You are on page 1of 73

TERBENTUKNYA INTERNATIONAL PARLIAMENTARIANS FOR WEST PAPUA (IPWP)

Pemberontakan bersenjata, meskipun bertingkat rendah dan sporadis, merupakan masalah yang terus menerus muncul mengganggu pemerintah Indonesia. Banyak orang dalam Pemerintah nasional dan angkatan bersenjata melihat Papua sebagai salah satu faktor yang mengancam integritas keseluruhan wilayah Indonesia. Pada tanggal 17 bulan November 2006 kelompokkelompok bersenjata di wilayah Papua berkumpul di bawah kerangka sebuah payung kesatuan untuk mengadakan Kongres Pertama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Dalam pertemuan ini TPN-PB memperbaharui komitmen TPN-PB untuk "mempersiapkan diri untuk perang melawan kolonialisme, imperialisme, dan eksploitasi global yang hendak dimulai di Papua Barat.1 Papua senantiasa menjadi masalah dan gangguan bagi stabilitas keamanan dan politik Indonesia berskala nasional maupun internasional. Oleh karenanya mayoritas rakyat Indonesia bersikap apatis, dalam rangka usaha mencari solusi penyelesaian berbagai konflik sosial politik di Papua Barat secara bermartabat. Bahkan masalah ini luput dari perhatian dan kepedulian apalagi simpati dan empati, atas masalah yang dihadapi Papua Barat. Pembentukan Kaukus Parlemen Internasional yang mendukung upaya kemerdekaan dan pemisahan diri Papua Barat dari NKRI, membuat Pemerintah dan DPR-RI menjadi terkejut. Upaya pihak asing (pendukung gerakan Papua) yang mensponsori kampanye itu dilakukan anggota parlemen Inggris Andrew Smith dan Lord Harries yang membentuk International Parlementarians for West Papua.2 Pembentukan kaukus tersebut bekerja sama dengan tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM), Beny Wenda. Anggota Parlemen Inggris dan House of Lords Inggris seperti Addrew Smith, Lord Harris (Revd. Bishop Richard Harries), dan Ibu Dr. Caroline Lukas anggota Parlemen Uni Eropa secara aktif dan terus-menerus mendesak Pemerintah mereka di London untuk mendukung Perjuangan Rakyat Papua Barat mengenai Hak Penentuan Nasib Sendiri (the Rigth to Self Determination). Hal yang menjadi pendirian Adrew Smith, Lord Harris dan Caroline Lucas dan beberapa anggota Parlemen bahwa Masa depan rakyat dan Bangsa Papua Barat harus dibicarakan pada tanggal 15 Oktober 2008 di London melalui Peluncuran Parlemen Internasional. Hal di atas menarik untuk dikaji lebih jauh, yakni mengenai faktor-faktor apa yang melatarbelakangi terbentuknya International Parliamantarians for West Papua.

Masalah Sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, kondisi Papua semakin menghangat. Pemberlakuan Undang Undang Pemerintahan daerah yang dikenal dengan Undang Undang Otonomi daerah No 22 Tahun 1999, juga diberlakukan di Papua. Dalam Undang Undang

22/1999 hanya berlaku masalah umum pada pemerintahan daerah di seluruh Indonesia termasuk Papua. Dalam perjalanan dan penerapannya di Papua, undang undang ini banyak mendapat protes terutama mengenai Undang Undang No 24/1999 mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah, dimana hanya 60 persen hasil sumber daya alam Papua yang kembali ke daerah. Papua pada waktu itu menuntut 75 % hasil kekayaan alam Papua yang harus dikembalikan ke daerah.3 Pada perjalanannya kondisi di Papua mulai memanas. Sebagian tokoh-tokoh mulai menentang kebijakan pusat. Gerakan OPM mulai beraksi dan banyaknya perlawanan dari kelompok pengacau keamanan(OPM) banyak menyerang pos-pos kemanan di Papua. Pengibaran Bendera Papua mulai marak. Dengan kondisi seperti ini Undang Undang No 22/1999 tidak dapat berlaku secara efektif di bumi Papua. Melihat kondisi seperti itu, Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid melahirkan Otonomi dan mengupayakan pemekaran wilayah agar percepatan pembangunan dapat terjadi. Disamping itu Gusdur juga mengupayakan Undang undang khusus bagi Papua, yang selanjutnya menjadi UU No 21 tahun 2001. Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008. UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Garis-garis besar kewenangan dan pokok pikiran merupakan kerangka dasar yang dimasukan kedalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Pokok-pokok pikiran tersebut dikembangkan dengan memadukan nilai-nilai dasar pelaksanaan Otonomi Khusus Papua dengan pendekatan-pendekatan yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan riil dan mendasar rakyat Papua dalam pengertian yang seutuhnya dan seluas-luasnya. Kewenangan dan pokok pikiran tersebut meliputi aspek-aspek berikut ini : Salah satu inti pelaksanaan Otonomi Khusus Papua adalah pembagian kewenangan pemerintah antara Pusat dan Provinsi Papua. Pembagian kekuasaan dan kewenangan. Kewenangan Pemerintah Pusat antara lain masalah Politik Luar Negeri, pertahanan terhadap ancaman eksternal, moneter dan peradilan.4 Dari penjelasan di atas, disadari pula bahwa di luar keempat kewenangan pemerintahan pusat sebagaimana dikemukakan diatas, masih ada hal-hal lain yang karena sifatnya memerlukan keterlibatan Pemerintahan Pusat, terutama hal-hal yang menyangkut standarisasi dan kesepakatan-kesepakatan luar negeri dan kerjasama antar negara. Pembagian kekuasaan (sharing of power) dalam konteks Otonomi Khusus Provinsi Papua tidak saja menyangkut hubungan pusat dan daerah, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kekuasaan dan kewenangan itu dibagi secara baik di dalam Provinsi Papua sendiri. Untuk menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis, profesional dan bersih, dan sekaligus memiliki ciri-ciri kebudayaan dan jati diri rakyat Papua, serta mengakomodasikan sebanyak mungkin kepentingan penduduk asli Papua, perlu dibentuk empat badan/lembaga, yaitu Lembaga Eksekutif (Bagian Ketiga UU No.21 tahun 2001) Lembaga ini di tingkat provinsi dipimpin oleh seorang gubernur dan di tingkat Kabupaten/kota dipimpin oleh Bupati atau Walikota. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam Undang Undang Otonomi Khusus Papua ini, Provinsi Papua tidak lagi menggunakan Undang Undang No 32/2004 (berlaku azas lex spesialis)

tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia. Di Papua sendiri juga diberlakukan Undang undang daerah yang lazim disebut Perda, namun di Papua sendiri disebut Peradasus dan Perdasi (Peraturan Daerah Khusus dan Peraturaran Daerah Istimewa). Otonomi Khusus Papua telah terjadi pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan di provinsi Papua. Pemerintahan yang semula diselenggarakan atas duet pemerintah dan DPRD kini berubah menjadi trio alias "Three in One". Artinya, keputusan terhadap penyelenggaraan pembangunan diatur oleh tiga komponen utama, yakni Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Jelaslah, pemerintahan dengan model tiga komponen yang menjadi pilar utama seperti ini dari 32 Provinsi di Indonesia, baru hanya terdapat di Provinsi Papua. Sebelum hadirnya Majelis Rakyat Papua (MRP), DPRD (kini DPRP) adalah lembaga penetap berbagai Peraturan Daerah (Perda). Adapun Pemerintah dalam hal ini Gubernur dan berbagai perangkatnya sebagai Badan Eksekutif yang bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) hadir sebagai sebuah lembaga baru yang merupakan representasi Kultural Orang Asli Papua. Meskipun secara de jure dan de facto lembaga ini hadir agak terlambat, yakni 3 tahun setelah adanya UU Otsus, yakni tahun 2004 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2004, tertanggal 23 Desember 2004. Lembaga ini memiliki wewenang utama dalam rangka perlindungan hak-hak Orang Asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama (pasal 1 butir ke-6). Sebelum Perdasus (Perda otonomi khusus) dan Perdasi (Perda Istimewa) diberlakukan di Papua, Perda yang pernah diberlakukan tetap menganut pada Undang Undang Pemerintahan Daerah yakni UU 5/1974, UU No. 22/1999 dan UU 32/2004 yang kesemuanya mengatur tentang pemerintahan daerah. Pembentukan parlemen di Papua juga menganut undang undang tersebut disamping Undang undang Susduk (Susunan dan Kedudukan DPR, DPRD). Parlemen tadi berfungsi sebagai badan legislatif daerah seperti tertuang dalam UU 5/1974 dan parlemen berfungsi sebagai lembaga legislatif daerah dalam UU No 22/1999. Istilah otonomi dalam Otonomi Khusus diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua.5 Pada saat otonomi khusus belum dilaksanakan secara optimal, pada 15 Oktober 2008 di London, Inggris diselenggarakan pertemuan sekitar 30 aktivis Papua Merdeka dan beberapa anggota parlemen (2 dari Inggris dan masing-masing 1 dari Vanuatu dan Papua Nugini). Pertemuan ini membentuk forum yang disebut International Parliamentarians for West Papua (IPWP). Nampaknya, para aktivis penyelenggara mencoba mengulang sukses International Parliamentarians for East Timor (IPET) yang sukses mendorong kemerdekaan Timor Leste.6

