You are on page 1of 32

Pengertian Pidana

Pidana berasal kata straf (Belanda), sering disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit adalah berkaitan dengan hukum pidana Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit). Selanjutnya istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda adalah Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris adalah Criminal Law. Pidana dapat berbentuk punishment atau treatment. Pidana merupakan pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat. Sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat. Pengertian pidana menurut beberapa ahli : 1. Prof Sudarto pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan lepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu 2. Fitzgerald Punishment is the authoritative infliction of suffering for an offence. Hukuman adalah penderitaan yang diperoleh dari yang berwenang untuk suatu pelanggaran 3. Prof. Roeslan Salaeh Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. Dalam pidana mengandung : 1. Pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (berwenang); 3. Pidana itu dikenakan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Penghukuman = pemidanaan = pemberian / penjatuhan pidana (setence; veroordeling)

Pembagian Hukum Pidana a. Bagian Umum Berisi ketentuan yang berlaku untuk seluruh lapangan hukum pidana, baik yang terdapat di dalam KUHP maupun di luar KUHP, kecuali ditentukan lain. Berlaku adagium LEX SPECIALIS DEROGAT LEX GENERALIS. Dalam KUHP bagian umum ini dimuat dalam Buku I (Pasal 103 KUHP). Bagian ini disebut Algemeen deel / Allgemeiner Teil / Partie Generale. Pada bagian umum ini dimuat misalnya : percobaan, penyertaan, daluarsa, daya paksa, dll. b. Bagian Khusus Berisi perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana dan ancaman pidana. Bagian khsusus ini dimuat dalam Buku II dan III KUHP yang disebut Bijzonderer Teil atau Partie Speciale. Misalnya Pasal 104, 362, dll. Hubungan antara bagian umum dan khusus ini erat sekali. Sejarah bagian umum ini merupakan perkembangan secara berangsur-angsur dari bagian khusus yang masih berlangsung hingga kini. Hukum Pidana juga dapat dibedakan :
1) Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale).

Semua peraturan yang memuat tentang perintah (keharusan) dan larangan terhadap pelanggaran dengn disertai ancaman hukuman yang bersifat siksaan bagi yang melanggar. Hukum Pidana Objektif dibagi menjadi 2: a. hukum pidana material : hukum yang mengatur tentang apa , siapa, dan bagai mana orang dapat dihukum. b. hukum pidana formal : yang mengatur cara-cara dan proses unutk menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana.
2) Hukum Pidana Subjektif (Ius Puniendi)

Hak Negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan hukum pidana objektif. Misal, memberikan ancaman hukuman, menuntut dan menghukum. Hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara : Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum, untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya denagan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan

tersebut, serta untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi. Jadi dari segi subjektif negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental: a. Hak untuk menentukan perbuatan yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya. b. Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi. c. Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya/petindaknya.
3) Hukum Pidana Umum

Hukum Pidana yang berlaku untuk setiap penduduk kecuali anggota ketentaraan

Ilmu Hukum Pidana dan Kriminologi


Ilmu hukum pidana Ilmu hukum pidana berfungsi memberi keterangan terhadap hukum pidana yang berlaku. Ilmu ini mempelajari norma hukum dan pidana. Objek ilmu hukum pidana adalah hukum pidana Tujuan mempelajari hukum pidana agar aparat penegak hukum dapat menerapkan aturan-aturan hukum pidana tersebut secara tepat dan adil. Pidana dirasakan sebagai suatu yang tidak enak, sebagai penderitaan (nestapa). Oleh karena itu tidak boleh menjatuhkan pidana secara sembarangan, perlu adanya pembatasan. Oleh Karena itu hukum pidana harus : 1. Menganalisa dan menyusun secara sitematis aturan-aturan tersebut; 2. Mencari azas-azas yang menjadi dasar dari peraturan UU pidana. 3. Memberi penilaian terhdap azas-azas tersebut apakah sudah sesuai dengan nilai dari negara atau bangsa yang bersangkutan dan selanjutnya juga. 4. Menilai apakah peraturan-peraturan pidana yang berlaku sejalan dengan azas-azas tadi.

Ini adalah ilmu hukum pidana dalam arti sempit atau sering disebut straafrechtsdogmatik Kriminologi Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan sebagai : a. Gejala masyarakat (social phaenomeen) : gejala kejahatan, penjahat, dan mereka yang ada sangkut-pautnya dengan kejahatan b. Sebab-sebab kejahatan (fisik dan psikis); c. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan Baik secara resmi oleh penguasa maupun tidak resmi oleh masyrakat umum. Antara ilmu hukum pidana dan kriminologi memiliki hubungan yang bersifat timbal-balik dan interdependen. Ilmu hukum mempelajari akibat hukum dari perbuatan yang dilarang, sedangkan kriminologi mempelajari sebab dan cara menghadapi kejahatan. Kejahatan yang dimaksudakan adalah sebagai berbuat dan tidak berbuat yang bertentangan dengan tata cara yang ada dalam masyarakat. Dilihat dari sudut ini maka lapangan penyelidikannya tidak hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang oleh pembentuk UU dinyatakan sebagai delik. Fungsi Hukum Pidana 1. Umum fungsi umum hukum pidana adalah untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat (Sudarto). Berisi ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk seluruh lapangan hukum pidana, baik yang terdapat dalam KUHP maupun diluar KUHP, kecuali ditentukan lain. Bagian umum ini, dalam KUHP dimuat dalam Buku I KUHP (Aturan Umum), pasal 1-103. Mengatur tentang ketentuan tentang batas berlakunya KUHP, pidana, hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana, percobaan, penyertaan, perbarengan daluarsa dsb. Pasal 103 merupakan aturan penutup yang mengatur tentang dapat dibuatnya UU pidana lainnya diluar KUHP. 2. Khusus Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi pidana yang sifatnya lebih tajam bila

dibandingkan dengan sanksi pidana yang terdapat pada cabang hukum yang lain. Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu : a. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen) misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dsb. b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschapppelijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya, dsb. c. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dsb. Perbuatan yang dapat dipidana dan ancaman pidananya diatur dalam Buku II (kejahatan) dan Buku III (Pelanggaran) KUHP. Perbedaannya terletak pada berat ringannya pidana yang diancamkan Kejahatan lebih berat daripada pelanggaran. Ancaman pidana terberat hanya diancamkan dengan kurungan paling lama 1 tahun, sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan) terhadap timbulnya pelanggaran-pelanggaran norma hukum (Theorie des psychischen Zwanges / ajaran Paksaan Psikis) Sanksi hukum pidana yang bersifat khusus ini dapat dibedakan :
a. Fungsi Primer

