You are on page 1of 15

PENDIDIKAN BERKARAKTER LINGKUNGAN DALAM PENDEKATAN PERSPEKTIF HOLISTIK EKOLOGIS

Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

(Prof. DR. Achmad Munandar, M.Pd.)

Oleh: Rahmi Wulandiani, S.Pd.

PROGRAM PENDIDIKAN BIOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2011

BAB I PENDAHULUAN

Kelestarian dan kehidupan mahluk hidup sangat bergantung kepada lingkungan. Itulah sebabnya lingkungan selalu menjadi isu penting yang dibicarakan dunia dari waktu ke waktu. Masalah lingkungan mulai dibicarakan di tingkat internasional pada tahun 1982. Ketika itu UNEP (United Nations Environment Program) menyelenggarakan sidang istimewa dalam memperingati 10 tahun gerakan lingkungan (1972-1982) di Nairobi, Kenya. Dalam sidang istimewa tersebut terbentuklah Komisi Internasional yang dinamakan Komisi Dunia untuk Pembangunan dan Lingkungan. Komisi ini menghasilkan program yang bernama Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut mengandung makna bahwa segala upaya pemanfaatan sumber daya alam, pengembangan teknologi, perubahan tatanan kelembagaan, serta peningkatan investasi harus diarahkan secara harmonis dan terpadu untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan mendatang (Surtikanti: 2009). Pada kenyataannya, Setiadi (2007:2) menyatakan bahwa implementasi paradigma pembangunan berkelanjutan belum mencapai tingkat yang optimal, bahkan terkesan jalan di tempat. Banyak pihak yang melihat bahwa pola-pola pembangunan di berbagai negara tidak berubah secara fundamental. Pertumbuhan ekonomi tetap dijadikan sebagai tujuan utama oleh banyak negara. Berbagai ukuran yang digunakan dalam pembangunan lebih berorientasi pada standar kehidupan material daripada kualitas kehidupan yang lebih holistik. Demikian juga dengan kepentingan manusia yang masih ditempatkan sebagai prioritas utama, sementara alam hanya diposisikan sebagai instrumen demi memenuhi kebutuhan manusia. Dengan kata lain, sumberdaya alam masih dipandang sebagai sumberdaya ekonomis (sebagai sumber pendapatan negara dan dayatarik investasi) daripada sumberdaya ekologis. Pada masa ini manusia telah menjadi salah satu spesies organisme heterotrof yang paling dominan di planet bumi ini. Kemajuan IPTEK yang selalu mengalami

inovasi

memungkinkan

manusia

untuk

mengeksploitasi,

mengolah

dan

memanfaatkan segala sesuatu yang terdapat di lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini menggeser kesadaran manusia bahwa lingkungan mempunyai daya toleransi (daya lenting) yang apabila telah terlampaui maka kualitas lingkungan terus merosot dan berdampak pada malapetaka dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Jika sudah demikian, maka tak ada lagi warisan alam yang dapat dinikmati oleh anak cucu kita kelak. Adapun dampak yang tidak dikehendaki sebagai akibat perlakuan manusia terhadap lingkungannya bisa beranekaragam, misalnya: terjadinya pencemaran oleh tumpahan minyak dan oleh limbah buangan industri, kelangkaan dan kepunahan spesies-spesies berbagai organisme, serta perubahan pola cuaca dan iklim akibat penciutan luas bentangan hutan tropika. Untuk mencegah dan memperbaiki lingkungan diperlukan pemahaman yang cukup luas serta program yang terencana dan jelas yang dilakukan secara bertahap dan sistematis. Namun demikian, upaya memperbaiki lingkungan tidak cukup dengan pengetahuan saja, tetapi harus didukung dengan mental, perilaku dan sikap yang sungguh-sungguh dari setiap komponen masyarakat. Untuk membentuk masyarakat yang memiliki kepedulian lingkungan yang tinggi tersebut, maka dalam bidang pendidikan ke depan diperlukan pendidikan yang berwawasan lingkungan sejak dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Pendidikan memberikan peluang yang besar dalam pembentukan wawasan secara holistik yang dapat membentuk pola pikir manusia untuk lebih memahami lingkungan dengan lebih bijaksana. Setiadi (2007: 7) mengatakan bahwa saat ini dunia tidak dapat lagi dipandang seperti pohon yang cenderung bersifat sentralistik, hirarkis, birokratis, namun kini harus dilihat seperti layaknya

tumbuhan merambat yang dinamis, majemuk, dan sistimik. Dengan demikian pola pemikiran yang fragmentik, strukturalis, mekanistik, serta deterministik perlu digeser ke pola pemikiran yang ekologis-holistik.