Pembentukan IPWP tersebut oleh Benny Wenda dan pendukungnya merupakan jalan untuk memerdekakan bangsa Papua dan lepas dari NKRI. Sekalipun tidak mewakili parlemen dan pemerintahnya, sejumlah anggota parlemen yang berasal dari beberapa negara telah bergabung dalam IPWP untuk secara bersama mengangkat masalah Papua. Sekalipun peluncuran IPWP tidak perlu dikhawatirkan, kita perlu tahu agendaagendanya.7 IPWP akan memperjuangkan, antara lain penentuan nasib sendiri yang baru sesuai hukum internasional bagi Papua, penarikan militer dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dari uraian di atas dan melihat kondisi Papua Barat pada masa sekarang ini maka penulis mencoba membuat rumusan masalah yakni : Apa latar belakang terbentuknya International Parliamentarians For West Papua ? Berdasarkan rumusan masalah di atas mengapa di Papua terjadi pemberontakan dan menginginkan kemerdekaan dan berdasarkan teori yang digunakan penulis adalah Teori Pemberontakan. Pemberontakan adalah sebuah gerakan perlawanan dalam menentang, melawan sebuah keputusan atau kebijakan yang diambil oleh rezim dalam menerapkan strategi kekuasaan negara. Sebuah pemberontakan memiliki intensitas rendah dibandingkan dengan perang konvensional dalam arti yang sesungguhnya. Akan tetapi jika pemberontakan semakin serius dan melibatkan satuan satuan militer berubah menjadi peperangan (dalam istilah insurgency disebut pemberontakan)8. Pemberontakan didasari karena ketidakpuasan dan kekecewaan yang dialami oleh manusia dalam suatu Sistem Politik atau Negara. James C. Davis dalam menganalisa penyebab Revolusi dan Pemberontakan yang mengemukakan bahwa "Penurunan Tingkat Kepuasan akan Kebutuhan Dasar Manusia, akan menimbulkan Frustasi yang sangat Potensial untuk melahirkan Pemberontakan". Alasan mendasar dari pemberontakan disebabkan tidak terpenuhinya salah satu dari lima kelompok kebutuhan yang disusun secara hierarkis yaitu: 1. Kebutuhan Psikologis (Physcological Needs) Kebutuhan ini adalah kebutuhan dasar manusia atau kebutuhan primer dalam hidup, setiap orang akan membutuhkan Physcological Needs misalnya, makanan, minuman, tempat tinggal dan lainlain. Dalam konteks dengan masayarakat Papua Barat, selama ini masih banyak kebutuhan dasar ini belum dapat terpenuhi, khususnya pada masayarakat yang berada di pedalaman. 2. Kebutuhan Keamanan (Safety Needs) Kebutuhan ini merupakan kebutuhan sekunder, artinya kebutuhan ini dapat dipenuhi setelah kebutuhan dasar atau kebutuhan primer dapat dipenuhi misalnya perlindungan terhadap bahaya atau kekerasan, keselamatan setelah kebutuhan pertama sudah terpenuhi. Kebutuhan ini paling tidak juga harus dapat dipenuhi.

Dalam konteks dengan masyarakat Papua, masih banyak kebutuhan keamanan ini belum terpenuhi seperti adanya intimidasi, ancaman ataupun serangan dari kelompok bersenjata, maupun upaya untuk melakukan kekerasan fisik, sehingga kebutuhan keamanan di Papua sangat diperlukan. 3. Kebutuhan Sosial (Social Needs) Artinya bila kedua kebutuhan tersebut diatas telah dipenuhi maka orang ingin kebutuhan akan Afiliasi, persahabatan serta memberi dan menerima kasih sayang/dihargai. Kebutuhan ini merupakan pengakuan akan status sosial masyarakat akan lingkungannya. Dalam konteks masyarakat Papua persahabatan dengan suku atau ras lain memang diperlukan, namun tidak merupakan hal yang mutlak. Tetapi bagaimanapun kebutuhan sosial memang diperlukan dalam membangun kehidupan sosial. 4. Ego / Esteem Needs atau kebutuhan akan prestise. Kebutuhan ini jarang dapat dipuaskan namun merupakan motivasi bila ketiga kebutuhan diatas telah terpenuhi. Dalam konteks masyrakat Papua kebutuhan akan ego bukan merupakan hal yang mutlak namun kebutuhan akan prastise tidak menjadi ganjalan masysrakat Papua, yang terpenting ketika ketiga kebutuhan utama diatas terpenuhi kebutuhan yang keempat tiadak merupakan sesuatu tuntutan yang harus dipenuhi 5. Self-Actualization Needs atau kebutuhan kemampuan kerja Merupakan kebutuhan terakhir yang dapat mendorong perilaku apabila keempat kebutuhan lainnya diatas telah terpenuhi. Kebutuhan yang terakhir ini dalam konteks masyarakat Papua hampir dikatakan kurang terpenuhi, namum hanya didapatkan oleh masyarakat yang memiliki strata sosial yang tinggi, sehingga masih banyak masyarakat yang belum dapat menikmati atau merasakan kebutuhan akan mempertinggi kemampuan. Teori yang dikembangkan di atas pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologis (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual. Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.

Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dari data yang ada memang masih ada sekitar 20.000 KK hidup dalam kategori miskin, atau sekitar 76 % 9. Jumlah ini memang masih cukup besar dan tetap akan menjadi perhatian serius pemerintah Menurut data dari jumlah penduduk miskin di propinsi Papua Barat10 mencapai 68,92%, artinya baru sekitar 31,08%, masyarakat Papua Barat yang merasakan kebutuhan dasar yang terpenuhi. Dari data Tabel 1 di bawah terlihat kebutuhan dasar manusia seperti makan dan minum merupakan hal yang harus diselesaikan. Kekurangan bahan makanan merupakan akibat kemiskinan struktural atau kemiskinan akibat dari sistem yang ada. Disamping itu kebutuhan akan rasa aman dari ketakutan. Banyaknya teror dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat militer terhadap ketua Dewan Presidium Papua11. Hal inilah yang menjadikan warga hidup dalam ketidakpastian. Tabel 1. Jumlah Rumah Tangga Miskin, Penduduk dan Penduduk per Rumah Tangga Propinsi Papua Barat dirinci Menurut Kab/Kota Tahun 2006

