dengan perempuan itu sendiri. Jika teori ini berlaku pada pemahaman kita, maka jangan heran mindset kader-kader PMII selama masih terkonstruk pada teoritispraktis yaitu feminisme selalu disandingkan dengan bentuk penindasan, kekerasan fisik, ketidakadilan laki-laki terhadap

perempuan, peran mayoritas laki-laki terutama dalam hal fungsionalstruktural, dan kekejaman laki-laki terhadap perempuan atas ketidakadilan dan posisi laki-laki yang selama ini dianggap melebihi perempuan. Konsep feminis yang saya maksud bukanlah pembebasan perempuan karena mereka tertindas oleh laki-laki. Akan tetapi, pemikiran feminis beraplikasi pada pengetahuan realitas kehidupan sosial organisasi PMII yaitu melakukan perubahan positif bagi keberlangsungan ekstensialisme PMII itu sendiri. Secara mayoritas dalam perkembangan kesempatan fungsionalstruktural selalu didominasi laki-laki. Kemudian pola pikir yang lahir adalah anggapan terjadinya ketidakberhasilan kaderisasi perempuan dan sebaliknya keberhasilan kaderisasi bagi laki-laki. Secara tidak langsung, logika yang terbentuk adalah terjadinya penyekatan kodrati jenis antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran teori feminis modern selalu berorientasi pada pemhaman kesejajaran secara sosial untuk menciptakan kehidupan sosial menjadi lebih baik atas pengaruh sebuah kondisi sosial itu sendiri. Gender merupakan merupakan shadow system dari feminisme. Tepatnya, gender suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal pengaruh sosial budaya yang menyebabkan timbulnya turunan pembeda dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang selama ini berkembang di masyarakat khususnya di tubuh PMII. Sedangkan konsep gender dalam persfektif agama juga ada dalam AlQur'an. Agama Islam yang diturunkan sebagai Rahmatal Lil Alamin men-design dengan detail mulai dari pernikahan, perceraian, aturan pembagian warisan dan konsep kepemimimpinan dalam berumah tangga. Turunan pembeda dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan merupakan pengaruh konstruk sosial, budaya dan politik yang menyebabkan keharusan laki-laki dan perempuan untuk mencari jalan keluar dari pengaruh negatif tersebut. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, konsep feminis modern sangatlah relevan dengan sistem demokrasi kita. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 huruf H Ayat 2 dijelaskan Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Jadi jelaslah bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama tanpa membedakan status, struktur sosial, cirri-ciri primordial maupun identitas ekslusif lainnya (baca: gender). Pasal tersebut di jabarkan kembali dalam kehidupan politik di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang memberikan quota 30% (UU Pemilu pasal 53) bagi calon legislatif (caleg) perempuan untuk masuk dalam sistem demokrasi merupakan persaingan aksi di atas panggung perebutan kekuasaan dalam meangaplikasikan makna gender itu. Jadi pemberian quota itu bukanlah pembeda yang mengkontsruk pemahaman kita tentang ketidakadilan quota, tapi mari kita pandang dalam persfektif bentuk solusi untuk pembebasan perempuan. Pembebasan yang dimaksud adalah mengeluarkan diri dari meraih

quota itu secara makasimal. Nah, disinilah letak arti gender dan feminisme yang sebenarnya. Mencari solusi atas pengaruh sebuah konstruk sosial dan politik. Tantangan Feminisme di PMII Adanya realitas feminisme di atas sekaligus akan menjadi tantangan proses kaderisasi di organisasi PMII. Pertama, terjadinya pemikiran penindasan fungsional-struktural. Pemahaman ini akan berdampak pada timbulnya pemikiran politik-praktis dalam kehidupan miniatur demokrasi di PMII. Ini disebabkan atas pola pikir dalam konsep kekuasan merupakan dominasi kaum laki-laki. Hal ini akan melahirkan kader-kader oportunis dan apatis sehingga merusak komitmen atas doktrinasi konsep kebersamaan dan konsep Hablum Minannas yang ada dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Konsep kebersamaan dalam membangun PMII yang memiliki hubungan yang kuat dengan konsep hubungan horizontal. Kedua, terjadinya penyekatan antara kaum laki-laki dan perempuan yang bersifat jangka panjang atas konflik kesalahpahaman feminisme. Penyekatan jangka panjang jelas menjadi great problem dalam menciptakan konsep kebangsaan melalui kehidupan berdemokrasi. Demokrasi yang dimaknai menciptakan kehidupan pro-kerakyatan. Tepat kiranya jika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam mencapai demokrasi ideal haruslah berawal dari penghapusan mindset kesenjangan, ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan struktural akibat pemikiran feminis hanya pada jenis kelamin secara kodrati. (*) *) Penulis adalah Ketua III PMII Komisariat Raden WIjaya Mojokerto

You might also like