You are on page 1of 38

Harga Cabe Melonjak, Petani Malah Merugi Pasalnya, melonjaknya harga cabai merah hasilnya tidak dinikmati para

petani cabe. Senin, 19 Juli 2010 VIVAnews - Naiknya harga cabe belakangan ini membuat konsumen cabe merana, nampaknya juga membuat petani cabe sakit hati. Pasalnya, melonjaknya harga cabai merah hasilnya tidak dinikmati para petani cabe. "Petani rugi karena barangnya tidak ada dan rusak karena musim hujan," ujar Ketua Umum Assosiasi Agribisnis Cabai Indonesia Dadi Sudiana usai konferensi pers di Kementerian Perdagangan, Senin 19 Juli 2010. Dedi memberi contoh, harga di tingkat petani yang normalnya Rp8-10 ribu per kilogram, pada saat harga melonjak kemarin hanya mencapai Rp25 ribu per kilogram. Padahal, di lapangan kenaikan harganya total mencapai Rp40 ribu. Kerugian juga dialami karena jumlah produksi tidak sesuai harapan. "Karena hujan panennya turun hingga omzetnya juga turun dan stoknya berkurang. Jadi, petani tidak ada untung," katanya. Namun demikian, Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu mengatakan harga per minggu ini dibanding minggu lalu untuk cabe sudah turun antara Rp1.000-5.000. "Pasokan cabe sekarang, sudah ada peningkatan produksi kembali sehingga kecendrungan harga turun," kata Mendag. Penurunan ini misalnya terjadi di pasar Induk Keramat Jati.

Harga Kebutuhan Pokok Melonjak Seratus Persen


Kamis, 24 Juni 2010 | 00:18 WIB

Ilustrasi Foto: (kompas) Jakarta - Harga kebutuhan pokok di sejumlah pasar di Jawa Barat dan Yogyakarta melonjak seratus persen. Di Pasar Rebo, Purwakarta, Jawa Barat, mulai harga cabai hingga harga ayam potong naik sampai seratus persen. Harga cabai merah dari Rp 15 ribu per kilogram menjadi 30 kilogram, bawang merah menjadi Rp 16 ribu per kilogram dari Rp 8 ribu. Sementara harga ayam naik Rp 6 ribu menjadi Rp 24 ribu per kilogram. Sedangkan di pasar tradisional Yogyakarta seperti di Pasar Beringharjo, harga cabai sampai menembus Rp 30.000 per kg, padahal harga cabai sebelumnya Rp 8.000 per kg. Dari Purwakarta diberitakan, Kamal, pedagang di Pasar Rebo, mengatakan kepada pers hari Rabu, 23 Juni 2010, perubahan harga yang sangat drastis itu akibat meluasnya kabar kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang menyulitkan para pengusaha mikro seperti dia.

...dampak negatifnya dirasakan oleh seluruh masyarakat. Pasalnya, selain harga barang melonjak tinggi, banyak barang juga yang akhirnya langka.
Ujung-ujungnya, kata Kamal, dampak negatifnya dirasakan oleh seluruh masyarakat. Pasalnya, selain harga barang melonjak tinggi, banyak barang juga yang akhirnya langka. Menurut dia, kenaikan harga terjadi sejak empat hari terakhir. "Gara-gara kenaikan ini omset pedagang menurun hingga 30 persen. Saya sendiri akhirnya tak mau jual barang yang kurang laku karena mahal," tutur Kamal. Sedangkan Wiwik, pedagang warung nasi tetangga jualan Kamal, langsung menyatakan keberatan dengan naiknya harga kebutuhan pokok itu. Dia akhirnya terpikir untuk ikut menaikkan harga makanan di warung nasinya. Persoalannya, apakah setelah dia naikan harganya para pelanggan masih mau mampir ke warungnya? Sementara itu, harga cabai di pasar tradisional Yogyakarta dikabarkan menembus harga Rp 30.000 per kg. Padahal, harga cabai sebelumnya Rp 8.000/kg. "Kenaikan harga cabai akibat stok menipis. Kenaikan harga sudah berlangsung sejak dua pekan terakhir," kata seorang pedagang sayuran dan bumbu dapur di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, yang tak bersedia identitasnya dipublikasikan, hari Selasa 22 Juni 2010. Dia menyampaikan, kenaikan tidak hanya terjadi pada komoditas cabai. Harga kemiri pun naik dari Rp 16.000

per kg menjadi Rp25.000 per kg. Bawang putih dari Rp 5.000 per kg naik menjadi Rp 22.000 per kg. Bawang merah yang semula Rp 7.000 per kg menjadi Rp 14.000 per kg.

....di Pasar Beringharjo .....saat ini sejumlah harga sembako juga mengalami kenaikan cukup tinggi. Harga beras C4 naik dari Rp 5.000 per kg menjadi Rp 5.500/kg. Gula merah naik dari Rp 8.000 per kg menjadi Rp 9.000 per kg. Gula pasir naik dari Rp 8.500 per kg menjadi Rp 9.500 per kg. Daging ayam dari Rp 20.000 per kg menjadi Rp 22.000 per kg.
Pedagang sembako lainnya di Pasar Beringharjo, Astuti, menambahkan, saat ini sejumlah harga sembako juga mengalami kenaikan cukup tinggi. Harga beras C4 naik dari Rp 5.000 per kg menjadi Rp 5.500/kg. Gula merah naik dari Rp 8.000 per kg menjadi Rp 9.000 per kg. Gula pasir naik dari Rp 8.500 per kg menjadi Rp 9.500 per kg. Daging ayam dari Rp 20.000 per kg menjadi Rp 22.000 per kg. "Kami berharap harga segera kembali normal. Kalau harga naik seperti sekarang ini, maka pelanggan pun juga mengurangi belanjanya," tutur Astuti. Pergerakan naik harga sembako sesungguhnya sudah terjadi akhir pekan silam. Sejumlah pedagang beras sudah mengeluhkan kenaikan harga beras di Kota Cirebon, bahkan imbasnya ke harga sembako seperti daging ayam, tomat, bawang putih, dan cabai merah (baca Desa Modern.com rubrik Pangan, edisi Senin 21 Juni 2010).

...naiknya harga beras itu karena cuaca yang tidak mendukung, selalu hujan, sehingga stok semakin menipis.
H Udin, seorang pedagang beras di Pasar Pagi, Kota Cirebon, menjelaskan, naiknya harga beras itu karena cuaca yang tidak mendukung, selalu hujan, sehingga stok semakin menipis. Udin mencontohkan beras jenis IR 64, sekarang sudah dia jual dengan harga Rp 5.400 per kg dari sebelumnya yang hanya Rp 5.200 per kg. Pemantauan pers di beberapa pasar di Kabupaten Bandung Barat seperti Pasar Padalarang, Pasar Batujajar, dan Pasar Lembang, hari Minggu 20 Juni 2010 mengungkapkan naiknya komoditi tersebut sudah terasa sejak satu minggu terakhir. Oman, salah seorang pedagang sembako di Pasar Tagog Padalarang mengatakan, naiknya harga tersebut disebabkan oleh persediaan dari distributor yang semakin berkurang. "Bawang putih dan muncang naiknya lumayan tinggi, saat ini saya jual Rp 23.000,00 perkilogram," tuturnya. Namun, dia menambahkan, untuk minyak goreng curah dan gula pasir harganya masih stabil. Saat ini dia menjual minyak goreng curah Rp 8.500,00 per kg, begitu pun dengan gula pasir yang dijual Rp 8.500,00 per kg. Hal yang sama dikatakan oleh Endin, pedagang sembako di Pasar Panorama Lembang. Menurut dia, akibat naiknya beberapa komoditi sembako, sangat terasa pengaruhnya terhadap omzet yang diterimanya setiap hari. "Penjualan sekarang agak sepi dibandingkan seminggu kemarin, " katanya. Saat ini Endin menjual minyak goreng curah Rp 8.400,00 sampai Rp 8.600,00 per-kg, sedangkan gula pasir dia jual Rp 8.500,00 per kg. Dampak kenaikan harga dirasakan juga oleh pedagang ayam dan pedagang sayur, Entin misalnya, pedagang ayam di Pasar Padalarang, mengeluhkan naiknya harga sejak satu minggu terakhir. "Kalau bisa harganya turun lagi, kasihan penjualan jadi sepi," tuturnya. Endin mengatakan, setiap harinya dia mampu menjual sekitar 85 kilogram daging ayam. Berbeda ketika harga masih stabil di Rp 20.000 per-kilogram, dia mampu menjual hinga 100 kilogram daging ayam setiap harinya. Saat ini, dia menjual daging ayam Rp 24.000 per-kilogram.

Penjualan sayur juga mengalami dampak yang sama. Beberapa pedagang sayur di Pasar Batujajar dan Pasar Panorama Lembang, juga mengeluhkan soal harga beberapa komoditi sayuran.
Penjualan sayur juga mengalami dampak yang sama. Beberapa pedagang sayur di Pasar Batujajar dan Pasar Panorama Lembang, juga mengeluhkan soal harga beberapa komoditi sayuran. Kenaikan yang sangat terasa terjadi pada harga cabai merah dan cabai keriting yang mengalami kenaikan sangat signifikan. "Saat ini Cabai merah jenis Tanjung dijual Rp 28.000 per kg, sedangkan cabai keriting dijual Rp 25.000,00 per kg," tutur Yayah, salah seorang pedagang sayuran di Pasar Batujajar. Sebelumnya, Yayah menjual baik cabai merah Tanjung maupun cabai keriting Rp 20.000,00 per kg. Hal yang sama dikatakan Erna, pedagang sayur di Pasar Lembang. Dia mengatakan, harga tomat dan bawang merah menglami kenaikan yang cukup besar. Sebelumnya, dia menjual tomat Rp 5.000,- per kg, sedangkan saat ini dia jual Rp 6.000 sampai Rp 7.000 per kg. Sama halnya dengan harga bawang merah yang saat ini dijualnya seharga Rp 17.000,- per kg, tapi sebelumnya dijual Rp. 12.000,00 per kg (lis/emi) Efek Domino Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok Sejarah kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok di Indonesia acapkali dipengaruhi oleh kenaikan salah satu dari kebutuhan pokok masyarakat luas. Pada saat Orba setiap kenaikan harga BBM misalnya diikuti berbagai kebutuhan masyarakat lainnya. Maka saat itu Pak Harto selalu siap menginstruksikan jajaran dibawahnya melakukan operasi pasar. Tapi operasi pasar yang sampai saat ini masih dipertahankan itu tetap kurang efektif karena kenaikan harga-harga sejumlah kebutuhan pokok itu terlanjur bergerak mengikut efek domino. Demikian pula kondisi kita hari-hari ini. Bisa jadi kenaikan harga kebutuhan pokok saat ini juga sebagai pengaruh efek domino dari naiknya sejumlah harga lainnya seperti tarif dasar listrik (TDL) Walaupun telah diingatkan oleh berbagai kalangan masyarakat termasuk kami sendiri melalui sejumlah media massa agar tidak menaikkan harga TDL, tetapi pemerintah tetap saja bergeming tak mau mengurungkan niatnya menaikkan TDL tersebut. Alhasil situasi harga di pasar mau tidak mau mungkin saja terimbas hingga harga cabai, beras, telor dan kebutuhan masyarakat merangkak naik. Situasi kondisi tahun ajaran baru yang di negara ini selalu berarti pengeluaran besarbesaran bagi masyarakat kebanyakan juga turut memuluskan kenaikan sejumlah harga.

Fenomena ini juga diikuti oleh semakin dekatnya bulan puasa, sehingga bukan tidak mungkin memuluskan kenaikan harga kebutuhan pokok itu. Pemerintah seharusnya dalam fenomena semaam ini bertidak arif dan tidak mengikuti 'hawa nafsunya' menaikkan harga walau itu memang wilayah otoritasnya. Kebijakan yang tidak bijak sangat mereduksi profeesionalitas kepemimpinan Pemerintah. Lebih jauh lagi, tersiar kabar melalui media massa bahwa tampak Pemerintah akan menaikkan harga BBM atau paling tidak akan membuat regulasi agar subsidi BBM tidak dibiarkan seperti sekarang. Kalau ini terjadi, maka kita akan merasakan kembali efek domino itu. Oleh karena itu melalui forum ini sekali lagi kami mengingatkan Pemerintah agar tidak serta merta menaikan harga kebutuhan pokok seperti BBM walau menjadi wewenangnya. Jika dalam waktu dekat Pemerintah tetap 'kekeuh' alias keras kepala untuk melakukannya maka kondisi perekonomian masyarakat luas tentu (tidak untuk sejumlah kecil elit bangsa ini) akan bertambah runyam. Kalau kerja Pemerintah kita selalu saja mengambil jalan pintas yakni dengan membebankan rakyat melalui kenaikkan sejumlah harga lantas apa gunanya kita memilih para elit bangsa tersebut untuk mengurus negara ini, sebuah negara kaya raya dengan sumber alamnya tapi amat lemah dalam kepemimpinan bangsa dan miskin kenegarawanan.

Redenominasi Rupiah : Cyclical Conjunctures?


