You are on page 1of 12

Tugas individu

DAERAH PENANGKAPAN IKAN

PEMBAGIAN ZONA LAUTAN DAN ZONA PERIKANAN

OLEH : MARWANTO 0804113527 PSP

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2011

DAFTAR ISI

Isi

Halaman i 1 2 2 3 3 4 4 5 5 5 6 8 8

DAFTAR ISI ............................................................................................ I. PENDAHULUAN ............................................................................... II. ISI ....................................................................................................

2.1. Luas Wilayah Laut ........................................................................ 2.1.1 Zona Laut Teritorial... 2.1.2 Zona Landas Kontinen.. 2.1.3 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ... 2.1.4 Zona Pesisir 2.2 Prospek Perikanan Laut.. 2.2.1 Prduksi Perikanan... 2.2.2 Zona Penangkapan. 2.2.3 Peta Penyebaran Perikanan......... 2.2.4 Pelaku Aktivitas Perikanan Tangkap......... 2.2.5 Sarana Dan Prasarana Perikanan.. DAFTAR PUSTAKA

I.

Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas yang terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.290 km. Luas wilayah laut Indonesia sekitar 5.176.800 km2. Ini berarti luas wilayah laut Indonesia lebih dari dua setengah kali luas daratannya. Sesuai dengan Hukum Laut Internasional yang telah disepakati oleh PBB tahun 1982, wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah laut/zona laut yaitu zona laut Teritorial, zona Landas kontinen, dan zona Ekonomi Eksklusif. Batas laut Teritorial ialah garis khayal yang berjarak 12 mil laut dari garis dasar ke arah laut lepas. Apa itu garis dasar/garis pangkal? Garis dasar/garis pangkal adalah adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung pulau. Penentuan garis pangkal ditentukan dengan garis air rendah.

Gb. 1. Ilustrasi Garis Pangkal Kepulauan & Batas Laut Teritori. Jika ada dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedangkan lebar lautan itu kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial di tarik sama jauh dari garis masing-masing negara tersebut. Laut yang terletak antara garis dengan garis batas teritorial di sebut laut teritorial. Laut yang terletak di sebelah dalam garis dasar disebut laut internal.

I.

ISI

2.1 Luas Laut Pengaturan mengenai penetapan batas wilayah laut suatu negara dan berbagai kegiatan di laut sebenarnya telah termuat dalam suatu perjanjian internasional yang komprehensif yang dikenal dengan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 atau Hukum Laut PBB 1982). Dalam UNCLOS 1982 dikenal delapan zona pengaturan (regime) yang berlaku di laut, yaitu (1) perairan pedalaman (internal waters), (2) perairan kepulauan (archipelagic waters), (3) laut teritorial (teritorial waters), (4) zona tambahan (contiguous zone), (5) Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone), (6) landas kontinen (continental shelf), (7) laut lepas (high seas), dan (8) kawasan dasar laut internasional (international seabed area). Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No 17/1985 dan memberlakukan UU No 6/1966 tentang Perairan Indonesia menggantikan UU No 4/Perp.1960 yang disesuaikan dengan jiwa atau ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982. Lebih lanjut, untuk keperluan penetapan batas-batas wilayah perairan Indonesia telah diundangkan PP No 38 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Adapun batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga meliputi: (1) batas laut teritorial, (2) batas zona tambahan, (3) batas perairan ZEE, dan (4) batas landas kontinen. Yang dimaksud laut teritorial adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai yang meliputi ruang udara dan laut serta tanah di bawahnya sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal. Zona tambahan mencakup wilayah perairan laut sampai ke batas 12 mil laut di luar laut teritorial atau 24 mil laut diukur dari garis pangkal. ZEE adalah suatu wilayah perairan laut di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang lebarnya tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal; yang mana suatu negara pantai (coastal state) memiliki hak atas kedaulatan untuk eksplorasi, konservasi, dan pemanfaatan sumber daya alam. Landas kontinen suatu negara meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang menyambung dari laut teritorial negara pantai melalui kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai ujung terluar tepian kontinen. Sayangnya, hingga saat ini penetapan batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga masih banyak yang belum tuntas. Dari 10 negara yang wilayah lautnya berbatasan dengan Indonesia, baru antara Indonesia dan Australia yang batas-batas wilayah lautnya telah diselesaikan secara lengkap. Sementara dengan negaranegara tetangga lainnya baru dilaksanakan penetapan batas-batas landas kontinen dan sebagian batas-batas laut teritorial serta ZEE. Kondisi semacam inilah yang sering menimbulkan konflik wilayah laut antara Indonesia dan negara-negara tetangga, seperti kasus Sipadan, Ligitan, dan Ambalat. Konflik yang terjadi akan menimbulkan ketidakstabilan dan mengganggu pembangunan perekonomian pada wilayah tersebut. Dengan belum adanya kepastian batas-batas wilayah perairan, maka kegiatan perekonomian kelautan, seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri bioteknologi, pariwisata bahari, transportasi laut, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam lainnya, serta konservasi akan terhambat.