BAB II PENDIDIKAN BERKARAKTER LINGKUNGAN DALAM PENDEKATAN PERSPEKTIF HOLISTIK EKOLOGIS

A. Ontologi 1. Paradigma Holistik-Ekologis Kerusakan bumi yang terus terjadi hingga saat ini tidak semata-mata karena ketidakpedulian ataupun keserakahan manusia yang seolah tidak pernah cukup dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika ditelaah lebih jauh, kerusakan bumi ini merupakan akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan yang cenderung mereduksi fenomena-fenomena alam. Sejak tiga ratus tahun yang lalu kebudayaan manusia telah didominasi oleh pandangan bahwa tubuh manusia sama halnya dengan mesin. Jiwa dianggap terpisah dari tubuh, dan alam dipandang sebagai suatu mesin raksasa yang bergerak secara mekanis layaknya arloji. Pandangan yang terpisah-pisah ini telah berandil besar dalam menciptakan krisis multidimensi yang tidak dapat dipecahkan dengan konsep klasik yang telah mengakar sekian lama. Berbagai krisis yang tengah dihadapi oleh masyarakat dewasa ini merupakan timbunan dari berbagai persoalan yang saling terkait satu sama lain. Salah satu benang merah yang menguntai krisis multisegi tersebut adalah suatu krisis persepsi yang berakar dari pandangan dunia mekanis Descartes dan Newton. Rene Descartes, seorang ahli matematika, yang memelopori metode analitik deduktif-reduksionisme sangat meyakini bahwa setiap fenomena alam yang teramat kompleks dapat dipahami dengan cara mereduksinya menjadi bagian-bagian pokoknya (Capra dalam Setiadi (2007: 2). Keyakinan Descartes tersebut tidak dapat dilepaskan dari pandangannya bahwa alam semesta adalah sebuah struktur matematis. Melalui struktur tersebut, ia menganalogikan alam layaknya sebuah mesin yang berjalan dalam suatu sistim mekanis tertentu. Sehingga, menurutnya, untuk memahami mesin tersebut cara yang terbaik adalah membongkar dan meneliti setiap komponen yang membentuknya,

karena hanya dengan cara itulah ilmu pengetahuan dapat menghasilkan kepastian yang mutlak. Pandangan Descartes tersebut memberikan dampak luar biasa pada perkembangan ilmu pengetahuan yang kemudian berimbas pada tindakan manusia terhadap alam. Dalam tulisannya, Setiadi (2007: 2) menyatakan: Ilmu pengetahuan terfragmentasi ke dalam dua bagian besar, yaitu ilmu kemanusiaan dan ilmu alam. Ilmu kemanusiaan memusatkan perhatian pada alam pikiran (res cogitans), sedangkan ilmu alam memfokuskan kajiannya pada alam materi (res extensa). Dengan pemisahan ini, integrasi antara akal dan materi yang telah didengungkan secara luas oleh para filsuf abad pertengahan semakin terpinggirkan. Seiring dengan itu, orientasi ilmu pengetahuan yang pada awalnya lebih menekankan pada kearifan, mengikuti tatanan alam, dan demi keagungan Tuhan, berubah secara drastis ke arah yang berlawanan. Cara pandang terhadap alam sebagai sebuah sistim organis dengan cepat digantikan oleh metafora alam yang mekanistik. Ilmu pengetahuan pun kemudian lebih ditujukan untuk memperkuat dominasi manusia terhadap alam. Bahkan, hingga saat ini, ilmu pengetahuan seringkali digunakan untuk memberikan justifikasi ilmiah guna memanipulasi dan mengeksploitasi alam. Dalam perangkap perkembangan ilmu pengetahuan seperti di atas, perilakuperilaku ekologis akan semakin langka ditemukan di tengah masyarakat luas. Keterbatasan metode ilmiah klasik untuk mengurai serta merumuskan solusi atas jalinan berbagai persoalan tersebut menuntun pada pergeseran paradigma yang mensyaratkan perubahan radikal dalam konsepsi mengenai realitas. Perubahan tersebut tidak hanya ditandai dengan kemunculan fisika baru yang telah merombak hampir seluruh konsepsi fisika klasik tentang realitas dunia mekanis seperti yang berkembang dewasa ini, akan tetapi juga telah tumbuh dalam berbagai disiplin ilmu lain yang menemui keterbatasanketerbatasan pandangan dunia mekanis. Berkaitan dengan bidang yang digelutinya yakni fisika, dan dari pemahaman lintas disiplinernya, Capra melihat bahwa konsep-konsep baru dalam berbagai bidang ilmu tersebut telah menimbulkan suatu perubahan yang signifikan. Konsep-konsep baru tersebut menunjukkan suatu pergeseran paradigma, dari paradigma positivistikmekanistik yang berasal dari Descartes dan Newton menjadi suatu pandangan holistik.

