You are on page 1of 11

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA MENURUT UUD 1945

1. Pengertian Sistem Pemerintahan Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk hubungan antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif (Sri Soemantri, 1981:76). Sir Walter Bagehot (1955) kemudian membedakan antara sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Meskipun sebenarnya Bagehot hanya sekedar mencoba untuk memperbandingkan antara sistem yang berlaku di Inggris dan di Amerika Serikat, namun pembedaan ini lalu menjadi klasifikasi pokok bagi sistem pemerintahan itu sendiri. Namun demikian uraian tentang sistem pemerintah Indonesia di sini akan sedikit diperluas. Tidak hanya meliputi hubungan antara Presiden yang merupakan lembaga eksekutif dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif semata. Uraian di sini juga akan meliputi penjelasan sekedarnya tentang lembaga-lembaga ketatanegaraan Indonesia yang lain. 2. Perbandingan antara Indische Staatsregeling dengan UUD 1945 Rupanya secara umum telah diyakini bahwa sistem pemerintahan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) itu adalah sistem presidensial. Keyakinan ini secara yuridis samasekali tidak berdasar. Tidak ada dasar argumentasi yang jelas atas keyakinan ini. Apabila diteliti kembali struktur dan sejarah penyusunan UUD 1945 maka tampaklah bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 itu adalah sistem campuran. Namun sistem campuran ini bukan campuran antara sistem presidensial model Amerika Serikat dan sistem parlementer model Inggris. Sistem campuran yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintahan campuran model Indische Staatsregeling (konstitusi kolonial Hindia Belanda) dengan sistem pemerintahan sosialis model Uni Sovyet.
1

Semua lembaga negara kecuali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), merupakan turunan langsung dari lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda dahulu, yang berkembang melalui pengalaman sejarahnya sendiri sejak zaman VOC. Sementara itu, sesuai dengan keterangan Muhammad Yamin (1971) yang tidak lain adalah pengusulnya, MPR itu dibentuk dengan mengikuti lembaga negara Uni Sovyet yang disebut Sovyet Tertinggi. Secara ringkas, maka apabila lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda menurut Indische Staatsregeling dan lembaga-lembaga negara Indonesia menurut UUD 1945 tersebut disejajarkan, maka akan tampak sebagai berikut: Majelis Permusyawaratan Rakyat Sovyet Tertinggi Presiden/Wakil Presiden Gouverneur Generaal/ Luitenant Gouverneur Generaal Dewan Pertimbangan Agung Raad van Nederlandsch-Indie Dewan Perwakilan Rakyat Volksraad Badan Pemeriksa Keuangan Algemene Rekenkamer Mahkamah Agung Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie

3. Hubungan antara Presiden dengan DPR Alur berpikir seperti terurai di atas dapatlah membantu kita untuk memahami mengapa Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu memiliki kekuasaan yang luar biasa besar. Hal ini dapat dimengerti, sebab Gouverneur Generaal, yang kekuasaannya ditiru oleh UUD 1945 dalam bentuk kekuasaan Presiden itu, adalah viceroy Belanda. Di tangan Gouvernuer Generaal-lah, kekuasaan tertinggi atas Hindia Belanda itu terletak. Atas dasar itulah maka dapat dimengerti bahwa Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu relatif omnipotent. Di lain pihak, DPR yang merupakan turunan Volksraad-pun tidak dapat melepaskan diri dari sifat-sifat Volksraad itu sendiri. Volksraad pada masa penjajahan Belanda itu dibentuk sebagai wakil rakyat Hindia Belanda, yang berhadapan dengan Gouverneur Generaal yang mewakili Mahkota Belanda itu. Fungsi Volksraad dengan demikian pertama-tama adalah sebagai lembaga pengawas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, bukan sebagai lembaga legislatif. Lembaga legislatif Hindia Belanda tetaplah Gouverneur Generaal itu sendiri. Pola hubungan ini diikuti oleh UUD 1945 (sebelum amandemen). DPR pertama-tama adalah lembaga pengawas Presiden, dan bukan lembaga legislatif. Lembaga legislatif menurut UUD 1945 adalah Presiden (bersama dengan DPR). Namun dalam Sidangnya pada tanggal 19 Oktober 1999 MPR membatasi kekuasaan Presiden, dan mengalihkan kekuasaan legislatif dari Presiden bersama DPR tersebut kepada DPR (bersama Presiden). Konstruksi konstitusional ini lebih mirip dengan konstruksi model Inggris. Kekuasaan legislatif di Inggris sepenuhnya ada di tangan Parliament, meskipun pengesahan secara nominal tetap ada di tangan Raja. Presiden dengan demikian bertindak sebagai the royal gouvernment, dan DPR bertindak sebagai the loyal opposition. 4. Kedudukan MPR Pada awalnya MPR mempunyai fungsi yang persis sama dengan fungsi Sovyet Tertinggi di Uni Sovyet atau Majelis Nasional di Republik Tiongkok (yang masih
3

