You are on page 1of 18

GOOD GOVERNANCE SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Riri Huriyah Albantani (NPM: 411821090110004)


Abstract The phenomenon of globalizatin impact on democracy and political reform in Indonesia, especially in the government system that undergoes a transformation from centralized to decentralized systems. But problems such as corruption, collusion and nepotism (KKN), weak law enforcement problem, a monopoly in economic activity, and quality services to the community that increasingly worsened. Therefore, good governance needs to be applied to all the problems that arise can be solved and also the process of economic recovery can be implemented properly and smoothly. To realize good governance requires continuous efforts. In addition, the agreement should also be built as well as a high sense of optimism from all components involving the three pillars of nation and state, namely the state apparatus, private sector and civil society for achieving good governance. Keywords: Three pillars of nation, desentralized, good governance, corruption colusion and nepotism.

PENDAHULUAN
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi penyusunan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan saling ketergantungan antara bangsa, terutama dalam pengelolaan sumbersumber daya ekonomi dan aktivitas dunia usaha. Sebaliknya, masyarakat yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficiaries), mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga berfungsi sebagai pelaku. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk. Sehubungan dengan itu, sebuah konsep baru yang semula diperkenalkan lembagalembaga donor internasional, yaitu konsep tata kepemerintahan yang baik (good governance), sekarang menjadi salah satu kata kunci dalam wacana untuk membenahi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

PEMBAHASAN
Konsep Good Governance Istilah Good governance diterjemahkan secara umum dengan tata pemerintahan yang baik, namun di Indonesia sendiri lebih sering menggunakan istilah aslinya, karena luasnya dimensi arti kata tersebut, sehingga good governance tidak bisa ditujukan kepada pemerintah semata.

Dalam kamus, istilah government dan governance seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Perbedaan paling pokok antara konsep government dan governance terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep pemerintahan berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatiof dan kemitraan. Istilah governance sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 1125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang governance dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari ini -dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan good governance dalam berbagai program bantuannya. (Efendi, 2005).

Konsep governance menurut Stoker (1998) merujuk kepada pengembangan dari gaya memerintah dimana batas-batas antara sektor publik dan sektor privat menjadi kabur (Ewalt, 2001). Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan kebutuhan dari negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari publik untuk terlibat sehingga memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara sosial maupun poilitik (Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan jejaring antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting bagi keberlajutan sebuah legitimasi kebijakan (Stoker, 2004). Good Governance adalah kata yang diucapkan oleh banyak orang di Indonesia sejak 1993. Kata Governance mewakili suatu etika baru yang terdengar rasional, profesional, dan demokratis, tidak soal apakah diucapkan di kantor Bank Dunia di Washington, AS atau di kantor LSM yang kumuh di pinggiran Jakarta. Dengan kata itu pula wakil dari berbagai golongan profesi seolah disatukan oleh koor seruan kepada pemerintah yang korup di negara berkembang. Good governance, bad men! terkepung oleh seruan dari berbagai pihak, kalangan pejabat pemerintah pun lantas juga fasih menyebut konsep ini, meski dengan arti dan maksud yang berbeda. Pada kasus good governance, para pengucap hanya mengetahui sedikit hal yaitu bahwa sesuatu yang tidak terbuka dan tidak terkontrol akan mengundang penyalahgunaan, bahwa program ekonomi tidak akan berhasil tanpa legitimasi, ketertiban sosial, dan efisiensi institusional. Satu faktor yang sering dilupakan adalah, bahwa kekuatan konsep ini justru terletak pada keaktifan sektor negara, masyarakat dan pasar untuk berinteraksi. Karena itu, good governance, sebagai suatu

proyek sosial, harus melihat kondisi sektorsektor di luar negara. Mengapa good governance tiba-tiba muncul, lazim dan bertahan lama sebagai model ketatapemerintahan di Indonesia yang banyak dituturkan, diikuti dan diajarkan? Mengapa secara cepat pemerintahan yang baik menjadi akrab dengan dunia birokrasi, dunia usaha, dunia kampus dan pusat-pusat studi (yang juga tumbuh subur bak jamur di musim hujan), dunia aktivisme organisasi non-pemerintah (utamanya yang bergerak di isu kebijakan publik dan antikorupsi), dan yang paling aneh tapi nyata, hampir semua lembaga-lembaga dana internasional dan negara-negara donor serempak menggerojok (baik utang maupun hibah) milyaran US dollars untuk proyek good governance? Padahal Bank Dunia sendiri sesungguhnya gagal melakukan good governance secara internal, karena dipenuhi dengan korupsi sistemik dan motif ekploitasi terhadap negaranegara yang berutang kepadanya. Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan good governance di Indonesia melalui tiga pintu: (1) CGI (Consultative Group on Indonesia); (2) Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform); dan (3) Justice for the Poor. Dalam forum tahunan CGI, Bank Dunia memimpin dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan (mendikte) kebijakan ekonomi (termasuk desakan pembentukan peraturan perundangundangan). Ini bisa terjadi karena pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga prasyarat utang tersebut harus dipenuhi sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank Dunia pula bekerja secara dekat dengan UNDP dan ADB sebagai sponsor dana utama untuk Partnership for Governance Reform (World Bank 2003a). Melalui forum kelompok multistakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah terlibat aktif dalam membuat kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for development), seperti pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan lembaga pemerintahan baru (World Bank 2003b). Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru peran