Jumat, 06 Agustus 2010 07:36 redaksi Belum lama diangkat menjadi gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution mengangkat isu yang cukup kontroversial ke tengahtengah masyarakat yaitu redenominasi mata uang rupiah. Beragam pandangan dan pendapat masyarakat terkait isu yang cukup asing di telinga masyarakat tentang program redenominasi ini. Sebagian besar mengatakan tidak setuju atau belum siap. Bagi yang mengerti secara penuh untung-rugi proyek ini mengatakan sependapat dengan beberapa catatan. Hanya saja tampaknya jalan untuk melaksanakan wacana ini cukup terbentang panjang, mengingat maksud istilah, latar belakang kebijakan ini dan perhitungan untung rugi bagi perekonomian nasional. Belum lagi terkait kesiapan (penerimaan) dan kesepahaman masyarakat atas program ini yang menjadi kunci utama keberhasilan program masih perlu kajian dan sinkronisasi gerak langkah seluruh aparat pemerintah. Berikut akan kita kupas berbagai permasalahan seputar redenominasi serta bagaimana cara pandang islam terkait permasalahan keuangan Negara. Pengertian dan alasan Redenominasi berarti penataan nominal suatu mata uang dengan tujuan penyederhanaan dan kemudahan. Pengertian ini berbeda dengan sanering yang berarti memotong daya beli suatu mata uang. Kedua istilah tersebut berbeda secara pengertian dan kondisi yang melatarbelakanginya (lihat tabel). Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi wacana redenominasi rupiah oleh pihak BI. Salah satu alasan utamanya adalah sebagai bentuk penyederhanaan pecahan rupiah. Dibandingkan dengan Negara lain yang serumpun,

pecahan mata uang rupiah termasuk bernilai tinggi (setelah mata uang Negara Vietnam) dengan pecahan tertingginya sebesar seratus ribu rupiah. Untuk mengurangi kerepotan dalam pencatatan dan kepraktisan bertransaksi maka BI berencana melakukan redenominasi rupiah. Selain itu alasan yang mendukung langkah BI ini adalah persiapan menghadapi pemberlakuan mata uang bersama Negara-negara ASEAN yang akan dijalankan pada tahun 2015. Agar mata uang rupiah dipandang setara dengan mata uang Negara-negara tetangga, BI menilai perlu segera dilakukan sosialisai program redenominasi ini. Arti setara tersebut tidak dimaksudkan untuk menyamakan nilai tukarnya dengan mata uang Negara lain, tetapi sekedar agar terlihat tidak mencolok perbedaan nominalnya. Bila kita masih menggunakan nominal mata uang rupiah yang sekarang dikhawatirkan terdapat gejolak psikologis perihal perbedaan nominal rupiah dengan Negara-negara tetangga saat diberlakukan mata uang bersama. Singkatnya agar nominal rupiah tidak terlalu tambun yang mengakibatkan sulit dieja dan mempersulit (rumit) perhitungan dalam perekonomian. Pihak BI juga beralasan bahwa pada faktanya masyarakat telah mempraktekkan perilaku redenominasi ini yaitu menyebut nominal sejuta dengan perkataan seribu, sepuluh juta dengan sepuluh ribu dan seterusnya. Perilaku ini telah diamati berkembang secara luas di tengah masyarakat, hanya saja berlaku secara tidak formal. Bila kondisinya demikian, mengapa tidak diberlakukan secara formal sekalian? Begitulah pendapat BI. Masyarakat lebih enjoy menyebut nominal seribu dibanding sejuta dengan alasan mudah, praktis dan nominalnya tidak terlalu besar.Program ini masih bersifat wacana dan belum digulirkan ke pemerintah ataupun DPR. Pihak BI masih melakukan studi secara intens untuk melihat berbagai kemungkinan dan menangkap berbagai pendapat yang berkembang di masyarakat. Pemberlakuannya pun tidak dalam waktu dekat, tetapi rancangan formalnya akan disampaikan kepada pemerintah di tahun ini. Perbedaan Redenominasi Sanering Pengertian Penataan nominal mata uang Pemotongan nilai mata uang Tujuan Penyederhanaan angka Mengurangi jumlah uang beredar Dampak thd masyarakat Tidak ada (kecuali penyesuaian kebiasaaan) Dirugikan karena daya beli uang turun Daya Beli Uang Tetap Turun Syarat kondisi Kondisi makroekonomi stabil, ekonomi tumbuh Instabilitas makroekonomi, hiperinflasi Waktu pergantian Perlu masa transisi yang terukur dan terkendali Dilakukan secara mendesak Syarat pemberlakuan kebijakan Beberapa pengamat ekonomi menyatakan ada beberapa prasyarat dalam pemberlakuan kebijakan redenominasi ini. Paling tidak ada 3 syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebelum menjalankan program ini yaitu kondisi ekonomi secara makro stabil,

laju pertumbuhan ekonomi terjaga dan tingkat inflasi dapat dikendalikan. Selain itu syarat utama lain adalah penerimaan dan dukungan masyarakat atas kebijakan ini mengingat yang menjadi subyek adalah mereka. Hal ini terkait pola sikap masyarakat yang telah terbiasa dengan penggunaan mata uang yang sekarang dan perubahan (pengurangan) nominal berarti perubahan perilaku yang tidak mudah dilakukan. Butuh waktu, energi dan proses yang tidak sebentar. Pertanyaannya adalah apakah syarat minimal ketiga kondisi tersebut dapat dipenuhi pemerintah dan pihak BI saat ini? Melihat kondisi masyarakat secara kasat mata dapat kita jawab dengan mudah bahwa perekonomian negeri ini belum memenuhi ketiga syarat minimal kondisi di atas. Tony Prasetiantono, ekonom UGM, menyatakan bahwa syarat pemberlakuan redenominasi adalah tingkat inflasi yang rendah dan stabil serta ketersediaan cadangan devisa untuk membackup kestabilan nilai rupiah. Padahal tingkat inflasi negeri ini diperkirakan hingga akhir tahun akan menembus angka 6% dari target BI sebesar 5,8%. Menurut catatan bps hingga akhir bulan juli saja tingkat inflasi telah mencapai angka di atas 4%. Belum lagi masyarakat dihadapkan pada berbagai event dan kebijakan yang mendongkrak inflasi. Inflasi yang terjadi di Indonesia sampai april 2010 mencapai 3,91 dibanding kondisi serupa di Malaysia dan Singapura yang berkisar 1,50 dan 3,20. Tony Prasetiantono mensyaratkan tingkat inflasi di bawah 5 persen selama 4 tahun berturut-turut dan cadangan devisa sebesar Rp 100 200 miliar agar nilai rupiah terjaga. Padahal cadangan devisa kita saat ini hanya Rp 76 miliar. Hambatan lain adalah lemahnya integritas pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan yang dihasilkannya sehingga sering kali masyarakat menilai rendah kredibilitas dan kinerja pemerintah saat ini. Kasus yang masih hangat adalah bencana ledakan tabung gas 3 kg semakin marak akhir-akhir ini dengan korban meninggal, terluka dan harta yang cukup besar. Begitu juga dalam rencana memberlakukan kebijakan ini, kelihatannya masyarakat sangat pesimis pemerintah mampu menjalankannya dengan mulus. Belum lagi berbagai permasalahan bangsa lain yang semakin menumpuk dan membebani rakyat yang belum terselesaikan pemerintah. Telaah Kritis Meski secara riil, program redenominasi tidak mengurangi daya beli uang baru dibanding uang lama, ada beberapa imbas yang harus dihitung secara cermat oleh pemerintah. Pertama, adalah cost pemberlakuan kebijakan ini mulai dari perencanaan, sosialisasi, durasi waktu yang diperlukan dan ekses psikis yang ditimbulkan hingga finalisasi secara utuh keseluruhan program. Pihak BI berkilah bahwa tidak akan ada overcost dari program ini (apalagi inflasi) karena tanpa redenominasi pun BI secara rutin mencetak uang baru untuk mengganti uang yang sudah usang. Tentu saja biaya mengganti uang beredar yang lama jauh lebih murah dibanding mengeluarkan jenis uang baru dengan nominal yang berbeda. Uang kertas yang telah ada selama ini saja terdapat 7 jenis pecahan dan uang logam 5 jenis dikali banyaknya uang yang beredar. Untuk menjaga ekivalensi semacam ini paling tidak pemerintah harus mempertahankan komposisi jenis uang yang beredar. Artinya sebanyak itulah pemerintah harus mencetak jenis uang baru nantinya.

Namun yang tidak masuk dalam kalkulasi BI adalah biaya yang ditanggung masyarakat akibat perubahan nilai nominal ini. Bayangkan masyarkat ekonomi pengguna mata uang rupiah akan dipaksa merubah pemahaman dan sistem akuntansi dalam laporan keuangan mereka. Belum lagi mengganti berbagai slogan, price list dan berbagai hal yang berhubungan dengan nominal rupiah yang lama merupakan ongkos yang harus ditanggung masyarakat sendiri. Hidden cost inilah yang juga harus diperhatikan. Ongkos sosialisasi pun terhitung tidak murah karena harus menjangkau seluruh pelosok negeri dan harus dimengerti oleh semua orang. Berbeda dengan program konversi minyak tanah ke gas yang hanya menjangkau mereka yang memasak dengan kompor, redenominasi praktis harus menjangkau semua orang negeri ini karena tak ada transaksi tanpa uang. Belum lagi kemungkinan munculnya uang palsu sehingga disamping mensosialisasikan uang baru, pemerintah juga diharuskan mencegah dan menindak tersebarluasnya uang palsu. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena dimanfaatkan oleh sebagian orang yang tak bertanggungjawab. Untuk melaunching desain uang baru pecahan Rp 100.000 saja pemerintah kerepotan menanggulangi beredarnya uang palsu. Hingga kini pun masih terdengar slogan 3D dari pemerintah sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat agar dapat mengenali uang baru dengan cara yang paling simple. Program ini dapat dijalankan secara gradual (bertahap) dengan cara memperkenalkan uang baru dan tetap menggunakan nominal lama hingga seluruh masyarakat faham dan menerima sepenuhnya. Dalam kondisi ini dua nominal mata uang yang senilai dapat beredar bersamaan hingga terbentuk perilaku baru masyarakat dan nominal uang yang lama dapat ditrarik secara keseluruhan. Kalkulasi periode transisinya pun harus tepat mengingat di tahun 2015 telah diberlakukan mata uang bersama di ASEAN. Artinya masyarakat dipaksa untuk merubah habbits mereka terhadap nominal rupiah dan jika selesai mata uang bersama ASEAN pun segera datang menghampiri untuk dapat digunakan secara bersamaan Kedua adalah imbas bagi masyarakat kecil (berpenghasilan rendah). Bagi mereka yang memiliki harta (uang) jutaan atau milyaran, redenominasi tentu saja tidak akan banyak berpengaruh bagi mereka. Disamping lebih dimudahkan, kebanyakan dari mereka bertransaksi tidak tunai dan dengan nominal yang cenderung besar. Namun bagi masyarakat kecil yang masih menghargai mata uang kecil (Rp 50, Rp 100, Rp 200 dan Rp 500) kebijakan ini akan berpotensi merugikan mereka. Jika pemerintah tidak mempertahankan kesediaan komposisi mata uang baru sebagaimana mata uang lama itu artinya masyarakat dipaksa bertransaksi dengan pecahan besar. Ini merupakan bentuk pemiskinan secara struktural. Ketiga, akibat selanjutnya adalah ekspektasi kenaikan harga di tengah-tengah masyarakat akan melonjak. Seumpama harga satu kerupuk di desa masih seharga Rp 100 atau Rp 200 dan kemudian diberlakukan redenominasi yang tidak menyediakan mata uang ekuivalen (misalnya pecahan yang terdekat adalah Rp 500) maka akan membentuk ekspektasi inflasi yang cukup tinggi di masyarakat. Imbasnya adalah masyarakat akan menggeneralisir kenaikan harga ini terhadap harga-harga komoditas lain. Pun jika pemerintah memberlakukan periode transisi dengan dibolehkannya bertransaksi dua jenis

nominal sekaligus, ekspektasi inflasi ini akan tetap berkembang di tengah-tengah masyarakat. Keempat, tidak ada ekses (imbas) perubahan terhadap fundamental ekonomi negeri ini. Padahal seharusnya pemerintah berfokus pada penataan fundamental ekonomi yang kuat dan mandiri. Bank Indonesia sebagai otoritas independen sebetulnya masih banyak PR yang harus diselesaikan dibanding sekedar merubah nominal uang. Inflasi yang tinggi dan tak stabil, spread yang cukup menganga antara suku bunga deposito dan kredit, penataan dan penguatan sektor perbankan, ekspansi kredit ke UKM, menjaga stabilitas rupiah, dll. Pertanyaannya adalah jika tidak banyak berimbas pada penguatan fundamental ekonomi lalu untuk apa sebenarnya program besar (costly) ini dijalankan? Justru rentan menimbulkan gejolak perekonomian dan moral hazard. Dampak yang lebih serius adalah munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah. Bila kondisi ini terjadi (sebagai kulminasi rendahnya kredibilitas dan kinerja pemerintah) maka negeri ini harus bersiap menghadapi krisis multidimensi lagi. Cyclical Conjunctures dan pemiskinan struktural Dalam sejarah Negara ini, rupiah pernah mengalami pemotongan nilai (sanering) pada tahun 1965. Kebijakan ini dituangkan dalam Penetapan Presiden atau Penpres No 27/1965 yang menjadikan Rp 1,000 (uang lama) = Rp 1,- (uang baru). Kebijakan pemerintah orde lama tersebut muncul sebagai respon atas merosotnya kondisi perekonomian dan jatuhnya nilai mata uang rupiah. Di tahun 1960 1965 inflasi mengalami kenaikan tajam hingga 650%. Berbagai indikator indeks juga memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Indeks biaya berkisar pada angka 438 Index harga beras mencapai 824, tekstil 717, dan harga Rupiah anjlok tinggal 1/75 (seper tujuh puluh lima) dari angka Rp 160/US$ menjadi Rp 120,000 /US$. Kondisi tersebut mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan sanering. Sebelumnya, pemerintahan Soekarno juga pernah melakukan kebijakan serupa di tahun 1959. Kebijaksanaan sanering tersebut kemudian dikenal sebagai Tindakan Moneter I, tanggal 25 Agustus 1959 yang dituangkan dalam Lembaran Negara No. 89 dan Tindakan Sanering II pada tanggal 13 Desember 1965 dalam Lembaran Negara No. 102 tahun 1965. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Tindakan Moneter 1, secara kuantitatif berhasil mencapai target, yaitu: a. Pengurangan secara drastis jumlah uang yang beredar, yang menurut pemerintah sebagai sumber yang paling mendasar terjadinya inflasi. b. Sebagai sumber penerimaan negara yang akan digunakan untuk menutup hutang pemerintah kepada Bank Indonesia Unit I yang telah mencetak uang baru untuk memenuhi pinjaman pemerintah tersebut. Dibandingkan kebijakan sanering pertama, kebijakan kedua dinilai gagal meredam gejolak inflasi dan keterpurukan ekonomi. Disaat bersamaan, disamping melakukan sanering pemerintah juga menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak pada tanggal 3 Januari 1966 sebesar 400% dari harga bensin yang semula Rp 250 per liter menjadi Rp 1000 per liter dan minyak tanah dari Rp 100 per liter menjadi Rp 400 per liter. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan Minyak dan Gas Bumi no. 216/M/Migas/1965.