lestari berlaku di Taiwan dan Republik Rakyat Cina itu). MPR seperti halnya Sovyet Tertinggi maupun Majelis Nasional merupakan pelaksana Kedaulatan Rakyat. Dalam rangka itu MPR membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan menjadi pedoman kerja pemerintahan selama lima tahun ke depan. Akan tetapi MPR pada prinsipnya tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan yang sebenarnya merupakan kewenangannya itu. Untuk itu maka MPR memberikan mandat pemerintahan itu kepada Kepala Negara (yang bergelar Presiden itu). Itu sebabnya maka maka Kepala Negara merupakan Mandataris MPR, yang tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Hal inilah yang mendasari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas pemerintahan di Indonesia itu. Hal ini mirip dengan sistem di Uni Sovyet pula. Sovyet Tertinggi menyerahkan mandat pemerintahan kepada Presidium Sovyet Tertinggi, yang bersifat kolektif itu (Denisov, A. dan M. Kirichenko, 1960). Lebih jauh, dengan demikian tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa Presiden itu berfungsi sebagai Kepala Negara seperti halnya sistem presidensial model Amerika Serikat (Thomas James Norton, 1945). Berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945, MPR memegang kekuasaan negara yang tertinggi. Untuk kemudian MPR mengangkat Kepala Negara yang bergelar Presiden itu. Dengan demikian jabatan yang menjalankan pemerintahan itu adalah Kepala Negara, sedangkan Presiden itu hanyalah gelar dari Kepala Negara Indonesia semata. Sebaliknya tidak tepat pula apabila dikatakan bahwa Presiden Indonesia itu juga merangkap sebagai Kepala Pemerintahan seperti Perdana Menteri Inggris (William A. Robson, 1948 dan Wade, E.C.S & Godfrey Phillips, 1970). Hal ini mengingat bahwa Presiden Indonesia itu mendapat mandat pemerintahan dari Pemegang Kedaulatan Rakyat, dan bukan dari Parlemen. Namun politik hukum Indonesia sejak Masa Reformasi telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara signifikan. Ada upaya untuk melakukan amerikanisasi sistem pemerintahan Indonesia. Sejak awal masa Reformasi, ada upaya nyata untuk menghapus eksistensi MPR ini, dan diubah menjadi sistem
4

pemerintahan model Amerika Serikat. Pada ini muncul lembaga negara yang samasekali baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Secara politis, lembaga ini merupakan akomodasi dari hilangnya Fraksi Daerah dalam susunan MPR. Akan tetapi dari sudut kelembagaan itu sendiri, lembaga baru ini menjadi semacam lembaga Senate dalam susunan Congress di Amerika Serikat. Dengan demikian susunan MPR itu sendiri terdiri atas DPR dan DPD, mirip dengan susunan Congress, yang terdiri atas Senate dan House of Representatives itu. Bedanya, DPD di Indonesia itu tidak diberi kewenangan apapun, kecuali hanya memberi usulan dan pertimbangan. Sesuatu yang sangat tidak efisien dan efektif. Perbandingan tugas dan fungsi MPR sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945: Fungsi sebelum dan sesudah amandemen sama, yaitu a. Sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak menindas rakyat sehingga kekuasaan tidak dijalankan secara sewenangwenang b. Sebagai pemegang kekuasaan legislatif untuk menjalankan keinginan rakyat yang diinterprestasikan dalam undang-undang dan juga sebagai pembuat UndangUndang Dasar (supreme legislative body of some nations). Sedangkan tugas sebelum dan sesudah berbeda, yaitu : Sebelum: 1) Menetapkan Undang-Undang Dasar 2) Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara 3) Memilih (dan mengangkat) presiden dan wakil Presiden. Tugas sesudah amandemen: 1) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 3 ayat 1 Perubahan Ke III UUD 1945)