Hukum pidana berfungsi sebagai sarana dalam penanggulangan kejahatan atau sarana kontrol sosial atau pengendalian masyrakat (as a tool for social engineering), Hukum pidana mendapatkan dimensi moral dalam melindungi masyarakat dan orang dari kejahatan dan penjahat serta melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar
b. Fungsi Sekunder

Pengaturan tentang kontrol sosial yang dilaksanakan secara spontan atau dibuat negara dengan alat perlengkapannya
c. Fungsi Subsidier

Usaha melindungi masyarakat dari kejahatan hendaknya digunakan upaya-upaya lain terlebih dahulu. Bila dipandang kurang memadai, maka digunakanlah hukum pidana (Ultimum Remedium)

Pidana berarti nestapa atau penderitaan. Jadi, hukum pidana merupakan hukum yang memberikan sanksi berupa penderitaan atau kenestapaan bagi orang yang melanggarnya. Karena sifat sanksinya yang memberikan penderitaan inilah hukum pidana harus dianggap sebagai ultimum remidium atau obat yang terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya hukum lain tidak mampu menanggulangi perbuatan yang merugikan. Dalam pengenaan sanksi hukum pidana terdapat hal yang tragis sehingga Hukum Pidana dikatakan sebagai pedang bermata dua. Maksudnya, satu sisi hukum pidana melindungi kepentingan hukum (korban) namun dalam sisi yang lain, pelaksanaannya justru melakukan penderitaan terhadap kepentingan hukum (pelaku), karena demikian, hukum pidana harus dianggap sebagai ultimum remidium (obat terakhir jika hukum lain tak mampu).

DELIK:
1. Delik Aduan

Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang jelas berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Dari jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila terdapat pengaduan dari pihak yang dirugikan, dan hal ini diatur dalam Bab VII Kitab Undang Undang Hukum Pidana tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. Pengaduan merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur dalam Pasal 75 KUHP, hal ini dilakukan agar korban dapat mempertimbangkan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi korban apabila perkara tersebut tetap dilanjutkan, diadakannya delik aduan tersebut untuk melindungi pihak yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat. Dikarenakan delik aduan hanya terjadi apabila ada pengaduan atau pemberitahuan dari pihak yang berkepentingan untuk menindak berdasarkan hukum atas seseorang yang merugikannya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (25) KUHAP, jadi unsur kerugian inilah yang akan menjadi tolak ukur.

Dalam delik aduan ada yang bersifat Absolut atau dengan kata lain yang benar-benar diatur oleh KUHP dan Delik aduan yang bersifat relatif. Contoh delik aduan absolut adalah sebagai berikut : a. pencurian dalam keluarga dan pencurian dalam waktu pisah mejaranjang (schidding van tavel en bed, terdapat pada Pasal 367 ayat (2) KUHP); b. perzinahan (overspelling bagi yang sudah menikah yang diadukan istri atau suami, terdapat pada Pasal 284 KUHP); c. terkait hal membuka rahasia (terdapat pada Pasal 323 KUHP); dan lainlain. Sedangkan delik aduan relatif contohnya terdapat pada : a. penghinaan; dan b. penipuan. Delik aduan bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik pengaduannya dalam jangka waktu 3 bulan setelah pengaduan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 75 KUHP, kecuali perzinahan bagi pasangan yang sudah menikah dapat ditarik sampai dengan pemeriksaan pengadilan belum dimulai sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 284 ayat (4) KUHP. DELIK ADUAN ABSOLUT: BARU DAPAT DITUNTUT BILA ADA ADUAN, YANG DITUNTUT ADALAH PERISTIWA / PERBUATAN EX. PERZINAHAN (PASAL 284 KUHP), PENGHINAAN (PASAL 310 KUHP). DELIK ADUAN RELATIF: BUKAN TINDAK PIDANA ADUAN TAPI BERUBAH JADI TINDAK PIDANA ADUAN KARENA ADA HUBUNGAN KHUSUS PETINDAK DAN KORBAN YANG DITUNTUT ADALAH ORANGNYA, EX. PENCURIAN DALAM KELUARGA (PASAL 367 KUHP) Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran disebutkan oleh UU. Buku II : Kejahatan buku III : Pelanggaran ada dua pendapat, yaitu : 1) Perbedaan secara Kualitatif a. Rechtsdelict(en), artinya perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Pertentangan ini terlepas perbuatan itu diancam pidana dalam suatu per-UU-an atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan. Misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut kejahatan (mala per se). b. Wetsdelict(en), artinya perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena UU menyebutnya sebagai delik. Delik semacam ini disebut pelanggaran (mala quia prohibita)

2) Perbedaan secara Kuantitatif Perbedaan ini didasarkan pada aspek kriminologis, yaitu pelanggaran lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran terdapat pendapat yang menentang. Dalam RUU KUHP pembagian ini tidak dikenal lagi. Istilah yang dipakai adalah Tindak Pidana b. Delik Formil dan Delik Materiil

Delik formil Delik yang perumusannnya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang oleh UU. Perwujudan delik ini dipandang selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti yang tercantum dlam rumusan delik. Misalnya, Pasal 156, 209, 263 KUHP. Delik Materiil Delik yang perumusannnya dititikbertkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini dikatakan selesai bila akibat yang tidak dikendaki itu telah terjadi. Bila belum, maka paling banyak hanya ada percobaan, misalnya : Pasal-pasal 187, 388 atau 378 KUHP. c. Delik Commissionis, Delik Ommissionis dan Delik Commissionis Per Ommissionem Commissa Delik Commissionis Delik berupa pelanggaran terhadap larangan, misalnya berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. Delik Ommissionis Delik berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / diuharuskan. Misalnya, tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan (Pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531 KUHP). Delik Commissionis Per Ommissionem Commissa Delik pelanggaran larangan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misalnya : seorang ibu yang membunuh bayinya dengan tidak menyusui (Pasal 338 atau 340 KUHP) b. Delik dolus (Kesengajaan) dan delik culpa (kealpaan / kelalaian)

Delik dolus (Kesengajaan), misalnya Pasal 187, 197, 338 KUHP Delik culpa (kealpaan / kelalaian), misalnya Pasal 195, 359, 360 KUHP.

c.