Karena desakan rakyat akhirnya pemerintah menurunkan harga kedua komoditas tersebut menjadi separuhnya. Hanya saja penurunan harga ini tidak diikuti dengan penurunan inflasi karena ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga-harga telah terlanjur terbentuk sehingga inflasi mencapai tingkat 635,26%. Pemerintah Brazil juga pernah melakukan tindakan semacam ini di tahun 1980-an dan juga mengganti mata uangnya dengan crizeiro, cruzado, new cruzado, lira. Tapi kebijakan ini menuai kegagalan karena menurut Tony Prasetiantono esensi masalahnya ada di inflasi dan lack of confidence. Belajar dari kondisi tersebut seharusnya pemerintah tetap fokus pada penguatan sektor riil dan penataan sektor moneter. Tingkat inflasi dalam negeri yang masih tinggi dan fluktuatif, penguatan nilai mata uang, keberpihakan pada sektor riil, peningkatan daya beli masyarakat, pengurangan pengangguran dan kemiskinan serta penurunan suku bunga merupakan agenda mendesak yang harus diselesaikan. Turki juga pernah melakukan hal serupa bahkan mengurangi hingga 6 digit angka mata uangnya dan dinilai cukup berhasil. Hanya saja mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menjalankan kebijakan ini (sekita 10 tahun). Lalu bagi Indonesia yang berpenduduk banyak dan luas wilayahnya berapa lama proses pemberlakuan kebijakan ini? Catatan lain yang perlu diperhatikan adalah, ternyata merosotnya daya beli dan bertambahnya nominal mata uang merupakan agenda rutin yang harus dihadapi oleh Negara berkembang seperti Indonesia ini. Pada waktu terjadi krisis ekonomi tahun 1998 telah juga diwacanakan program redenominasi ini. Artinya dalam jangka waktu 32 tahun semenjak 1965 Indonesia dihadapkan pada kondisi serupa yang berulang, yakni merubah nominal Rp 1.000 menjadi Rp 1. Itupun karena dalam periode orde baru pemerintah menetapkan sistem kurs tetap (fixed rate) sehingga nilai rupiah tetap terjaga. Lalu bagaimana kondisinya jika pemerintah menggunakan sistem mata uang mengambang (floating rate) seperti saat ini. Bila terjadi goncangan nilai tukar karena rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat atas rupiah maka pemerintah harus bersiap menguras cadangan devisanya untuk menjaga kestabilan perekonomian. Ditambah serangan spekulan yang bersiap mengambil untung atas perubahan kebijakan ini. Belajar dari pengalaman tahun 1965, jika ternyata pemerintah secara bersamaan menjalankan kebijakan yang membebani rakyat maka dapat dipastikan program ini hanya akan menuai badai kegagalan. Artinya bahwa pemerintah seharusnya membenahi kondisi makro ekonomi terlebih dahulu dibanding hanya merubah nominal. Padahal dalam kurun waktu satu tahun ini saja kita lihat banyak sekali kebijakan yang tidak pro rakyat dikeluarkan oleh pemerintah, seperti kenaikan TDL, tarif tol, pembatasan penggunaan BBM, kenaikan biaya pembuatan SIM, juga rencana kenaikan suku bunga, dll. Hal ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius membenahi perekonomian dan lemahnya koordinasi dan kinerja kementrian terkait. Bila kebijakan semacam ini terus berjalan, pemerintah secara tidak langsung sesungguhnya telah memangkas nilai riil mata uang dengan ditandai tingginya inflasi yang tidak diimbangi peningkatan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Menurut catatan BPS Rata-rata upah nominal harian buruh bangunan (tukang bukan

mandor) pada Mei 2010 tercatat Rp57.285,-, naik 0,12 persen dibanding April 2010, namun secara riil turun sebesar 0,17 persen. Kondisi ini tidak seimbang dengan laju inflasi yang ada. Pada Mei 2010 terjadi inflasi di daerah perdesaan sebesar 0,09 persen. Rata-rata harga beras Mei 2010 sebesar Rp.7.403,- per kg, naik 0,14 persen dibanding bulan sebelumnya. Dibanding Mei 2009 (year-on-year), harga beras naik 11,47 persen, lebih tinggi dari inflasi year-on-year periode yang sama sebesar 4,16 persen. Komoditas yang mengalami kenaikan harga dalam bulan Mei 2010 dari bulan sebelumnya adalah cabe merah (naik 13,62 persen) dan cabe rawit (naik 2,42 persen). Masyarakat tiap hari disuguhi dengan kenaikan harga yang semakin tak terjangkau sedangkan pendapatan mereka tidak mengalami kenaikan. Pemerintah lalai untuk mengurai benang kusut ini dan beralih pada projek redenominasi yang insignifikan. Bila dikatakan bahwa dengan redenominasi nilai tukar rupiah terhadap dolar akan berkisar Rp 9, tentu saja hal ini bukan berita yang menggembirakan karena sejatinya daya beli rupiah terhadap dolar tetap sama. Kondisi ini hanya menjadikan kebanggaan semu karena tidak disebabkan penguatan nilai tukar rupiah akibat membaiknya fundamental perekonomian. Indonesia bisa belajar dari Cina dan Jepang yang tidak menggunakan jalan ini (redenominasi) dalam upaya memperkuat daya beli mata uang mereka. Jepang yang negaranya hancur dan kalah perang dunia II serta Cina yang bangkit dari kungkungan sistem sosialisme berhasil menguatkan perekonomian mereka (sekaligus mata uangnya) dengan jalan memperkuat kemandirian ekonomi dan keberpihakan pada pasar domestik. Semua syarat pembahasan teknis ekonomi di atas perlu diperhatikan sebagai tambahan catatan kritis imbas kerapuhan sistem perekonomian yang kita anut saat ini. Jangan sampai isu hanya menjadi dagangan para pejabat dan kroninya untuk berbisnis di atas penderitaan rakyat. Menuju Tatanan Ekonomi Islam Islam sebagai way of life tentu saja memiliki pandangan berbeda dan solusi komprehensif atas permasalahan di atas. Sejatinya permasalahan di atas merupakan derivasi (turunan) dari masalah utama yaitu pemilihan sistem mata uang yang sangat rapuh (fragile) oleh pemerintah serta sistem perekonomian yang berlandaskan asas kapitalisme. Kondisi membengkaknya nominal mata uang akan selalu dihadapi oleh Negara berkembang (dan Negara maju) yang menggunakan sistem mata uang kertas dengan kurs mengambang bila tidak dijaga dengan fundamen ekonomi yang kuat. Berbagai upaya dalam mengatasi permasalahan yang ada hanya mampu menjangkau persoalan cabang (symptoms) dan tidak mengatasi persoalan mendasar kapitalisme. Kondisi tersebut akan sama halnya dengan krisis yang selalu berulang menghantam perekonomian global dalam sistem kapitalisme dengan dampak terparah akan mengenai Negara berkembang dan terbelakang. Karenanya wacana redenominasi rupiah sejatinya menjadi bukti tak terbantahkan betapa perekonomian saat ini (dengan sistem mata uang kertas) akan riskan membebani keuangan negara, mudah tergoncang oleh badai krisis dan sangat rapuh. Untuk menjaga stabilitasnya saja pemerintah harus selalu menjaga cadangan devisa Negara (merupakan uang idle) yang sejatinya dapat digunakan untuk program lain dalam upaya menggerakkan sektor riil.

Tidak ada satupun mata uang di dunia ini yang tahan atas guncangan dan tidak mengalami kemerosotan nilai atau daya belinya. Artinya permasalahan moneter sejatinya menjangkiti seluruh Negara di dunia. Meskipun beragam sistem perekonomian yang mendukungnya serta bermacam model moneter yang digunakan namun terdapat persamaannya yaitu sebagian besar menggunakan mata uang kertas (fiat money). Sebagai contoh, mata uang dolar Amerika (sebagai mata uang bersama dunia) pada tahun 2001 mengalami depresiasi sebesar 800% terhadap emas dalam kurun 30 tahun dari tahun 1971. Saat dimana pemerintah AS melepaskan mata uangnya dari keterikatan dengan emas. Dalam catatan sejarah, hanya mata uang dinar dan dirham yang digunakan oleh khilafah islamiyah yang mampu membackup perdagangan dunia dan tahan terhadap guncangan serta tetap daya belinya. Uang bukanlah komoditas perdagangan yang dapat berkontraksi karena mengikuti hukum permintaan dan penawaran pasar. Karenanya, kembalikanlah fungsi uang sebagai alat tukar (flow concept) bukan penimbun kekayaan (stock concept). Paparan empiris dan historis telah memperkuat bukti bahwa hanya emaslah yang mampu menjaga stabilitas purchasing power-nya. Dari sudut pandang Islam, mata uang tidak boleh dibuat kecuali dari emas dan perak sesuai dengan dalil-dalil berikut: Pertama, persetujuan Rasulullah saw. untuk menggunakan emas dan perak sebagai mata uang Daulah Islamiyah. Rasulullah saw. menyetujui timbangan Quraisy sebagai standar timbangan dinar dan dirham. Dalam riwayat Thawus yang bersumber dari Ibn Umar disebutkan bahwa: Rasulullah saw. bersabda, Timbangan itu adalah timbangan penduduk Makkah, yaitu berat sepuluh dirham sama dengan tujuh mitsqal, dan sesuai dengan timbangan kita sekarang, yaitu satu dinar sama dengan 4,25 gram emas dan satu dirham sama dengan 2,975 gram perak. Kedua, Islam menghubungkan beberapa hukum syariat dengan emas dan perak, di antaranya : a. Islam mengharamkan menimbun keduanya, yaitu menimbun emas dan perak. Allah Swt. berfirman: )( Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah Swt. maka beritahukanlah kepada mereka azab yang pedih. (QS at-Taubah [9]: 34). b. Islam mewajibkan dari emas dan perak agar dikeluarkan zakatnya karena keduanya dianggap sebagai mata uang dan sebagai standar harga barang dalam jual-beli dan upahmengupah tenaga kerja. Aisyah r.a. bertutur: Rasulullah saw. memungut zakat untuk setiap 20 dinar atau lebih sebesar setengah dinar. (HR Ibn Majah).

c. Islam mewajibkan diyat (denda) dengan kedua mata uang tersebut (dinar dan dirham). Rasulullah saw. bersabda: Bagi penimbun emas (batas kena dendanya) adalah sebesar seribu dinar. (HR an-Nasai). d. Nishab (batas minimal) pencurian yang mengharuskan pelakunya dipotong tangannya adalah seperempat dinar atau lebih. Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak memotong tangan pencuri dalam kasus pencurian yang nilainya tiga dirham. Rasulullah saw. bersabda: Tangan (yang mencuri) dipotong pada (kasus pencurian) seperempat dinar atau lebih. (HR al-Bukhari dan Muslim). Ketiga, ketika Islam menetapkan hukum-hukum pertukaran dalam muamalah, emas dan perak dijadikan sebagai tolok-ukurnya. Rasulullah saw. melarang pertukaran perak dengan perak atau emas dengan emas kecuali sama nilainya. Beliau memerintahkan untuk memperjualbelikan emas dengan perak sesuai yang diinginkan. Serangkaian dalil di atas juga menunjukkan bahwa islam tidak hanya memerintahkan menggunakan emas sebagai standar mata uang tetapi juga harus ditopang sistem perekonomian islam yang mampu menangani permasalahan moneter dan berbagai permasalahan makro ekonomi lainnya. Karena menggelembungnya (bubble) perekonomian dan nominal mata uang tidak lain merupakan imbas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang fasad. Saatnya berlakukkan mata uang dinar dan sistem perekonomian islam secara menyeluruh dalam naungan daulah khilafah islamiyah. Inilah satu-satunya solusi tuntas semua permasalahan perekonomian dunia.

Solusi Kenaikan Harga Pangan Pokok


MetroTV News, Jumat, 13 Agustus 2010 08:37 WIB Bustanul Arifin Laju kenaikan harga pangan pokok tahun 2010 ini mulai terasa pada bulan Juni, melonjak tinggi pada bulan Juli dan diperkirakan masih akan bertahan tinggi pada bulan Agustus-September 2010. Sesuatu yang cukup jelas adalah bahwa rekor laju inflasi 1,57 persen pada bulan Juli 2010 membuat waswas karena laju inflasi kumulatif selama tujuh bulan pertama telah mencapai 4,02 persen. Pemerintah menargetkan laju inflasi tahun 2010 sebesar 6 persen, yang hampir pasti akan terlampaui karena laju inflasi bulanan pada Agustus dan September diperkirakan masih akan tinggi. Laporan bulanan Badan Pusat Statistik (BPS) tanggal 5 Agustus 2010 mencatat harga rata-rata beras (kualitas premium) pada bulan Juli sebesar Rp 8.037 per kilogram, naik 5,74 persen dibandingkan bulan Juni 2010, atau naik 21,04 persen dibandingkan harga beras pada Juli 2009. Kenaikan harga cabe rawit pada Juli 2010 juga sangat tinggi, yaitu mencapai 34,29 persen, harga cabe merah naik 24,73 persen, harga dagin ayam ras naik 11,28 persen, harga telur ayam

ras naik 9,97 persen, ikan kembung naik 2,15 persen, dan harga gula pasir naik 1,37 persen. Beberapa harga pangan juga mengalami kenaikan walaupun tidak terlalu signifikan, sehingga tidak menjadi kontributor nyata pada laju inflasi bulan Juli 2010. Namun, hal yang harus diperhatikan adalah pada bulan Agustus ini, ekalasi harga-harga pangan tersebut belum akan menurun karena beberapa determinan utama kenaikan harga tersebut belum berhasil diidentifikasi dan dipecahkan. Artikel berikut mencoba mengidentifikasi beberapa faktor pemicu kenaikan harga pangan tersebut, sekaligus memberikan tawaran solusi yang mungkin berguna agar dampak kenaikan harga pada masa mendatang tidak memberikan dampak yang merugikan dan meresahkan masyarakat. **** Faktor pertama pemicu kenaikan harga pangan kali ini adalah bertemunya dorongan permintaan dan ekspektasi positif kenaikan harga karena laju konsumsi yang memang tinggi. Siapa pun paham bahwa pada bulan Juni-Juli harga pangan mengalami siklus kenaikan rutin, sebagaimana kenaikan rutin pada Desember-Januari setiap tahunnya. Sesuatu yang sedikit berbeda adalah bahwa kenaikan harga pangan pada bulan Juli 2010 juga berhubungan dengan respons para pedagang terhadap ekspektasi positif tradisi kenaikan harga karena beberapa faktor pemicu yang terjadi sejak akhir Juni atau awal Juli. Awal Juli seluruh pegawai negeri di Indonesia menerma gaji ke-13, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Pada awal Juli 2010 itu, pemerintah mengumumkan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sekitar 1518 persen, walaupun di lapangan kenaikan aktual dapat mencapai 70 persen. Walau pun kemudian kenaikan TDL itu direvisi sehingga secara riil kenaikan hanya berkisar 7 persen, namun ekspektasi positif kenaikan harga sudah terlanjur terbentuk dan mempengaruhi psikologi pedagang dan masyarakat umum. Apalagi fenomena kenaikan hargha pangan tersebut terjadi menjelang bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri yang secara tradisi selalu diikuti kenaikan harga pangan pokok. Pada sisi lain, kecenderungan kenaikan konsumsi yang memicu kenaikan harga pada bulan Ramadan mungkin perlu dibahas secara moral dan ilmu agama. Umat Muslim yang diperintahkan untuk mengurangi konsumsi pangan pada bulan Ramadan justru cenderung mengkonsumsi lebih banyak pangan pokok dan pernak-pernik pangan lain sampai Idul Fitri tiba. Solusi yang dapat ditawarkan untuk meredam faktor ekspektasi positif ini mungkin bisa diharapkan dari opesari pasar dan pelaksanaan pasar murah di beberapa titik konsumsi di seluruh Indonesia. Pemerintah berencana akan melaksanakan pasar murah serentak di 50 titik konsumsi atau kota besar di seluruh Indonesia. Operasi pasar seperti ini dapat bermanfaat untuk mengendalikan faktor psikologis pasar yang dipicu oleh ekspektasi positif seperti disebutkan di atas, agar kenaikan harga pangan tidak terjadi secara permanen. Pada saat operasi pasar murah, pemerintah dapat menyampaikan pesan kepada spekulan tentang keseriusan upayanya dalam menjaga stabilisasi harga pangan pokok. Sasaran pasar murah dapat dibagi mejadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat umum dan konsumen di kota besar, yang telah demikian berat harus menanggung kenaikan harga pangan secara bersamaan. Kelompok kedua adalah masyarakat miskin yang hidup di kantong-kantong kemiskinan di perkotaan (dan perdesaan). Sasaran pasar murah bagi kelompok kedua ini hanya akan efektif apabila dilaksanakan secara terpadu dengan tingkatan pemerintah yang paling bawah, dalam hal ini Kepala Desa, beserta aparat Rukun Warga dan Rukun Tetangga, yang seharusnya memiliki informasi lengkap tentang status warga miskin di wilayah kerjanya. **** Faktor kedua pemicu kenaikan harga pangan adalah kinerja pasokan yang sedikit terganggu,

