You are on page 1of 15

Eutanasia (Bahasa Yunani: - , eu yang artinya "baik", dan , thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan

manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya


Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
y

Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida. Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
y

Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan. Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien. Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.

Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan


Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
y y y

Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) Eutanasia hewan Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela

Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun. Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.

Eutanasia menurut ajaran agama

Dalam ajaran gereja Katolik Roma


Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak

tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk programprogram egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistemsistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)[21][22]

Dalam ajaran agama Hindu


Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.[23]

Dalam ajaran agama Buddha


Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu

moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.[24]

Dalam ajaran Islam


Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[25] Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .[26]
Eutanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakitkarena kasih sayangyang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah

yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]
Eutanasia negatif

Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).[28]

Dalam ajaran gereja Ortodoks


Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.[29]

Dalam ajaran agama Yahudi


Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.[30] Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.[32]

Dalam ajaran Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]
y

Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut". Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan. Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

Kasus Hasan Kusuma - Indonesia


Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.[34] Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya. Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat

dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi. Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Ada empat metode euthanasia:
y

Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian. Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma). Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai bunuh diri atas pertolongan dokter. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.

Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:


y

Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia. Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator.

Ada kasus ketika meningkatkan dosis pengurang rasa sakit, seperti pemberian Morfin, dapat memperpendek umur pasien. Namun pemberian morfin tidak dimaksukan untuk menimbulkan kematian, sehingga dipandang secara moral berbeda. Kasus ini juga dapat dilihat dari perspektif falsafah efek ganda. Prinsip ini berasal dari filsafat moral Immanuel Kant, yang juga dipopulerkan oleh Gereja Katholik. Falsafah efek ganda menekankan bahwa suatu efek tindakan tidak akan bisa diterima secara moral ketika ia terjadi secara sengaja, namun tindakan itu akan diterima jika tidak disengaja. Argumen Pro Euthanasia Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang difabel, berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan

keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka. Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral. Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit. Oposisi terhadap Euthanasia Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang difabel menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang difabel untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang difabel sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati. Disadur dari: Wellcome Trust. 2004. Disability & Bioethics Resource Pack. Euthanasia. V1.0 Referensi tambahan:
y y y y

Shannon, Thomas (Diterjemahkan K.Bertens). 1995. Pengantar Bioetika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Karo-Karo, Andre. 1987. Etika Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga. Jakarta. Situs web Riset Euthanasia. http://www.euthanasia.com/ Situs web Peter Singer. http://www.princeton.edu/~psinger/

Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id> Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,

serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya? Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik. Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk dibicarakan? Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya. Sebagai dampak dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok), kecuali manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum, sosial, budaya, & aspek lainnya. Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup & mati. Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali. Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan & jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis dia tergolong hidup, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis. Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut. Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan medis tersebut merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di masyarakat. Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu meringankan penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya. Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya. Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Definisi mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia. Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya

terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup. Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital (paruparu,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen. Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut: Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun. Pasal 344: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun. Pasal 345: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri. Pasal 359: Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan,yang berbunyi: (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, & bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan pendapat Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari penderitaan karena penyakitnya. Pembahasan Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, & Thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti mati cepat tanpa derita. Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan kejahatan? Di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh diri dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan perbuatan yang dilarang & diancam pidana. Pernah ada amandemen agar larangan ini dicabut, tetapi Prof.Amos Shapira berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan percobaan bunuh diri sebagai tindakan yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya hak untuk mati. Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia & bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan & kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan. Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan. Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari hak untuk menentukan diri sendiri (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun & menuntut penghargaan & pengertian yang penuh pada pelaksanaannya. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti: 1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir. 2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang. 3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya. Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah: A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan. B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi. C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima

perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan. Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat sebagai berikut: - Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang. - Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab. Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan & alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri. - Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan. Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah physician assisted suicide. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain: - Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker. - Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian. - Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin. - Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia. Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Mahaesa, tidak mungkin menerima tindakan euthanasia aktif. Mengenai euthanasia pasif, merupakan suatu daerah kelabu karena memiliki nilai bersifat ambigu yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah. Aspek Hukum Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita

tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur dengan rencana lebih dahulu, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut concursus idealis yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa: (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum. Aspek Hak Azasi Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, & sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat. Aspek Ilmu Pengetahuan Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan. Aspek Agama Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.

Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, & putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan. Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, & tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara. Kesimpulan HAM yang terutama adalah hak untuk hidup, yang dimaksudkan untuk melindungi nyawa seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien. Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula adanya hak untuk mati walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang ada di suatu masyarakat tertentu. Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang sampai ke pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan karena: - Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga sulit untuk pengusutan lebih lanjut. - Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena masyarakat Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia. - Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, & kalaupun ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai pencegah kematian seorang pasien secara teknis. Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk dipenuhi unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya. Apapun alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan. Namun dalam hal euthanasia

hendaknya tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-macam. Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal & tidak mungkin lagi diobati. Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah terjadi di Belanda misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan. Bahkan pada beberapa kasus nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia. Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut. Agar pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka ius constituendum hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar kenyataan yang yang terjadi & disesuaikan perkembangan di bidang medis

You might also like