Delik tunggal dan delik ganda

Delik tunggal adalah delik yang dilakukan satu kali. Delik ganda adalah delik yang dilakukan berkali-kali, misalnya Pasal 481 KUHP (Penadahan). d. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus

Delik yang berlangsung terus misalnya perampasan kemerdekaan seseorang (Pasal 33 KUHP) e. Delik aduan dan bukan delik aduan

Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan bila ada pengaduan dari pihak yang terkena, misalnya Penghinaan (Pasal 310 jo Pasal 319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), pemerasan (Pasal 335 ayat (1) sub 2 jo. Ayat (2) KUHP). Jo = juncto. Delik aduan dibedakan : 1) Delik aduan absolut, delik yang dapat dituntut atas dasar pengaduan 2) Delik aduan relatif, dalam delik aduan ini ada hubungan istimewa antara pembuat dan korban. * Aduan dan laporan digunakan dalam hukum pidana. Sedangkan gugatan digunakan dalam hukum perdata. f. g. h. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatnya Delok ekonomi dan delik bukan ekonomi. Kejahatan ringan (Misal Pasal 364, 373, 375, dll)

ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA 1. Alasan pembenar (sisi obyektif) - perbuatannya Alasan ini menghapuskan sifat melawan hukum. Diatur dalam KUHP : a. Pasal 48, daya paksa b. Pasal 49 Ayat (1), pembelaan terpaksa c. Pasal 50, peraturan UU d. Pasal 51 Ayat (1), perintah jabatan 2. Alasan pemaaf (sisi sobyektif) - pelakunya. Alasan yang berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab pelakunya. Pelaku dipandang tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Diatur dalam KUHP : a. Pasal 44, tidak mampu bertanggungjawab b. Pasal 48, daya Paksa c. Pasal 49 Ayat (2) ,pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) d. Pasal 50, peraturan UU e. Pasal 51 ayat (2), dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah Alat bukti : surat, akta, keterangan para ahli (187 KUHP) Barang bukti : Berupa barang KEALPAAN (CULPA, SCHULD, NEGLIGENCE, SEMBRONO, TELEDOR) ukurannya : Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku karena dia alpa, sembrono, teeledor, kurang hati-hati, atau kurang menduga-duga. Pembagian kealpaan : 1. Kealpaan yang disadari Pembuat dapat menyadari perbuatan beserta akibatnya, akan tetapi dia mempercayai dan berharap akibat itu tidak akan terjadi. 2. Kealpaan yang tidak disadari Pembuat tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya seharusnya dia dapat menduga sebelum perbuatan dilakukan KESENGAJAAN Pengertian : Mengkehendaki dan mengetahui (willens en wettens) perbuatan yang dilakukan Teori Kesengajaan : 1. Teori kehendak (wilstheorie), adanya kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur tindak pidana dalam UU 2. Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings theorie), pelaku mampu membayangkam akan timbulnya akibat dari perbuatannya. Bentuk atau tingkat kesengajaan : 1. Kesengajaan sebagai maksud / tujuan (opzet als oogmerk) Bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Contoh, A memukul B. Tentunya A menghendaki B sakit, akibat dipukul.

akibat

yang

2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn) Contohnya, A bermaksud menembak B yang berada di dalam ruang kaca. Pecahnya kaca merupakan kesengajaan yang bersifat kepastian yang berdiri sebagai tindak pidana sendiri. 3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk opzet) Contoh, A bermaksud membunuh B dengan bom. Bom dipasang dirumahnya. Akibat ledakan bom memungkinkan sekali akan mengenai orang-orang selain B. KEMAMPUAN BERTANGGUNGJAWAB (TOEREKENINGSVATBAARHEID)

Seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan kriminalnya adalah orang yang berkemampuan bertanggungjawab. Kriteria mampu bertanggung jawab: 1. Orang itu mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum 2. Orang itu dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya. Tidak mampu bertanggung jawab, Memenuhi pasal 44 KUHP, yaitu : 1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gila) 2. Terganggu jiwanya karena penyakit. Tidak mampu betanggungjawab untuk sebagian ditujukan kepada penderita penyakit jiwa : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kleptomanie Pyromanie Claustrophobie Nycotophobia Gynophobia Aerophobia Ochlophobia Monophobia : suka mencuri barang-barang yang kecil (negatif) : suka membakar : takut berada di ruang sempit : takut pada kegelapan : takut pada wanita : takut di tempat tinggi : takut pada orang banyak : takut sendiri / sunyi

Kurang mampu bertanggungjawab. Pelakunya tetap dianggap mampu bertanggungjawab, akan tetapi kekurangan itu dipandang sebagai faktor yang meringankan. Contoh, orang yang jiwanya kurang sempurna. Keterangan ini dikeluarkan oleh dokter jiwa.

Mabok (intoxication / dronkenschap) 1. Mabok yang disebabkan oleh bukan kemauan sendiri maka tidak dipidana 2. Mabok yang memang dikehendaki oleh si pelaku, maka dapat dipidana KESALAHAN Untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak kriminal, diperlukan syarat, yaitu orang itu harus mempunyai kesalahan atau dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Kesalahan itu tidak diatur dalam KUHP atau peraturan lain di luar KUHP, akan tetapi keberlakuannya tidak diragukan / diterima dalam kenyataan. Istilah kesalahan : 1. 2. 3. 4. Tiada pidana tanpa kesalahan Nulla poena sine culpa keine strafe ohne schuld Geen straf zonder schuld

SIFAT MELAWAN HUKUM Adalah salah satu unusr tindak pidana. Perbuatan yang bersifat melawan hukum artinya perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-udanng (KUHP). Pembagian SMH : 1. SMH formil Suatu perbuatan bersifat melawan hukum, bila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam UU. 2. SMH materiil Suatu perbuatan bersifat melawan hukum, tidak hanya bila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai delik dalam UU, akan tetapi termasuk perbuatan di luar UU. Contoh perumusan istilah SMH dalam UU : 1. 2. 3. 4. Melawan hukum Tanpa mempunyai hak untuk itu Tanpa izin Dengan melampaui kewenangannya

5.

Tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT) (3) Teori Generalisasi atau Teori Adekuat Teori ini melihat peristiwa secara ante factum (in abstracto) atau sebelum kejadian. Ukurannnya : dari rentetan syarat itu ada perbuatan yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat, artinya menurut pengalaman hidup biasa atau perhitungan yang layak mempunyai kadar (kans) untuk terjadi akibat itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adaqueat untuk timbulnya akibat, Adaequare : dibuat sama. Oleh karena itu teori ini disebut teori adaequat atau adekuat atau Adaquanzttheorie. Contoh ada atau tidaknya hubungan sebab-akibat yang adekuat adalah : a. Suatu pukulan yang mengenai hidung biasanya mengakibatkan hidung berdarah. Bila orang yang dipukul itu menjadi buta, maka kebutaan ini bukan adekuat. Akibat ini bersifat abnormal. b. Seorang pengendara mobil mengerem mendadak karena ada anak yang menyeberang. Kemendadakan ini mengakibatkan si sopir mendapat serangan jantung. Akibat serangan jantung ini bukan sebab adekuat karena anak menyebrang. c. Seorang gadis mengambil jambu batu dengan sebilah bambu. Jatuhnya jambu ini menimpa atap seng yang menimbulkan suara keras. Kekerasan suara ini ternyata mengakibatkan seorang ibu terkena serangan jantung dan meninggal. Akibat serangan jantung ini pun bukan sebab adekuat atas matinya si ibu tersebut. Ukuran sebab : a. Penentuan Subjektif Yang dianggap sebab ialah si pembuat mengetahui atau memperkirakan perbuatan yang dilakukannya itu dapat menimbulkan akibat semacam itu. (Von Kries) b. Penentuan Objektif Keadaan atau hal-hal yang secara objektif diketahui atau pada umumnya diketahui bahwa suatu perbuatan (sebab) itu dapat menimbulkan akibat. Bukan diketahui oleh si pembuat, melainkan pengetahuan hakim (Rumelin). Terhadap kedua teori diatas dapat dimunculkan kasus sebagai berikut : Seorang majikan sangat membenci pekerjanya, tetapi takut untuk mem-PHKnya. Dia mengkehendaki pekerjanya mati. Pada saat hujun deras yang disertai petir, dia menyuruh pekerjanya pergi ke warung membeli rokok dengan