walau pemerintah berkali-kali membantah bahwa pasokan pangan aman dan terkendali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem produksi dan sistem distribusi beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana dan prasarana transportasi banyak rusak. Beberapa media nasional dan daerah melaporkan rusaknya jalan di beberapa ruas di Pantai Utara Jawa, buruknya jalan Lintas Tengah dan Lintas Timur di Sumatera, sebagai dua poros utama jalru distribusi pangan. Sebagaimana diketahui, aktivitas ekonomi di Pulau Jawa dan Sumatra merupakan 84 persen penyumbang terhadap kinerja ekonomi nasional atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Betapa besar dan dahsyatnya apabila sarana infrastruktur di Jawa dan Sumatra terganggu. Dampak buruk yang ditimbulkannya tidak hanya ditanggung konsumen di perkotaan, tetapi juga harus ditanggung oleh petani di pelosok perdesaan. Kenaikan harga pangan kali ini sedikit sekali yang dapat dinikmati petani karena persentase kenaikan harga di tingkat konsumen jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase kenaikan harga di tingkat produsen. Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi faktor produksi dan distribusi ini adalah peningkatan produksi pangan dan pertanian yang diikuti dengan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur vital, terutama jalan negara sampai jalan desa. Peningkatan produktivitas pangan (per satuan lahan dan per satuan tenaga kerja) wajib menjadi acuan strategi kebijakan, karena Indonesia tidak dapat mengandalkan cara-cara konvensional dan sistem budidaya yang telah diadopsi selama 40 dekade terakhir. Pada aspek distribusi, selain upaya pemberantasan atau pengurangan pungutan resmi dan tidak resmi terhadap perdagangan komoditas pangan, perbaikan jaringan jalan dan infrastruktur vital lain menjadi sesuatu yang hampir mutlak. Rencana perbaikan jalan negara, jalan provinsi, kabupaten, sampai pada jalan desa dan jalan produksi usahatani, wajib segera diwujudkan. Masa-masa mudik menjelang lebaran adalah momentum yang tepat untuk segera merealisasikan tender beberapa proyek infrastruktur yang tertunda karena menunda kepastian pengesahan Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Kenyataan di lapangan, walaupun APBN-P tersebut telah disahkan, para aparat birokrasi yang terlalu hati-hati masih sering memberikan alasan yang sulit diterima akal sehat untuk tidak segera merealisasikan proyek infrastruktur yang terbengkalai. Misalnya, mereka berargumen masih menunggu kepastian pembiayaan beberapa tahun (multi-years) yang akan ditetapkan pada APBN 2011 mendatang. Maksudnya, para pemimpin di tingkat pusat dan daerah wajib memberikan pengarahan kepada staf dan anak-buah agar segera memberikan prioritas perbaikan sekian macam infrastruktur ekonomi sangat vital itu. Tindakan tegas terhadap mereka yang melakukan harus dibuat. **** Faktor ketiga yang memicu kenaikan harga pangan adalah perubahan iklim atau tepatnya musim kemarau basah yang diperkirakan masih akan berlangsung sampai November 2010. Gangguan produksi memang tidak terlihat pada musim panen raya padi April-Mei lalu, walaupun hal itu tidak berarti bahwa kualitas gabah akan lebih baik karena musim panen yang basah akan selalu meningkatkan butir mengapur dan derajat patah yang semakin tinggi. Akibat berikutnya, petani tidak menerima harga jual gabah yang layak, walaupun sebenarnya masih lebih tinggi dibandingkan harga jual gabah tahun-tahun sebelumnya. Dengan harga faktor produksi yang juga ikut meningkat, maka tingkat keuntungan relatif petani padi di Indonesia juga tidaklah terlalu tinggi. Demikian pula, rendahnya pasokan cabe dan produk hortikultura lain juga ikut memicu eskalasi harga komoditas penting bagi konsumsi rumah tangga dan industri kuliner Indonesia. Ancaman fenomena bulan basah La Nina masih akan mengganggu dan meningkatkan harga eceran pangan pokok pada siklus panen raya tahun 2011, sehingga Indonesia wajib melakukan analisis penilaian risiko (risk assessment) terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan faktor eksternal tersebut. Analisis serupa juga wajib dilakuka terhadap beberapa komoditas pangan Indonesia yang berasal dari impor, terutama gandum, karena beberapa negara produsen gandum di Eropa Timur

mengalami gangguan musim kemarau yang diperkirakan mengurangi produksi dan cadangan gandum dunia secara signifikan. Solusi yang dapat ditawarkan untuk menanggulangi faktor perubahan iklim ini memang tidak ada yang berdimensi jangka pendek, karena proses adaptasi dan mitigasi memerlukan waktu dan proses penyesuaian yang relatif lama. Namun demikian, strategi penguatan cadangan pangan di tingkat pusat melalui Perum Bulog, serta di daerah melalui divisi regional dan sub-regional di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat dijadikan langkah penting dalam jangka menengah. Paling tidak, untuk menjaga tingkat aman dan stabilitas harga pangan yang lebih berkelanjutan, cadangan beras yang dikuasai Bulog harus di atas 1,5 juta ton atau lebih. Cadangan beras pemerintah (CBP) di bawah 1 juta ton bukan angka yang aman dalam mengantisipasi eskalasi harga pangan pokok. Artinya, penanggulangan lonjakan harga pangan ini memerlukan kombinasi solusi jitu pada tingkat keputusan politik dengan presisi tinggi pada tingkat teknis ekonomis. Persoalan pangan dan kebutuhan pokok lain bukan ajang eksperimen pencitraan para pemimpin, tetapi merupakan uji kepatutan dan hati nurani kaum elit di negeri ini yang pantas disebut negarawan dan hamba Allah yang beriman.

Solusi Kenaikan Harga Pangan Pokok


MetroTV News, Jumat, 13 Agustus 2010 08:37 WIB Bustanul Arifin Laju kenaikan harga pangan pokok tahun 2010 ini mulai terasa pada bulan Juni, melonjak tinggi pada bulan Juli dan diperkirakan masih akan bertahan tinggi pada bulan Agustus-September 2010. Sesuatu yang cukup jelas adalah bahwa rekor laju inflasi 1,57 persen pada bulan Juli 2010 membuat waswas karena laju inflasi kumulatif selama tujuh bulan pertama telah mencapai 4,02 persen. Pemerintah menargetkan laju inflasi tahun 2010 sebesar 6 persen, yang hampir pasti akan terlampaui karena laju inflasi bulanan pada Agustus dan September diperkirakan masih akan tinggi. Laporan bulanan Badan Pusat Statistik (BPS) tanggal 5 Agustus 2010 mencatat harga rata-rata beras (kualitas premium) pada bulan Juli sebesar Rp 8.037 per kilogram, naik 5,74 persen dibandingkan bulan Juni 2010, atau naik 21,04 persen dibandingkan harga beras pada Juli 2009. Kenaikan harga cabe rawit pada Juli 2010 juga sangat tinggi, yaitu mencapai 34,29 persen, harga cabe merah naik 24,73 persen, harga dagin ayam ras naik 11,28 persen, harga telur ayam ras naik 9,97 persen, ikan kembung naik 2,15 persen, dan harga gula pasir naik 1,37 persen. Beberapa harga pangan juga mengalami kenaikan walaupun tidak terlalu signifikan, sehingga tidak menjadi kontributor nyata pada laju inflasi bulan Juli 2010. Namun, hal yang harus diperhatikan adalah pada bulan Agustus ini, ekalasi harga-harga pangan tersebut belum akan menurun karena beberapa determinan utama kenaikan harga tersebut belum berhasil diidentifikasi dan dipecahkan. Artikel berikut mencoba mengidentifikasi beberapa faktor pemicu kenaikan harga pangan tersebut, sekaligus memberikan tawaran solusi yang mungkin berguna agar dampak kenaikan harga pada masa mendatang tidak memberikan dampak yang merugikan dan meresahkan masyarakat. **** Faktor pertama pemicu kenaikan harga pangan kali ini adalah bertemunya dorongan permintaan dan ekspektasi positif kenaikan harga karena laju konsumsi yang memang tinggi. Siapa pun paham bahwa pada bulan Juni-Juli harga pangan mengalami siklus kenaikan rutin, sebagaimana kenaikan rutin pada Desember-Januari setiap tahunnya. Sesuatu yang sedikit berbeda adalah bahwa kenaikan harga pangan pada bulan Juli 2010 juga berhubungan dengan respons para pedagang terhadap ekspektasi positif tradisi kenaikan harga karena beberapa faktor pemicu yang terjadi sejak akhir Juni atau awal Juli. Awal Juli seluruh pegawai negeri di Indonesia menerma gaji ke-13, yang secara langsung atau tidak langsung

mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Pada awal Juli 2010 itu, pemerintah mengumumkan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sekitar 1518 persen, walaupun di lapangan kenaikan aktual dapat mencapai 70 persen. Walau pun kemudian kenaikan TDL itu direvisi sehingga secara riil kenaikan hanya berkisar 7 persen, namun ekspektasi positif kenaikan harga sudah terlanjur terbentuk dan mempengaruhi psikologi pedagang dan masyarakat umum. Apalagi fenomena kenaikan hargha pangan tersebut terjadi menjelang bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri yang secara tradisi selalu diikuti kenaikan harga pangan pokok. Pada sisi lain, kecenderungan kenaikan konsumsi yang memicu kenaikan harga pada bulan Ramadan mungkin perlu dibahas secara moral dan ilmu agama. Umat Muslim yang diperintahkan untuk mengurangi konsumsi pangan pada bulan Ramadan justru cenderung mengkonsumsi lebih banyak pangan pokok dan pernak-pernik pangan lain sampai Idul Fitri tiba. Solusi yang dapat ditawarkan untuk meredam faktor ekspektasi positif ini mungkin bisa diharapkan dari opesari pasar dan pelaksanaan pasar murah di beberapa titik konsumsi di seluruh Indonesia. Pemerintah berencana akan melaksanakan pasar murah serentak di 50 titik konsumsi atau kota besar di seluruh Indonesia. Operasi pasar seperti ini dapat bermanfaat untuk mengendalikan faktor psikologis pasar yang dipicu oleh ekspektasi positif seperti disebutkan di atas, agar kenaikan harga pangan tidak terjadi secara permanen. Pada saat operasi pasar murah, pemerintah dapat menyampaikan pesan kepada spekulan tentang keseriusan upayanya dalam menjaga stabilisasi harga pangan pokok. Sasaran pasar murah dapat dibagi mejadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat umum dan konsumen di kota besar, yang telah demikian berat harus menanggung kenaikan harga pangan secara bersamaan. Kelompok kedua adalah masyarakat miskin yang hidup di kantong-kantong kemiskinan di perkotaan (dan perdesaan). Sasaran pasar murah bagi kelompok kedua ini hanya akan efektif apabila dilaksanakan secara terpadu dengan tingkatan pemerintah yang paling bawah, dalam hal ini Kepala Desa, beserta aparat Rukun Warga dan Rukun Tetangga, yang seharusnya memiliki informasi lengkap tentang status warga miskin di wilayah kerjanya. **** Faktor kedua pemicu kenaikan harga pangan adalah kinerja pasokan yang sedikit terganggu, walau pemerintah berkali-kali membantah bahwa pasokan pangan aman dan terkendali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem produksi dan sistem distribusi beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana dan prasarana transportasi banyak rusak. Beberapa media nasional dan daerah melaporkan rusaknya jalan di beberapa ruas di Pantai Utara Jawa, buruknya jalan Lintas Tengah dan Lintas Timur di Sumatera, sebagai dua poros utama jalru distribusi pangan. Sebagaimana diketahui, aktivitas ekonomi di Pulau Jawa dan Sumatra merupakan 84 persen penyumbang terhadap kinerja ekonomi nasional atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Betapa besar dan dahsyatnya apabila sarana infrastruktur di Jawa dan Sumatra terganggu. Dampak buruk yang ditimbulkannya tidak hanya ditanggung konsumen di perkotaan, tetapi juga harus ditanggung oleh petani di pelosok perdesaan. Kenaikan harga pangan kali ini sedikit sekali yang dapat dinikmati petani karena persentase kenaikan harga di tingkat konsumen jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase kenaikan harga di tingkat produsen. Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi faktor produksi dan distribusi ini adalah peningkatan produksi pangan dan pertanian yang diikuti dengan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur vital, terutama jalan negara sampai jalan desa. Peningkatan produktivitas pangan (per satuan lahan dan per satuan tenaga kerja) wajib menjadi acuan strategi kebijakan, karena Indonesia tidak dapat mengandalkan cara-cara konvensional dan sistem budidaya yang telah diadopsi selama 40 dekade terakhir.