Pandangan hidup holistik adalah suatu pandangan yang menekankan pentingnya saling hubungan dan saling ketergantungan semua fenomena. Pandangan holistik mencoba memahami alam bukan hanya dalam pengertian struktur-struktur dasar, melainkan dalam pengertian proses-proses dinamis. Paradigma baru tersebut juga bisa disebut sebagai pandangan ekologis dalam arti yang lebih luas dan mendalam, yakni suatu kesadaran akan

kesalingtergantungan fundamental semua fenomena, dan fakta bahwa individu dan masyarakat terlekat dan bergantung secara mutlak pada proses siklis alam (Capra, 2001: 16). Kedua istilah tersebut holistik dan ekologis memiliki makna yang berbeda, meski digunakan untuk mewakili realitas yang sama. Capra mengungkapkan perbedaan tersebut dengan memakai analogi sebuah sepeda. Sebuah pandangan holistik, katakanlah, tentang sebuah sepeda, berarti melihat sepeda sebagai suatu keseluruhan fungsional dan karena itu mengerti kesalingtergantungan bagian-bagiannya. Sebuah pandangan ekologis mengenai sepeda mencakup pandangan holistik, tetapi menambahkan persepsi tentang bagaimana sepeda tersebut terlekat dalam lingkungan alamiah dan sosialnya-darimana didapatkan bahan mentahnya, bagaimana sepeda itu diproduksi secara massal, bagaimana pemakaiannya mempengaruhi lingkungan alamiah dan komunitas yang memakainya (Capra, 2001: 16-17). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa perspektif holistik-ekologis berarti pandangan tentang suatu realitas tertentu sebagai suatu keseluruhan fungsional dan memahami keterkaitan antar bagiannya, serta keterkaitannya dengan lingkungan sosial dan alamiahnya. Pendekatan holistik akan membawa kita pada pemahaman bahwa alam semesta merupakan satu kesatuan yang utuh, saling terhubung, dan penuh dengan dinamika. Pemahaman tehadap alam sebagai sesuatu yang bersifat organis, sistemik, dinamis, dan kompleks merupakan salah satu faktor kunci guna mencapai keberlanjutan ekologis. Tak ada pemisahan antara komponen spiritual dan komponen materi. Keduanya justru melebur menjadi satu, berinteraksi, dan bahkan saling berkomunikasi membentuk jaring-jaring kehidupan (the web of life). Faktor spiritual seperti perasaan, etika, nilai,

motif, selera, kepercayaan, pengetahuan, dan kesadaran menjadi bagian integral dari sistem alam secara keseluruhan. Faktor-faktor itulah yang akan memberikan pemaknaan terhadap setiap gejala kehidupan. Bahkan lebih dari pada itu, faktor-faktor tersebut juga mempengaruhi dinamika alam sesuai dengan hukum-hukum ekosistem (Setiadi, 2007: 3).