harapan pekerjanya disambar petir. Harapannya terkabul karena pekerjanya mati tersambar petir. Apakah majikan tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas kematian si pekerja? Menurut teori ekivalensi, dapat. Jika majikan tersebut tidak menyuruhnya keluar maka pekerja itu tidak mati. Pada umumnya konsekuensi teori ini terlalu luas. Oleh karen itu lebih memuaskan memerapkan teori adekuat, yaitu pada umumnya perbuatan menyuruh irang ke tempat lain tidak mempunyai kadar untuk menyebabkan kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir merupakan kebetulan belaka. Dengan demikian tidak ada hubungan kausal, sehingga majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Kelemahan teori adekuat yaitu istilah-istilah yang dipergunakan tidak jelas seperti biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya, dsb. Penganut teori adekuat ini antara lain, simons, Karni, Pompe. Kesimpulan : Teori equivalensi dapat dikatakan sebagai teori kausalitas yang benar, akan tetapi perlu penambahan tentang ada atau tidaknya unsur kesalahan pada pembuat. Demikian pula teori adekuat dapat juga dikatakan sebagai teori yag sesuai dengan jiwa hukum pidana yaitu melindungi kepentingan umum terhdapa perbuatan yang membahayakan. Kausalitas dalam perbuatan yang tidak berbuat, misalnya : a. Seorang ibu membunuh bayinya dengan tidak menyusui b. Orang tua tidak melakukan tindakan apapun sewaktu anaknya dibunuh orang c. Seorang penjaga gudang membiarkan pencuri mengambil barang yang dijaganya Pada awalnya perbuatan dengan cara tidak berbuat timbul pertentangan, tetapi pada akhirnya diakui sebagai pandangan bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. HUBUNGAN SEBAB Individualisasi AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT) (2) Teori

Teori ini melihat peristiwa secara post factum (in concerto) atau setelah peristiwa kongkrit terjadi. Ukurannya dari rentetan kejadian dipilih sebab (faktor yang aktif atau pasif) yang paling menentukan dari peristiwa / kejadian tersebut. Sedangkan faktor yang lain hanya sebagai syarat saja.

Penganut teori ini : a. Birkmayer : Sebab adalah syarat yang paling kuat b. Binding : satu-satunya sebab adalah faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu. HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT) (1) Teori Ekivalensi (equivalentie) Persoalan hubungan sebab akibat (kasualitas) ini penting dalam menelaah delik materiil atau delik yang dikualifikasi oleh akibatnya, misalnya Pasal 187, 194 ayat (2) KUHP. Kadang-kadang suatu perkara pidana sulit diidentifikasi mana yang menjadi sebab atau akibat. Untuk menentukan sebab dari suatu kejadian, maka timbullah beberapa teori kausalita. Teori-teori ini mencoba menetapkan hubungan secara obyektif antara perbuatan dan akibat. Istilah teori ini dapat disebut Aquivalenztheorie atau Bedingungstheorie atau conditio sine qua non dari Von Buri. Teori ini merupakan pangkal dari teori kasulitas yang lain. Teori Ekivalensi : Tiap syarat adalah sebab dan semua syarat itu nilainya sama karena kalau satu syarat tidak ada, maka akibatnya akan lain pula. Keunggulan teori ekivalensi ini adalah mudah diterapkan karena teori ini menarik secara luas pertanggungjawaban pidana. Kritik atau keberatan yang muncul terhadap teori ini adalah hubungan kausal yang membentang ke belakang tanpa khir karena tiap sebab sebenarnya merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Contoh, B ditikam A sampai mati. Yang menjadi sebab tidak hanya karena ditikam pisau oleh A, tetapi juga penjualan pisau kepada A, bahkan pembuatan pisau. Adanya kebertan ini yang mendorong teori-teori lain yang membatasi teori ekivalensi. PERBUATAN (TAT-HANDLUNG HANDELING, GEDRAGING) Unsur pertama tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan seseorang. Perbuatan meliputi berbuat atau tidak berbuat. Pengertian Perbuatan : 1. Simons, dalam arti yang sesungguhnya handelen (berbuat), mempunyai sifat aktif, tiap gerak yang dikehendaki dan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat 2. Pompe, pPerbuatan itu dapat dilihat dari luar dan diarahkan pada suatu tujuan yang menjadi sasaran norma-norma

Untuk mengetahui perbuatan yang dilarang atau diperintahkan dapat dilihat dari kata kerja yang terdapat dalam rumusan delik yang bersangkutan Ada sejumlah gerakan badan yang tidak termasuk perbuatan, antara lain : 1. Gerakan badan yang tidak dikehendaki, daya paksa yang absolut (vis absoluta) 2. Gerakan refleks 3. Gerakan badan yang dilakukan dalam keadaan tidak sadar, misalnya karena penyakit seperti epilepsi, mengigau, gegar otak, mabok, berbuat pada waktu tidur, pingsan dan dihipnotis. Penentuan kualitas ketidaksadaran ini harus menghadirkan seorang ahli kedokteran kehakiman atau dokter. TINDAK PIDANA (1) Istilah Tindak Pidana a. b. c. d. e. f. g. h. para Strafbaarfeit Delik (delict) Peristiwa pidana (E. Utrecht) Perbuatan pidana (Moeljatno) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum Hal yang dapat diancam dengan hukum Perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman Tindak pidana (istilah ini merupakan pendapat Sudarto dan diikuti oleh pembentuk UU)