Pada aspek distribusi, selain upaya pemberantasan atau pengurangan pungutan resmi dan tidak resmi terhadap perdagangan komoditas pangan, perbaikan jaringan jalan dan infrastruktur vital lain menjadi sesuatu yang hampir mutlak. Rencana perbaikan jalan negara, jalan provinsi, kabupaten, sampai pada jalan desa dan jalan produksi usahatani, wajib segera diwujudkan. Masa-masa mudik menjelang lebaran adalah momentum yang tepat untuk segera merealisasikan tender beberapa proyek infrastruktur yang tertunda karena menunda kepastian pengesahan Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Kenyataan di lapangan, walaupun APBN-P tersebut telah disahkan, para aparat birokrasi yang terlalu hati-hati masih sering memberikan alasan yang sulit diterima akal sehat untuk tidak segera merealisasikan proyek infrastruktur yang terbengkalai. Misalnya, mereka berargumen masih menunggu kepastian pembiayaan beberapa tahun (multi-years) yang akan ditetapkan pada APBN 2011 mendatang. Maksudnya, para pemimpin di tingkat pusat dan daerah wajib memberikan pengarahan kepada staf dan anak-buah agar segera memberikan prioritas perbaikan sekian macam infrastruktur ekonomi sangat vital itu. Tindakan tegas terhadap mereka yang melakukan harus dibuat. **** Faktor ketiga yang memicu kenaikan harga pangan adalah perubahan iklim atau tepatnya musim kemarau basah yang diperkirakan masih akan berlangsung sampai November 2010. Gangguan produksi memang tidak terlihat pada musim panen raya padi April-Mei lalu, walaupun hal itu tidak berarti bahwa kualitas gabah akan lebih baik karena musim panen yang basah akan selalu meningkatkan butir mengapur dan derajat patah yang semakin tinggi. Akibat berikutnya, petani tidak menerima harga jual gabah yang layak, walaupun sebenarnya masih lebih tinggi dibandingkan harga jual gabah tahun-tahun sebelumnya. Dengan harga faktor produksi yang juga ikut meningkat, maka tingkat keuntungan relatif petani padi di Indonesia juga tidaklah terlalu tinggi. Demikian pula, rendahnya pasokan cabe dan produk hortikultura lain juga ikut memicu eskalasi harga komoditas penting bagi konsumsi rumah tangga dan industri kuliner Indonesia. Ancaman fenomena bulan basah La Nina masih akan mengganggu dan meningkatkan harga eceran pangan pokok pada siklus panen raya tahun 2011, sehingga Indonesia wajib melakukan analisis penilaian risiko (risk assessment) terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan faktor eksternal tersebut. Analisis serupa juga wajib dilakuka terhadap beberapa komoditas pangan Indonesia yang berasal dari impor, terutama gandum, karena beberapa negara produsen gandum di Eropa Timur mengalami gangguan musim kemarau yang diperkirakan mengurangi produksi dan cadangan gandum dunia secara signifikan. Solusi yang dapat ditawarkan untuk menanggulangi faktor perubahan iklim ini memang tidak ada yang berdimensi jangka pendek, karena proses adaptasi dan mitigasi memerlukan waktu dan proses penyesuaian yang relatif lama. Namun demikian, strategi penguatan cadangan pangan di tingkat pusat melalui Perum Bulog, serta di daerah melalui divisi regional dan sub-regional di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat dijadikan langkah penting dalam jangka menengah. Paling tidak, untuk menjaga tingkat aman dan stabilitas harga pangan yang lebih berkelanjutan, cadangan beras yang dikuasai Bulog harus di atas 1,5 juta ton atau lebih. Cadangan beras pemerintah (CBP) di bawah 1 juta ton bukan angka yang aman dalam mengantisipasi eskalasi harga pangan pokok. Artinya, penanggulangan lonjakan harga pangan ini memerlukan kombinasi solusi jitu pada tingkat keputusan politik dengan presisi tinggi pada tingkat teknis ekonomis. Persoalan pangan dan kebutuhan pokok lain bukan ajang eksperimen pencitraan para pemimpin, tetapi merupakan uji kepatutan dan hati nurani kaum elit di negeri ini yang pantas disebut negarawan dan hamba Allah yang beriman.
Pertumbuhan Indonesia yang kuat terus berlanjut, dengan tantangan jangka menengah untuk

memperkuat dan mempertahankan prestasinya

Ekonomi Indonesia terus mencatat pertumbuhan yang kuat, berlawanan dengan pergerakan ekonomi dunia lainnya yang bergejolak dan penuh ketidakpastian. Kuatnya pertumbuhan memungkinkan fokus kebijakan bergeser dari ketidakpastian jangka pendek menjadi pencapaian investasi dan reformasi yang dibutuhkan untuk menjamin pertumbuhan yang kuat dan berkelanjutan untuk periode yang lebih panjang. Pencapaian sasaran Pemerintah akan pertumbuhan di atas 7 persen di tahun 2014 membutuhkan peningkatan investasi yang kuat, terutama dalam infrastruktur, dan dalam keterampilan dan produktivitas.
Permintaan dalam negeri terus menyokong prestasi pertumbuhan Indonesia

Output triwulanan meningkat pada triwulan 2, yang menghasilkan pertumbuhan tahun-ketahun sebesar 6,2 persen, nilai tertinggi sejak timbulnya krisis ekonomi global dua tahun yang lalu. Permintaan dalam negeri, terutama belanja swasta, menyokong kinerja pertumbuhan dan berhubungan dengan meningkatnya impor, terutama bagi investasi dan barang setengah jadi. Walaupun tidak selambat pada triwulan 1, pencairan belanja pemerintah yang lambat menghambat pertumbuhan. Para mitra perdagangan Indonesia juga mencatat pertumbuhan yang lebih kuat dari perkiraan, walaupun keseluruhan sumbangan permintaan luar negeri bersih terhadap pertumbuhan bernilai negatif pada triwulan 2. Dalam hubungannya, prestasi sektor-sektor berorientasi dalam negeri melebihi sektor-sektor beorientasi luar negeri. Pola pertumbuhan tersebut umumnya diperkirakan akan berlanjut pada jangka pendek. Peningkatan konsumsi dalam negeri dan meningkatnya investasi pemerintah dan swasta akan turut mempengaruhi kontraksi pada surplus neraca berjalan. Investasi diperkirakan akan meningkat lebih jauh, dengan kuatnya pertumbuhan kredit investasi dan modal kerja yang terlihat beberapa bulan ini dan dengan alokasi ulang belanja pemerintah kepada belanja modal yang direncanakan untuk tahun 2011. Proyeksi pertumbuhan PDB di tahun 2010 direvisi sedikit naik dari yang dibuat pada Triwulanan edisi Juni, mencerminkan menguatnya sektor-sektor berorientasi dalam negeri, sementara ramalan PDB untuk tahun 2011 tetap tidak berubah pada 6,2 persen.
Tabel 1: R amalan tetap menunjukkan pertumbuhan yang kuat untuk tahun 2010 dan 2011

* Proyeksi Departemen Keuangan, angka tahun 2011 adalah anggaran yang direncanakan Sumber: Departemen Keuangan, BPS dan lembaga statistik nasional lain lewat CEIC, Consensus Forecasts Inc., dan Bank Dunia Faktor-faktor sementara mendorong peningkatan inflasi umum dengan peningkatan harga beras dalam negeri menggerakan inflasi keranjang kemiskinan naik dengan tajam

Inflasi inti meningkat pada beberapa bulan terakhir bersama-sama dengan meningkatnya permintaan dalam negeri. Pada bulan Agustus laju bulanan telah kembali kepada nilai rata-rata historisnya, walaupun masih terlalu dini untuk menilai apakah hal itu merupakan gejala awal yang sifatnya mengikat. Inflasi umum (headline), seperti seringkali terjadi, sangat bergejolak, meningkat dengan kuat di bulan Juni hingga Agustus, terutama karena perubahan besar yang satu kali terjadi pada sisi penawaran, yang disebabkan oleh musim kemarau basah. Yang pertama kali terkena dampaknya adalah harga cabai, tetapi kemudian juga harga bahan pangan lain, terutama harga beras, yang meningkat secara signifikan di pasar dalam negeri, menciptakan perbedaan harga beras yang makin lebar antara harga beras dalam negeri dan internasional. Peningkatan harga tersebut terutama mempengaruhi rumah tangga miskin, yang pengeluaran terbesarnya adalah untuk membeli beras. Inflasi keranjang kemiskinan mencapai 11.3 persen di bulan Agustus,

sekitar 5 poin persentase lebih tinggi dari tingkat inflasi umum. Gangguan tersebut diperkirakan hanya bersifat sementara, dan tampaknya perkiraan akan tingkat inflasi tidak berubah karena hanya memiliki dampak yang terbatas. Akan tetapi, dalam jangka pendek, peningkatan harga barang-barang dan jasa yang dikonsumsi oleh kaum miskin dapat menutup beberapa pengaruh pengentasan kemiskinan yang dibawa oleh kuatnya kinerja pertumbuhan, yang turut menyebabkan turunnya tingkat kemiskinan menjadi 13,3 persen di bulan Maret 2010 dari 14,2 persen satu tahun sebelumnya.

Kenaikan Harga Sembako Ulah Spekulan User Rating: /1 Poor Best Written by Eva Simanjuntak Friday, 09 July 2010 09:40 Kenaikan harga kebutuhan pokok yang meresahkan masyarakat belakangan ini disinyalir akibat ulah spekulan untuk mendapatkan keuntungan besar. Makanya, Pemko Medan diminta pro aktif dan mencari faktor penyebab kenaikan harga kebutuhan itu. "Kita minta Pemerintah Kota (Pemko) Medan dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Medan menyikapi persoalan ini agar harga kembali normal. Karena ini menyangkut kebutuhan, masyarakat banyak," ujar anggota Komisi C DPRD Medan Hasyim, Kamis (8/7) menyikapi melambungnya harga kebutuhan pokok seperti cabai yang mencapai Rp50 ribu per Kg. Selain itu, Wakil Ketua Fraksi Partai PDIP ini juga menekankan, Pemko Medan harus mencari penyebab sekaligus solusi kenaikan harga ini. "Kalau melihat kondisi ekonomi sekarang, semestinya harga kebutuhan pokok ini stabil. Kalau ditanya siapa yang bermain di balik ini, saya menduga ada keterlibatan spekulan, tukasnya. Artinya, ada pihak-pihak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Karena jika dikaitkan dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang diberlakukan per Juli ini sebenarnya tidak ada korelasinya. Sebab produksi seperti cabai, daging ayam potong, tidak melalui proses produksi. Demikian halnya dengan cairnya, gaji ke 13 juga tidak berkorelasi. Namun momen ini, disinyalir dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab, sebab potensi dan daya beli bahan pokok juga tidak tinggi.
Rate

Kalaupun dikaitkan dengan akan datangnya bulan Ramadhan, saya pikir ini juga persoalan klasik, sebab tidak ada korelasinya, sehingga tidak bisa dikait-kaitkan, namun yang pasti ada kaitannya dengan spekulan," urai Hasyim. Di sisi lain, peran pemko sambung Hasyim dalam menyikapi kenaikan harga kebutuhan pokok yang terjadi sepekan terakhir ini, lamban. Padahal, kebutuhan pokok ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Diharapkan pelaku bisnis yang berhubungan dengan kebutuhan pokok, memiliki tanggungjawab moral untuk tidak berspekuluasi dalam menaikkan harga dengan memanfaatkan momen kenaikan TDL dan gaji ke-13 serta jelang Ramadhan. Secara terpisah Kepala Dinas Perdagangan Kota Medan, Basyirul Kamal yang dikonfirmasi menyebutkan pihaknya tidak bisa mengintervensi harga pasar. Disebutkannya, kenaikan harga kebutuhan pokok yang terjadi belakangan ini murni disebabkan karena kekurangan produksi, bukan faktor lain. Jika produksi kurang, apa mau dibuat. Karena hasil temuan, kenaikan harga ini disebabkan karena produksi yang kurang. Jadi apa yang mau kita buat, tandasnya. Hal senada diungkapkan Kasubag Program Dinas Pertanian Sumut Lusiantini. Saat ditemui Global secara terpisah dia menyebutkan, jika berkaca pada kondisi Januari-April, Sumut dilanda musim kemarau panjang. Sejumlah sentra pertanian yang membutuhkan curah hujan tinggi menjadi terganggu. Seluruh tanaman holtikultura mulai mengalami pergeseran akibat cuaca. Yang harusnya tadi sudah mulai panen, menjadi terganggu. Seperti sentra produksi cabai di Kecamatan Tiga Binanga, Tiga Nderket, Simpang Empat dan Kecamatan Payung di Kabupaten Karo, jelas Lusiantini. Diungkapkannya, mengacu pada data BMG, Sumut sedang dilanda El Nino kecil, penyebab lebih panjangnya musim kemarau. Petani, sambung dia, hingga kini masih menunggu waktu tepat untuk memulai musim tanam baru. Areal perladangan yang sebagian sudah usai panen, juga masih menungu. Menurutnya, selain faktor iklim, lonjakan harga pada sejumlah harga hasil bumi seperti cabai merah, bawang merah juga dipicu minimnya pasokan dari luar Sumut.

Tapi karena pengaruh pergeseran musim tak jauh beda dengan di sini, pasokan dari Aceh ikut berkurang, sehingga mesti mengandalkan produksi lokal. Begitu juga dengan bawang merah dipasok dari Jawa. Sedangkan bawang putih kebanyakan diimpor, ucapnya. Sementara Kasubdis Bina Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindagsu M Elly Silalahi mengakui terjadi kenaikan menyolok di sejumlah komoditi terutama cabai merah dan bawang. Berbeda dengan Distan yang menyebut pergeseran jadwal musim menjadi pemicu, pejabat Dinas Perindagsu itu mengatakan, adanya lonjakan harga disebabkan suplai bawang dan cabai sempat membanjir karena terjadi panen serentak. Beberapa petani tidak mau panen karena hasil jual tak mampu menutupi biaya produksi, sehingga hasil panen sedikit dan harga tinggi, jelas dia. Menurutnya, kenaikan harga umumnya terjadi pada komoditi pertanian, sedangkan kebutuhan pokok strategis, sambung dia, tidak terlihat lonjakan harga tinggi. Stok untuk kebutuhan tersedia, dan hanya mekanisme pasar saja (harga-red), tandasnya. Hasil monitoring Global, harga barang di Pasar Sukarame menunjukkan cabai merah masih di posisi Rp48 ribu/Kg, bawang merah Rp22 ribu/Kg, bawang putih Rp24 ribu/Kg dan cabai hijau Rp34 ribu/Kg. Harga ikan dan daging juga mengalami kenaikan dari normal seperti ayam potong Rp28 ribu/Kg dari Rp 20 ribu/Kg, daging sapi Rp60 ribu/Kg dari Rp54 ribu/Kg, ikan tongkol Rp15 ribu dari Rp11 ribu/Kg, dencis Rp22 ribu dari Rp15 ribu/Kg, gembung Rp17 ribu dari Rp15 ribu/Kg. Oleh : Alimuddin (Candidate Doktor Pascasarjana IPB, Lajnah Siyasah DPP- HTI ) Pendahuluan Bagi Umat Islam puasa adalah saatnya menahan diri. Di siang hari kita menahan untuk tidak makan dan minum. Dengan begitu permintaan makanan dan minuman akan menurun di bulan puasa. Namun kenyataannya tidak demikian. Fenomena klasik yang terjadi adalah, setiap bulan puasa dan lebaran, harga-harga malah meningkat. Dan yang menarik, peningkatan itu selalu terjadi di komponen makanan. Permintaan makanan justru lebih tinggi di bulan puasa. Kenaikan harga di hari-hari raya keagamaan adalah fenomena yang kerap terjadi di berbagai negara. Di India, harga-harga juga meningkat pada setiap perayaan Monsoon. Di Amerika Serikat dan Inggris, ada yang dinamakan Christmas Inflation, atau kenaikan harga barang karena perayaan Natal. Saat itu, setiap warga berbelanja barang-