hegemoninya sebagai lembaga dana untuk proyek-proyek governance yang dijalankan oleh tidak saja lembaga negara, namun juga organisasi non-pemerintah, yaitu sektor swasta, dan masyarakat. Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memperjuangkan adanya good governance and clean government. Tuntutan yang diajukan ini merupakan reaksi terhadap keadaan pemerintah pada era Orde Baru dengan berbagai permasalahan yang terutama meliputi pemusatan kekuasaan pada Presiden, baik akibat konstitusi (UUD 45) maupun tidak berfungsi dengan baik lembaga teringgi dan tinggi negara lainnya, serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial Konsep good and clean governance diaplikasikan dalam norma hukum penyelenggaraan negara dimulai dengan adanya Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian Ketetapan MPR tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian peraturan tersebut diaktualisasikan dalam Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaanya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Penyelenggara Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1999 tentang Tata Cara dan Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa, Pemerintah Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaskanaan Tugas Dan Wewenang Komisi Pemeriksaan, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara Dalam sebuah dokumen kebijakan United Nations Development Program (UNDP), Pemerintahan dapat dilihat sebagai

pelaksanaan kewenangan ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola urusan negara di semua tingkat. Ini terdiri dari mekanisme, proses dan lembaga-lembaga Di mana warga dan kelompok mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum mereka, memenuhi kewajiban mereka dan menjembatani perbedaan di antara mereka. Tata kelola yang baik, antara lain, partisipatif, transparan dan akuntabel. Hal ini juga efektif dan adil. Dan itu membutuhkan aturan hukum. Good governance menjamin bahwa prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus yang luas dalam masyarakat dan bahwa suara yang termiskin adalah yang paling patut didengar dalam pengambilan keputusan atas alokasi sumber daya pembangunan. Jelas, bahwa good governance adalah masalah perimbangan antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan kesehatan dan infrastuktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya sistem demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya pluralisme. Good governance sangat terkait dengan dua hal yaitu (1) good governance tidak dapat dibatasi hanya pada tujuan ekonomi dan (2) tujuan ekonomi pun tidak dapat dicapai tanpa prasyarat politik tertentu. Sisi lain memaknai Good Governance sebagai penerjemahan kongkrit dari demokrasi. Tegasnya menurut Taylor, Good Governance adalah pemerintahan demokratis seperti yang dipraktikan dalam negara-negara demokrasi maju di Eropa Barat dan Amerika misalnya (Saiful Mujani, 2001). Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dianggap

sebagai suatu sistem pemerintahan yang baik karena paling merefleksikan sifat-sifat Good Governance secara normatif dituntut kehadirannya bagi suksesnya suatu bantuan badan-badan dunia. Ia merupakan alternatif dari sistem pemerintahan lain seperti totalitarinisme komunis atau otoritarianisme militer yang sempat populer di negara-negara dunia ketiga di masa perang dingin. Pada dasarnya konsep good governance memberikan rekomendasi pada sistem pemerintahan yang menekankan kesetaraan antara lembaga-lebaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah, sektor swasta, dan masyarakat (civil society). Good Governance berdasarkan pandangan ini berarti suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan mejembatani perbedaan di antara mereka. Sesuai dengan pengertian di atas, maka tata pemerintahan yang baik itu adalah pemerintahan yang semua unsur di dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan lepas dari gerkangerakan anarkis yang bisa menghambat proses dan lajunya pembangunan. Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan itu dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal menuju kesejahteraan sebab membangun masa depan Indonesia merupakan wujud daripada pengamalan tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, tidak akan pernah terwujud, jika bangsa Indonesia gagal membangun pemerintah dan tata pemerintahan yang baik (Good Goverment and Good Governance). Pemerintahan itu dapat dikatakan baik, jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat baik dalam aspek produktifitas maupun dalam daya belinya, kesejahteraan spiritualitasnya terus meningkat dengan indikator rasa aman, tenang dan bahagia serta sense of nationality yang baik. Semua indikator itu diukur dengan paradigma pemerataan, sehingga kesenjangan itu secara dini terus. Tiga Pilar Pendukung Good Governance Good Governance sebagai sebuah paradigma dapat terwujud bila ketiga pilar pendukungnya dapat berfungsi secara baik yaitu negara (state), sektor swasta (private sector), dan masyarakat (civil society). Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk merubah pola pelayanan dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Sektor swasta sebagai pengelola sumber daya di luar negara dan birokrasi pemerintahan pun harus memberikan kontribusi dalam usaha pengelolaan sumber daya tersebut. Penerapan cita Good Governance pada akhirnya mensyaratkan keterlibatan organisasi kemasyarakatan sebagai kekuatan penyeimbang negara. Di sini, negara didefinisikan untuk mencakup lembaga-lembaga sektor politik dan publik. Minat utama UNDP terletak pada bagaimana negara efektif melayani kebutuhan rakyatnya. Sektor swasta mencakup perusahaan-perusahaan swasta (manufaktur, perdagangan, perbankan, koperasi dan sebagainya) dan sektor informal di pasar.

Beberapa orang mengatakan bahwa sektor swasta merupakan bagian dari masyarakat sipil. Namun sektor swasta terpisah sejauh bahwa pemain sektor swasta pengaruh sosial, kebijakan ekonomi dan politik dengan cara yang menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan. Masyarakat sipil, yang terletak di antara individu dan negara, terdiri dari individu dan kelompok (terorganisir atau tidak terorganisir) berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi - diatur oleh aturan-aturan formal dan informal dan hukum. Organisasi masyarakat sipil adalah host asosiasi masyarakat sekitar yang secara sukarela mengorganisir. Mereka termasuk serikat buruh; organisasi non-pemerintah, gender, bahasa, kelompok budaya dan agama, asosiasi bisnis, sosial dan klub olahraga; koperasi dan organisasi pengembangan masyarakat, kelompok lingkungan; asosiasi profesional, institusi akademis dan kebijakan, dan media. Partai-partai politik juga termasuk, meskipun mereka mengangkang masyarakat sipil dan negara jika mereka terwakili di parlemen. Institusi-institusi pemerintahan dalam tiga domain (negara, masyarakat sipil dan sektor swasta) harus dirancang untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan manusia yang berkelanjutan dengan membentuk, situasi politik, hukum, ekonomi dan sosial untuk pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, perlindungan lingkungan dan kemajuan perempuan. Berbagai assessment yang diadakan oleh lembaga-lembaga internasional selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini belum pernah mampu mengambangkan good governance. Mungkin karena alasan itulah Gerakan Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari berbagai kampus telah menjadikan Good Governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan

Praktek KKN (Clean Governance). Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi itupun belum terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas, penempatan personil yang tidak kredibel, enforcement menggunakan, serta kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingan bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang serius melaksanakan good governance? Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa depan yang kita cita-citakan amat memerlukan Good Governance agar kita dapat menyelenggarakan pemerintahan negara sesuai dengan praktek-praktek yang diterima secara internasional. Namun, perumusan praktek-praktek tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan dengan sangat memperhatikan budaya dan kondisi bangsa Indonesia. Jangan terjadi, Indonesia kemudian semakin terjerumus kedalam jebakan negara asing atau lembaga internasional dalam pemilihan bentuk penyelenggaraan pemerintahan negara, hubungan antara pusat dan daerah, serta dalam pengelolaan keuangan negara. Seorang pemimpin, baik di lingkungan pemerintah maupun sektor swasta, perlu senantiasa membiasakan diri untuk merasa berkewajiban mendengar (luisterplicht) apa yang dikatakan oleh masyarakat yang mempunyai hak berbicara (spreekrecht). Kewajiban mendengarkan bagi pejabat dan hak berbicara bagi masyarakat merupakan unsur dari lembaga inspraak di Negeri Belanda, yang merupakan perwujudan dari peran serta masyarakat. Peran serta atau partisipasi masyarakat merupakan salah satu pilar utama good governance dan pembangunan berkelanjutan Pengalaman Indonesia pada orde baru menunjukkan bahwa sistem pemerintahan dari 32 tahun terakhir rezim orde baru melahirkan ketidakseimbangan kekuasaan politik yang

jauh dari menghargai nilai demokrasi. Sistem pemerintahan adalah kekuasaan sentralistik, monolitik dan semua berada di tangan Presiden Soeharto. Semuanya itu menyebabkan non-partisipatif pemerintah tertutup (birokrasi pemerintahan). Pengalaman telah menunjukkan sejauh ini bahwa 'sukses' pembangunan yang dicapai tanpa partisipasi warga, stabilitas ekonomi dan politik perlu dikaji ulang. korupsi yang meluas di negara ini bukan hanya akibat dari kurangnya transparansi dalam manajemen pemerintah tetapi juga tidak adanya kontrol masyarakat atas kebijakan proses publik. Pengembangan paradigma yang sejak didominasi oleh penekanan pada Pemerintah dalam banyak disiplin ilmu harus dinilai ulang dengan tujuan untuk membuka jendela transparansi dan partisipasi kepada publik. Setiap domain pemerintahan - negara, sektor swasta dan masyarakat sipil - memiliki peran unik dalam mempromosikan pembangunan manusia yang berkelanjutan (UNDP, 1994) 1. Negara Di negara-negara yang di mana adanya proses pemilihan, terdiri dari pemerintah terpilih dan cabang eksekutif. Fungsi negara banyak ragamnya - di antaranya, menjadi fokus dari kontrak sosial yang mendefinisikan kewarganegaraan, menjadi otoritas yang diberi mandat untuk mengontrol dan mengerahkan kekuatan, memiliki tanggung jawab untuk pelayanan publik dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk pembangunan manusia yang berkelanjutan. Yang terakhir ini berarti membangun dan mempertahankan stabil, efektif dan adil hukum-peraturan kerangka kerja untuk kegiatan publik dan swasta. Ini berarti memastikan stabilitas dan ekuitas di pasar. Ini berarti menengahi kepentingan untuk kebaikan publik. Dan itu berarti menyediakan layanan publik yang efektif dan

akuntabel. Dalam semua empat peran, negara menghadapi tantangan - memastikan bahwa pemerintahan yang baik membahas masalah dan kebutuhan termiskin dengan meningkatkan kesempatan bagi orang untuk mencari, mencapai dan mempertahankan jenis kehidupan yang mereka inginkan. Negara, tentu saja, bisa berbuat banyak di daerah seperti menegakkan hak-hak yang rentan, melindungi lingkungan, mempertahankan kondisi makroekonomi yang stabil, menjaga standar kesehatan masyarakat dan keamanan untuk semua dengan biaya terjangkau, memobilisasi sumber daya untuk menyediakan layanan publik penting dan infrastruktur dan menjaga keharmonisan ketertiban, keamanan dan sosial. Lembaga negara juga dapat memberdayakan orang-orang yang mereka dimaksudkan untuk melayani - memberikan kesempatan yang sama dan memastikan sosial, ekonomi dan politik inklusi dan akses ke sumber daya. Tapi orang bisa diberdayakan hanya jika legislatif mereka, proses pemilihan dan sistem hukum dan peradilan bekerja dengan baik. Anggota parlemen secara bebas dan adil terpilih mewakili berbagai pihak sangat penting untuk partisipasi rakyat dan akuntabilitas pemerintah. Sistem hukum dan peradilan yang efektif melindungi supremasi hukum dan hak-hak dari semua. Pemilihan terbuka berarti kepercayaan publik dan kepercayaan - dan legitimasi sehingga politik. Negara juga harus mendesentralisasi sistem politik dan ekonomi untuk lebih responsif terhadap tuntutan warga dan terhadap perubahan kondisi ekonomi. Di negara maju dan berkembang, negara sedang dipaksa untuk mendefinisikan kembali perannya dalam kegiatan sosial dan ekonomi - untuk mengurangi itu, reorientasi itu, mengkonfigurasi ulang. Tekanan untuk perubahan berasal dari tiga sumber: (1) Sektor swasta menginginkan lingkungan pasar yang