Kab/Kota 1. Fakfak 2. Kaimana 3. Teluk Wondama 4. Teluk Bintuni

Rumah Tangga

Pddk Miskin

14.943 59.773 9.412 5.174 12.020 37.649 20.698 48.079

5. Manokwari 6. Sorong Selatan 7. Sorong 8. Raja Ampat 9. Kota Sorong 10. Papua Barat

38.605 11.000 22.065 9.254 37.765 162.990

154.421 55.001 88.259 37.018 151.060 651.958

Sumber : Data BPS Papua Barat Tahun 2007, dalam www.bpspapau.go.id

Dalam perbedaan ras dan suku menyebabkan seringnya terjadi perselisihan antara warga pendatang dengan penduduk asli Papua.12 Terjadinya gap/jarak. dalam bidang ekonomi menimbulkan masalah yang signifikan dan menimbulkan gejolak di masyarakat karena pendatang dianggap menguasai perekonomian di Papua Barat, sedangkan masyarakat masih mengalami diskriminasi secara ekonomi, yang akhirnya akan memicu kerusuhan, dan jika terus terjadi maka perlawanan dan pemberontakan akan terjadi. Dalam permasalahan otonomi khusus Papua terjadi distorsi bahwa: Pertama ada pemahaman/persepsi yang berbeda-beda, bahkan negatif tentang Otonomi Khusus di Papua yang terjadi di kalangan pejabat Pemerintah dan anggota-anggota lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Padahal Pemerintah Papua mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan tentang Otonomi Khusus secara benar, jelas dan tegas. Kedua, masalah saling tidak percaya (distrust). Segala penderitaan yang dialami oleh masyarakat Papua, pelanggaran HAM, pembunuhan, penindasan, intimidasi, ketidakadilan, dan diskriminasi telah membawa sebagian masyarakat Papua kepada suatu kekecewaan yang sangat dalam. Kekecewaan demi kekecewaan telah membawa mereka untuk tidak percaya lagi kepada NKRI. Tokoh masyarakat Papua tidak percaya bahwa masih ada ruang bagi perbaikan dan karena itu masyarakat memilih alternatif untuk berpisah dari NKRI. Negara menjadi tema sentral anarki karena negara memayungi beragam bentuk hirarki dan kekuasaan elit, yang mempunyai dampak luas dan mendalam terhadap kehidupan sosial. Negara, dalam beragam bentuknya baik itu oligarki ataupun totalitarian, melalui birokrasi, menggunakan wewenangnya yang mengatur kehidupan mayoritas masyarakat, dan memonopoli kekerasan

teroganisir (tentara dan polisi). Terdapat perbedaan-perbedaan spesifik pada derajat wewenang birokrasi negara, partisipasi masyarakat, keragaman jenis institusi sektoral di tiap-tiap negara dan bentuk-bentuk monopoli kekerasan, pada dasarnya negara merupakan bentuk sentralisasi kekuasaan oleh minoritas untuk mengatur kehidupan populasi mayoritas. Berkaitan dengan judul di atas bahwa terbentuknya IPWP didasarkan Pertama pada kebutuhan masyarakat Papua yang belum terpenuhi secara sempurna pada kebutuhan psikologi (physcological needs) dan kebutuhan sosial (social needs). Salah satu penyebab tersebut adalah akumulasi kemiskinan warga Karena kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial kurang terpenuhi mengakibatkan kekecewaan masyarakat Papua. Kedua otonomi khusus yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat tidak segera diimplementasikan seratus persen seperti amanat Undang Undang Otonomi Khsusus.13 Karena kedua hal tersebutl kemudian memicu serangkaian perlawanan masyarakat Papua, khusunya Papua Barat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang akhirnya membentuk IPWP di luar negeri. Berangkat dari rumusan masalah dan kerangka pemikiran di atas maka dapat saya tarik kesimpulan sementara bahwa terbentuknya Internationl Parliaments for West Papua adalah didasari karena ketidakpuasan dan kekecewaan yang dialami oleh rakyat Papua dalam suatu sistem politik yang diterapkan pemerintah Indonesia. Selain itu juga adanya kebutuhan dasar yang belum terpenuhi dengan baik seperti kebutuhan akan makanan dan perumahan, bebas dari rasa takut dan aman dalam arti tidak ada penindasan dan diskriminasi ras, etnik dan suku dari pemerintah.

METODE PENELITIAN Menurut Deddy Mulyana dalam bukunya Metode Penelitian Analisis Kulitatif 1. Teknik Pengumpulan Data Pada teknik pengumpulan data penulis mendapatkannya dari data sekunder diantara referensi buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar, laporan dan internet serta data-data yang mendukung untuk data dan analisa data secara langsung. Dengan kata lain teknik ini mengunakan studi kepustakaan (library research). 2. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan menggunakan studi kepustakaan atau dengan mengambil beberapa referensi dari buku-buku dan sumber elektronik lainnya yang berhubungan dengan tema yang dibahas.14

7. TUJUAN PENELITIAN Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa yang melatarbelakangi terbetuknya International Parliamantarians for West Papua.

8. JANGKAUAN PENELITIAN Dalam melaksanakan penelitian ini penulis mengambil jangkauan penelitian dari tahun 2001 awal pemberlakuan Otonomi Khusus untuk Papua Barat hingga tahun 2008 saat terbentuknya International Parliaments for West Papua di Luar negeri.

9. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I akan dibahas mengenai alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka pemikiran, hipotesis, metode penelitian, tujuan penelitian, jangkauan penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Gambaran umum Papua dan terbentuknya Internasioanl Parliaments for West Papua. Bab III akan membahas mengenai latar belakang terbentukan IPWP dilihat dari faktor kekecewaan rakyat Papua terhadap pemerintah. Bab IV latar belakang pembentukan IPWP dilihat dari faktor kebutuhan dasar rakyat Papua yang belum terpenuhi. Bab V akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran dari hasil analisa penelitian.
1 Komisi I Kecam Negara Asing yang Sponsori Papua Barat.htm dalam http://www papualine.com, diakses 13 maret 2009. 2 Ibid 3 BPS Papua Barat, Papua Barat Dalam Angka 2008, Jayapura, BPS Papua, 2008. 4 ----,Undang Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Penjelasan Ketentuan Umum, Cipta Umbara, Jakarta, 2005.

5, Theo van den Broek ofm, Membangun Kapasitas Untuk Implementasi Otonomi Khusus Papua, Jakarta, CSIS, 2004.
6 Orange:sk-venezia, dalam http://www.cultura21.net/dokuwiki/lib/exe/fetch.php, diakses tanggal 13 Maret 2009.

7 Sadikin Gani, IPWP dan dampaknya bagi Indonesia, Cenderawasih Pos, 22 Desember 2008. 8 William P Yarborough, The militer Demenstion: Low intensity Confilict, Washington, Brassseys, 2000, hal 639 9 BPS Propinsi Papua Barat, Tingkat Kemiskinan di Papua Barat, Manokwari, Papua dalam Angka, 2006 hal. 61. 10 Hans Wim Kambun, Analisis Implementasi Pengelolaan Alokasi Dana Otonomi Khusus Di Provinsi Papua, Yogyakarta, Tesis, MAP UGM, 2004 hal 45. 11 Cendrawasih Pos, Penembakan Oknum Kopasus terhadap Theys H. Eluay Ketua Dewan Presidum Papua, 6 November 2001, hal 1 12 Kasus Kerusuhan antar warga pendatang (transmigrasi) dengan masyarakat adat di Arso, Jayapura, Cendrawasih Pos, 24 Oktober 2002 13 Dana Alokasi untuk otonomi khusus dicairkan secara bertahap, apabila pembentukan MRP sudah dibentuk akan dicairkan seluruhnya namun hingga saat ini baru sekitar 60% yang di cairkan dari total anggaran 3 Trilyun rupiah, dalam http://www.Papuaonline.com, diakses pada 24 Oktober 2009

14 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989, hal 56

GAMBARAN UMUM PAPUA BARAT DAN OTONOMI KHUSUS DI PAPUA HINGGA TERBENTUKNYA INTERNATIONAL PARLIAMENTARIANS FOR WEST PAPUA (IPWP)

1. Kondisi Umum Papua Barat Papua Barat adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian barat Pulau Papua. Provinsi ini beribukota di Manokwari. Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar UU Nomor 45 Tahun 1999. Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, mendapat dukungan dari SK DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi. Setelah diformulasikan pada tanggal 1 Oktober 1999 oleh Presiden B.J. Habibie, rencana pemekaran provinsi menjadi tiga ditolak warga Papua di Jayapura dengan demonstrasi akbar pada tanggal 14 Oktober 1999. Sejak saat itu pemekaran provinsi ditangguhkan, sementara pemekaran kabupaten tetap dilaksanakan sesuai UU Nomor 45 Tahun 1999. Pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili Tim 315, pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan berdasarkan Inpres Nomor I Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden

Megawati Soekarno putri pada tanggal 27 Januari 2003. Sejak saat itu, Provinsi Irian Jaya Barat perlahan membentuk dirinya menjadi provinsi definitif. Dalam perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat mendapat tekanan keras dari induknya Provinsi Papua, hingga ke Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil. Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan UU Nomor 45 Tahun 1999 yang menjadi payung hukum Provinsi Irian Jaya Barat. Namun Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui keberadaannya. Setelah itu, Provinsi Irian Jaya Barat terus diperlengkapi sistem pemerintahannya, walaupun di sisi lain payung hukumnya telah dibatalkan. Setelah memiliki wilayah yang jelas, penduduk, aparatur pemerintahan, anggaran, anggota DPRD, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki gurbernur dan wakil gurbernur definitif Abraham O. Atururi dan Drs. Rahimin Katjong, M.Ed yang dilantik pada tanggal 24 Juli 2006. Sejak saat itu, pertentangan selama lebih dari 6 tahun sejak UU Nomor 45 Tahun 1999 dikumandangkan, dan pertentangan sengit selama 3 tahun sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan berakhir dan Provinsi Irian Jaya Barat mulai membangun dirinya secara sah. Sejak tanggal 18 April 2007, Provinsi Irian Jaya Barat berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat, berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2007. Wilayah provinsi ini meliputi kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi ini dibatasi oleh Samudra Pasifik, bagian barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku, bagian timur dibatasi oleh Teluk Cenderawasih, selatan dengan Laut Seram dan tenggara berbatasan dengan provinsi Papua.Provinsi Papua Barat ini meski telah dijadikan provinsi tersendiri, namun tetap mendapat perlakuan khusus sebagaimana provinsi induknya. Provinsi Papua Barat juga telah mempunyai Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sendiri. Pada bab ini ingin menyoriti bagaimana kondisi kesejahteraan masyarakat Papua Barat. Sebab cita-cita utama menjadi mandiri dengan membentuk provinsi sendiri adalah mampu memaksimalisasi segala potensi untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang memadai. Sampai tahun 2006, indeks pembangunan manusia Papua Barat masih berada pada angka 66,1, salah satu angka yang terendah dalam keseluruhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa faktor yang akan dipaparkan adalah kondisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan agama. Kenapa agama juga menjadi salah satu sorotan adalah karena agama adalah unsur budaya paling penting yang mempengaruhi bagaimana masyarakat harus memandang dunia. 1. Kondisi Umum Secara administratif, Provinsi Papua Barat terdiri dari 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kotamadya, yaitu Kabupaten Fak-fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Sorong, Kabupaten Raja Ampat, dan Kotamadya Sorong. Provinsi ini terdiri dari 124 Kecamatan, 48 Kelurahan, dan 1173 Kampung. Batas Utara Provinsi Papua Barat adalah Laut Pasifik; Batas Baratnya adalah Laut Seram Provinsi Maluku; Batas Selatannya adalah Laut Banda Provinsi Maluku; dan Batas Timurnya adalah Provinsi Papua. Kabupaten Fak-Fak merupakan kabupaten tertinggi dengan ketinggian 10 - 100 meter di atas permukaan laut, sedangkan kota-kota lainnnya berkisar antara 10 - 50 meter di atas permukaan laut. Pada tahun

1990 jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat tercatat sebanyak 385.509 jiwa, sedangkan pada tahun 2000 tercatat 571.107 jiwa, dan tahun 2007 telah mencapai 722.981 jiwa.1 Jika dilihat dengan berdasarkan umur, populasi penduduk Provinsi Papua Barat (Data Sensus Penduduk Tahun 2000) terbesar berusia antara 18-40 tahun (yakni 184.333 jiwa); populasi terbesar kedua (yakni 175.168 jiwa) berusia antara 0-17 tahun; kemudian disusul penduduk dengan usia 41-60 tahun (yakni 53.154 jiwa); sementara penduduk berusia di atas 60 tahun adalah 8.092 jiwa. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, populasi penduduk Provinsi Papua Barat mayoritas adalah laki-laki (yakni 222.887 jiwa), sedangkan populasi perempuannya adalah 197.860. Provinsi Papua Barat terletak antara 0 - 4 derajat Lintang Selatan dan 124 - 132 derajat Bujur Timur, tepat di bawah garis katulistiwa dengan ketinggian 0 - 100 meter dari permukaan laut. Luas wilayah Provinsi Papua Barat sebesar 126.093 kilometer persegi. Dari keseluruhan penduduk Papua Barat didapati sebanyak 290,996 jiwa yang berada pada usia sekolah. Berdasarkan Data Sensus Ekonomi Tahun 2006, mayoritas perusahaan/usaha yang ada di Provinsi Papua Barat bergerak di wilayah Usaha Menengah Kecil (UMK), yakni 49.875 perusahaan/usaha, sementara yang bergerak di wilayah Usaha Menengah Besar adalah sebanyak 416, sedangkan yang bergerak di wilayah lainnya sebanyak 111. Secara keseluruhan, total banyaknya perusahaan/usaha di Provinsi Papua Barat pada tahun 2006 adalah 50.402. Dari Data Sensus Potensi Desa Tahun 2005, dapat diketahui bahwa jumlah pasar per kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat berbeda-beda. Secara total provinsi ini memiliki 45 desa yang di dalamnya terdapat pasar permanen/semi permanen, di mana mayoritas ada di Kabupaten Fak-Fak (yakni 17 pasar permanen/semi permanen). Provinsi ini memiliki 31 pasar tanpa bangunan permanen, dan sebagian besar (yakni 11 pasar) terdapat di Kabupaten Raja Ampat, sementara sisanya tersebar di berbagai kabupaten yang lain. Pada tahun 2005, provinsi ini sudah memiliki 17 super market/pasar swalayan/toserba/mini market, yang sebagian besar berada di Kabupaten Sorong (yakni 8 buah). Di wilayah sosial-ekonomi, Provinsi Papua Barat mempunyai potensi yang sangat bagus, terutama jika melihat bidang-bidang seperti pertanian, pertambangan, hasil hutan maupun pariwisata. Pertanian bahkan menjadi sektor yang paling banyak berkontribusi dalam Product Domestic Regional Bruto (PDRB) wilayah ini, yakni sebesar 26,64%. Umum diketahui bahwa mutiara dan rumput laut dihasilkan di kabupaten Raja Ampat, sedangkan satu-satunya industri tradisional tenun ikat yang disebut Kain Timor dihasilkan di kabupaten Sorong Selatan. Sirup pala harum dapat diperoleh di kabupaten Fak-Fak serta beragam potensi lainnya. Selain itu, wisata alam juga menjadi salah satu potensi kuat Provinsi Papua Barat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Salah satu contoh potensi wisata alam yang sangat menarik adalah Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang berlokasi di kabupaten Teluk Wondama. Taman Nasional ini membentang dari timur Semenanjung Kwatisore sampai utara Pulau Rumberpon dengan panjang garis pantai 500 km, luas darat mencapai 68.200 ha, luas laut 1.385.300 ha dengan rincian 80.000 ha kawasan terumbu karang dan 12.400 ha lautan. Di samping itu, ditemukan sebuah gua yang diklaim sebagai gua terdalam di dunia oleh tim ekspedisi speologi Prancis di kawasan Pegunungan Lina, Kampung Irameba, Distrik Anggi,

Kabupaten Manokwari. Gua ini diperkirakan mencapai kedalaman 2000 meter. Kawasan pegunungan di Papua Barat masih menyimpan misteri kekayaan alam yang perlu diungkap. Faktor-faktor sosial dan ekonomi seperti jumlah penduduk dan kondisi wilayah, sumber daya alam, jumlah penduduk usia produktif, banyak tidaknya infrastuktur sosial, dan jumlah sarana kesehatan, juga sangat penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat, termasuk masyarakat Provinsi Papua Barat. Bahkan bisa dikatakan bahwa setelah faktor pendidikan, faktor sosial ekonomi inilah yang paling menentukan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, termasuk masyarakat Provinsi Papua Barat. Namun, usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan (perekonomian) masyarakat dengan memanfaatkan faktor-faktor sosial-ekonomi di Provinsi Papua Barat ini, khususnya yang berkaitan dengan sumber daya alam, harus dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat setempat (adat), memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan, yang pengaturannya ditetapkan dengan berdasarkan undang-undang yang jelas.