barang dan hadiah guna memeringati hari raya. Kenaikan harga pada tingkat tertentu sebenarnya tidak menjadi masalah, sepanjang terkendali. Peningkatan permintaan di harihari tertentu juga diperlukan guna melumasi perekonomian, khususnya yang sedang dilanda kelesuan. Namun yang menjadi masalah adalah apabila kenaikan harga tersebut terjadi secara persisten dan menyulitkan kehidupan masyarakat. Apalagi bila kenaikan tersebut mengakibatkan angka inflasi yang sudah diproyeksikan bank sentral terlampaui. Dampaknya adalah menurunnya kesejahteraan dan daya beli masyarakat. Para ibu rumah tanggapun mulai mengeluh saat harga meningkat di hari raya. Oleh karenanya, upaya menangani sumber-sumber kenaikan harga menjadi strategis untuk dilakukan. Dalam melambungnya harga baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder disebabkan adanya kebijakan dalam perspektif kapitalis dimana harga diserahkan kepada mekanisme pasar. Dalam telaah ini penulis menformulasikan cara menurunkan harga dalam perspektif Islam agar masyarakat dapat hidup dengan adil dan sejahtera. Fakta dan Analisa Kenaikan Harga Di Indonesia, kenaikan harga di bulan puasa biasanya terjadi pada komponen makanan. Data dari Kementerian Perdagangan bahwa harga kebutuhan pokok pada Ramadhan atau Agustus tahun ini dibandingkan dengan bulan Juli rata-rata mengalami kenaikan. Harga minyak goreng curah, misalnya, diprediksi mengalami kenaikan Rp 275 perkilogram menjadi Rp 9.616 perkilo dari harga rata rata Juli Rp 9.341 per kilo. Demikian juga harga gula dengan kenaikan rata rata Rp 342 perkilo menjadi Rp 10.732 perkilogram. Harga rata-rata cabe merah keriting pada bulan Agustus 2010, seperti terdata mulai 12 Agustus 2010 mengalami kenaikan sebesar Rp 1.628 perkilo dibandingkan bulan Juli 2010 menjadi Rp 35.736 perkilogram. Sementara bawang merah diklaim akan mengalami penurunan sebesar Rp 616 perkilogram mennjadi Rp 19.995 perkilogram. Komoditi yang paling dijaga oleh pemerintah yaitu beras juga akan mengalami kenaikan rata-rata sebesar Rp 200 perkilonya. Untuk beras kualitas medium saat ini mencapai Rp 6.700 perkilonya. Saat ini harga daging sapi mencapai Rp 68.397 perkilogram sedangkan pada Juli 2010 lalu sebesar Rp 65.689 perkilo. Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurti, mengatakan bahwa distribusi daging sapi yang tidak merata selama awal bulan puasa 2010 memicu kenaikan harga daging di sejumlah daerah. Tersendatnya distribusi daging sapi dari daerah penghasil komoditi ini ke daerah lain, yang tidak memiliki banyak peternak sapi menjadi penyebab utama kenaikan harga. (http://www.sumutcyber.com,21/8/2010) Di Jakarta,Harga Terigu Mulai Naik 10% di Pasar dari harga yang biasanya Rp 7 ribu/kg menjadi Rp 8 ribu/kg. Hal ini juga dialami komoditas gula. Harga gula saat ini mencapai Rp11 ribu/kg setelah sebelumnya sempat turun hingga Rp 9 ribu/kg. Susu juga mengalami kenaikan sekitar Rp 500 per kaleng. Saat ini harga susu kaleng mencapai Rp 9 ribu. Minyak goreng juga mengalami kenaikan sebesar Rp 1.000/liter. (www.detik finance.com, 21/8/ 2010) Jakarta Barat, Harga bahan pokok lain terbilang relatif stabil. Telur ayam berada di harga Rp15 ribu per kilogram. Sedangkan harga daging sapi naik dari Rp60 ribu menjadi Rp65 hingga Rp70 ribu per kilogram. Daging ayam berkisar Rp23 ribu hingga Rp28 ribu per ekor. (www.Metrotvnews.com) Di Jawa Barat Cirebon harga daging sapi per kilo Rp54.000 hingga Rp55.000 per kg harga naik sampai Rp70.000. Kedua jenis cabai itu dijual dengan harga Rp40.000 per kg, atau naik dua kali lipat dibandingkan kondisi normal. Sementara, cabai merah keriting

saat ini harganya mencapai Rp35.000 per kg. Padahal sebelumnya hanya Rp18.000 per kg, cabai hijau naik dari Rp12.000 menjadi Rp20.000 per kg, cabai rawit domb naik dari Rp10.000 menjadi Rp35.000 per kg, cabai rawit dari Rp25.000 menjadi Rp28.000 per kg. Di Pasar Induk Caringin Kota Bandung, harga bawang merah naik dari Rp10.000 menjadi Rp16.000 per kg, bawang putih naik dari Rp14.000 menjadi Rp26.000 per kg. Kenaikan harga juga mulai dirasakan komoditas beras di Pasar Induk Caringin. ( http://www.disnak.jabarprov.go.id,21/8/2010) Di Jawa Timur Surabaya.harga telor yang sebelumnya dikisaran Rp 10.500/kg sampai dengan Rp 11.000/kg naik sekarang jadi 13 ribu per kilo. (www. suarasurabaya.net,21/8/2010) Di Sulawesi Selatan Kota Parepare, seperti di Pasar Senteral Lakessi, kebutuhan pokok yang mengalami kenaikan cukup drastis adalah gula pasir, dari Rp 360.000 menjadi Rp 480.000 per 50 kilogram.Selain gula pasir, kenaikan paling menonjol juga terjadi pada bawang merah, dari Rp 15.000 menjadi Rp 30.000 per kilogram atau naik 100 persen. Kenaikan serupa juga terjadi pada harga bawang putih. Semula, harga bawang putih hanya Rp 12.000 per kilogram. Kini, harga melonjak jadi Rp 35.000 per kilogram. (www.kompas.com,15/7/2010) Di Sulawesi Barat Kabupaten Mamuju Harga sayur mayur menjelang hingga saat ini bulan suci ramadhan 1431 hijriah meningkat hingga 100 persen. Pemantauan di Mamuju, Sabtu, harga sayur mayur yang dijual sejumlah pedagang di pasaran kota Mamuju seperti sayur kankung melonjak hingga 100 persen dari Rp1.000 per ikat menjadi Rp2.000 per ikat begitu juga sayur Bayam naik dari harga Rp1.000 per ikat menjadi Rp2.000 per ikat. (www.kompas.com, 20/8/ 2010). Faktor lain yang dapat memicu kenaikan harga adalah ketidakseimbangan permintaan penawaran, dan kenaikan harga barang yang dikendalikan pemerintah, seperti harga BBM, TDL, ataupun Elpiji. Namun kalau kita lihat data, maka peningkatan harga sampai dengan pertengahan 2010 didominasi oleh tekanan yang bersumber dari kelompok makanan, khususnya beberapa komoditas favorit masyarakat Indonesia, yaitu cabe merah, cabe rawit, bawang merah, dan bawang putih, serta komoditas beras. Grafik 1. Kenaikan harga bahan makanan / sumber: BI, 2010 Hal menarik adalah, apabila terjadi kenaikan harga pada satu jenis makanan, maka hubungannya saling berjalin kelindan. Beras akan memengaruhi bumbu-bumbuan, lalu bumbu-bumbuan akan memengaruhi buah-buahan dan sayuran, termasuk ke umbiumbian, dan seterusnya. Efek ini berputar terus sampai ke produk makanan turunan. Kalau harga beras naik, maka lontong dan ketupat ikut naik. Mengapa hal itu bisa terus-menerus terjadi? Realita yang terjadi adalah bahwa struktur konsumsi bangsa kita, infrastruktur, dan rantai distribusi yang begitu kompleks, memengaruhi permintaan dan penawaran akan bahan makanan. Negeri Indonesia yang luas, berkepulauan, dan berpenduduk banyak tentu memiliki tantangan dalam berbagai hal tadi. Selain itu, bahan makanan juga sangat tergantung pada musim dan waktu waktu tertentu yang memengaruhi perilaku masyarakat, seperti misalnya bulan puasa ini. Grafik 2: Kenaikan harga 4 komoditas makanan utama / sumber: BI, 2010 Data sejak tahun 2002 menunjukkan bahwa harga komoditi makanan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun (lihat grafik 1). Dan yang menarik, kenaikan itu selalu

mengalami lonjakan di setiap perayaan keagamaan, seperti puasa, lebaran, dan natal (lhat Grafik 2). Empat komoditas utama masyarakat Indonesia, yaitu cabe merah, cabe rawit, bawang putih, dan bawang merah, juga selalu menunjukkan trend meningkat (Cabe Rawit di Grafik 3). Grafik 3: Kenaikan Cabe Rawit dari tahun ke tahun / Sumber: BI 2010 Dari hasil analisis terlihat bahwa kenaikan harga komoditas di tahun 2010 sebagian di antaranya diakibatkan oleh kendala cuaca yang mengakibatkan pasokan dan distribusi terganggu. Memasuki bulan puasa, di kala permintaan mulai meningkat, maka masalah pasokan yang langka menjadi semakin serius. Langkah penanganan masalah ini membutuhkan kesabaran dan kesiapan semua pihak. Dari sisi pengambil kebijakan, upaya Pemerintah untuk terus menerus mengatasi masalah pasokan dan distribusi, menjadi penting. Operasi pasar untuk beras, pengadaan beras untuk rakyat miskin, crash program penanaman cabe, hingga impor daging, telah dilakukan. Namun di lapangan, kepanikan masih terjadi karena mahalnya harga dan langkanya beberapa kebutuhan. Meningkatnya permintaan di bulan puasa, telah melahirkan pula dugaan perilaku spekulan yang mencari keuntungan di tengah permasalahan. Mereka mempermainkan pasokan dan harga sehingga semakin memperkeruh suasana. Di sisi lain, pembangunan dan perbaikan infrastruktur menjadi semakin mendesak agar distribusi makanan dapat berjalan lancar, khususnya di hari raya. Ketersediaan energi, khususnya listrik, juga dibutuhkan untuk mengurangi biaya-biaya. Di sisi lain, Bank Indonesia juga dituntut untuk mampu menjaga ekspektasi, mengendalikan likuiditas di pasar, dan menjaga kestabilan rupiah. Kerja sama tersebut menjadi kunci dalam kestabilan harga. Tanpa langkah konvergen dan sinergis tersebut, kenaikan harga yang merepotkan akan terus menerus terjadi, dan menjadi tradisi bagai tamu rutin yang datang setiap hari raya. (http://ekonomi.kompasiana.com, 21/8/2010) Cara Menetapkan dan Menurunkan Harga Dalam Perspektif Islam Cara Menetapkan Harga Jumhur ulama menolak peran negara untuk mencampuri urusan ekonomi, di antaranya untuk menetapkan harga, sebagian ulama yang lain membenarkan negara untuk menetapkan harga. Perbedaan pendapat ini berdasarkan pada adanya hadis yang diriwayatkan oleh Anas sebagaimana berikut: Orang orang mengatakan, wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan saya sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezalimanpun dalam darah dan harta. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Asy-Syaukani menyatakan, hadits ini dan hadits yang senada dijadikan dalil bagi pengharaman pematokan harga dan bahwa ia (pematokan harga) merupakan suatu kezaliman (yaitu penguasa memerintahkah para penghuni pasar agar tidak menjual barang barang mereka kecuali dengan harga yang sekian, kemudian melarang mereka untuk menambah ataupun mengurangi harga tersebut). Alasannya bahwa manusia dikuasakan atas harta mereka sedangkan pematokan harga adalah pemaksaan terhadap

mereka. Padahal seorang imam diperintahkan untuk memelihara kemashalatan umat Islam. Pertimbangannya kepada kepentingan pembeli dengan menurunkan harga tidak lebih berhak dari pertimbangan kepada kepentingan penjual dengan pemenuhan harga. Jika kedua persoalan tersebut saling pertentangan, maka wajib memberikan peluang kepada keduanya untuk berfikir bagi diri mereka sedangkan mengharuskan pemilik barang untuk menjual dengan harga yang tidak disetujukan adalah pertentangan dengan firman Allah. Berdasarkan hadis ini pula, mazhab Hambali dan Syafii menyatakan bahwa negara tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga. Ibnu Qudhamah al Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari mazhab Hambali menulis, Imam (pemimpin pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi penduduk, penduduk boleh menjual barang mereka dengan harga berapapun yang mereka sukai. Pemikir dari mazhab Syafi,i juga memiliki pendapat yang sama (Islahi, 1997: 111). Ibnu Qudhamah mengutip hadis di atas dan memberikan dua alasan tidak memperkenankan mengatur harga. Pertama rasulullah tidak pernah menetapkan harga meskipun penduduk menginginkan. Bila itu dibolehkan pasti rosulullah akan melaksanakannya. Kedua menetapkan harga adalah suatu ketidakadilan (zulm) yang dilarang. Hal ini karena melibatkan hak milik seorang, yang di dalamnya adalah hak untuk menjual pada harga berapapun, asal ia bersepakat dengan pembelinya (Islahi 1997: 111). Dari pandangan ekonomis, Ibnu Qudamah menganalisis bahwa penetapan harga juga mengindasikan pengawasan atas harga tak menguntungkan. Ia berpendapat bahwa penatapan harga akan mendorong harga menjadi lebih mahal. Sebab jika pandangan dari luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa barang dagangannya ke suatu wilayah di mana ia dipaksa menjual barang dagangannya di luar harga yang dia inginkan. Para pedagang lokal yang memiliki barang dagangan, akan menyembunyikan barang dagangan. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta barang barang dagangan dan membuatkan permintaan mereka tak bisa dipuaskan, karena harganya meningkat. Harga meningkat dan kedua pihak menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi dari menjual barang dagangan mereka dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tidak bisa dipenuhi. Inilah alasannya kenapa hal itu dilarang (Islahi 1997: 111). Argumentasi itu secara sederhana dapat disimpulkan bahwa harga yang ditetapkan akan membawa akibat munculnya tujuan yang saling bertentangan. Harga yang tinggi, pada umumnya bermula dari situasi meningkatnya permintaan atau menurunnya suplai. Pengawasan harga hanya akan memperburuk situasi tersebut. Harga yang lebih rendah akan mendorong permintaan baru atau meningkatkan permintaanya, dan akan mengecilkan hati para importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama, akan mendorang produksi dalam negeri, mencari pasar luar negeri (yang tak terawasi) atau menahan produksinya sampai pengawasan harga secara lokal itu dilarang. Akibatnya akan terjadi kekurangan suplai. Jadi tuan rumah akan dirugikan akibat kebijakan itu dan perlu membendung berbagai usaha untuk membuat regulasi harga.