2.1.1 Zona Laut Teritorial Batas laut Teritorial ialah garis khayal yang berjarak 12 mil laut dari garis dasar ke arah laut lepas. Jika ada dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedangkan lebar lautan itu kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial di tarik sama jauh dari garis masing-masing negara tersebut. Laut yang terletak antara garis dengan garis batas teritorial di sebut laut teritorial. Laut yang terletak di sebelah dalam garis dasar disebut laut internal. Garis dasar adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung pulau. Sebuah negara mempunyai hak kedaulatan sepenuhnya sampai batas laut teritorial, tetapi mempunyai kewajiban menyediakan alur pelayaran lintas damai baik di atas maupun di bawah permukaan laut. Pengumuman pemerintah tentang wilayah laut teritorial Indonesia dikeluarkan tanggal 13 Desember 1957 yang terkenal dengan Deklarasi Djuanda dan kemudian diperkuat dengan Undang-undang No.4 Prp. 1960. 2.1.2 Zona Landas Kontinen Landas kontinen ialah dasar laut yang secara geologis maupun morfologi merupakan lanjutan dari sebuah kontinen (benua). Kedalaman lautnya kurang dari 150 meter. Indonesia terletak pada dua buah landasan kontinen, yaitu landasan kontinen Asia dan landasan kontinen Australia. Adapun batas landas kontinen tersebut diukur dari garis dasar, yaitu paling jauh 200 mil laut. Jika ada dua negara atau lebih menguasai lautan di atas landasan kontinen, maka batas negara tersebut ditarik sama jauh dari garis dasar masing-masing negara. Sebagai contoh di selat malaka, batas landasan kontinen berimpit dengan batas laut teritorial, karena jarak antara kedua negara di tempat itu kurang dari 24 mil laut. Di selat Malaka sebelah utara, batas landas kontinen antara Thailand, Malaysia, dan Indonesia bertemu di dekat titik yang berkoordinasi 98 BT dan 6 LU. Di dalam garis batas landas kontinen, Indonesia mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya, dengan kewajiban untuk menyediakan alur pelayaran lintas damai. Pengumuman tentang batas landas kontinen ini dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Febuari 1969.

2.1.3 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Zona Ekonomi Eksklusif adalah jalur laut selebar 200 mil laut ke arah laut terbuka diukur dari garis dasar. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini, Indonesia mendapat kesempatan pertama dalam memanfaatkan sumber daya laut. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini kebebasan pelayaran dan pemasangan kabel serta pipa di bawah permukaan laut tetap diakui sesuai dengan prinsip prinsip-prinsip Hukum Laut Internasional, batas landas kontinen, dan batas zona ekonomi eksklusif antara dua negara n yang bertetangga saling tumpang tindih, maka ditetapkan garis garis yang menghubungkan titik yang garis-garis sama jauhnya dari garis dasar kedua negara itu sebagai batasnya. Pengumuman tetang zona ekonomi eksklusif Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia tanggal 21 Maret 1. Indonesia Agar Anda lebih jelas tentang batas zona laut Teritorial, zona landas kontinen dari zona ekonomi eksklusif lihatlah peta berikut.

2.1.4 Zona Pesisir Berdasarkan kedalamannya zona pesisir dapat dibedakan menjadi 4 wilayah (zona) yaitu : a. Zona Lithoral, adalah wilayah pantai atau pesisir atau shore. Di wilayah ini pada saat air pasang tergenang air dan pada saat air laut surut berubah menjadi dara daratan. Oleh karena itu wilayah ini sering disebut juga wilayah pasang surut. b. Zona Neritic (wilayah laut dangkal), yaitu dari batas wilayah pasang surut hingga kedalaman 150 m. Pada zona ini masih dapat ditembus oleh sinar matahari sehingga wilayah ini paling banyak terdapat berbagai jenis kehidupan baik hewan maupun tumbuhan-tumbuhan, aling tumbuhan contoh Jaut Jawa, Laut Natuna, Selat Malaka dan laut-laut disekitar kepulauan Riau. laut laut c. Zona Bathyal (wilayah laut dalam), adalah wilayah laut yang memiliki kedalaman antara 150 hingga 1800 meter. Wilayah ini tidak dapat ditembus sinar matahari, oleh karena itu kehidupan organismenya tidak sebanyak yang terdapat di zona meritic. d. Zona Abysal (wilayah laut sangat dalam), yaitu wilayah laut yang memiliki kedalaman lebih dari 1800 m. Di wilayah ini suhunya sangat dingin dan tidak ada tumbuh tumbuhan, jenis hewan tumbuh-tumbuhan, yang hidup di wilayah ini sangat terbatas. 2.2 Prospek Perikanan Laut 2.2.1 Prduksi Perikanan