2. Ekonomi Tingkat Product Domestic Regional Bruto (PDRB) per kapita di wilayah ini mencapai angka 14,34 juta. Dilihat berdasarkan pengeluaran per bulan, 87,20% penduduk Provinsi Papua Barat memiliki pengeluaran kurang dari Rp 500 ribu, sedangkan 11,94% memiliki pengeluaran antara Rp 500.000 1.000.000, dan sisanya, yakni 0,85%, memiliki pengeluaran antara Rp 1.000.000 2.000.000 per bulan. Dilihat berdasarkan jenis pekerjaan, mayoritas penduduk Provinsi Papua Barat bekerja di bidang pertanian tanaman pangan (yakni 87.955 jiwa), sedangkan mereka yang bekerja di bidang perkebunan kurang lebih sekitar 8.306 jiwa, perikanan 10.022 jiwa, peternakan 553 jiwa, pertanian lainnya 11.347 jiwa, industri pengolahan 8.197 jiwa, perdagangan 12.621 jiwa, jasa 29.897 jiwa, Angkutan 3.464 jiwa, dan bidang pekerjaan lainnya sebanyak 12.979 jiwa. (Bappeda Prop. Papua, 2009, PAD dan PDRB Papua, 2008) Pada tahun 2005, total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua Barat (dalam juta rupiah) adalah 2.307.680. Pada 2006, total APBD provinsi ini (dalam juta rupiah) meningkat menjadi 3.876.098. Dengan demikian, dari tahun 2005 sampai 2006 terjadi peningkatan APBD sebesar 67,97%. Peningkatan ini tentu juga dapat diartikan sebagai semakin meningkatnya pendapatan pemerintah Provinsi Papua Barat. Pada 2006, total Product Domestic Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku (dalam juta rupiah) Provinsi Papua Barat adalah sebagai berikut: pertanian 2.455.696; pertambangan dan penggalian 1.554.037; industri pengolahan 1.715.886; listrik, gas, dan air bersih 47.541; bangunan 712.871; perdagangan, hotel, dan restoran 891.271; pengangkutan dan komunikasi 521.450; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 149.738; jasa-jasa 878.274. Pada tahun 2006, Product Domestic Regional Bruto (PDRB) dengan migas provinsi ini (dalam juta rupiah) adalah sebesar 8.926.764, sedangkan Product Domestic Regional Bruto (PDRB) tanpa migas adalah sebesar 6.348.797.2

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2007, tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua Barat tidak begitu memprihatinkan. Hal ini terlihat dari data bahwa mayoritas masyarakat di Provinsi Papua Barat, yakni 41,25%, masuk dalam golongan total pengeluaran per kapita yang sedang, sementara 29,16% termasuk dalam golongan total pengeluaran per kapita yang tinggi, dan sisanya, yakni 29,60%, termasuk golongan yang total pengeluaran per kapitanya rendah. Ada 87,20% penduduk yang hanya mampu melakukan belanja sebesar kurang dari 500 ribu rupiah perbulan, 11,94% yang mampu melakukan pengeluaran sebesar 500 ribu sampai satu juta rupiah, dan 0,85% yang mampu melakukan pengeluaran satu sampai dua juta rupiah perbulan. 3. Pendidikan Secara umum kondisi pendidikan warga masyarakat di Provinsi Papua Barat belum cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari Data Sensus Penduduk Tahun 2000 yang memperlihatkan bahwa mayoritas penduduk di Provinsi Papua Barat, yakni sebanyak 133.758 orang, belum atau tidak punya pendidikan. Dan di antara penduduk Papua Barat yang pernah mengenyam pendidikan, mayoritas hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SD/setara, yakni 100.124 orang. Jumlah warga Papua Barat yang mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi hanya 4.312, sementara 2.195 orang mengenyam pendidikan D-III/Akademi, dan 1.903 pernah memiliki pengalaman terdidik di D-I/II. Sementara itu, 56.046 orang hanya pernah terdidik sampai tingkat SLTP/setara, sedangkan mereka yang pernah mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTA/setara hanya berjumlah 60.133 orang.3 Berdasarkan data yang sama, yakni Data Sensus Penduduk Tahun 2000, kita dapat melihat bahwa jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat yang masih berada dalam usia sekolah bervariasi berdasarkan tingkatan. Usia 7-12 tahun (SD) mencapai angka 90,94%, usia 13-15 tahun (SMP) sebanyak 88,38%, usia 16-18 tahun (SMA) sebanyak 56%, dan 19-24 tahun (perguruan tinggi) sebanyak 11.53%. Angka melek huruf di provinsi ini masih sangat rendah, yaitu 73,61% (laki-laki) dan 64,12% (perempuan).4 Dari sisi jumlah lembaga pendidikan, Provinsi Papua Barat dapat dibilang tidak terlalu tertinggal, meskipun belum cukup maju. Secara total, berdasarkan Data Sensus Potensi Desa Tahun 2005, Provinsi Papua Barat memiliki 1.201 lembaga pendidikan, dan mayoritas adalah lembaga pendidikan setingkat SD/sederajat (yakni 796 buah). Lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak ada 183, sementara SLTP/sederajat berjumlah 120, dan SLTA/sederajat 58. Dari data yang sama, kita dapat mengetahui bahwa jumlah akademi/perguruan tinggi/sederajat hanya 20, SLB hanya 1, pondok pesantren/madrasah diniyah 22 buah, dan 1 seminari/sejenisnya. Berdasarkan Data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional Tahun 2007, Provinsi Papua Barat memiliki total jumlah peserta didik sebanyak 195.749 orang. Dari jumlah ini, beda antara peserta didik laki-laki dan perempuan tidaklah besar, yakni 100.979 dan 94.770. Tipisnya perbedaan antara jumlah peserta didik laki-laki dan perempuan ini sedikit banyak memperlihatkan bahwa di provinsi ini laki-laki dan perempuan setara dari sisi pendidikan. Kondisi pendidikan di Provinsi Papua Barat sekarang ini, tampaknya membutuhkan perhatian serius dari semua pihak, terutama pihak pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Sebab kualitas pendidikan di Provinsi Papua Barat masih memprihatinkan.

Salah satu indikator rendahnya kualitas pendidikan itu terlihat Data Sensus Penduduk Tahun 2000 yang menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Provinsi Papua Barat, yakni sebanyak 133.758 orang, belum atau tidak punya pendidikan. Dan di antara penduduk Papua Barat yang pernah mengenyam pendidikan, mayoritas hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SD/setara, yakni 100.124 orang. Jumlah warga Papua Barat yang mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi hanya 4.312, sementara 2.195 orang mengenyam pendidikan D-III/Akademi, dan 1.903 pernah memiliki pengalaman terdidik di D-I/II. Sementara itu, 56.046 orang hanya pernah terdidik sampai tingkat SLTP/setara, sedangkan mereka yang pernah mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTA/setara hanya berjumlah 60.133 orang.5 Data di atas tentu sangat menyedihkan jika kita membandingkannya dengan provinsi-provinsi lain, di mana tingkat pendidikan minimalnya sudah mencapai tingkat SLTA. Sebagaimana di provinsi-provinsi lain di seluruh Indonesia, Pemerintah Provinsi Papua Barat, dengan bantuan dari pemerintah pusat, tentu dan harus bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di provinsi Papua Barat. Faktor pendidikan ini sangat penting dan mungkin merupakan faktor yang paling penting mengingat bahwa di wilayah mana pun di dunia, tidak ada suatu masyarakat yang bisa maju tanpa pendidikan. Majunya masyarakat karena pendidikan dapat juga diartikan semakin terjaminnya kesejahteraan sosial, kesejahteraan masyarakat. Karena dengan pendidikan, kemampuan intelektual dan ketrampilan individu semakin meningkat. Dan jika kemampuan intelektual dan ketrampilan individu meningkat, maka daya saing dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (terutama kebutuhan ekonomi) juga semakin meningkat. Dengan demikian, jika masyarakat Provinsi Papua Barat ingin kesejahteraannya terus meningkat, salah satu faktor yang harus segera dibenahi dan ditingkatkan terus-menerus adalah faktor pendidikan. Pendidikan di sini bisa dalam artian luas, yakni mencakup pendidikan di wilayah formal maupun informal. Salah satu cara meningkatkan pendidikan tersebut antara lain adalah dengan mendorong semakin banyak anak usia sekolah untuk tetap berkecimpung di dunia pendidikan. Selain itu, penambahan jumlah guru yang berkualitas, baik dari dalam maupun luar Papua Barat, juga sangat penting dalam menjamin majunya pendidikan di Papua Barat.