Ibnu Taimiyah menguji pendapat-pendapat dari keempat mazhab itu, juga pendapat beberapa ahli fiqih, sebelum memberikan pendapatnya tentang masalah itu. Menurutnya kontroversi antar para ulama berkisar dua poin: Pertama, jika terjadi harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih tinggi dari pada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu menurut mazhab Maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di bawah harga semestinya, dua macam pendapat dilaporkan dari dua pihak. Menurut Syafii dan penganut Ahmad bin Hanbal, seperti Abu HafzalAkbari, Qadi Abu yala dan lainnya, mereka tetap menentang berbagai campur tangan terhadap keadaan itu (Islahi, 1997: 113). Kedua, dari perbedaan pendapat antar para ulama adalah penetapan harga maksimum bagi para penyalur barang dagangan (dalam kondisi normal), ketika mereka telah memenuhi kewajibannya. Inilah pendapat yang bertentangan dengan mayoritas para ulama, bahkan oleh Maliki sendiri. Tetapi beberapa ahli, seperti Said bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan yahya bin said, menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa otoritas harus menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu, di mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan olehnya (Taimiyah, 1983: 49). Ibnu Taimiyah menafsirkan sabda Rasulullah SAW yang menolak penetapan harga, meskipun pengikutnya memintanya, Itu adalah sebuah kasus khusus dan bukan aturan umum. Itu bukan merupakan merupakan laporan bahwa seseorang tidak boleh menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga melebihi konpensasi yang ekuivalen (Iwad al-Mithl). (Taimiyah, 1983: 114). Ia membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga yang adil, jika terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, ketika dalam kasus pembebasan budaknya sendiri, Ia mendekritkan bahwa harga yang adil (qimah al-adl) dari budak itu harus di pertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan (lawakasa wa la shatata) dan setiap orang harus diberi bagian dan budak itu harus dibebaskan (lslahi, 1997: 114). Kondisi kedua, dilaporkan ketika terjadi perselisihan antara dua orang, satu pihak memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain, pemilik tanah menemukan adanya bagian pohon yang tumbuh di atas tanahnya, yang dirasa mengganggunya. Ia mengajukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan pemilik pohon untuk menjual pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima konpensasi atau ganti rugi yang adil kepadanya. Orang itu ternyata tak melakukan apa-apa. Kemudian Rasulullah SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia memberikan konpensasi harganya kepada pemilik pohon (Islahi, 1997: 115). Ibnu Taimiyah menjelasklan bahwa jika harga itu bisa ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan, pakaian dan perumahan, karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada kebutuhan seorang individu. Salah satu alasan lagi mengapa Rasulullah SAW menolak menetapkan harga adalah pada waktu itu, di Madinah, tak ada kelompok yang secara khusus hanya menyadi pedagang. Para penjual dan pedagang merupakan orang yang sama, satu sama lain (min jins wahid). Tak seorang pun bisa dipaksa untuk menjual sesuatu. Karena penjualnya tak

bisa diidentifikasi secara khusus. Kepada siapa penetapan itu akan dipaksakan? (Taimiyah, 1983: 51). Itu sebabnya penetapan harga hanya mungkin dilakukan jika diketahui secara persis ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis melakukan manipulasi sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan kondisi ini, tak ada alasan yang bisa digunakan untuk menetapkan harga. Sebab, itu tak bisa dikatakan pada seseorang yang tak berfungsi sebagai suplaier, sebab tak akan berarti apa-apa atau tak akan adil. Argumentasi terakhir ini tampaknya lebih realistis untuk dipahami. Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di Madinah sebagian besar berasal dari impor. Kondisi apapun yang dilakukan terhadap barang itu, akan bisa menyebabkan timbulnya kekurangan suplai dan memperburuk situasi. Jadi, Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi, dengan mengatakan, Seseorang yang mambawa barang yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari, siapapun yang menghalanginya sangat dilarang. Faktanya saat itu penduduk madinah tidak memerlukan penetapan harga. (Islahi, 1997: 116). Dari keterangan di atas, tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan bila para pemegang stok barang atau para perantara di kawasan itu berusaha menaikkan harga. Jika seluruh kebutuhan menggantungkan dari suplai impor, dikhawatirkan penetapan harga akan menghentikan kegiatan impor itu. Karena itu, tidak menetapkan harga, tetapi membiarkan penduduk meningkatkan suplai dari barang-barang dagangan yang dibutuhkan, sehingga menguntungkan kedua belah pihak.Tak membatasi impor, dapat diharapkan bisa meningkatkan suplai dan menurunkan harga. Cara Menurunkan Harga Penyebab kenaikan harga tersebut di atas bisa diakibatkan oleh 3 faktor: Pertama, Langkanya barang, semisal akibat bencana alam, Kedua, Penurunan nilai mata uang yang dipegang masyarakat, Ketiga, Tingginya permintaan, semisal menjelang hari besar Islam. Ketiga faktor tersebut sama-sama akan membuat kenaikan harga, atau kemampuan uang untuk mendapatkan harga sembako tersebut akan menurun, sehingga untuk mendapatkan harga sembako, masyarakat harus mengeluarkan jumlah uang yang lebih besar dari biasanya. Dan ini bisa disebut sebagai inflasi (kenaikan harga). Perbedaannya adalah, apabila faktor pertama dan ketiga adalah faktor yang bukan berasal dari perbuatan jelek dari tangan manusia, sehingga Nabi SAW melarang menetapkan harga (tasir) ketika para shahabat menginginkannya agar harga tidak berfluktuatif. Sedangkan faktor ketiga adalah bukan sebab alami, melainkan sebab perbuatan jelek dari tangan manusia. Dan inilah problem inflasi yang dibahas dalam dunia akademisi ekonomi dalam bidang ekonomi makro. Karena kenaikan harga (inflasi) pada es jeruk atau barangbarang kebutuhan pokok pada faktor kedua, merupakan hal yang biasa terjadi dalam skala tahunan dan secara agregat (merata pada suatu masyarakat), dan hal ini terjadi bukan oleh sebab kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok tersebut. Islam mendorong perdagangan karena dengan itu manusia akan saling mencukupi kebutuhannya, tapi tidak boleh berlansung bebas/liberal (freedom) dan freemarket. Dalam konsep free market swasta dibebaskan dari keterikatannya terhadap negara dan tanggung jawab atas permasalahan sosial yang terjadi karena aktivitas perusahaan mereka. Pengurangan tingkat upah dengan menghapus serikat-serikat pekerja dan memotong hak-hak buruh. Harga dibiarkan bergerak tanpa intervensi pemerintah. Kebebasan total di dalam perpindahan modal, barang, jasa. Para pengusung free market

senantiasa menyatakan: Pasar yang tidak diatur adalah jalan terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan memberikan keuntungan bagi setiap orang.Perdagangan harus berjalan sebagai bagian dari ibadah. Dalam pandangan Islam perdagangan dibiarkan perdagangan secara wajar. Mekanisme penawaran dan permintaan akan menciptakan menciptakan tata pemenuhan kebutuhan masyarakat dan penetapan harga di atas keridhaan semua pihak yaitu antara penjual dan pembeli bukan ditentukan oleh sepihak (penjual saja). Negara mengawasi agar tidak terjadi praktek-praktek yang terlarang seperti penipuan, penimbunan, monopoli, kedzaliman, menetapkan harga, menaikkan harga. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas sebagaimana berikut: Orang orang mengatakan, wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan saya sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezalimanpun dalam darah dan harta. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Imam As-Syaukani Asy-Syaukani menyatakan, hadits ini dan hadits yang senada dijadikan dalil bagi pengharaman pematokan harga dan bahwa ia (pematokan harga) merupakan suatu kezaliman (yaitu penguasa memerintahkah para penghuni pasar agar tidak menjual barang barang mereka kecuali dengan harga yang sekian, kemudian melarang mereka untuk menambah ataupun mengurangi harga tersebut). Alasannya bahwa manusia dikuasakan atas harta mereka sedangkan pematokan harga adalah pemaksaan terhadap mereka. Padahal seorang imam diperintahkan untuk memelihara kemashalatan umat Islam. Pertimbangannya kepada kepentingan pembeli dengan menurunkan harga tidak lebih berhak dari pertimbangan kepada kepentingan penjual dengan pemenuhan harga. Jika kedua persoalan tersebut saling pertentangan, maka wajib memberikan peluang kepada keduanya untuk berfikir bagi diri mereka sedangkan mengharuskan pemilik barang untuk menjual dengan harga yang tidak disetujukan adalah pertentangan dengan firman Allah. Penjabaran di atas bahwa melindungi kepentingan pembeli bukanlah hal yang lebih penting dari melindungi penjual. Jika melindungi keduanya sama perlunya, maka wajib membiarkan kedua belah pihak menetapkan harga secara wajar di atas keridhaan keduanya. Memaksa salah satu pihak merupakan kezaliman sepertinya yang terjadi sekarang cuma penjual menaikkan harga tanpa ada persetujuan dari pihak pembeli (masyarakat) dan bertentangan dengan firman Allah: Hai orang-orang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesame dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu (QS. An-Nisa:29). Penetapan harga dan menaikkan harga secara sepihak demi kepentingan penjual kemudian penjual terdiri perseroan (perusahaan) swasta free market dengan asumsikan bahwa tingginya permintaan dengan hari-hari besar Islam tentu menyusahkan bagi masyarakat terutama masyarakat ekonomi lemah (kurang mampu) tidak dapat membeli barang terutama kebutuhan primer bahan pangan (sembako). Akibatnya masyarakat ekonomi menengah keatas yang bisa membeli/belanja di toko, pasar, supermarket, mall sehingga terjadi ketimpangan, kesenjangan, ketidakadilan, tidak terjadi distribusi secara merata atau pemerataan barang di tengah masyarakat. Masyarakat ekonomi lemah (miskin) semakin menderita, menjerat tidak bisa hidup dengan baik tidak bisa berbuat apa-apa, kurang gizi, hidup di atas ketertindasan.

Demikian halnya menaikkan harga demi kepentingan pembeli mendorong hilangnya barang dipasaran, karena penjual merasa dirugikan. Dan ini menyebabkan harga barang naik, yang tentu akan menyusahkan masyarakat terutama masyarakat ekonomi lemah (kurang mampu). Atau demi mendapatkan harga yang tinggi produsen (pemilik barang) menimbung barang dagangannya untuk sementara waktu hingga pasaran naik. inilah disebut ihtikar. Tindakan inipun dikecam oleh Rasulullah SAW. menyatakan : Tidak akan menimbun barang supaya naik harganya kecuali orang-orang yang berdosa(HR. Muslim). Barangsiapa ikut campur urusan harga kaum muslimin, dengan tujuan memenangkan atas mereka, adalah haknya Allah mendudukkannya digolakkan besar api pada hari kiamat (HR. Ahmad) Pada zaman Umar bin Khattab pernah mengambil kebijakan mengurangi bea masuk terhadap beberapa barang, diantaranya barang nabati dan kurma Syria sebesar 59%, guna memperlancar arus pangan ke kota sehingga kenaikan yang tidak wajar dapat dihindarkan. Umar juga membangun pasar-pasar, dengan mekanisme penawaran dan permintaan, dapat berjalan dengan lancer. Umar suka turun ke pasar-pasar dan berseru keras. Peran pemerintah seharusnya mampu mengawasi harga tidak boleh membiarkan harga melambung tinggi yang dinaikkan sepihak oleh penjual perseroan (perusahaan) swasta free market sementara masyarakat menjerit, menderita karena bentuk penzaliman terhadap masyarakat. Bila terjadi kelangkaan barang di dalam negeri harus menciptakan regulasi kran impor dan pengelolaan pangan di dalam negeri. Pemerintah mendorong berkembangnya sektor riil saja atau pertukran barang dan jasa (pertanian, perindustrian, transportasi dll). Pemerintah membuat regulasi yang mengatur barang dan jasa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Pemerintah menjaga agar perdagangan berjalan sewajarnya, sehat dan adil, tidak merugikan antara penjual dan pembeli dan menaikkan harga seperti yang terjadi sekarang ini. Wallahu Alam Bishawab bnu Taimiyah menguji pendapat-pendapat dari keempat mazhab itu, juga pendapat beberapa ahli fiqih, sebelum memberikan pendapatnya tentang masalah itu. Menurutnya kontroversi antar para ulama berkisar dua poin: Pertama, jika terjadi harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih tinggi dari pada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu menurut mazhab Maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di bawah harga semestinya, dua macam pendapat dil Harga bahan pokok (sembako) melangit dan mencekik rayat, juga gas elpiji sebagai penganti minyak tanah menjadi sulit untuk dijumpai, kini rakyat diberi hadiah lagi di akhir bulan mei ini, yaitu rencana kenaikan harga BBM. Pukulan telak secara beruntun dalam kurun waktu 2 bulan ini diterima rakyat benar-benar terasa sakit, sehingga rakyat Indonesia terutama masyarakat kelas bawah kembali menjerit. Berita utama di media cetak maupun elektronik mengulas demo

mahasiswa, LSM dsb yang gencar tolak kenaikan BBM, namun sepertinya pemerintah terlihat ogah untuk menunda rencana kenaikan BBM ini. Kenaikan harga BBM cepat atau lambat memang pasti akan terjadi dan tidak bias dihindari. bukan hanya karena masalah membengkaknya subsidi yang diberikan pemerintah, atau tingginya harga minyak mentah. Hal yang paling utama adalah BBM merupakan sumber energi migas. Kenaikan BBM ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tapi hampir seluruh dunia. Dan yang jadi masalah sekarang adalah Indonesia adalah negara yang memiliki pendapatan per kapita yang rendah. Dan kenaikan BBM ini akan berdampak dengan kenaikan harga barang maupun jasa. Rakyat akan menghadapi dilemma dimana harga mahal, pendapatan kurang. Penulis sendiri setuju saja dengan adanya kenaikan BBM, namun apa yang akan rakyat dapatkan dari hilangnya subsidi BBM ? harga Murah ? Jaminan Kesehatan ? biaya pendidikan gratis ? semua itu adalah janji pemerintah pada saat kenaikan BBM di tahun 2005, namun kenyataannya janji pemerintah itu hanyalah wacana yang sulit terrealisasi. By wagustian, okezone.com, Updated: 7/16/2010 10:53 AM

Jelang Puasa, Harga Cabai Kian Menggigit


Harga sembilan bahan pokok (sembako) menjelang Ramadan dan Lebaran setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Pemerintah pun dengan cepatnya harus mengantisipasi hal ini. JAKARTA - Harga sembilan bahan pokok (sembako) menjelang Ramadan dan Lebaran setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Pemerintah pun dengan cepatnya harus mengantisipasi hal ini. Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu pun bicara banyak mengenai hal ini kepada okezone, saat ditemui saat Editor's Meeting, di Gedung Rabobank, Jakarta, Kamis (15/7/2010) malam. Berikut petikan wawancaranya: Harga barang-barang menjelang bulan puasa sudah mulai naik, bagaimana? Intinya kalo kita bicara yang naik tajam hanya cabai. Cabai merah dan cabai rawit yang mengalami kenaikan yang tajam. Kalau yang lain kenaikannya sebetulnya tidak besar.

Misalnya beras itu naik sekira dua sampai tiga persen. Tapi itu siklus normal dalam arti setelah panen Februari. Di Januari, Februari, dan Maret kemudian dia turun, kemudian dia naik lagi menuju ke panen yang kedua. Jadi ini memang siklus yang di tahun lalu pun harga pada saat ini harga naik. Walaupun demikian, tetap kita pantau. Lalu, bagaimana mengatasi kenaikan harga supaya tidak menjalar ke komoditas lain? Kita kemarin, di rapat koordinasi menko perekonomian, telah putuskan untuk beras kita harus jaga supaya tidak ada lonjakan harga, kita telah putuskan supaya Badan Urusan Logistik (Bulog) bisa melakukan operasi pasar sefleksibel mungkin. Jadi begitu ada di titik tertentu ada gejala kecenderungan harga naik, Bulog bisa langsung operasi pasar tanpa harus meminta persetujuan lagi dari Kemendag. Jadi dia bisa langsung melakukannya, untuk menjaga kestabilan harga. Jadi intinya operasi pasar dalam arti menjual, menggelontorkan beras di titik di mana terjadi kenaikan harga. Jadi tujuan kita adalah menstabilkan harga. Kalau untuk produk yang lain memang tidak ada mekanisme seperti itu tapi kita yang harus kita jamin tidak ada gangguan distribusi dan yang penting setelah kita pantau, dan mendapat laporan dan melakukan pembahasan dengan daerah dengan instansi terkait dengan produsen dengan pedagang, dari segi stok tidak ada masalah sampai dengan puasa dan Lebaran, sampai akhir tahun pun cukup. Itu tidak ada masalah. Selain cabai, komoditas apa saja yang mengalami kenaikan harga? Yang naik juga bawang merah, ayam, dan telur. Tetapi ada juga yang turun seperti minyak goreng dan beberapa produk yang lain. Tetapi manjelang puasa dan Lebaran yang penting adalah menjaga kecukupan.