2. Pendidikan Berkarakter Lingkungan Masih hangat dalam perbincangan mengenai pendidikan karakter yang sedang dikembangkan dalam upaya menanamkan nilai-nilai positif peserta didik. Adapun yang dimaksud dengan karakter adalah nilai-nilai yang

melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Sedangkan pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Terdapat beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter ini. Indikator-indikator tersebut seiring dengan pencapaian kriteria pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL) SMP. Indikator-indikator tersebut di antaranya:


Mengamalkan

ajaran

agama

yang

dianut

sesuai

dengan

tahap

perkembangan remaja;
  

Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri; Menunjukkan sikap percaya diri; Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;

Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;

Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumbersumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;

 

Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif; Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;

Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;

  

Mendeskripsikan gejala alam dan sosial; Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab; Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

  

Menghargai karya seni dan budaya nasional; Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya; Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;

 

Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun; Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;

 

Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana; Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;

Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;

Memiliki jiwa kewirausahaan. Pada pemaparan sebelumnya dijelaskan bahwa dalam pandangan

holistik, faktor spiritual seperti perasaan, etika, nilai, motif, selera, kepercayaan, pengetahuan, dan kesadaran menjadi bagian integral dari sistem alam secara keseluruhan. Dengan demikian, jika dipandang secara holistik, seharusnya ada upaya untuk mengintegrasikan antara indikator yang satu dengan indikator lainnya dalam upaya menumbuhkan individu yang memiliki

kepedulian tinggi terhadap lingkungan melalui pembelajaran berwawasan lingkungan. Adapun, dari sekian banyak indikator yang ditampilkan di atas, indikator-indikator yang merupakan pilar untuk mengembangkan pendidikan berwawasan lingkungan di sekolah secara holistik antara lain:


Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumbersumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;

 

Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif; Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;

Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;

  

Mendeskripsikan gejala alam dan sosial; Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab; Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

 

Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya; dan Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik. Pengintegrasian indikator-indikator di atas dapat dilakukan dengan

pemilihan metode, pendekatan, strategi, ataupun model pembelajaran yang tepat sehingga pendidikan lingkungan tidak menjadi sesuatu yang hanya sekedar pembelajaran formal di sekolah. Pendekatan secara holistik akan membentuk siswa yang memiliki kesadaran bahwa dirinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan.

B. Epistomologi: Mengkonstruk Pemahaman Siswa Mengenai Pembelajaran Berkarakter Lingkungan Dalam Ekologis Meskipun pembelajaran yang berkarakter lingkungan telah dijalankan selama beberapa tahun di beberapa sekolah melalui mata pelajaran PLH, namun demikian sejauh ini pembelajaran tersebut masih belum menyentuh ranah holistik-ekologis. Selama ini siswa hanya dijejali teori tanpa berusaha untuk melibatkan aspek perasaan, etika, nilai, motif, selera, kepercayaan, pengetahuan, dan kesadaran mereka akan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut dipicu oleh pemahaman guru yang salah bahwa pembelajaran berbasis lingkungan hanya melibatkan dua indikator saja, yaitu:
 

Pendekatan Perspektif Holistik

Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab; dan Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik. Dalam pendekatan holistik-ekologis, siswa akan digiring untuk

memahami bahwa lingkungan merupakan bagian integral dari kehidupan, sehingga usaha yang dilakukan untuk menjaga lingkungan tidak terbatas pada tindakan nyata, misalnya: membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon, dsb. akan tetapi sekaligus menyadari mengapa tindakan tersebut harus dilakukan, mengembangkan rasa ingin tahu yang lebih tentang lingkungan, menjadi agen pengubah lingkungan yang kreatif, serta menyadari dirinya sebagai bagian dari lingkungan sosial dimana orang lain mungkin tidak memiliki pemahaman yang sama tentang lingkungan dengan seperti apa yang dia pahami. Oleh karena itu, guru perlu menyadari bahwa ada banyak indikator terkait yang perlu dijabarkan dalam pembelajaran yang tepat untuk menyajikan pendidikan berwawasan lingkungan ini sebagai suatu