4. Kesehatan Sarana kesehatan di provinsi Papua Barat pada tahun 2005 juga sudah cukup bagus. Penyebaran sarana kesehatan tersebut masih belum merata. Pada tahun ini di Provinsi Papua Barat sudah ada 11 Rumah Sakit, 10 Rumah Sakit Bersalin, 35 Poliklinik/Balai Pengobatan, 74 Puskesmas, 281 Puskesmas Pembantu, 45 Tempat Praktik Dokter, 43 Tempat Praktik Bidan, 748 Posyandu, 215 Polindes, 40 Apotek, dan 23 Toko Khusus Obat/Jamu. Data-data kesehatan yang ada tampak berbanding lurus dengan usia harapan hidup rata-rata masyarakat Papua Barat. Usia harapan hidup tersebut adalah 67,3 tahun.6 5. Sosial Keagamaan

Penduduk Provinsi Papua Barat memeluk agama yang berbeda-beda, namun kerukunan hidup beragama dapat terjaga dengan baik, hal ini terlihat dari tumbuhnya fasilitas peribadatan bagi semua pemeluk agama, bertambahnya rohaniawan dari masing-masing agama, dan kurang terdengarnya konflik-konflik horisontal yang berkaitan dengan agama/keyakinan. Kerukunan dan toleransi yang sudah tertanam lama ini tentu merupakan suatu potensi dan kekuatan yang bisa dimanfaatkan untuk bersama-sama semakin memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua Barat. Tugas untuk menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama ini tentunya bukan hanya terbebankan pada pemerintah, melainkan juga pada masyarakat secara umum. Tanpa adanya kerukunan dan toleransi yang kuat, upaya untuk memajukan Provinsi Papua Barat tentu akan sangat sulit dilakukan. Sebagaimana setiap warga negara di Republik Indonesia pada umumnya, setiap penduduk di Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masingmasing. Sesuai dengan UUD 1945, Pemerintah Provinsi Papua Barat sendiri berkewajiban untuk menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama yang ada di wilayah Provinsi Papua Barat; memberi jaminan hukum penduduk Provinsi Papua Barat dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang mereka dianut; menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama; mengakui otonomi lembaga keagamaan; serta memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat. Data Badan Pusat Statistik Papua Barat Tahun 2007/2008 menunjukkan bahwa jumlah terbesar pemeluk agama di Papua Barat adalah Kristen Protestan (366.480 jiwa), kemudian Islam (298.427 jiwa), lalu Kristen Katolik (55.696 jiwa), kemudian Hindu (857 jiwa), lalu Budha (203 jiwa), dan agama/kepercayaan yang lain (1,319 jiwa).7 Keragaman jumlah pemeluk agama dan kepercayaan ini semakin besar jika dilihat berdasarkan kecamatan. Di Kabupaten/Kota Fak-Fak, jumlah pemeluk Islam terbesar ada di kecamatan Fak-Fak (yakni 13.977). Dilihat berdasarkan jenis kelamin, di Kabupaten/Kota Fak-Fak, jumlah laki-laki pemeluk Islam lebih besar dibanding perempuan (yakni 19.757 dibading 17.760); sedangkan di Kabupaten Sorong, laki-laki pemeluk Islam adalah sebanyak 20.014, sedangkan perempuan sebanyak 17.156; di Kabupaten Manokwari, pemeluk Islam laki-laki adalah sebanyak 25.951, sedangkan perempuan sebanyak 21.133; di Kabupaten Kota Sorong, pemeluk Islam laki-laki adalah sebanyak 23.233, sedangkan pemeluk Islam perempuan adalah sebanyak 20.728.8 Berdasarkan tingkat pendidikan, di Kabupaten/Kota Fak-Fak, jumlah pemeluk Islam terbesar (yakni 12.516) memiliki pendidikan SD atau yang setingkat dengan SD; demikian juga di Kabupaten Sorong (yakni 11.436); di Kabupaten Manokwari, jumlah pemeluk Islam terbesar belum atau tidak mengenyam pendidikan (14.647); sementara di Kabupaten Kota Sorong, jumlah pemeluk Islam terbesar telah mengenyam pendidikan SLTA atau yang setingkat (yakni 10.913);
9

Jumlah rumah ibadah bervariasi sesuai dengan jumlah penduduk masing-masing agama. Rumah ibadah Islam sebanyak 664 buah, Katolik sebanyak 230 buah, Protestan sebanyak 2,156 buah, Hindu sebanyak 42 buah, dan Budha sebanyak 90 buah.

Sementara jumlah rohaniawan untuk Islam adalah sebanyak 1,017 orang, Katolik sebanyak 237 orang, Protestan sebanyak 3,756 orang, Hindu sebanyak 21 orang, dan Budha sebanyak 18 orang. Jumlah ini konsisten dengan jumlah penduduk dan rumah ibadah secara umum di wilayah ini. 10

6. Kesejahteraan dalam Multidimensi Sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh beberapa penelitian ilmiah yang paling terkenal di antaranya adalah Max Weber dengan bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, faktor agama juga memiliki peran yang penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat, termasuk masyarakat Provinsi Papua Barat. Nilai-nilai sosial suatu masyarakat, yang umumnya memiliki sumber utama dari agama yang dianut dalam masyarakat itu, biasanya mempengaruhi etos kerja dari individu-individu yang ada dalam masyarakat itu. Hal ini tentunya juga berlaku bagi masyarakat Papua Barat. Kesadaran masyarakat akan pentingnya masyarakat sipil (civil society) di Provinsi Papua Barat ini juga tergolong relatif bagus. Hal ini terlihat dari banyaknya majelis talim, kelompok pengajian, kelompok kebaktian, yayasan kematian, dan lembaga swadaya masyarakat yang sudah didirikan, meskipun sekali lagi penyebarannya masih tidak merata. Pada 2005, total ada 559 majelis talim/kelompok pengajian/kelompok kebaktian yang sudah didirikan di Papua Barat, 155 yayasan kematian, dan 112 lembaga swadaya masyarakat. Cukup banyaknya lembagalembaga/ormas-ormas sipil ini tentu akan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya masyarakat sipil di masa depan. Dalam hal hubungan pendidikan dan agama, terjadi suatu pola yang menarik. Berdasarkan Data Sensus Penduduk Tahun 2000, terlihat bahwa orang yang beragama Islam dan Protestan lebih banyak yang mengenyam pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi/D-IV. Di Kabupaten FakFak, jumlah orang Islam yang terdidik hingga Perguruan Tinggi berjumlah 345 orang, sedangkan yang Protestan 189. Angka ini jauh melebihi jumlah pelajar Perguruan Tinggi dari agama lain: Katolik 90 orang, Hindu 5 orang, dan Budha dan Agama Lainnya tidak ada. Di Kabupaten Sorong, jumlah orang Islam yang terdidik hingga Perguruan Tinggi berjumlah 117 orang, sedangkan yang Protestan 99.11 Angka ini jauh melebihi jumlah pelajar Perguruan Tinggi dari agama lain: Katolik 22 orang, Budha tidak ada, Hindu tidak ada, dan Agama Lainnya 4 orang. Pola seperti ini berulang juga di Kabupaten Kota Sorong, namun berbeda halnya yang terjadi di Kabupaten Manokwari: di Kabupaten ini jumlah orang Protestan yang mengenyam Pendidikan Tinggi lebih besar dibanding orang yang beragama Islam (yakni 831 orang dan 573 orang).

