You are on page 1of 3

KESIMPULAN Berawal dari buruknya kondisi lingkungan karena sampah dan wabah penyakit DBD serta kondisi yang

mendorong masyarakat RT 12 untuk berkumpul, merasa senasib sepenganggungan di masa rekontruksi gempa Bantul 2006 lalu, muncul pemikiran untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka melalui Paguyuban Bengkel Kesling dengan mendirikan Bank Sampah yang akan mengakomodir kepentingan lingkungan sekaligus ekonomi. Bank sampah ini merupakan cara masyarakat Badegan Bantul dalam pengelolaan sampah secara mandiri. Suksesnya gerakan ini di awal karena memiliki modal sosial berupa trust berupa Bank Sampah gemah Ripah merupakan milik bersama Paguyuban masyarakat Badegan, terutama RT 12 dan akan memberikan manfaat banyak untuk masyarakat tersebut baik secara ekonomi maupun lingkungan, sehingga memunculkan rasa volunterisme pada masyarakat setempat dan membuat mereka mendukung sepenuhnya gerakan ini mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan dan evaluasi dengan memberikan apa saja yang bisa memajukan Bank Sampah Gemah Ripah seperti harta benda, perlengkapan, bahkan tenaga dan waktu. Selain itu Bank Sampah juga diprakarsai oleh orang orang yang dituakan , disegani dan dihormati oleh masyarakat setempat, sehingga trust juga makin terbangun. Munculnya Bank Sampah Gemah Ripah ini dengan kegigihan pengelola mensosialisasikan disertai trust dari masyarakat membuat paradigma mayoritas pada lingkungan terutama sampah menjadi bergeser, tidak lagi hanya buang, tapi menjadi sebuah gerakan yang muncul dari akar rumput untuk mengelola sampahnya sendiri (GREM). Gerakan Bank Sampah ini selain memprakarsai

gerakan memilah sampah dan menabung sampah yang bisa memberi nilai lebih pada sampah, juga mengedukasi anak anak dengan program programnya untuk lebih peduli pada lingkungan, selain itu Bank Sampah juga mengedukasi masyarakat untuk hidup lebih sehat dan memberi nilai plus pada sampah secara ekonomi dengan menjadikanya berbagai kerajinan yang bermanfaat dan bernilai seni melibatkan masyarakat setempat dan memberdayakannya. Sehingga masyarakat mengetahui manfaat gerakan ini untuk mereka dan semakin banyak berusaha untuk melanjutkannya. Hal ini apa bila dikembangkan bahkan bisa menggeser peran pemerintah sebagai penyedia layanan publik, terutama dalam bidang sampah karena memang sebelumnya wilayah tersebut tidak tercover dengan baik oleh pemerintah. Keberhasilan program program Bank Sampah dalam pengelolaan sampahnya mengundang berbagai media untuk mengeksposnya. Hal ini mendatangkan berbagai apresiasi dari dunia luar termasuk memberi berbagai penghargaan berupa materiil. Sayangnya pengelolaan penghargaan ini dinilai kurang transparan oleh masyarakat bahkan oleh sebagian besar pengelolanya sendiri sehingga memudarkan trust yang terbangun. Hubungan hubungan yang tercipta, norma norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam pelaksanaan Bank Sampah sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama seperti asas kebersamaan dan keadilanpun menghilang karena muncul persepsi Bank Sampah Gemah Ripah hanya dimiliki segelintir orang, bukan masyarakat lagi, sehingga masyarakat urung bergabung dengan Bank Sampah dan mulai tidak terlalu peduli dengan

Bank Sampah. Fenomena pudarnya trust ini menunjukkan pudar pula peran serta yang diberikan masyarakat, menurunkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah sampah melalui Bank Sampah Gemah Ripah, sehingga penyelenggaraan Bank Sampah terkendala karena pengelola awal yang merupakan tokoh tokoh setempat menghilang yang berdampak pada tersendatnya program. Dukungan dari pemerintah untuk menangani hal tersebut tidak ada, pemerintah hanya memberikan fasilitas berupa materil, tidak lebih. Padahal Bank Sampah yang mulai tertatih tatih tersebut membutuhkan dukungan lebih daripada materil untuk terus maju dan berkembang sebagai lembaga ketiga yang menyelenggarakan pelayanan publik yang tentu saja membantu pemerintah.

You might also like