Harga Cabai Merah Anjlok


23 Dec 2009

Ekonomi Pikiran Rakyat

BANDUNG, (PR).Harga panenan cabai merah dari sejumlah sentra produksi di Jabar anjlok hingga harga terendah Rp 2.500,00-4.500,00/kg, akibat pasokan melimpah sampai dua kali lipat pada akhir tahun 2009 ini. Pasokan yang meningkat ini belum terimbangi permintaan yang biasanya menurun di liburan akhir tahun.

Informasi dari sejumlah petani cabai merah di Kec Cikajang, Garut, dan Tasikmalaya, Selasa (22/12), harga itu dialami cabai keriting yang menyentuh Rp 3.000,00/kg dan cabai merah TVV Rp 2.500,00/kg, padahal dua bulan sebelumnya harga di petani masih sempat mencapai Rp 18.000,00-19.000,00/kg. Dengan kondisi itu, banyak petani mengalami kerugian usaha dari harga titik impas Rp 4.500,oo-5.ooo,oo/kg. "Biasanya, penurunan harga cabai ke petani terjadi hingga Rp 4.500,00/kg,Ketua Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) Kec. Cikajang, Garut, Asep Sofyan, mengatakan, pasokan kali ini terindikasi lebih besar dibandingkan saat yang sama setahun lalu. Akibatnya, pada saat sejumlah komoditas lain harganya naik, usaha cabai merah malah mendapat "musibah". Dikatakan, saat liburan, di mana masyarakat perkotaan biasanya berlibur ke perdesaan, serapan cabai untuk konsumsi dan produksi makanan berkurang. Beralihnya konsumen ke perdesaan tidak otomatis mendongkrak pemasaran karena tingkat konsumsinya pun tidak begitu besar. Keterangan serupa dilontarkan Ketua Kelompok Petani Cabe "Agritas" Tasikmalaya, Wawan M.S., yang mengatakan, di daerahnya harga cabai merah TVV cile turun ke Rp 4.000,00-4.500,00/kg. Soal perbedaan harga terendah dengan di Garut bergantung kepada jenis dan kualitas yang diproduksi petard. Situasi demikian, menurut dia, menjadi parah karena masa panenan antarpetani terjadi hampir bersamaan sehingga produksi menumpuk. Padahal, situasi ini seharusnya dapat dihindari jika para petard memperoleh gambaran situasi pasokan dan pasaran cabai. "Kami juga berharap, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jabar segera membuat dan menyebarkan gambaran produksi, agar petard memiliki gambaran usaha. Selama ini mereka hanya mengabarkan akan melakukan pemetaan produksi, tetapi sejak bertahuntahun realisasinya belum kami terima dan rasakan," katanya. (A-81) *** Entitas terkaitAsep | Beralihnya | Garut | Harga | Informasi | Jabar | Kec | Keterangan | Pasokan | Situasi | Soal | TVV | Wawan | TVV Rp | Harga Cabai Merah Anjlok | Ketua Kelompok Petani Cabe | Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jabar | Ketua Kelompok Usaha Bersama Agribisnis | Ringkasan Artikel Ini BANDUNG, (PR).- Harga panenan cabai merah dari sejumlah sentra produksi di Jabar anjlok hingga harga terendah Rp 2.500,00-4.500,00/kg, akibat pasokan melimpah sampai dua kali lipat pada akhir tahun 2009 ini. Informasi dari sejumlah petani cabai merah di Kec Cikajang, Garut, dan Tasikmalaya, Selasa (22/12), harga itu dialami cabai keriting yang menyentuh Rp 3.000,00/kg dan cabai merah TVV Rp 2.500,00/kg, padahal dua bulan sebelumnya harga di petani masih sempat mencapai Rp 18.000,00-19.000,00/kg. Bandung, (PR).Komoditas cabai merah dan telur ayam harus diwaspadai karena rawan spekulasi harga menjelang Puasa dan Lebaran tahun ini, dengan memanfaatkan ketimpangan pasokan dan harga yang terjadi di berbagai daerah. Untuk menghindari terjadinya lonjakan harga, para

konsumen umum disarankan tetap melakukan pola pembelian secara normal. Kewaspadaan ini mengemuka dalam rapat koordinasi harga, distribusi, dan akses pangan hari besar keagamaan nasional (HBKN) yang digelar Badan Ketahanan Pangan Daerah Jabar, di Bandung, Rabu (12/8). Dalam rapat yang dipimpin Kepala Badan Ketahanan Pangan Daerah Jabar, Lucki Rulyaman Djunaedi dan Kepala Distribusi Pangan Departemen Pertanian Arman M., serta dihadiri sejumlah pebisnis agro utama di Jabar tersebut, disimpulkan bahwa pasokan dua belas komoditas pokok HKBN Puasa dan Lebaran kali ini dalam kondisi aman bahkan berlebih sampai akhir 2009. Ketua Bidang Pemasaran Dewan Agribisnis Cabe Indonesia, Asep Halim mengatakan, terjadinya perbedaan mencolok harga cabai menjelang bulan Puasa, karena di Jabar harga yang sampai ke konsumen rata-rata Rp 12.000,00-Rp 13.000,00/kg. Sementara harga cabai di Sumbar Rp 14.000,00/kg karena harga dari petani Rp 7.500,00-Rp 8.000,00/kg karena produksi menurun. Di Jateng dan Jatim, harga dari petani rata-rata Rp 5.500,00Rp 6.000,00/kg karena produksi tinggi. Namun seperti biasanya, pasokan cabai Jateng dan Jatim kemudian banyak masuk ke Jabar, sedangkan cabai Jabar dijual ke Jakarta dan sekitarnya. Dalam kondisi ini, ujar Asep, harus dihindari kemungkinan terjadinya kembali penimbunan stok cabai merah, seperti yang terjadi pada 2008. Munculnya spekulasi harga oleh pelaku dengan cara memanfaatkan banyak dan murahnya stok cabai asal Jateng dan Jatim yang harganya disamakan dengan pasokan cabai lokal. "Kenaikan harga memang selalu terjadi pada saat-saat itu, namun jika konsumen membeli secara normal, diperhitungkan kenaikan harganya tak akan melampaui dua puluh persen," kata Asep. Sementara itu, untuk komoditas telur, Arman menjelaskan, secara nasional saat ini pasokannya minim. Hal ini akan ditutupi oleh pasokan telur ayam kampung dan telur bebek. Dengan gambaran ini, diharapkan harga telur akan cukup terkendali menjelang bulan Puasa dan Lebaran. Lucki Rulyaman menyebutkan, komoditas-komoditas pangan yang perlu diantisipasi kelancaran dan distribusinya, yaitu beras, minyak goreng, gula pasir, tepung terigu, daging sapi, daging ayam, telur, tomat, kacang tanah, bawang merah, kentang, dan cabai. (A-81) ***

Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Kamis 13 Agustus 2009 PRODUKSI MENURUN HARGA

CABAI NAIK Thursday, 06 August 2009 15:48 Ciamis, (PR).Akibat gagal memperoleh pengairan yang memadai, musim panen cabai merah keriting di sentra produksi Jabar di Ciamis menurun hingga 30 persen. Situasi ini membuat harga partai cabai merah keriting di Pasar Induk Caringin kini naik sampai Rp 21.000,00/kg dari harga normal Rp 15.000,00/kg. Pebisnis cabai yang juga Ketua Gabungan Kelompok Petani Cabe "Kisingasari" Kec. Kawali, Ciamis, Asep Halim, di Ciamis, Rabu (5/8) menyebutkan, saat ini banyak petani cabai keriting gagal memperoleh volume dan kualitas sesuai dengan harapan. Ini karena sebelumnya banyak petani yang memaksakan menanam cabai keriting, sebab diperkirakan hujan masih akan ada saat menjelang panen. "Pasokan cabai keriting kali ini memang tidak sebanyak biasanya, sehingga tidak heran harganya mulai melejit. Namun sejauh ini, penurunan pasokan cabai merah itu tidak separah tahun 2008, karena hujan masih turun hingga Juni lalu," kata Asep. Berkurangnya pasokan yang berakibat pada kenaikan harga ini hanya terjadi pada cabai merah keriting, sedangkan cabai merah TW dan cabai merah tanjung relatif stabil. Harganya saat ini masih berkisar Rp 8.000,00-12.000,00/kg dibandingkan dengan cabai merah keriting yang di tingkat bandar sudah naik jadi Rp 18.000,00/kg. Beberapa bandar sayuran menghadapi Puasa mulai berspekulasi. Bandar sayur asal Kec. Kertasari, Nandang, mengatakan, banyak pedagang besar di Pasar Induk Caringin kini sudah menyiapkan stok. (A-81)***

Home Kategori Sumber Berita About Bataviase

Home

Harga Cabai Lebih Dominan Daripada Gaji PNS


30 Apr 2010

Ekonomi Harian Ekonomi Neraca

Jakarta - Cenderung tidak stabil {volatile) harga cabai di pasaran temyata menjadi pemicu utama inflasi dari bulan ke bulan. Pasalnya, budaya masyarakat Indonesia yang

lebih suka menikmati sambal yang alami membuat bumbu pedas itu menjadi pemicu inflasi utama. Sementara inflasi tidak begitu bereaktif dengan wacana kenaikan gaji PNS dalam beberapa tahun terakhir. NERACA "Kesukaan masyarakat Indonesia akan cabai yang diuleg sendiri (dihaluskan secara tradisional) itu yang susah. Jika masyarakat mau menikmati sambel dalam bentuk kemasan saja, harganya pasti stabil," tukas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan di Jakarta, Kamis kemarin. Menurutnya, di masa cabai belum panen, padahal permintaan masih banyak, maka harga cabai akan menjadi tinggi. "Coba mereka mau memakan cabai kemasan. Kan kontrol panen atau tidak itu ada di pabrik," imbuh dia. Secara umum, untuk April, Rusman Heriawan mengatakan, ada kecen-derungan untuk inflasi namun tipis. "Saya lihat April, berkencederungan inflasi tapi tipis. Kalupun inflasi di bawah 0,2 %, tipis, kalau deflasi nggak akan mengejutkan di bawah nol koma, jadi tipis. Tapi kecenderungan inflasi lebih tinggi," katanya. Selain cabai merah dan cabai rawit, harga bawang merah yang tidak stabil juga diperkirakan akan memicu inflasi. "Ini karena harga mereka tidak stabil," kata dia. Sementara, terdapat beberapa kelompok lain yang menarik angka menuju deflasi. Yaitu harga beras, daging ayam dan gula pasir yang menurun. "Ini pertama kali di tahun ini harga gula psir turun di minggu terakhir mencapai dibawah Rp 10 ribu," kata dia. Sedangkan, untuk barang yang mengalami deflasi menurut dia gula. Ia mengatakan, dalam bulan ini, harga gula mulai menurun sedan sebelumnya terus meningkat Cabe merah dan Cabe rawit merupakan salah satu penyumbang inflasi yang cukup besar di Indonesia Apalagi bila bulan puasa dan lebaran tiba. Pada September 2009 misalnya, dari inflasi sebesar 1,05 %, komoditas ini memberikan sumbangan inflasi yang cukup tinggi yaitu 0,21 %. Dia memperkirakan di bulan April ini inflasi akan dibawah 0,2 %. "Tidak akan jauh-jauh dari itu lah," ujar dia BPS sendiri akan mengumumkan angka perhitungan inflasi April pada 3 Mei 2009 mendatang. Gaji PNS Rusman Heriawan mengatakan, sejak beberapa tahun ini, inflasi tidak lagi responsif terhadap kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/Polri. "Ini keberhasilan pemerintah dalam mengurangi dampak kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri. Karena peningkatan gaji sudah menyatu dalam sistem di APBN, maka dampakanya hampir tak terasa terhadap harga barang dan jasa" katanya Pasalnya, hal ini berbeda dengan beberapa tahun lalu di mana pemerintah selalu mengumumkan kenaikan gaji PNS dan TNI/ Polri. "Dulu setiap Maret diumumkan langsung oleh Presiden bahwa gaji naik, nah ini langsung memicu inflasi, karena direspon langsung oleh harga barang dan jasa," katanya.

Rusman menjelaskan, sistem kenaikan gaji saat ini yang langsung masuk ke dalam APBN mampu meredam dampak psikologis. Selain itu, kenaikan gaji tahun depannya sudah diinformasikan sejak awal sehingga sudah diantisiapsi sebelumnya oleh para pelaku ekonomi. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan, pemerintah akan menaikan gaji PNS dan TNI/Polri sebesar 10 % pada 2011. Hal itu untuk meningkatkan daya beli dari PNS dan TNI/Polri.n Entitas terkaitAPBN | BPS | Cabe | Cenderung | Coba | Dulu | Indonesia | Kalupun | Kesukaan | NERACA | PNS | Polri | Presiden | Rusman | Gaji PNS | Indonesia Apalagi | Pada September | Rusman Heriawan | Kepala Badan Pusat Statistik | Menteri Keuangan Sri Mulyani | Harga Cabai Lebih Dominan Daripada Gaji PNS | Ringkasan Artikel Ini Ia mengatakan, dalam bulan ini, harga gula mulai menurun sedan sebelumnya terus meningkat Cabe merah dan Cabe rawit merupakan salah satu penyumbang inflasi yang cukup besar di Indonesia Apalagi bila bulan puasa dan lebaran tiba. Pada September 2009 misalnya, dari inflasi sebesar 1,05 %, komoditas ini memberikan sumbangan inflasi yang cukup tinggi yaitu 0,21 %. Gaji PNS Rusman Heriawan mengatakan, sejak beberapa tahun ini, inflasi tidak lagi responsif terhadap kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/Polri. Karena peningkatan gaji sudah menyatu dalam sistem di APBN, maka dampakanya hampir tak terasa terhadap harga barang dan jasa" katanya Pasalnya, hal ini berbeda dengan beberapa tahun lalu di mana pemerintah selalu mengumumkan kenaikan gaji PNS dan TNI/ Polri. Jumlah kata di Artikel : 522 Jumlah kata di Summary : 117 Ratio : 0,224 *Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net.Pendapat Anda Pendapat anda mengenai ringkasan artikel ini : Baik Buruk
submit

Home

You might also like