TINDAK PIDANA (2) Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan dalam kriminologis adalah [perbuatan manusia yang memperkosa / menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara kongkret. Pengertian tindak pidana menurut Moeljatno dibedakan dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya orang. Dibedakan pula perbuatan pidana (criminal act) dengan pertanggungjawaban pidana (criminal reponsibility / liability). Moeljatno penganutpandangan dualistis yang berbeda dengan pandangan monistis Pandangan dualistis Pandangan yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkannya si

pembuat (criminal responsibility atau mens rea). Mens rea : criminal intent atau sikap batin jahat. Di negara yang menganut sistem Anglo Saxon berlaku asas atau maxim mens rea : Actus non facit reum nisi mens sit rea (an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty) Penganut pandangan dualistis adalah H.B. Vos, WPJ, Pompe dan Moeljatno, contohnya : Moeljatno, unsur-unsur perbuatan (tindak) pidana : a. perbuatan manusia b. memenuhi rumusan UU (syarat formil : sebagai konsekuensi adanya asas legalitas) c. bersifat melawan hokum (syarat materiil : perbuatan harus betul-betul dirasakan oelh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat) d. Kesalahandan kemampuan bertanggungjawab tidak masuk sebagai unsure perbautan pidana karena unsur ini terletak pada orang yang berbuat. Pandangan Monistis Keseluruhan syarat untuk adanya pidana merupakan sifat dari perbuatan. Penganut pandangan monistis adalah : Simons, Van Hamel, E. Mezger, J. Baumann, Karni dan Wirjono Prodjodikoro. Definisi yang dikemukakan : tidak adanya pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, misalnya : Simons, unsur-unsur tindak pidana : a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan) b. diancam dengan pidana c. melawan hukum d. dilakukan dengan kesalahan e. orang yang mampu bertanggungjawab. Kesimpulan terhadap perbedaan antara pandangan monistis dan dualistis : a. Untuk menentukan adanya pidana, kedua pandangan ini tidak mempunyai perbedaan yang prinsipiil b. Bagi yang berpandangan monistis, orang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana

c. Bagi yang berpandangan dualistis, orang yang melakukan tindak pidana belum mencukupi syarat untuk dipidana karena harus disertai pertanggungjawaban pidana yang ada pada diri orang yang berbuat. Unsur-unsur tindak pidana pemidanaan menurut Sudarto : Syarat pemidanaan -> pidana Mencakup: 1. a. b. 2. a. b. Perbuatan memenuhi rumusan UU bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) Orang (Berupa Kesalahan / Pertanggungjawaban) mampu bertanggung jawab dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf)

TINDAK PIDANA (3) Rumusan Tindak Pidana Syarat untuk memungkinkan adanya penjatuhabn pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam UU. Ini merupakan konsekuensi logis dar asas legalitas sebagai prinsip kepastian. Perumusan delik dalam KUHP biasanya dimulai denga kata barangsiapa kemudian diikuti penggambaran perbuatan yang dilarang atau yang tidak dikehendaki atau diperintahkan oleh UU. Penggambaran perbuatan ini tidak dihubungkan dengan tempat dan waktu, tidak kongkrit dan disusun secara skematis. Misalnya, Pasal 338 KUHP menggambarkan secara skematis syarat-syarat yang harus ada pada suatu perbuatan agar dapat dipidana berdasarkan pasal (pembunuhan) tersebut. Dalam setiap per-UU-an hukum pidana selalu disertai perumusan norma hukum dan sanksi. Perumusan normanya ada 3 (tiga) cara : a. diuraikan atau disebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan (perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan, misalnya pasal 154, 281 dan 305. b. tidak diuraikan, tetapi hanya disebutkan kualifikasi delik, misal 297. 351. karen tidak disebutkan unsurnya secara tegas, maka perlu penafsiran historis (contoh: penganiayaan, tiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan ditujukan kepada orang lain yang mengakibatkan sakit atau luka). Cara ini

tidak dibenarkan karena memunculkan penafsiran yang berbeda-beda sehingga tidak menjamin kepasatian hukum. c. penggabungan cara pertama dan kedua, misalnya pasal 124, 263, 338, 362, dll. Penempatan norma dan sanksi ada 3 (tiga) cara : a. Penempatan norma dan sanksi sekaligus dalam satu pasal. Cara ini dilakukan dalam Buku II dan III KUHP kecuali pasal 112 sub 2 KUHP b. Penempatan terpisah, artinya norma hukum dan sanksi pidana ditempatkan dalam pasal atau ayat yang terpisah. Cara ini diikuti dalam peraturan pidana di luar KUHP. c. sanksi pidana talah dicantumkan terlebih dahulu, sedangkan normanya belum ditentukan. Cara ini disebut ketentuan hukum pidana yang blanko (Blankett Strafgesetze) tercantum dalam pasa 122 sub 2 KUHP, yaitu noramnya baru ada jika ada perang dan dibuat dengan menghubungkannya dengan pasal ini. TINDAK PIDANA (4) Jenis-Jenis Tindak Pidana

a.

Kejahatan dan pelanggaran

Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran disebutkan oleh UU. Buku II : Kejahatan buku III : Pelanggaran. Ada dua pendapat : 1) Perbedaan secara Kualitatif a) Rechtsdelict(en), artinya perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Pertentangan ini terlepas perbuatan itu diancam pidana dalam suatu per-UUan atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan. Misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut kejahatan (mala per se). b) Wetsdelict(en), artinya perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena UU menyebutnya sebagai delik. Delik semacam ini disebut pelanggaran (mala quia prohibita) 2) Perbedaan secara Kuantitatif Perbedaan ini didasarkan pada aspek kriminologis, yaitu pelanggaran lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran terdapat pendapat yang menentang. Dalam RUU KUHP pembagian ini tidak dikenal lagi. Istilah yang dipakai adalah Tindak Pidana

b.

Delik Formil dan Delik Materiil

Delik formil Delik yang perumusannnya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang oleh UU. Perwujudan delik ini dipandang selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti yang tercantum dlam rumusan delik. Misalnya, Pasal 156, 209, 263 KUHP. Delik Materiil Delik yang perumusannnya dititikbertkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini dikatakan selesai bila akibat yang tidak dikendaki itu telah terjadi. Bila belum, maka paling banyak hanya ada percobaan, misalnya : Pasal-pasal 187, 388 atau 378 KUHP. c. Delik Commissionis, Delik Ommissionis dan Delik Commissionis Per Ommissionem Commissa Delik Commissionis Delik berupa pelanggaran terhadap larangan, misalnya berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. Delik Ommissionis Delik berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / diuharuskan. Misalnya, tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan (Pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531 KUHP). Delik Commissionis Per Ommissionem Commissa Delik pelanggaran larangan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misalnya : seorang ibu yang membunuh bayinya dengan tidak menyusui (Pasal 338 atau 340 KUHP) b. Delik dolus (Kesengajaan) dan delik culpa (kealpaan / kelalaian)

