You are on page 1of 4

Pembagian Harta Warisan (Istri Bekerja, Suami Tidak)

Tanya: Persoalan yang kami hadapi adalah sebagai berikut: Kakak (perempuan) kami yang merupakan tulang punggung keluarga (bekerja di sebuah departemen, dan suaminya tidak bekerja selama ini yang memberi nafkah adalah istrinya) meninggal dunia pada Desember 2006. Dia tidak mempunyai anak, meninggalkan seorang suami, ibu kandung, 5 (lima) saudara kandung perempuan, 3 (tiga) saudara kandung laki-laki dan meninggalkan harta warisan hasil jerih payah kakak kami. Pada bulan Februari 2007 sang suami menikah lagi tanpa sepengetahuan keluarga dan menikah secara diam-diam (nikah sirri) dan tidak dicatat penikahannya di KUA/Depag. Pada bulan Januari 2008 sang suami tersebut meninggal dunia, sedangkan harta warisan peninggalan almarhum kakak saya sampai dengan saat ini belum dibagikan dan rencananya insya Allah akan dibagikan setelah usia kematian suaminya mencapai 40 hari. Mohon kepada Bapak/Ibu untuk memberikan masukan tentang faraidh tersebut untuk masingmasing pewaris sesuai dengan tuntunan hukum Agama Islam. Jawab: Jawaban berikut berdasarkan pada keterangan bahwa sang suami selama hidupnya tidak mempunyai penghasilan dan indikasi penanya bahwa dia tidak meninggalkan harta apapun kecuali warisan istrinya. Beberapa hal yang berkaitan dengan waris-mewarisi juga disampaikan di sini sebagai penjelasan tambahan. Pembagian Harta Warisan Pertama, suami mendapat 1/2 dari kekayaan almarhumah karena isterinya tidak meninggalkan anak. Ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 12.

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka (isteri-isteri) tidak mempunyai anak. Selanjutnya, ibu mendapat 1/6 dari harta kekayaan putrinya (setelah hak waris suami dipenuhi) sebab di antara ahli waris terdapat saudara dan saudari kandung. Firman Allah dalam surat AnNisa ayat 11.

jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.

Ketiga, saudara-saudari kandung dari almarhumah memperoleh sisa harta (yaitu setelah bagian suami yang 1/2 dan ibu yang 1/6 dari jumlah warisan dipenuhi). Firman Alah:

Artinya: Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa saudara/i seibu dengan mayit mengambil 1/6 dan dibagi rata, dan ini sudah menjadi kesepakatan ulama (rujuk penjelasan Imam Qurtuby dalam tafsirnya). Tapi kalau saudara/i kandung seibu-sebapa (seperti disebutkan penanya), maka mereka menerima sisa harta dengan cara pembagian 2:1 (2 bagian untuk laki-laki dan 1 bagian untuk perempuan). Ini berdasarkan firman Allah surat An-Nisa ayat 176:

Artinya: Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan (seibu sebapa), maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Nafkah yang Dikeluarkan Istri Nafkah untuk keluarga dalam Islam dibebani kepada suami sesuai kemampuannya. Bila suami benar-benar miskin dan tidak memiliki pekerjaan yang memadai, maka keluarga dianjurkan bersabar. Apabila seorang istri memiliki harta dan bersedia menafkahkan sebagian hartanya untuk menyelamatkan keluarga meski pun itu bukan kewajibannya maka nafkah itu merupakan amalan baiknya yang akan tercatat di sisi Allah. Namun demikian, apabila suami tersebut mengambil sebagian harta warisan istrinya selama satu tahun terakhir sejak istrinya meninggal, maka hendaknya ia atau ahli warisnya mengembalikannya. Pengembalian tersebut dapat diperhitungkan sebagai bagiannya dari warisan istrinya. Misalnya, peninggalan istrinya adalah Rp 10 juta dan dia sudah menikmati Rp 2 juta, maka bagiannya yang Rp 5 juta (setengah dari peninggalan istrinya) dipotong Rp 2 juta. Ibu si mayit perempuan mendapat 1/6 dari Rp 5 juta (Rp 10 juta Rp 5 juta hak suami), demikian seterusnya. Suami Menikah Lagi Seorang istri bila ditinggal suaminya yang meninggal dunia tidak dibolehkan langsung kawin dengan pria yang lain kecuali setelah iddahnya selesai. Bahkan ia dilarang keluar rumah selama berada dalam iddah. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 234.

Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap (kemaslahatan) diri mereka menurut yang layak (berhias, bepergian, atau menerima pinangan). Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Namun hal itu berbeda dengan suami yang istrinya meninggal. Para suami tidak dikenakan kewajiban iddah dan tidak pula kewajiban untuk berdiam di rumah selama masa tertentu. Jadi, seorang laki-laki tidak dilarang oleh Islam untuk mencari pendamping hidupnya yang lain baik sebelum atau setelah istrinya meninggal. Hanya adat mengatakan: suami yang cepat-cepat kawin lagi setelah istrinya meninggal tanpa menghiraukan kesedihan yang masih menimpa keluarga tidak merupakan sesuatu yang baik, bahkan tercela di mata masyarakat. Kawin Sirri Kawin sirri adalah kawin yang tidak tercatat di badan resmi pemerintah. Akibat perkawinan semacam itu meskipun agama mengatakan sah bila memenuhi syarat dan rukunnya akan bermasalah. Misalnya, timbul masalah saat mau dikeluarkan akte kelahiran anaknya karena mereka tidak memiliki buku nikah. Begitu juga saat salah seorang di antara mereka meninggal dunia, sedangkan yang ditinggalkan ingin menerima harta warisan. Dalam hal ini buku nikah resmi harus ditunjukkan, sedangkan pernikahan sirri tidak menyediakan bukti semacam ini. Kalau pernikahan mereka memang benar terjadi, sesungguhnya istri (dan anak, bila ada) tersebut berhak juga menerima warisan dari suaminya. Pembagian Warisan Suami Saya tidak menjelaskan lebih lanjut karena tidak mengetahui apakah ada ahli waris lain selain istrinya. Harta Bersama? Di kalangan umat Islam tertentu terdapat kebiasaan keliru untuk terlebih dahulu membagi harta peninggalan di antara suami-istri sebelum dibagikan mengikuti ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Misalnya, apabila seorang suami meninggal, maka istrinya memperoleh 1/3 atau 1/2 harta peninggalan si mayit sebelum dibagikan kepada ahli waris yang lain dengan mengikuti ketentuan di atas. Harta tersebut dianggap harta bersama (gono-gini) tanpa memperhatikan siapa pemilik sebenarnya, misalnya hasil jerih payah suami saja atau istri saja. Dalam kebiasaan sebuah masyarakat, tidak jarang kita temukan pendekatan ini seperti dipaksakan, bahkan diundangundangkan. Lain halnya kalau ada kesepakatan di antara mereka. Contoh, suami dan istri berusaha bersamasama dan sepakat untuk membagi hasil usaha tersebut selama perkawinan secara sama rata atau 1/3 untuk istri dan 2/3 untuk suami atau lain sebagainya. Maka perkara ini adalah musyarakah di

antara mereka yang dapat dibenarkan secara syari. Namun untuk ini, diperlukan perjanjian (kadangkala disebut perjanjian perkawinan) di antara mereka. Tetapi, tanpa kesepakatan tersebut maka tidak boleh harta salah seorang dari mereka tiba-tiba digono-ginikan. Harta bawaan (misalnya warisan orangtuanya), hadiah yang diperoleh dari orang lain, gaji, dan sebagainya, tidak bisa digono-ginikan. Kalau semua harta istri atau suami adalah milik bersama, maka sungguh telah berdosa para sahabat Rasulullah seperti Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan lain-lain radhiallu anhum ketika menginfakkan hartanya di jalan Allah kecuali terlebih dahulu mendapat persetujuan semua istri mereka. Jadi, dalam Islam, pendapatan suami adalah hartanya sendiri dan demikian pula bagi istri adalah hartanya sendiri. Hikmah Menyegerakan Pembagian Warisan Tidak jarang kita temukan terjadinya perbedaan pendapat di antara ahli waris dalam masalah warisan. Perbedaan semacam ini akan lebih mudah diselesaikan apabila pembagian warisan dilakukan sesegera mungkin setelah seseorang meninggal dunia. Perlu diperhatikan bahwa kepemilikan harta berpindah tangan pada detik seseorang meninggal dunia walaupun harta itu belum dibagikan. Statusnya bukan lagi harta si mayit karena otomatis sudah menjadi milik ahli waris. Menyegerakan pembagian warisan dapat menghindari permasalahan yang tidak jarang dirasakan sangat serius oleh keluarga yang ditinggalkan. Wallahu Taala alam.

You might also like