lebih kondusif dan keseimbangan yang lebih baik antara negara dan pasar. (2) Warga ingin meningkatkan akuntabilitas dan responsif dari pemerintah, serta desentralisasi. (3) Tekanan global dari supranationals dan tren sosial dan ekonomi di seluruh dunia yang menantang identitas dan sifat negara. 2. Sektor swasta Negara adalah kekuatan besar bagi pembangunan - tetapi bukan satu-satunya. Pembangunan manusia yang berkelanjutan sebagian bergantung pada menciptakan lapangan pekerjaan yang memberikan pendapatan yang cukup untuk meningkatkan standar hidup. Kebanyakan negara sekarang mengakui bahwa sektor swasta adalah sumber utama kesempatan kerja produktif. Globalisasi ekonomi secara fundamental mengubah cara di mana industri dan perusahaan beroperasi. Di banyak negara berkembang, perusahaan swasta harus didorong dan didukung untuk menjadi lebih transparan dan kompetitif di pasar internasional. Pertumbuhan yang wajar, keseimbangan gender, pelestarian lingkungan, perluasan sektor swasta dan partisipasi yang bertanggung jawab dan efektif dalam perdagangan internasional tidak dapat dicapai oleh pasar saja, namun. Negara dapat mendorong perkembangan sektor swasta yang berkelanjutan dengan: menciptakan lingkungan ekonomi makro yang stabil; mempertahankan pasar yang kompetitif; memastikan bahwa orang miskin (terutama perempuan) memiliki akses yang mudah terhadap kredit; memelihara perusahaan yang menghasilkan sebagian besar pekerjaan dan kesempatan; menarik investasi dan membantu untuk mentransfer pengetahuan dan teknologi, khususnya kepada orang miskin; menegakkan supremasi hukum; menyediakan insentif untuk pengembangan sumber daya manusia; melindungi lingkungan dan sumber daya alam;

3. Masyarakat sipil Masyarakat sipil juga harus melindungi hak-hak semua warga negara. Sebagai negara dan sektor swasta sedang mengubah bentuk dan hubungan mereka didefinisikan ulang, masyarakat sipil berubah dalam cara yang penting. Pemerintah tidak responsif dan tekanan ekonomi dan sosial tak henti-hentinya telah merusak beberapa organisasi sipil masyarakat tradisional dan lain-lain diperkuat - dan dalam banyak kasus memaksa orang untuk mengatur dengan cara baru. Masyarakat sipil dengan demikian lebih dari sekedar masyarakat. Ini adalah bagian dari masyarakat yang menghubungkan individu dengan wilayah publik dan negara itu adalah wajah politik masyarakat. Organisasi masyarakat sipil menyalurkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi dan sosial dan mengatur mereka dalam kelompok-kelompok yang lebih kuat untuk mempengaruhi kebijakan publik dan mendapatkan akses ke sumber daya publik, khususnya bagi masyarakat miskin. Mereka dapat menyediakan checks and balances terhadap kekuasaan pemerintah dan memantau pelanggaran sosial. Mereka juga menawarkan kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan kapasitas mereka dan meningkatkan standar hidup mereka - dengan memantau lingkungan, membantu yang kurang beruntung, pengembangan sumber daya manusia, membantu komunikasi antara orang-orang bisnis. Lebih mendasar, jaringan sipil kemudahan dilema aksi kolektif oleh melembagakan interaksi sosial, mengurangi oportunisme, membina kepercayaan dan melakukan transaksi politik dan ekonomi lebih mudah. Berkembang dengan baik jaringan sipil juga memperkuat arus informasi - dasar untuk kolaborasi politik, ekonomi dan sosial dapat diandalkan dan partisipasi publik

anggota masyarakat sipil. Hubungan ini dan norma-norma sosial membuat modal sosial suatu bangsa. Organisasi masyarakat sipil tidak selalu mengejar kualitas pemerintahan yang baik. Juga tidak selalu agen pembangunan yang paling efektif. Itulah sebabnya negara, sementara mengakui dan melindungi hak-hak demokratis dari organisasi masyarakat sipil, juga harus memastikan bahwa aturan-aturan hukum dan nilai-nilai yang mencerminkan norma-norma sosial yang dianut. Lembagalembaga demokrasi, terutama yang lokal, dapat menjadi penting dalam memastikan bahwa semua masyarakat memiliki suara, serta memastikan bahwa ada cara transparan dan adil untuk mencapai konsensus. Seperti perusahaan swasta, organisasi masyarakat sipil perlu kapasitas yang memadai untuk memenuhi potensi mereka. Mereka juga membutuhkan lingkungan yang kondusif, termasuk kerangka legislatif dan peraturan yang menjamin hak berserikat, insentif untuk memfasilitasi dukungan dan cara-cara untuk organisasi masyarakat sipil untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan publik dan implementasi. Memperkuat lingkungan yang kondusif bagi pembangunan manusia yang berkelanjutan tidak hanya tergantung pada keadaan yang mengatur dengan baik dan sektor swasta yang menyediakan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan. Tetapi juga tergantung pada organisasi masyarakat sipil yang membuat interaksi politik dan sosial lebih mudah dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik. Prinsip-Prinsip Good Governance UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi,

akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum. Masyarakat Transparansi Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti: transparansi, akuntabilitas, kewajaran dan kesetaraan, serta kesinambungan. Jelas bahwa jumlah komponen atau pun prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyimpulkan 9 aspek fundamental yang dikemukakan oleh UNDP dalam perwujudan good governance, yaitu: 1. Partisipasi (Participation) Dalam proses pembangunan berbagai kebijakan dituangkan dalam perangkat hukum yang mengikat masyarakat umum dengan tujuan demi tercapainya tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Kebijakan semacam itu tidak jarang dapat membuka kemungkinan dilanggarnya hak-hak asasi warga negara akibat adanya pendirian sementara pejabat yang tidak rasional atau adanya programprogram yang tidak mempertimbangkan pendapat rakyat kecil. Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Partisipasi dibutuhkan dalam memperkuat demokrasi, meningkatkan