Delik dolus (Kesengajaan), misalnya Pasal 187, 197, 338 KUHP Delik culpa (kealpaan / kelalaian), misalnya Pasal 195, 359, 360 KUHP. c. Delik tunggal dan delik ganda

Delik tunggal adalah delik yang dilakukan satu kali. Delik ganda adalah delik yang dilakukan berkali-kali, misalnya Pasal 481 KUHP (Penadahan). d. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus

Delik yang berlangsung terus misalnya perampasan kemerdekaan seseorang (Pasal 33 KUHP) e. Delik aduan dan bukan delik aduan

Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan bila ada pengaduan dari pihak yang terkena, misalnya Penghinaan (Pasal 310 jo Pasal 319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), pemerasan (Pasal 335 ayat (1) sub 2 jo. Ayat (2) KUHP). Jo = juncto. Delik aduan dibedakan : 1) Delik aduan absolut, delik yang dapat dituntut atas dasar pengaduan 2) Delik aduan relatif, dalam delik aduan ini ada hubungan istimewa antara pembuat dan korban. * Aduan dan laporan digunakan dalam hukum pidana. Sedangkan gugatan digunakan dalam hukum perdata. f. g. h. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatnya Delok ekonomi dan delik bukan ekonomi. Kejahatan ringan (Misal Pasal 364, 373, 375, dll)

TINDAK PIDANA (5) Subjek Tindak Pidana Subjek tindak pidana dalam KUHP adalah manusia. Adapun badan hukum, perkumpulan atau korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana bila secara khusus ditentukan dalam UU (di luar KUHP). Sedangkan mayat, hewan atau benda mati yang tidak dapat melakukan tindak pidana otomatis tidak dapat dituntut pidana sekaligus tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (1) Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Waktu (Asas legalitas) Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan yang tercela (jahat) adalah adanya suatu ketentuan dalam UU Pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela tersebut yang disertai suatu sanksi. Asas Legalitas mensyaratkan terikatnya hakim pada UU. Demikian pula Hukum Acara Pidana agar dijalankan menurut cara yang telah diatur dalam UU.

Ada 6 (enam) aspek dalam Asas Legalitas, yaitu : a. b. c. d. e. f. tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut UU tidak ada penerapan undang-undang pidana secara analogi tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan UU

Asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin : Nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenalli. Yang diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Tiada suatu peerbuatan dapat dipidana kecuali atas kekeuatan aturan pidana dalam peraturan perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Berdasarkan pasal diatas dapat dirinci: a. suatu tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam per-UU-an Hukum Pidana b. Per-UU-an Hukum pidana ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana atau tidak boleh berlaku surut (retro aktif) Ketentuan ini menimbulkan 2 (dua) konsekuensi : a. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam UU tidak dapat dipidana. Hukum yang tidak tertulis tidak berkekuatan untuk diterapkan b. Adanya Larangan menggunakan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana. Larangan ini berfungsi mencegah tindakan sewenang-wenang dari pengadilan / penguasa. Analogi : memperluas berlakunya suatu peraturan. Analogi tidak sama dengan penafsiran. Macam-macam penafsiran : a. b. c. d. e. f. Penafsiran secara ekstensif (memperluas) Penafsiran secara teleologis (sosiologis) Penafsiran menurut tata bahasa (gramatikal) Penafsiran secara sistematis Penafsiran menurut sejarah terbentuknya peraturan (historis) Penafsiran otentik (Bab IX Buku I KUHP)

Hukum pidana tidak boleh berlaku aktif karena : a. menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa / pengadilan

b. Pidana dipandang sebagai paksaan psikologis (psychologische dwang), artinya penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat (tindak pidana) untuk tidak berbuat karena adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana. Teori ini disebut teori paksaan psikis (Theorie des psychischen zwanges) dari Anslem von Feuerbach. Ketentuan tidak boleh berlaku surut dapat diterobos atau dikesampingkan oleh pembentuk UU. Hal ini berlaku asas : Lex posterior derogat legi priori (apabila ada dua ketentuan yang sama tingkatannya, maka peraturan yang ditetapkan kemudian mendesak peraturan terdahulu) Pengecualian larangan berlaku surut diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, maka dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa). Bila ada perubahan, maka timbul Hukum Transitoir, artinya hukum yang harus diterapkan bila ada perubahan dalam per-UU-an. Hukum Transitoir disebut Hukum peralihan karena mengatur peralihan dari hukum yang lama ke hukum yang baru. Bila ada perubahan per-UU-an: a. Inggris : Ketentuan yang diterapkan adalah peraturan yang masih berlaku pada saat delik dilakukan b. Swedia : Peraturan baru c. KUHP Indonesia : Berdiri di tengah-tengah. Dasarnya adalah lex temporis delicti akan tetapi bila peraturan yang baru lebih meringankan terdakwa, maka peraturan yang baru inilah yang berlaku. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (2) Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Tempat Wilayah suatu negara meliputi : a. b. c. a. daratan perairan laut teritorial Udara yang ada di atas wilayah negara itu Asas Teritorial

Asas ini diatur dalam Pasal 2 KUHP Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di wilayah Indonesia

Setiap orang yang dimaksud adalah baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia. Asas ini menyangkut tempat terjadinya delik. Namun dalam melakukan tindak pidana orang tidak perlu berada di wilayah Indonesia, misalnya tindak pidana yang dilakukan di atas kapal Indonesia (Pasal 3 KUHP) b. Asas Nasional Aktif (Personal / Personalibet)

Asas ini memberlakukan KUHP terhadap orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan di luar wilayah Indonesia. Asas ini mengatakan, Peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap WNI yang melakukan tindak pidana, baik di dalam maupun di luar negeri. Seolah-olah hukum pidana mengikuti WNI. Bila kejahatan dilakukan di dalam negeri tidak menimbulkan persoalan, tetapi bila ia dilakukan di luar negeri maka dalam Pasal 5 KUHP disebutkan kejahatannya meliputi : a. Kejahatan terhadap keamanan negara, martabat presiden, penghasutan, penyebaran surat penghasutan, membuat tidak cakap untuk dinas militer, bigami dan perampokan. b. Perbuatan yang dilakukan merupakan kejahatan yang diatur dalam perUU-an pidana Indonesia, demikian pula di negara lain tempat tindak pidana dilakukan itu diancam dengan pidana c. Asas Perlindungan (Nasional Pasif)

Peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik dilakukan oleh WNI maupun WNA yang dilakukan di luar Indonesia. Dengan kata lain memberlakukan KUHP terhadap siapa saja baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan negara. Bentuk-bentuk kejahatan diatur dalam Pasal 4 sub 1, 2, 3 Pasal 7, dan Pasal 8 KUHP. d. Asas Universal

Peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap WNI atau WNA, baik di dalam atau di luar negeri. Asas ini menyangkut penyelenggaraan hukum cunia atau ketertiban hukum dunia. Dengan kata lain, memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan Internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan Negara manapun.