2) Melantik Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 ayat (2) Perubahan III dan IV UUD 1945) 3) Dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 ayat 3 Perubahan ke III UUD 1945) 4) Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya (Pasal 8 ayat 3 Perubahan Keempat). 5. Eksistensi Penasehat Presiden Reformasi sistem pemerintahan Indonesia di Masa Refomasi seperti terurai di atas ditandai pula dengan sebuah dagelan konstitutif. Melalui Amandemen Keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga pemasehat Presiden dihapus. Namun pada saat yang sama dibentuklah Dewan Pertimbangan Presiden (DPP). Masalahnya, perbedaan antara kedua lembaga ini hanya pada istilah Agung dan istilah Presiden semata. Tidak lebih, tidak kurang. Hal ini menunjukkan bahwa perancang perubahan ini samasekali tidak mengacu pada sejarah lembaga prestisius ini, dan rupanya juga tidak pernah mempelajari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967, tentang Dewan Pertimbangan Agung itu sendiri. Perlu diketahui bahwa lembaga pemasehat Kepala Negara semacam ini merupakan suatu lembaga kenegaraan purba yang telah ada sejak masa Romawi dahulu. Para kaisar Romawi itu senantiasa didampingi oleh sekelompok penasehat yang tergabung dalam Curia Regis. Lembaga pendamping Kepala Negara ini tetap bertahan hingga dewasa ini di pelbagai negara. Di Inggris terdapat Privy Council yang merupakan pendamping Kepala Negara Inggris (King/Queen). Pada masa sebelum Revolusi Perancis dikenal lembaga conseil du roy, yang pada masa Napoleon diganti menjadi conseil detat. Di Belanda terdapat Raad van State, dan di Malaysia serta di Brunai dikenal lembaga Dewan Raja. Pada hakekatnya bersama dengan kepala negara, lembaga penasehat ini merupakan sistem pemerintahan purba. Sistem pemerintahan ini baru memiliki sistem pemerintahan pembanding sejak munculnya teori Trias Politika, yang
6

diterapkan di Amerika Serikat atas dasar Konstitusi Amerika Serikat itu sendiri. Pada saat membentuk sistem organisasi dagangnya VOC-pun juga mengikuti pola ini. Gouverneur Generaal mengendalikan reksa dagangnya di seberang lautan (overzee) bersama dengan Raad van Indie (Kleintjes, Ph., 1932 & Schrieke, J.J., 1938-1939). Pada masa pemerintahan jajahan Hindia Belanda lembaga ini berubah nama menjadi Raad van Nederlandsch-Indie. Sedemikian prestisius dan terhormatnya kedudukan lembaga pendamping Gubernur Jenderal ini, sehingga Kleintjes (1932) menempatkan Raad van Nederlandsch-Indie ini sejajar dengan jabatan Gubernur Jenderal itu sendiri. Inilah rupanya yang mendasari Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966, tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, menempatkan DPA sejajar dengan Presiden sebagai sesama lembaga tinggi negara. Akan tetapi apapun posisinya, baik DPA maupun DPP merupakan lembaga pendamping Presiden. Tidak ada perubahan fungsi sedikitpun antara keduanya. Hal ini tampak jelas dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1963 tersebut di atas. Jadi, tidak ada dasar akademik yang signifikan sedikitpun untuk menghapus DPA dan mengubahnya menjadi DPP itu. Tidak lebih daripada sekedar dagelan konstitusional itu tadi. 6. Sistem Keuangan Negara
Berdasarkan data tahun 1990-1995 (Demirguc & Levine, 1999), sistem keuangan Indonesia masih dalam tingkatan yang belum maju. Perbandingan asset bank dan kapitalisasi pasar saham dengan GDP masing-masing adalah 49% dan 18% (berada di bawah rata rata dari 150 negara yang menjadi sampel). Untuk mendapatkan gambaran perbandingan dengan negara-negara lain, tingkat kemajuan sistem keuangan beberapa negara ditunjukkan dalam tabel 1. Kedua angka perbandingan (ratio) tadi memperlihatkan bahwa peranan bank lebih dominan daripada peran pasar saham, karakteristik sistem keuangan yang berbasis bank. Dengan kondisi tingkat kemajuan dari sistem keuangan saat ini, langkah awal yang harus ditempuh adalah mengembangkan sistem keuangan hingga mencapai tingkatan yang sudah maju.