kualitas dan efektivitas layanan publik, dalam mewujudkan kerangka yang cocok bagi partisipasi, perlu dipertimbangkan beberapa aspek, yaitu : (a) partisipasi melalui institusi konstitusional (referendum, voting) dan jaringan civil society (inisiatif asosiasi); (b) partisipasi individu dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat sebagai service provider; (c) lokal kultur pemerintah; (d) faktor-faktor lainnya, seperti transparansi, substansi proses terbuka dan konsentrasi pada kompetisi. Beberapa alasan mengapa sistem partisipatoris dibutuhkan dalam negara demokratis. Pertama, ialah bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah yang paling paham mengenai kebutuhannya. Dan kedua, bermula dari kenyataan bahwa pemerintahan yang modern cenderung semakin luas dan kompleks, birokrasi tumbuh membengkak di luar kendali. Oleh sebab itu, untuk menghindari alienasi warga negara, para warga negara itu harus dirangsang dan dibantu dalam membina hubungan dengan aparat pemerintah. Penguatan partisipasi publik dapat dilakukan oleh pemerintah dengan: (a) mengeluarkan informasi yang dapat diakses oleh public; (b) menyelenggarakan proses konsultasi untuk menggali dan mengumpulkan masukan dari stakeholders termasuk aktivitas warga negara dalam kegiatan publik, mendelegasikan otoritas kepada pengguna jasa layanan public seperti proses perencanaan dan penyediaan panduan kegiatan masyarakat dan layanan publik. Prinsip partisipasi masyarakat menuntut masyarakat harus diberdayakan, diberikan kesempatan dan diikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses birokrasi mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pengawasan atau kebijakan publik. Operasionalisasi konsep: (a) Pada level akar rumput, partisipasi mengimplikasikan struktur

pemerin-tahan yang fleksibel dan memberikan peluang bagi masyarakat yang berkepentingan untuk menyempurnakan desain dan implementasi program serta proyek publik; (b) Memberikan peluang bagi LSM sebagai sarana alternatif penyaluran energi dari publik, melalui identifikasi kepentingan publik, mobilisasi opini publik, untuk mendukung kepentingan tersebut, dan organisasi aksi yang sesuai. Jadi pada prinsip partisipation semua warga masyarakat berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisir. Paradigma birokrasi sebagai center for public service harus diikuti dengan deregulasi berbagai aturan, sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Tidak cukup hanya dengan itu, aparatur pemerintah juga harus mengubah paradigma dari penguasa birokrat menjadi pelayan masyarakat (public serer), dengan memberikan pelayanan yang baik, memiliki perhatian yang humanis terhadap client-nya, memberikan pelayanan yang efisien, tepat waktu, serta dengan biaya murah, sehingga mereka memiliki legitimasi dari masyarakat. Inilah berbagai persyaratan utama untuk mewujudkan cita good governance dalam konteks memperbesar partisipasi masyarakat. Kaena tidak mungkin sebuah bangsa akan maju dengan cepat, tanpa partisipasi penuh dari warganya. 2. Aturan Hukum (Rule of Law)

Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa memihak, terutama undang-undang tentang Hak Asasi Manusia. Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusanperumusan kebijakan politik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa diimbangi oleh sebuah hukum dan penegakannya yang kuat, partisipasi akan berubah menjadi proses politik yang anarkis. Ditambahkan pula bahwa pelaksan kenegaraan dan pemerintahan juga harus ditata oleh sebuah sistem dan aturan hukum yang kuat serta memiliki kepastian. Sehubungan dengan itu, bahwa proses mewujudkan cita Good Governanc, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law (Santosa, 2001:87), dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut:(a) supremasi hukum (the supremacy of law); (b) kepastian hukum (legal centainty); (c) hukum yang responsif; (d) penegakkan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif; (e) independensi peradilan. 3. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas menjadi kunci dari semua prinsip ini. Prinsip ini menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Kemampuan menjawab (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut. Prof. Miriam Budiardjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu. Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan

melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances sistem). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan) serta legislatif (MPR dan DPR). Peranan pers yang semakin penting dalam fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai pilar keempat. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas berhubungan dengan kewajiban dari institusi pemerintahan maupun para aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku maupun kebutuhan masyarakat. Akuntabilitas publik menuntut adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi. Karena pemerintah bertanggung gugat baik dari segi penggunaan keuangan maupun sumber daya publik dan juga akan hasil, akuntabilitas internal harus dilengkapi dengan akuntabilitas eksternal, melalui umpan balik dari pemakai jasa pelayanan maupun dari masyarakat. Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Sehingga, berdasarkan tahapan sebuah program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah: (a) pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas public, adalah : 1) pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan; 2) pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku; 3) adanya kejelasan dari

sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi organisasi, serta standar yang berlaku; 4) adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi, dengan konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban jika standar tersebut tidak terpenuhi 5) konsistensi maupun kelayakan dari target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut. (b) pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas publik adalah: 1) penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan, melalui media massa, media nirmassa, maupun media komunikasi personal; 2) akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program; 3) akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat; 4) ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah. Prinsip akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan kegiatan publik dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan kegiatan tersebut, yaitu Pemerintah (Negara), Masyarakat (Warga Negara), Dunia Usaha (Swasta) tersebut. Asas akuntabilitas menjadi perhatian dan sorotan pada era reformasi ini, karena kelemahan pemerintah Indonesia justru dalam kualitas akuntabilitasnya itu. Asa akuntabilitas berarti pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya delegasi dan kewenangan untuk mengurusi berbagai urusan kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut

dalam prinsip akuntabilitas dalam upaya menuju cita good governance. Pengembangan prinsip akuntabilitas dalam kerangka good governancetiada lain agar para pejabat atau unsur-unsur yang diberi kewenangan mengelola urusan publik itu senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan KKN. Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga berperan besar dalam memenuhi berbagai aspek kepentingan publiknya. 4. Transparansi (Transparency) Salah satu yang mejadi persoalan bangsa di akhir masa orde baru adalah merebaknya kasus-kasus korupsi yang berkembang sejak awal masa rezim kekuasaannya. Korupsi sebagai tindakan, baik dilakukan indiidu maupun lembaga yang secara langsung merugikan negara, merupakan salah satu yang harus dihindari dalam upaya menuju cita good governance, karena selain merugikan negara, korupsi bisa menghambat efektifitas dan efisiensi proses birokrasi dan pembangunan sebagai ciri utama good governance. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak transparan. Oleh karena itu Michael Camdessus (1997), dalam salah satu rekomendasinya pada PBB untuk membantu pemulihan (recovery) perekonomian Indonesia menyarankan perlunya tindakan pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, khususnya transparansi dalam transaksi keuangan negara, pengelolaan uang negara di bank sentral (BI), serta transparansi sektor-sektor publik. Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses

pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasilhasil yang dicapai. Transparansi yakni adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik. Prinsip ini memiliki dua aspek, yaitu komunikasi publik oleh pemerintah, dan hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi. Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif dari pemerintah untuk membuka dan mendiseminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan. Secara ringkas dapat disebutkan bahwa, prinsip transparasi paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti (a) mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses-proses pelayanan publik; (b) mekanisme yang memfasilitasi pertanyaanpertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses didalam sektor publik; (c) mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan melayani. Transparansi bermakna tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang kebijakan publik, dan proses pembentukannya. Dengan ketersediaan informasi seperti ini masyarakat dapat ikut sekaligus mengawasi sehingga kebijakan publik yang muncul bisa memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat serta mencegah terjadinya kecurangan dan manipulasi yang hanya akan menguntungkan salah satu

kelompok masyarakat saja secara tidak proporsional. Keterbukaan informasi yang berkenaan dengan perencanaan, penganggaran, dan monitoring serta evaluasi program, yang mudah diakses oleh masyarakat pada umumnya dan kalangan monoritas khsusnya. Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik, pada akhirnya akan membuat pemerintah menjadi bertanggung gugat kepada semua stakeholders yang berkepentingan dengan proses maupun kegiatan dalam sektor publik. 5. Responsif (Responsiveness) Salah satu asa fundamental menuju cita good governance adalah responsif, yakni pemerintah harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Gaffar menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginankeinginannya itu, tapi pemerintah secara proaktif mempelajari dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan mereka, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum tersebut. Sesuai dengan asa responsif, maka setiap unsur pemerintah harus mempunyai dua etik, yaitu etik individual dan etik sosial. Kualifikasi etik individual menuntut mereka agar memiliki kriteria kapasitas dan loyalitas profesional. Sedangkan etik sosial menuntut mereka agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan politik. Terkait dengan asa responsif ini, pemerintah harus terus merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial terhadap semua kelompok sosial dalam karakteristik kulturalnya. Dalam upaya mewujudkan asas responsif pemerintah harus melakukan upaya-upaya strategis dalam memberikan perlakuan yang humanis pada kelompok-kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.

6. Konsensus (Consesus Orientation) Asas fundamental lain yang juga harus menjadi perhatian pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya menuju cita good governance adalah pengambilan keputusan secara konsensus, yakni pengambilan keputusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama. Cara pengambilan keputusan tersebut selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak juga dapat menarik komitmen komponen masyarakat sehingga memiliki legitimasi untuk melahirkan coercive power (kekuatan memaksa) dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan. Pelaksanaan prinsip pada praktiknya sangat terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintahan, kultur demokrasi, serta tata aturan dalam pengambilan kebijakan yang berlaku dalam sebuah sistem. 7. Kesetaraan dan Keadilan (Equity) Terkait dengan asas konsensus, transparansi dan responsif, good governance juga harus didukung dengan asas equity,yakni kesamaan dalam perlakuan (treatment) dan pelayanan. Asas ini dikembangkan berdasarkan pada sebuah kenyataan bahwa bangsa Indonesia ini tergolong bangsa yang plural, baik dilihat dari segi etnik, agama dan budaya. Pluralisme ini tentu saja pada sisi dapat memicu masalah apabila dimanfaatkan alam konteks kepentingan sempit seperti primordialisme, egoisme, dan sebagainya. Karenanya prinsip equity harus diperhatikan agar tidak memunculkan ekses yang tidak diinginkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai sebuah bangsa beradab, dan terus berupaya menuju cita good governance, proses pengelolaan pemerintahan harus memberikan peluang, kesempatan, pelayanan dan treatment yang sama dalam koridor

kejujuran dan keadilan. Tidak ada seorang atau sekelompok orang pun yang teraniaya dan tidak memperoleh apa yang menjadi haknya. Pola pengelolaan pemerintahan seperti ini akan memperoleh legitimasi yang kuat dari publik dan akan memperoleh dukungan serta partisipasi yang baik dari rakyat. 8. Efektivitas (Efectiveness) dan Efisiensi (Eficiency) Pemerintahan yang baik juga harus memenuhi kriteria efektivitas dan efisiensi, yakni berdaya guna dan berhasilguna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesarbesarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan efisiensi biasanya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintah itu termasuk dalam kategori pemerintahan yang efisien. Citra itulah yang menjadi tuntutann dalam upaya mewujudkan cita good governance. Konsep efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas dalam pelaksanaan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu memberikan kesejahteraan pada sebesar-besar kelompok dan lapisan sosial. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat perancang dan pelaksa tugas-tugas pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata dari masyarakat, secara rasional dan terukur. Dengan perencaan yang rasional tersebut, maka harapan partisipasi masyarakat akan dapat digerakkan dengan mudah, karena program-program itu menjadi bagian dari