Tindak pidana yang dimaksud diatur dalam Pasal 4 sub 2 dan 4 KUHP. Kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan Internasional. Dalam Pasal 9 diatur pengecualian yang diatur dalam Pasal 2, 5, 7 dan 8. Khususnya berkaitan dengan Pasal 2 menyangkut perkecualian yang diakui dalam hukum Internasional, seperti : Kepala Negara asing Duta / duta besar atau perwakilan negara asing Anak Buah Kapal perang asing Mereka ini mendapatkan hak kekebalan Diplomatik berdasarkan asas Exterritorialitas atau immunitas (kekebalan) ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (3) Tempat Terjadinya Tindak Pidana ( Locus Delicti) Untuk menuntut seorang pelaku tindak pidana, maka harus pasti tentang waktu dan tempat terjadinya tindak pidana. Waktu untuk menentukan suatu UU itu dapat diterapkan atau tidak. Sedangkan tempat untuk menetukan UU Pidana Indonesia dapat diberlakukan atau tidak dan menentukan pengadilan yang berkompeten untuk mengadili orang yang melakukan tindak pidana (kompetensi relatif). Untuk mendapatkan locus delicti ada 3 (tiga teori) : a. Teori perbuatan materiil (jasmaniah). Tempat tindak pidana (locus delicti) ditentukan oleh adanya perbuatan jasmaniah yang dilakukan oleh si pembuat dalam mewujudkan tindak pidana itu. b. Teori instrumen (alat). Tempat tindak pidana ialah tempat bekerjanya alat yang dipakai oleh si pembuat. c. Teori Akibat. Locus delicti adalah tempat terjadinya akibat di dalam delik itu. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (4) Asas Ubikuitas Asas ini lebih berperan dalam menanggulangi masalah juridiksi yang ditimbulkan oleh internet. Misalnya Cyber Crime (Tindak Pidana di dunia maya) karena sistem hukum dan juridiksi nasional / teritorial mempunyai keterbatasan sehingga tidak mudah menjangkau pelaku tindak pidana di ruang maya yang tidak terbatas. Untuk menghadapi kejahatan tanpa batas wilayah itu, dapat digunakan asas universal atau prinsip Ubikuitas (The principle of Ubiquity) atau Omnipresent (everywhere at the same time). Secara harfiah, ubikuitas artinya ada atau hadir di mana-mana.

Prinsip ubikuitas adalah prinsip yang menyatakan bahwa delik-delik yang dilakukan atau terjadi sebagian di wilayah teritorial negara dan sebagian di luar teritorial negara harus dapat dibawa ke dalam juridiksi setiap negara yang terkait. Aliran Dalam Hukum Pidana (1) Aliran Klasik Aliran ini merupakan reaksi terhadap ancien regime di Perancis pada abad ke18 yang menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan di hadapan hukum dan ketidakadilan. Aliran ini mengkehendaki hukum pidana disusun secara sistematis dan menitikberatkan kepastian hukum. Berdasarkan pandangan indeterministis mengenai kebebasan berkehendak manusia, aliran klasik meitikberatkan kepada perbuatan. Tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Hukum pidana yang dikehendaki adalah hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht). pada prinsipnya hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan.Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Aliran ini membatasi kebebasan hakim dalam menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan. Hakim hanya merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur. Dikenal the definite setence yang sangat kaku (rigid) seperti dalam Code Perancis 1791. Pidana yang ditetapkan UU tidak mengenal sistem peringanan atau pemberatan.

Dalam perkembangannya, sistem yang kaku ini dipengaruhi oleh aliran modern, maka timbullah aliran Neoklasik yang menitikberatkan pada pengimbalan dari kesalahan si pembuat. (ex : Code Penal Perancis 1810). Sistem yang dianut adalah the indefinite sentence. Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut : Definisi hukum dari kejahatan Pidana harus sesuai dengan kejahatannya Doktrin kebebasan berkehendak Pidana mati untuk beberapa tindak pidana Tidak ada riset empiris; dan

Pidana yang ditentukan secara pasti. Aliran klasik berpijak pada tiga tiang : a. Asas legalitas - tiada pidana tanpa undang-undang - tiada tindak pidana tanpa undang-undang - tiada penuntutan tanpa undang-undang b. Asas kesalahan : Tiada pidana tanpa kesalahan(kesengajaan atau kealpaan) c. Asas pengimbalasan : pembalasan

Tokoh aliran klasik : 1. Cesare Beccaria (1738-1794) Dalam bukunya Dei delitti e delle pene (On crimes and Punishment). Pidana harus cocok dengan kejahatan (punishment should fit the crime). Beccaria meyakini konsep kontrak sosial dimana individu menyerahkan kebebasan atau kemerdekaannya secukupnya kepada negara. Hukum harusnya hanya ada untuk melindungi dan mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang dikorbankan terhadap persamaan kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain. Prinsip dasar yang digunakan sebagai pedoman adalah kebahagiaan yang terbesar untuk orang sebanyak-banyaknya 2. Jeremy Bentham The greatest good must go to the greatest number (kebaikan yang terbesar harus untuk rakyat yang jumlahnya terbesar). Teori yang diciptakannya : Felicific Calculus artinya manusia merupakan ciptaan yang rasional yang memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sehingga kesusahan akan lebih berat daripada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Jeremy Bentham melihat suatu prinsip baru yaitu utilitarian yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sistem yang irrasional yang absolut, tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur. Bentham menyatakan bahwa hukum pidana jangan dijadikan sarana pembalasan tetapi untuk mencegah kejahatan. Aliran Dalam Hukum Pidana (2) Aliran Modern (Positive School)

Muncul pada abad ke-19. Pusat perhatian : Pembuat. Aliran ini disebut juga aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Inti ajaran : Perbuatan seseorang itu harus dilihar secara konkrit bahwa perbuatan itu dipengaruhi oleh factor watak, biologis dan lingkungan kemasyarakatan. Aliran ini bertitik tolak pada pandangan determinisme karena manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak, tetapi dipengruhi oleh watak dan lingkungannya. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan bahwa kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak mudah begitu saja dimasukkan ke dalam perumusan undang-undang. Ciri-ciri aliran modern : Menolak definisi hukum dari kejahatan Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana Doktrin determinisme Penghapusan pidana mati Riset empiris; dan Pidana yang tidak ditentukan secara pasti. Menurut pandangan modern, hakim mempunyai kekuasaan menentukan : a. Jenis pidana (strafsoort) b. Berat ringannya pidana (strafmaat) c. Cara menjalankan pidana (strafmodliteit / strafmodus) Pada awalnya penganut aliran modern adalah Lacassagne, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo. : Cesare dalam