Potensi laut di Larantuka sebagian besar berasal dari Laut Flores, dan Laut Sawu, dimana jenis-jenis ikan ekonomis penting terdapat di perairan tersebut. Seperti ikan pelagis besar, pelagis kecil, demersal, dan cumi-cumi. Komoditi andalan perikanan laut Larantuka adalah Tuna, Cakalang, Cumi dan Mutiara.

Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Larantuka (2010), produksi perikanan laut Larantuka pada tahun 2008 mencapai 1.434.627 Kg dan mengalami penurunan sebesar 1,1 ton menjadi 359.153 Kg. Hal ini terjadi karena pada tahun 2009 banyak data yang tidak masuk dalam pendataan Dinas Kelautan dan Perikanan Larantuka.

2.2.2 Zona Penangkapan Zona penangkapan ikan serta sumberdaya peraian lainnya secara umum dibedakan atas, (1) sepanjang pantai larantuka merupakan daerah penangkapan tradisional; (2) perairan laut Larantuka dan laut Flores dengan kedalaman lebih dari 10 m merupakan daerah penangkapan perikanan komersial.

Peta Pusat Ruang Kelautan dan Kawasan Andalan Laut Nasional (Sumber: DKP BABEL, 2007)

Contoh Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan wilayah Perairan Sumatera (Sumber: BROK DKP, 2009).

2.2.3 Peta Penyebaran Perikanan Nelayan lokal dengan peralatan dan armada tangkap yang hampir semua masih bersifat tradisional hanya mampu melakukan aktivitas penangkapan di sekitar tempat tinggal, seperti halnya di pesisir 4 mil dari garis pantai. Armada tangkap yang digunakan berupa perahu dayung atau sampan tradisional yang dikenal dengan sebutan longboat serta saat ini banyak pula nelayan yang telah melengkapi armada meraka dengan menggunakan mesin motor tempel. Penggunaan perahu motor lebih banyak dilakukan oleh nelayan pendatang, yang terutama berasal dari Bugis, Makassar hingga Jawa. Nelayan ini sudah lebih modern dalam hal teknologi dan pengetahuan di bidang penangkapan.

Karakteristik Oseanografi di wilayah ini sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi laut lepasnya, di mana pengaruh angin muson sangat berperan dalam menentukan kondisi laut. Dalam kaitannya dengan industri penangkapan ikan pelagis, kawasan selat larantuka memiliki keunikan yang sangat menguntungkan bagi kelangsungan industri perikanan tangkap. Keunikan tersebut karena di kawasan perairan ini merupakan pertemuan arus bawah dari laut flores dan laut sawu sehingga menimbulkan fenomena alam yang disebut upwelling, yaitu suatu gerakan naiknya massa air dari lapisan yang lebih dalam ke permukaan di mana massa air tersebut sangat kaya akan unsur hara sehingga dapat menyuburkan perairan dan pada akhirnya merupakan tempat berkumpulnya ikan (fishing ground). Fenomena upwelling ini berlangsung secara periodik yaitu pada musim Timur atau sekitar bulan Juli, Agustus, September setiap tahunnya. Alur Pelayaran Kapal Perikanan (APKP), adalah alur pelayaran bagi kapal perikanan dari dan ke fishing-base (pelabuhan perikanan) menuju ke daerah penangkapan (fishing-ground). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 Tahun 1999, jalur ini dibagi menjadi 3 jalur menurut ukuran kapal dan jenis alat tangkap. Jalur I (06 mil laut) diperuntukan bagi Kapal perikanan tanpa motor atau bermotor tempel ukuran 12 m atau 5 GT, Jalur II (6 12 mil laut) diperuntukan bagi kapal perikanan motor dalam, maksimum 60 GT dan Jalur III (12 mil laut ZEE) diperuntukan bagi kapal perikanan besar yang tidak diperbolehkan di jalur I dan II dengan alat tangkap dan fishing ground yang sudah ditentukan. Dalam operasi penangkapan juga sudah ada aturannya baik secara hukum ataupun kebiasaan nelayan.