Pilihan sistem keuangan yang seharusnya dikembangkan oleh suatu negara berkaitan erat dengan strategi pengembangan industri negara tersebut. Perbedaan karakteristik industri menuntut perbedaan karakteristik sumber pembiayaan. Industri yang karakteristiknya kompetitif dengan jumlah produsen yang banyak, siklus produksinya relatif pendek dan perkembangan teknologinya lambat, mendekati tidak berubah, misalnya pertanian, industri tekstil dan pakaian jadi, dan industri otomotif tidak menghadapi kendala pada iklim sistem keuangan yang berbasis bank. Tetapi apabila karakteristiknya diametral berbeda dengan yang disebutkan di atas, di mana terdapat peningkatan hasil dalam skala tertentu (increasing return to scale) oleh sekelompok kecil industri, jangka waktu antara keputusan investasi dengan realisasi hasilnya cukup panjang, serta perubahan teknologi yang cepat sangat penting dan diperlukan, misalnya industri pesawat terbang, informatika dan bioteknologi, hanya mungkin dapat berkembang pada lingkungan sistem keuangan yang didominasi oleh pasar saham. Berdasarkan tingkat perkembangan industri Indonesia saat ini dan 10-20 tahun mendatang, belum memerlukan sistem keuangan berbasis pasar.

Tradisi hukum yang berkembang di Indonesia yang berasal dari Eropa daratan (civil law) efektivitasnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan tradisi hukum yang bersumber kepada common law, dalam hal menilai sengketa hubungan surat perjanjian (Ergungor, 2002; La Porta et. al, 1997; Levine, 1998). Keterbatasan kemampuan pengadilan dapat diatasi oleh lembaga bank, karena bank masih mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi dari peminjam (karena ketergantungan terhadap bank untuk keperluan yang lain).

Struktur kepemilikan modal dari perusahaan besar di Indonesia umumnya masih terkonsentrasi. Sedangkan struktur kewirausahaan antara perusahaan besar dan perusahaan kecil masih sangat timpang. Keadaan perusahaan kecil dan menengah relatif masih tertinggal jauh dibandingkan perusahaan besar. Karena itu diperlukan upaya terencana untuk peningkatan kemampuan perusahaan kecil dan menengah sehingga tercapai struktur kewirausaahan yang berimbang. Salah satu upaya yang diperlukan adalah alokasi sumber daya modal yang terarah yang pelaksanaannya tidak mungkin diserahkan kepada pasar.

7. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman, dalam konteks negara Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh: Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Mahkamah Konstitusi

Selain itu terdapat pula Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan pengadilan khusus dalam Lingkungan Peradilan Agama (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama) dan Lingkungan Peradilan Umum (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum). Di samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945 juga memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim Perubahan UUD 1945 yang membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, membuat perlunya dilakukan perubahan secara komprehensif mengenai Undang-Undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 Sudah dirubah menjadi undang undang No.48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman

Konsekuensi dari UU Kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan badan-badan peradilan berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, namun saat ini seluruh badan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Berikut adalah peralihan badan peradilan ke Mahkamah Agung: Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tata Usaha Negara, terhitung sejak tanggal 31 Maret 2004dialihkan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung

Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah Provinsi, dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung

Organisasi, administrasi, dan finansial pada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, terhitung sejak tanggal 1 September 2004 dialihkan dari TNI ke Mahkamah Agung. Akibat perlaihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih menjadi personel organik Mahkamah Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI.

Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah Agung.

10

KESIMPULAN Negara Republik Indonesia menganut Sistem Pemerintahan yaitu Sistem Pemerintahan Presidensial. Merupakan system pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislative). Menteri bertanggung jawab kepada presiden karena presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. Ciri-ciri system pemerintahan Presidensial: 1. Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan. 2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif. 3. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden. 4. eksekutif dipilih melalui pemilu. kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia
1. Presiden dan menteri selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan DPR.

2. Pemerintah punya waktu untuk menjalankan programnya dengan tidak dibayangi krisis kabinet. 3. Presiden tidak dapat memberlakukan dan atau membubarkan DPR. Kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia
1. Ada kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di

tangan Presiden.
2. Sering terjadinya pergantian para pejabat karena adanya hak perogatif

presiden. 3. Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh. 4. Pengaruh rakyat terhadap kebijaksanaan politik kurang mendapat perhatian.

11

You might also like