pembelajaran yang bersifat holistik ekologis. Kreativitas guru yang kurang dalam mengaplikasikan konsep yang dipahami agar menjadi sesuatu yang lebih mengena dengan kehidupan siswa. menyebabkan pembelajaran yang digunakan oleh guru kurang mengenai sasaran. Darsiharjo (----: 7-8) memberikan beberapa contoh pola pendidikan

yang salah dan tidak mendukung pada lingkungan yang berkelanjutan di berbagai jenjang pendidikan, diantaranya: 1. Pada Tingkat Taman Kanak-kanak dan Balita Guru sering memperkenalkan buah-buahan dan sayuran, seperti pada permainan bongkar pasang dan menggambar. Akan tetapi yang disajikan adalah produk pertanian di daerah iklim sedang, sehingga anak-anak lebih menyukai tanaman iklim sedang dari pada tanaman tropika. 2. Pada Tingkat Pendidikan Dasar Sering disajikan informasi bahwa Indonesia tanahnya subur dan kaya raya, bahkan tongkat kayu dilempar pun jadi tanaman. Padahal kondisi alam kita tidak selamanya seperti itu. Asumsi ini menyebabkan anak-anak menjadi malas. 3. Pada Tingkat Pendidikan Menengah Pemahaman dan perilaku siswa tidak diajak pada pemahaman nyata, seperti misalnya pengetahuan tentang tindakan konservasi tidak diiringi dengan contoh di sekolah. Misalnya: tidak adanya upaya pembuatan sumur resapan agar air yang jatuh di sekolah tidak mengalir ke luar; halaman terbuka untuk istirahat siswa hampir tidak ada karena dibuat bangunan untuk tambahan kelas baru, ruang laboratorium, ruang serba guna, kantin dan ruang yang lainnya yang berlantai beton dan tembok; serta penanaman tanaman yang hanya menggunakan pot. 4. Pada Perguruan Tinggi Sikap dan perilaku mahasiswa dijauhkan dari kondisi alam nyata dan bersifat konsumtif. Seperti pada saat orientasi mahasiswa kegiatannya diarahkan untuk mencari dan membeli barang dan alat-alat yang kadangkadang tidak bermanfaat seperti balon gas dan karung terigu. Padahal akan lebih bermanfaat jika membawa bibit tanaman untuk program penghijauan. Belajar dari pola-pola pendidikan di atas, perlu kiranya guru berkaca dan mengubah pola pengajaran berwawasan lingkungan menjadi lebih nyata, lebih dekat, dan lebih mendatangkan manfaat. Dengan kata lain, guru harus dapat mengkonstruk siswa agar mampu berbuat banyak untuk lingkungannya

bukan hanya sekedar atas dasar tanggung jawab, tapi diarahkan pada kebutuhan yang terintegrasi dengan kehidupan.

C. AKSIOLOGI:

Aplikasi

Mengenai

Pembelajaran

Berkarakter

Lingkungan Dalam Pendekatan Perspektif Holistik Ekologis Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, guru tampaknya harus menelaah kembali pembelajaran-pembelajaran yang telah dilakukan supaya pembelajaran yang berbasis lingkungan ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menanamkan pemahaman holistik siswa dalam memandang diri dan lingkungannya. Adapun upaya nyata yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan antara konsep dan kepedulian siswa terhadap lingkungan di antaranya: 1. Sekolah menyusun program sederhana yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan sekolah, misalnya: a. Melakukan proses penanaman/penghijauan di lingkungan sekolah dengan melibatkan siswa dalam upaya pemeliharaannya. Supaya lebih termotivasi, tanaman yang ditanam sebaiknya tanaman produktif agar siswa lebih bersemangat dalam merawat tanamannya. b. Pemberian nama/pelabelan pada setiap jenis tanaman yang berada di lingkungan sekolah, sehingga siswa tertarik untuk mengenal lebih dekat tanaman-tanaman yang mereka tanam. c. Melakukan program Jumat Bersih (Jumsih) sebagai upaya untuk memperkuat doktrin bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Selain itu, program ini juga dapat mempererat kebersamaan di antara siswa, menjadikan mereka sebagai mahluk sosial yang saling membutuhkan. d. Mencanangkan program 4R (Reduce, Reuse, Recycle, Replace), sehingga selain permasalahan sampah dapat tertanggulangi, juga dapat mengasah kreativitas siswa sekaligus menanamkan jiwa

kewirausahaan mereka (memasarkan hasil prodak daur ulang).