kebutuhan mereka. Kemudian untuk memperoleh partisipasi yang besar, para aparatur serta pejabat pemerintahan juga harus bersikap terbuka, dan memberikan kesempatan dan pelayanan kepada mereka dengan baik dan mudah. Selain itu, pemerintahan juga harus mampu menekan ancaman-ancaman eksternal yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan, karena tanpa rasa aman yang tinggi, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan sangat sulit diharapkan secara optimal. 9. Visi Strategis (Strategic Vision) Visi strategis adalah pandanganpandangan strategis untuk menghadapai masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan good governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat. Bangsa-bangsa yang tidak memiliki sensitifitas terhadap perubahan serta prediksi perubahan ke depan, tidak saja akan tertinggal oleh bangsa lain di dunia, tapi juga akan terperosok pada akumulasi kesulitan, sehingga proses recovery-nya tidak mudah. Salah satu contoh kecerobohan bangsa Indonesia dalam menerapkan kebebasan devisa bebas di era 1980-an, dan memberi peluang pada sektor swasta untuk melakukan direct loan (pinjaman langsung) terhadap berbagai lembaga keungan di luar negeri, dengan tanpa memperhitungkan jadwal pembayaran yang rasional, telah mengakibatkan krisis keungan di akhir 1990-an, yang mengakibatkan kebijakan apapun yang akan diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Good Governance dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Good Governance berkaitan dengan tata penyelenggaran pemerintahan yang baik. Pemerintahan sendiri dapat diartikan secara

sempit dan luas. Dalam arti sempit penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara. Bagir Manan menjelaskan bahwa di negara Belanda yang kemudian juga diikuti oleh ahli Hukum Administrasi Negara Indonesia, dikenal asasasas umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik (algemene beginselven van behoorlijk bestuur general princpiles of good administration), yang berisi pedoman yang harus dipergunakan administrasi negara dan juga hakim untuk menguji keabsahan perbuatan hukum (rechtshandelingen) administrasi negara. Asas-asas ini antara lain: motivasi yang jelas, tujuan yang jelas, tidak sewenang-wenang (willekeur), kehati-hatian (zorgvuldigheid), kepastian hukum, persamaan perlakuan tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan (detournement de pouvoir, fairness) dan lainlain Dari beberapa pengertian dan karakteristik good governance, Joko Widodo menyimpulkan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mampu mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku dan kebijakan yang dibuat secara politik, hukum, maupun ekonomi dan diinformasikan secara terbuka kepada publik, serta membuka kesempatan publik untuk melakukan pengawasan (kontrol) dan jika dalam prakteknya telah merugikan rakyat, dengan demikian harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakan tersebut. Sebagai perwujudan konkrit dari implementasi good governance di daerah adalah: (a) Pemerintah daerah administrasi publik diharapkan dapat berfungsi dengan baik dan tidak memboroskan uang rakyat; (b) Pemerintah daerah dapat menjalankan fungsinya berdasarkan norma dan etika moralitas pemerintahan yang berkeadilan; (c)

Aparatur pemerintah daerah mampu menghormati legitimasi konvensi konstitusional yang mencerminkan kedaulatan rakyat; (d) Pemerintah daerah memiliki daya tanggap terhadap berbagai variasi yang berkembang dalam masyarakat. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah juga berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem kewenangan pemerintah dan kewenangan moneter, sehingga hal tersebut membawa perubahan keseluruhan dalam aspek kesisteman di pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Implementasi good governance dalam penyelenggaraan pemeritahan daerah diperlukan adanya pembagian peran yang jelas dari masingmasing domain governance tersebut. Apabila sebelumnya sumber-sumber kewenangan berpusat pada pemerintah sebagai institusi tertinggi yang mewakili negara, maka secara bertahap telah dilakukan pendelegasian kewenangan dan tanggungjawab kepada institusi di luar pemerintah pusat. Pendelegasian kewenangan dan tanggungjawab ini dilakukan dalam rangka desentralisasi. Bergesernya pusat-pusat kekuasaan dan meningkatnya operasionalisasi dan berbagai kegiatan lainnya di daerah maka konsekuensi logis pergeseran tersebut harus diiringi dengan meningkatnya good governance di daerah. Hal ini menurut Sadu Wasisitiono karena adanya konsep good governance berlaku untuk semua jenjang pemerintahan, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Salah satu kelemahan dari pemerintah masa lalu adalah kuatnya sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, sehingga potensi-potensi daerah dikelola oleh

pemerintah pusat. Kebijakan ini telah menimbulkan ekses yang amat parah, karena banyak daerah yang kaya dengan sumber daya alamnya, oleh sebab itulah UU No. 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah telah memberikan kewenangan pada daerah untuk melakukan pengelolaan sektor-sektor tertentu, seperti sektor pariwisata, kehutanan, koperasi, pertanian, pendidikan dan lainnya. Dengan kewenangan itu, daerah akan menjadi kuat dan dinamis, terutama daerah yang miskin sumber daya alamnya, karena harus memacu Pendapatan Asli Daerah untuk membiayai kehidupan daerahnya. Salah satu yang harus diperkuat untuk mewujudkan otonomi daerah yang efektif, selain penguatan SDM, adalah komposisi anggota DPRD yang harus kuat, karena check and balance terhadap jalannya pemerintahan sangat tergantung pada kekuatan lembaga perwakilan daerah tersebut dalam menjalankan fungsinya. Desentralisasi bagi penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good governance) dan pembangunan regional menjadi topik utama di United Nations Centre for Regional Development (UNCRD) sejak pertemuan Nagoya tahun 1981. Hal tersebut diikuti dengan perhatian yang lebih mendalam terhadap berbagai pandangan dan pengalaman negara-negara dalam mendesain dan mengimplementasikan program-program pembangunan. Berbagai literatur tentang desentralisasi sebagaimana dikemukakan Walter O. Oyugi memberikan penekanan bahwa desentralisasi merupakan prasyarat bagi terciptanya good governance. Dasar asumsinya adalah bahwa good governance menyangkut situasi di mana terdapat pembagian kekuasaan (power sharing) antara pusat dan daerah dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintah lokal sebagai salah satu bentuk desentralisasi memberikan kontribusi bagi local self-governance,dengan asumsi bahwa local self-governance juga