Lombrosso,

Lambroso menganjurkan bahwa pidana tidak ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (the indeterminate sentence), pidana mati merupakan seleksi

terakhir yang bilamana penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap mengulangi kejahatan yang mengancam masyarakat dan korban kejahatan harus diberi kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh penjahat dan ia memberi tekanan yang besar pada pencegahan kejahatan. Ferri menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju kejahatan tetapi bilamana ia mempunyai lingkungan yang baik maka ia akan hidup terus tanpa melanggar pidana ataupun hukum moral, kejahatan terutama dihasilkan oleh tipe masyarakat darimana kejahatan itu datang, oleh karena itu pembuat undang-undang harus selalu memperhitungkan faktorfaktor ekonomi, moral, administrasi dan politik di dalam tugasnya sehari-hari, dan kejahatan hanya dapat diatasi dengan mengadakan perubahanperubahan di masyarakat. Gorofalo mengusulkan konsep kejahatan natural (natural crime) yang merupakan pengertian paling jelas untuk menggambarkan perbuatanperbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa pidana. Setelah PD II, aliran ini berkembang menjadi aliran / gerakan perlindungan masyrakat, dengan tokohnya Filippo Gramactica dalam tulisannya La Lotta Contra la Pena (The Fight against Punishment). Perlindungan masyarakat (law of Social Defence) harus menggantikan hukum pidana yang sudah ada.Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan ide-ide atau konsep perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Aliran Dalam Hukum Pidana (3) Aliran Neoklasik (Neoclassical School) Berkembang pada abad ke-19 yang memiliki basis sama dengan aliran klasik, yaitu kepercayaan pada kebebasan kehendak (indeterminisme). Penganut aliran Neoklasik beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan. Perbaikan ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Salah satu sumbangan terpenting : masuknya kesaksian ahli di pengadilan untuk membantu juri dalam mempertimbangkan derajat pertanggungjawaban seorang pelaku tindak pidana.

Karakteristik aliran neo klasik adalah sebagai berikut : Modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak, yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain; Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan; Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban untuk mengadakan peringatan pemidanaan, dengan kemungkinan adanya pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyakit jiwa usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan; dan; Masuknya kesaksian ahli di dalam acara peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban Determinisme dan Indeterminisme Dualisme istilah ini berkisar pada pesoalan, apakah seorang manusia pada hakikatnya adalah bebas dari pengaruh (indeterminisme) atau justru selalu terpengaruh oleh kekuatan dari luar (determinisme) Kata determiner dalam bahasa Prancis bahkan berarti menentukan Determinisme adalah bahwa kekuatan menentukan dari luar itu adalah termasuk tabiat atau watak dari seorang dan alasan yg mendorong orang itu untuk pada akhirnya mempunyai kehendak tertentu itu, dan kekuatan2 ini didorong pula oleh keadaan dalam masyarakat tempat orang itu hidup. Jadi kehendak melakukan perbuatan pidana menurut determinisme dikarenakan kehendak itu selalu ditentukan oleh kekuatan itu. Sedangkan indeterminisme seseorang melakukan suatu kejahatan, menurut faham indeterminisme dianggap mempunyai kehendak untuk itu, mungkin tanpa dipengaruhi kekuatan2 luar tersebut diatas. Teori-Teori Pemidanaan 1. Teori Absolut atau Pembalasan (retributive) Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Penganut teori ini adalah : telah melakukan suatu

a. Immanuel Kant (Philosophy of Law) Seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan (Kategorische Imperiatief) b. Hegel Pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara

yang merupakan perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan Negation der Negation (pengingkaran terhadap pengingkaran). Teori Hegel ini dikenal sebagai quasi mahte-matics, yaitu : 1) wrong being (crime) is the negation of right 2) punishment is the negation of that negation Menurut Nigel Walker, penganut teori retributif dibagi dalam beberapa golongan : 1) Penganut teori retributif murni (the pure retributivist). Pidana harus sepadan dengan kesalahan. 2) Penganut teori retributif tidak murni, dapat dibagi : a) Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) Pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan, namun tidak melebihi batas kesepadanan dengan kesalahan terdakwa. Kebanyakan KUHP disusun sesuai dengan teori ini yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batas maksimum tersebut. b) Penganut teori retributif yang distributif. Pidana jangan dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi tidak harus sepadan dan dibatasi oleh kesalahan X strict liability

2.

Teori Relatif atau Tujuan (Utilitarian)

Penjatuhan pidana tidak untuk memuaskan tuntutan absolut (pembalasan) dari keadilan, tetapi pembalasan itu sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat, teori itu disebut : a. b. c. yang Teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence ; atau Teori reduktif (untuk mengurangi frekuensi kejahatan) ;atau Teori tujuan (utilitarian theory), pengimbalan mempunyai tujuan tertentu bermanfaat.

Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (orang berbuat kejahatan) melainkan ne peccetur (agar orang tidak melakukan kejahatan). Seneca Nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccetur (No reasonable man punishes because there has been a wrong doing, but in order that there should be no wrong doing : Tidak seorang pun layak dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat).

Tujuan Pidana untuk pencegahan kejahatan : a. Prevensi spesial / pencegahan spesial (special deterrence) Pengaruh pidana terhadap terpidana (Bedakan : tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana) b. Prevensi general / pencegahan umum (general deterrence) Pengaruh pidana / pemidanaan terhadap masyarakat pada umumnya

3.

Teori Gabungan

Pembalasan sebagai asas pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui pembalasan yang adil. Dalam ajaran ini diperhitungkan adanya pembalasan, prevensi general, serta perbaikan sebagai tujuan pidana. Penganut teori ini : Pellegrino Rossi, Binding, Merkel, Kohler, Richard Schmid dan Beling. Tujuan Pidana (Pemidanaan) : a. To prevent recidivism (mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana) b. To deter other from the performance of similar acts (mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana) c. To provide a channel for the expression of retaliatory motives (menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam) d. To avoidance of blood feuds (untuk menghindari balas dendam) e. The educational effect (adanya pengaruh yang bersifat mendidik) f. The peace-keeping function (mempunyai fungsi memelihara perdamaian) g. To create a possibility for the release of emotions that are aroused by the crime (menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncang-guncangkan adanya kejahatan) h. A ceremonial reaffirmation of the societal values that are violated and challenged by the crime (penegasan kembali nilai-nilai kemasyarakatan yang telah dilanggar dan dirubah oleh adanya kejahatan) i. To reinforcing social values (memperkuat kembali nilai-nilai social) j. To allaying public fear of crime (menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan) k. To conflict resolution (penyelesaian konflik) l. To influencing offenders and possibility other than offenders toward more or less Law-conforming behavior (mempengaruhi para pelanggar dan orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hokum).

You might also like