2. Otonomi Khusus di Papua Barat

Terjadinya berbagai permasalahan politik dan keamanan paska tumbangnya orde baru di Indonesia memberikan dampak kepada wilayah di Indonesia untuk memperlakukan otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Di Papua Barat sendiri otonomi daerah juga diterapkan sesuai dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun dalam perjalanannya Undang Undang ini kurang dapat diterima dengan berbagai kendala dan permasalahan sosiologis masyarakat Papua. Papua memnuntut secara khusus undang Undang yang mengatur Pemerintahan di Daerah yang disesuaikan dengan kondisi sosial politik dan budaya di Papua. 1. Pemberlakuan Otonomi Khusus di Papua Sebagai bukti keseriusannya, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dipandang sebagai solusi politik yang realistis, komunitas internasional memuji Pemerintah Indonesia atas kebijakan Otsus ini. Dukungan bahwa Papua tetap bagian dari Indonesia pun mengalir dari berbagai negara di dunia diantaranya Perancis, Jepang, Philipina dan lain-lain. Komunitas internasional bertekad, bersama Pemerintah Indonesia, untuk mensukseskan implementasi UU Otsus Papua. Maka yang diharapkan adalah tingkat kesejahteraan hidup orang asli Papua bakal semakin baik, rasa keadilannya terjawab, dan hak hidupnya dijamin. Dengan demikian, bendera Bintang Kejora tidak dikibarkan dan tuntutan M tidak terdengar lagi karena orang Papua merasakan manfaat dari implementasi UU Otsus. Rupanya asumsi di atas ini belum menjadi kenyataan. Karena orang Papua tidak merasakan perubahan yang signifikan dalam hidupnya setelah pemberlakuan UU Otsus kendati triliunan rupiah sudah dikucurkan ke Propinsi Papua setiap tahun. Sama seperti sebelum 2001, anak-anak Papua di kampung sampai 2008 ini masih saja belum mendapatkan pendidikan bermutu. Puluhan orang Papua mati karena kolera, seperti di Kabupaten Dogiyai di mana sekitar 200-an warga Indonesia meninggal tetapi tidak digubris dengan cepat dan serius oleh pemerintah. Dengan tanpa izin, hutan Papua diambil-alih dan terus dibabat oleh perusahaan kelapa sawit dan kayu. Jumlah orang miskin di kampung-kampung terus bertambah.12 Didorong oleh kecurigaan dan ketidakpercayaan, pemerintah dengan sengaja menerbitkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan UU Otsus, memaksakan penerapannya, yang berakibat pada kekacauan dalam implementasi UU Otsus. Terbukti bahwa selama tujuh tahun ini pemerintah belum menyatakan niatnya untuk mengimplementasikan UU Otsus Papua secara penuh dan konsisten. Dan patut disesalkan bahwa pemerintah belum merasa bersalah atas kebijakan-kebijakan yang kontroversial ini.

2. Perjalanan Otonomi Khusus di Papua Barat Sebagai bagian dari pengembangan jati diri orng Papua yang seutuhnya yang ditunjukan dengan penegasan identitas dan harga dirinya termasuk dengan dimilikinya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang. Istilah khusus hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik.

Dalam pengertian praktisnya, kekhususnya otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang hanya berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada halhal yang berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua. Sejak ditetapkannya undang-undang Otonomi Khusus Papua, belum ada satupun peraturan pelaksanaan (Peraturan Pemerintah, Perdasi dan Perdasus) yang ditetapkan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Berbagai hambatan telah menghadang implementasi dari undangundang tersebut. Hambatan-hambatan yang telah menjadi masalah bagi implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus di Papua, dalam pengamatan kami, antara lain sebagai berikut : Pertama, masalah ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang Otonomi Khusus di Papua. Sejak awal telah terbentuk persepsi, pemahaman dan pengertian yang berbeda-beda tentang Otonomi Khusus di kalangan masyarakat Papua itu sendiri. Bertolak dari pemahaman dan persepsi yang berbeda-beda, respons yang diberikan oleh masyarakat Papua juga berbedabeda. Ada sebagian yang memberikan respons yang positif, ada pula yang memberikan respons yang negatif dan ada yang bersikap netral. Masyarakat Papua yang memberikan respons secara positif, melihat status Otonomi Khusus sebagai suatu jalan keluar yang bersifat Win-Win yang dapat mencegah konflik bahkan mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi. Ada pula sebagian masyarakat yang secara tegas menolak status Otonomi Khusus, karena yang masyarakat inginkan adalah kemerdekaan penuh dalam arti lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal lain seperti dikemukakan di atas, bahwa yang lebih ironis lagi adalah bahwa pemahaman/persepsi yang berbeda-beda, bahkan negatif tentang Otonomi Khusus di Papua, juga terjadi di kalangan pejabat Pemerintah dan anggota-anggota lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Padahal masyarakat dan pemerintah papua mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan tentang Otonomi Khusus secara benar, jelas dan tegas. Hal seperti itu akan sangat menghambat upaya sosialisasi tentang Otonomi Khusus ke tengah-tengah masyarakat Papua. Kedua, masalah saling tidak percaya (distrust). Segala penderitaan yang dialami oleh masyarakat Papua, pelanggaran HAM, pembunuhan, penindasan, intimidasi, ketidakadilan, dan diskriminasi telah membawa sebagian masyarakat Papua kepada suatu kekecewaan yang sangat dalam. Kekecewaan demi kekecewaan telah membawa masyarakat untuk tidak percaya lagi kepada NKRI. Masyarakat dan para tokoh masyarakat tidak percaya bahwa masih ada ruang bagi perbaikan dan karena itu mereka memilih alternatif untuk berpisah dari NKRI. Pengalaman pahit yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang juga memberikan otonomi kepada Provinsi Papua, telah membuat sebagian rakyat Papua sudah tidak percaya lagi terhadap Otonomi Khusus yang ditawarkan oleh pemerintah RI. Mereka beranggapan bahwa untuk keluar dari penderitaan seperti itu, adalah hak warga Papua untuk menentukan nasib masa depannya sendiri. Pada sisi yang lain, dari pihak pemerintah pusat, ada kalangan atau pejabat tertentu yang curiga atau khawatir bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus akan lebih mendorong perjuangan rakyat Papua untuk merdeka (dalam arti memisahkan diri dari NKRI). Lebih ironis lagi bahwa sejumlah pejabat orang asli Papua yang selama ini justru berperan sebagai penengah, juga dicurigai tanpa bukti dan data yang akurat.

Salah satu masalah utama dalam implementasi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus di Papua adalah masalah saling tidak percaya antara satu sama lain. Ketiga, sangat lambannya proses penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaan (PP, Perdasi, Perdasus). Hingga Juni 2003, sudah lebih dari satu setengah tahun sejak ditetapkannya undang-undang tersebut, belum ada satupun peraturan pelaksanaan (Peraturan Pemerintah, Perdasi, dan Perdasus) yang ditetapkan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Salah satu penyebab utama dari kelambatan tersebut adalah bahwa Tim Inti yang terdiri dari para intelektual Papua yang menyusun Konsep Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dilibatkan secara utuh dan penuh dalam penyusunan draft rancangan peraturan-peraturan pelaksanaan tersebut. Tanpa keterlibatan Tim Inti (Tim Asistensi) tersebut tidak saja menyebabkan proses itu menjadi lambat, tetapi bisa terjadi missing link antara nilai-nilai dasar dan norma-norma dasar yang diatur dalam undang-undang tersebut untuk kemudian diterjemahkan/dijabarkan ke dalam peraturanperaturan pelaksanaannya. Bukan tidak mungkin terjadi misinterpretasi, misunderstanding dan misperception terhadap undang-undang tersebut. Pada gilirannya konsep-konsep dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya (PP, Perdasi, Perdasus) akan bisa/menyimpang dari nilainilai dan norma-norma dasar yang tertuang dalam undang-undang tersebut. Hal-hal seperti itu telah ikut menghambat upaya-upaya pemberdayaan Pemerintah Daerah. Demikian juga intellectual resources (think thank) yang sangat terbatas untuk menyusun/merumuskan konsepkonsep kebijakan, strategi dan program-program pembangunan daerah yang tepat dan berguna/bermanfaat bagi seluruh rakyat merupakan suatu masalah tersendiri.13 Belum memadainya perangkat hukum sebagai landasan taktis dan teknis dalam mengimplementasikan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Selama enam tahun implementasi Otonomi Khusus Papua, perangkat hukum dalam bentuk Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang sudah dirumuskan dan ditetapkan hanya empat Perdasi. Pada hal Undang-Undang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan pembuatan 17 Perdasi dan 11 Perdasus. Sejumlah institusi yang pembentukannya diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, masih belum terbentuk, antara lain: Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Peradilan Adat. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, juga mengamanatkan perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Misalnya, perubahan kecamatan menjadi distrik atau desa menjadi kampung. Perubahan ini harus pula diikuti dengan perubahan struktur dan kewenangan, bukan hanya sekedar perubahan nomenklatur seperti yang telah dilakukan. Terdapat perbedaan antara Otonomi Khusus di Papua dengan otonomi biasa di daerah-daerah. Adapun perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Perbedaan Antara Otonomi Khusus di Papua dengan Otonomi Biasa di Daerah-daerah

Sumber : Dewan Rakyat Papua dalam Mubes Papua 2000 Jalan Sejarah dan Kebenaran, 2002.