Di wilayah perairan selat Larantuka tidak mengenal adanya musim penangkapan ikan selama satu tahun. Nelayan tidak mengenal adanya bulan-bulan istirahat dalam melakukan aktivitas penangkapan, hal ini lebih dikarenakan oleh sebagian besar daerah tangkapan adalah terletak di daerah perairan laut yang tertutup. Daerah-daerah tersebut merupakan perairan yang cukup terlindung dari pengaruh gelombang perairan laut sehingga permukaan laut tenang.

2.2.4 Pelaku Aktivitas Perikanan Tangkap Larantuka miliki potensi perikanan yang cukup besar karena berbatasan langsung dengan Selat Larantuka. Perairan yang tertutup dan memiliki arus dalam yang cukup deras, mengakibatkan daerah tersebut disukai oleh ikan-ikan Pelagis seperti Tuna, Cakalang dan Tongkol. Disamping itu ikan demersal seperti Kakap, Kerapu, dan ikan karang juga banyak. Selain ikan, sumberdaya non-ikan seperti lobster, cumi cumi dan kerang mutiara juga merupakan komuditas yang cukup potensial. Sumberdaya perikanan di Larantuka masih dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat sekitar. Perairan Larantuka mempunyai dasar periran berpasir dan sebagian terumbu karang. Pada perairan tengah memiliki kedalaman yang cukup dalam berkisar 10 100 m. Hal ini sangat cocok untuk operasi penangkapan (fishing ground) yang baik untuk penangkapan ikan pelagis. Keberhasilan usaha penangkapan ikan akan dipengaruhi oleh sumberdaya ikan yang tersedia dan alat tangkap yang sesuai dengan tingkah laku ikan, juga dipengaruhi oleh alat bantu penangkapan ikan, musim serta kualitas sumberdaya manusia. Pada daerah laut tertutup pada perairan larantuka juga sangat potensial sebagai pengembangan perikanan seperti budidaya ikan Tuna, kerang mutiara dan rumput laut karena memiliki faktor oceanografi yang cukup baik. Penduduk Larantuka yang bekerja sebagai nelayan sangat sedikit (< 10% dari total jumlah penduduk). Mereka hanya memanfaatkan sumberdaya perikanan laut untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari (nelayan subsisten). Kegiatan penangkapan ikan di laut masih didominasi oleh pendatang yang berasal dari Sulawesi atau masyarakat Bugis. Untuk meningkatkan pemanfaatan potensi perikanan tangkap yang ada maka diperlukan sumberdaya manusia yang handal dari segi kualitas maupun kuantitasnya, hal ini karena sumberdaya manusia merupakan modal dasar dalam usaha pengembangan perikanan di samping sumberdaya alam dan modal tentunya.

2.2.5 Sarana Dan Prasarana Perikanan Sarana dan Prasarana dalam mendukung pemanfaatan sumberdaya perikanan di Larantuka sudah cukup memadai, mulai dari Pelabuhan perikanan, tempat Pelelangan Ikan, Cold storage, dan perusahaan pengolahan ikan. Hanya saja sarana dan prasarana yang ada tidak di dukung oleh SDM yang cukup sehingga sarana dan prasarana tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Beberapa isu strategis terkait dengan potensi perikanan tangkap di wilayah Larantuka antara lain: 1. Keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan nelayan tradisional.

2. Keterbatasan mengenai ketersediaan dan kualitas alat tangkap 3. Pengunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. 4. Pengolahan dan pemasaran produk perikanan hasil tangkapan nelayan tradisional yang perlu diperbaiki dari aspek sanitasi dan manajemen. 5. Intensitas program penyuluhan dan pelatihan terhadap teknologi penangkapan masih kurang. 6. Rasionalisasi penangkapan ikan merupakan tuntutan yang perlu direalisasikan, guna mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal dan lestari.

DAFTAR PUSTAKA

BROK-SeaCORM, 2007. Perkembangan PPDPI di Wilayah Perairan Indonesia tahun 2004-2006. BROK DKP. DKP BABEL, 2008. Pentingya Data Oseanografi bagi Pembangunan Pesisir dan Lautan di Provinsi Bangka Belitung. Makalah PIT-ISOI V, ITB, Bandung. PusLit LIPI, 2003. Penelitian Kompetitif Kalimantan Timur-Bangka Belitung 20042013.pdf (diakses pada 6 September 2008). Thoha, Hikmah. 2004. Kelimpahan Plankton di Perairan Bangka Belitung dan Laut Cina Selatan, Sumatera, Mei-Juni 2002. Makara Sains, Vol. 8. No. 3.

You might also like