memiliki makna tersebut. Alasan lainnya adalah bahwa pemerintahan lokal akan memelihara berbagai penerimaan masyarakat (grassroot) terhadap demokrasi. Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintah daerah, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari terpusatnya kekuasaan pada pemerintah dan pemerintahan daerah (eksekutif) ke power sharing antara eksekutif dan legislatif daerah, harus ditindaklanjuti dengan perubahan manajemen pemerintah daerah. Dari sisi manajemen pemerintahan daerah harus terjadi perubahan nilai yang semula menganut proses manajemen yang berorientasi kepada kepentingan internal organisasi pemerintah ke kepentingan eksternala disertai dengan peningkatan pelayanan dan pendelegasian sebagian tugas pelayanan pemerintah ke masyarakat. Dalam rangka membangun good governance di daerah, prinsip fundamental yang menopang tegaknya good governance harus diperhatikan dan diwujudkan. Penyelenggaraan otonomi daerah pada dasarnya akan betul-betul terealisasi dengan baik apabila dilaksanakan dengan menggunakan prinsip good governance. Secara global, desentralisasi merupakan sebuah isu yang berkembang baik secara secara teoritik dan praktek dalam ranah administrasi publik. Perkembangan isu desentralisasi ini terkait dengan bantuanbantuan negara asing dan lembaga-lembaga donor untuk memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang sudah sejak lama bersamaan dengan mengalirnya dana bantuan donor ke negaranegara berkembangan. Meskipun demikian, pada saa ini isu tersebut semakin kuat dan dirasakan perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sesuatu

yang dinamis dan tidak berada dalam ruang yang vacuum. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (Mackie, 1980). Bahkan sejak kita merdeka berbagai gerakan separatis muncul sebagai reaksi terhadap kekuatan sentripental yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara. Desentralisasi yang merupakan refleksi hubungan antara pusat dan daerah terus akan bergulir dalam proses demokratisasi. Administrasi publik berperan penting untuk ikut menentukan konstruksi hubungan pusat dan daerah di Indonesia, juga ikut membangun kapasitas pemerintahan

daerah. Karena isu ini bukan isu sesaat tetapi isu yang terus dan akan berlanjut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi yang sangat luas terutama untuk menciptakan pemerintahan yang efisien dan efektif, juga untuk meningkatkan proses demokrasi di tingkat lokal. Faktor yang akan mempengaruhi implementasi desentralisasi menurut Rondinelli (1983) adalah: (1) kuatnya dukungan politik dan administratif dari pemerintah pusat; (2) pengaruh perilaku, tingkah laku dan budaya; (3) faktor-faktor organisasi; (4) sumberdaya keuangan, manusia, fisik yang cukup dan memadai.

KESIMPULAN
Good government sebuah konsep yang dikenalkan oleh negara-negara donor, UNDP, maupun Bank Dunia. Governance tidak sama dengan government (pemerintah) dalam arti sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan, dalam arti yang luas merupakan paradigma pemerintahan, yang menggambarkan ide-ide baru tentang apa, siapa, dan apa peran yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah di hadapan masyarakat; perspektif baru tentang proses pemerintahan dalam melaksanakan programprogramnya; serta pendekatan baru pada isu abadi tentang bagaimana pemerintahan yang terpilih dan bertanggungjawab melakukan peran koordinasi dalam masyarakat. Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (state), civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan masyarakat pengusaha. Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas. Konsep pemerintahan berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance mengandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatiof dan responsif dan efiesien. Sehingga penyelenggaraan pemerintahan yang baik akan tercapai bila dalam penerapan unsur tersebut dalam otoritas politik, ekonomi dan administrasi. Sentralisasi dan desentralisasi merupakan dua konsepsi yang selalu eksis dalam sebuah organisasi publik maupun organisasi non publik. Menguatnya identitas masyarakat (civil society) menuntut ruang gerak dalam pelaksanaan good governance di pemerintahan daerah sehingga lahirlah

program desentralisasi. Meskipun demikian, dalam prakteknya, desentralisasi ditempatkan sebagai instrumen efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi

pemerintahan, dari pada instrumen peningkatan demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Krina, Loina Lalolo.P. (2003). Indikator dan alat ukur akuntabilitas, transparasi dan partisipasi. Sekretariat Good Public Governance, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Diakses 30 Desember 2011 dari: http://goodgovernance.bappenas.go.id/gg/ file/concept/good_governance.pdf. Pramusinto, Agus. (2006). Building Good Governance In Indonesia: Cases of Local Government Efforts to Enhance. Transparency. Paper, presented at the EROPA Conference: Modernising the Civil Service Reform in Alignment with National Development Goals, Bandar Seri Begawan, Brunai Darussalaam. Diakses 28 Desember 2011 dari: http://unpan1.un.org/intradoc/groups/publi c/documents/eropa/unpan027462.pdf Prasojo, Eko. & Kurniawan, Teguh. (2008). Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices dari Sejumlah Daerah di Indonesia. Makalah, dipresentasikan dalam the 5 the International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia, Banjarmasin. Rosyada, Dede, dkk. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education):

Siregar, Muhammad Arifin. (2008). Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahan Provinsi Bengkulu. Tesis, Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Diakses 05 Januari 2012 dari: http://eprints.undip.ac.id/18253/1/Muham Muh_Arifin_Siregar.pdf. United Nations Development Programme. (1994). Pemerintahan yang baik - dan pembangunan manusia yang berkelanjutan (Good governance - and sustainable human development). Governance for sustainable human development: A UNDP policy document. Diakses 31 Desember 2011 dari: http://mirror.undp.org/magnet/policy/chap ter1.htm. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah.

You might also like