2. Guru memperbaiki proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode dan pendekatan yang tepat yang lebih mengaktifkan siswa dalam pembelajarannya, menggiring minat dan ketertarikan mereka terhadap lingkungan. Pendekatan yang tepat dilakukan di antaranya pendekatan STM atau pendekatan kontekstual. 3. Pemberian penghargaan terhadap sekolah-sekolah yang dinilai dapat menjaga kelestarian lingkungannya dengan baik oleh pemerintah daerah setempat. Semua upaya di atas dilakukan dalam upaya menanamkan tiga kunci teori sistem dalam pemahaman terhadap hakikat kehidupan yang diungkapkan oleh Capra (2001: 228-230), yakni: 1. Pola (bentuk), meliputi suatu pemahaman tentang konfigurasi hubunganhubungan yang menentukan karakteristik-karakteristik dasar suatu sistem. 2. Struktur (materi), meliputi pemahaman tentang perwujudan fisik yang mencakup pelukisan komponen-komponen fisikal yang aktual, baik berupa bentuk, komposisi dan lain sebagainya. 3. Proses, meliputi pemahaman yang mencakup aktivitas yang diperlukan dalam mewujudkan pola pengaturan sistem yang berlangsung secara terus menerus. Kriteria proses adalah hubungan antara pola dan struktur.

BAB III KESIMPULAN

Kerusakan lingkungan semakin hari semakin intensif dan terus meningkat, sehingga dampaknya pada kehidupan manusia semakin berat dan kompleks. Dampak perusakan lingkungan oleh manusia berlangsung secara perlahan-lahan sehingga sering tidak disadari oleh pelaku (perusak lingkungan), karena pada awalnya lingkungan mempunyai daya toleransi (daya lenting). Untuk mencegah dan memperbaiki lingkungan diperlukan pemahaman yang cukup luas serta program yang terencana dan jelas yang dilakukan secara bertahap dan sistematis. Namun demikian, upaya memperbaiki lingkungan tidak cukup dengan pengetahuan saja, tetapi harus didukung dengan mental, perilaku dan sikap yang sungguh-sungguh dari setiap komponen masyarakat. Untuk membentuk masyarakat yang memiliki kepedulian lingkungan yang tinggi tersebut, maka dalam bidang pendidikan ke depan diperlukan pendidikan yang berwawasan lingkungan sejak dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Terdapat kekeliruan atau ketidak tepatan antara misi pendidikan lingkungan dengan pemahaman lingkungan dan pelaksanaannya di masyarakat, sehingga perlu ada perbaikan dari sisi materi yang harus diajarkan pada siswa maupun pendekatan pembelajaran yang digunakan. Pendekatan holistik akan membawa kita pada pemahaman bahwa alam semesta merupakan satu kesatuan yang utuh, saling terhubung, dan penuh dengan dinamika. Pemahaman tehadap alam sebagai sesuatu yang bersifat organis, sistemik, dinamis, dan kompleks merupakan salah satu faktor kunci guna mencapai keberlanjutan ekologis.

DAFTAR PUSTAKA

Capra, Fritjof. (2001). Jaring-jaring Kehidupan, Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, alih bahasa Saut Pasaribu. Fajar Pustaka Baru: Yogyakarta. Darsiharjo. (____). Pendidikan Berwawasan Lingkungan. Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan Setiadi, Hafid. (2007). Pembangunan Wilayah: Gagasan Ruang Ekologis dan
Pembangunan Berkelanjutan. FPMIPA UI: tidak diterbitkan.

Surtikanti, Koosbandiah H. (2009). Biologi Lingkungan. Bandung: Prisma Press Prodaktama.

You might also like