Dalam penyelenggaraan dan pemberlakuan Otonomi Khusus yang telah berjalan selama tujuh tahun (2001-2008) belum dapat meningkatkan pemahaman yang sama terhadap proses pembangunan di Papua. Pembangunan di Papua masih berjalan apa adanya. Belum banyak perubahan yang berarti dalam peningkatan pembangunan di Papua. Pemahaman konsepsi Wawasan Nusantara juga belum sepenuhnya difahami oleh seluruh elemen masyarakat di Papua. Terbukti, beberapa gerakan separatis masih muncul dengan kasat mata. Padahal, Kebijakan Otonomi Khusus telah diberlakukan di Papua. Dengan demikian, perlu ditingkatkan hubungan sistemik antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan di Papua guna mendukung Otonomi Khusus. Hal ini penting dilakukan mengingat pemberian Otonomi Khusus Papua ternyata belum mampu meredam keinginan sekelompok masyarakat untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua. Pelaksanaan otonomi daerah yang masih "setengah-setengah" menjadi salah satu penyebab pembangunan di daerah tidak optimal dan aset-aset bernilai ekonomis tinggi yang seharusnya bermanfaat besar justru terlantar. Pelaksanaan UU Otonomi Khusus tidak berjalan sebagaimana yang diamanatkan dalam undang undang tersebut. Hal tersebut di sebabkan oleh belum adanya kemauan politik Pemerintah Pusat di Jakarta untuk menginplementasikannya dan terus menerus memaksakan kebijakannya sebagai berikut14 :

1. Melalui Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Percepatan Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Timur. 2. Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sengaja tidak diturunkan. 3. Dana Otonomi Khusus yang jumlah 7 trilyun hanya diserahkan 1,7 atau 1,8 trilyun saja 4. Masih adanya pemberlakuan Undang - Undang lain yang berlaku secara nasional juga berlaku di Tanah Papua seperti UU No. 25 tentang Otonomi Daerah, UU agraria dan sebagainya. Karena adanya kebijakan yang kontroversial ini menyebabkan terjadinya manipulasi kekuasaan serta Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merajalela di Papua sehingga menambah ketidak percayaan rakyat Papua kepada Pmerintah Pusat dan menambah penderitaan rakyat Papua. Pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua selama empat (4) tahun ini membuktikan bahwa kebijakan Otonomi Khusus ini tidak dapat menjawab Hak Hidup Masyarakat Adat Papua. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan Evaluasi Dewan Adat Papua terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua yang dirumuskan dalam "Catatan Kritis" Dewan Adat Papua pada Rapat Pleno III Dewan Adat Papua sebagai berikut15 : 1. Hak Hidup dan Militer Pemberian Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua tidak menjamin Hak Hidup Masyarakat Adat Papua. Karena Undang - Undang Otonomi Khusus tidak mengatur kehadiran militer di Tanah Papua. Justru dalam era Otonomi Khusus memberi ruang yang lebih besar bagi penambahan personil dan institusi militer di Tanah Papua. 2. Aspek Ekonomi Masyarakat Adat Papua secara terus menerus mengalami marjinalisasi diskriminasi dalam pengelolaan sumber - sumber ekonomi. Hal tersebut ditunjukan dengan semakin buruknya kesehatan ibu dan anak dan tingginya angka kematian ibu dan anak di Tanah Papua. Hak Dasar Masyarakat Adat Papua untuk mendapat pendidikan yang berorientasi budaya Papua terus menerus disangkal dan diabaikan sehingga menyebabkan Masyarakat Adat Papua kehilangan Jati dirinya. 3. Aspek Sosial Kemasyarakatan Statistik kependudukan di provinsi Papua tahun 1999 - 2001, dan tahun 2001 - 2005 menunjukan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan yaitu 80,07 % dari 2,6 juta penduduk Papua berada di bawah garis kemiskinan. 4. Aspek Hukum Begitu banyak kasus pelanggaran HAM, seperti Biak berdarah, Merauke berdarah, Abepura berdarah, UNCEN Berdarah yang belum diusut tuntas. Sementara beberapa proses pengadilan sangat diskriminatif dan tidak memberi rasa keadilan masyarakat. Terjadinya pemindahan paksa

terhadap beberapa narapidana di Wamena seperti kasus Komba Cs, dan 9 narapidana kasus pembobolan Markas gudang senjata Wamena 5. Aspek Pendidikan Anak - anak Papua yang ada di kampung-kampung belum menikmati pendidikan yang memadai dan sebagian besar hanya sebatas SD. Banyaknya angka putus sekolah. Terjadinya pengabaian terhadap pendidikan budaya Masyarakat Adat Papua. 6. Aspek Kesehatan Masyarakat Adat Papua yang berada di kampung-kampung masih sulit mendapatkan pelayanan kesehatan. Semntara pelayanan di Rumah Sakit sangat mahal. Terdapat peningkatan yang signifikan jumlah pengidap HIV/AIDS dan banyaknya business Pekerja Seks Komersial (PSK) yang mengidap AIDS yang masih beroperasi. Angka busung lapar dan angka kematian ibu anak yang tinggi. 7. Aspek Politik Belum adanya kemauan politik Pemerintah Republik Indonesia guna pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Hal tersebut nampak dengan adanya kebijakan Pemekaran Provinsi Papua dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua yang sangat diskriminatif dan bukan menampakan representasi kultural seperti yang dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2001. 8. Aspek Pemerintahan Pelaksanaan Otonomi Khusus di beberapa Kabupaten tidak membuahkan hasil apa - apa. Sebab sesudah 4 (empat) tahun pelaksanaan OTSUS terjadi pada tahun 2002 kelumpuhan pemerintahan di Kabupaten Jayawijaya dan kekacauan legislatif di Kabuapten Mimika dan beberapa kabuapten lainnya di Tanah Papua. Berdasarkan catatan kritis tersebut di atas maka Dewan Adat Papua sebagai pemegang mandat Masyarakat Adat Papua menyatakan mendesak Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua untuk mengembalikan Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua kepada Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta. Dewan Adat Papua berkewajiban mengingatkan semua pihak termasuk Pemerintah Republik Indonesia untuk melihat tuntutan ini sebagai reaksi Masyarakat Adat Papua terhadap ketidakseriusan pemerintah Republik Indonesia bagi penyelesaian konflik di Tanah Papua. Selain itu, tuntutan ini sebagai bagian dari upaya mendorong terwujudnya pemenuhan Hak Hidup Masyarakat Adat Papua dalam proses demokratis yang adil dan bermartabat. Harapan Otonomi Khusus yang katanya ada perlakuan khusus bagi Orang Asli Papua, ternyata "membuat kekecewaan beberapa pihak. Akumulasi inilah yang menyebabkan di masa Otonomi Khusus ini teriakan Orang Asli Papua minta merdeka secara nation/staat semakin

gencar. Pemerintah pusat pun menjadi kewalahan karena perjuangan rakyat Papua untuk merdeka tidak hanya sekedar isu lokal atau dalam negeri saja, melainkan telah menjadi sebuah isu internasional dan secara perlahan-lahan didukung oleh sejumlah LSM Internasional.Gambaran yang muncul di atas menunjukkan bahwa ketiga lembaga tersebut (Pemerintah/Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua/DPRP dan Majelis Rakyat Papua/MRP) belum menemukan sebuah pola sinergi hubungan ketiga lembaga dalam memainkan peran dalam menjalankan pemerintahan daerah sesuai amanat UU Otonomi Khusus. Maka sudah saatnya ketiga lembaga tersebut berusaha untuk membuka saluran komunikatif antar ke-tiga lembaga ini, dan inisiatif untuk membuka komunikasi ini harus dimainkan oleh MRP selaku pengawal otsus papua. Di Papua, hampir tujuh tahun telah diberlakukan Otonomi Khusus (2001-2008), namun kebijakan ini belum mampu diimplementasikan secara efektif dan masih terdapat kesenjangan dalam realitas. Pemberlakuan kebijakan ini belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development), dan memberdayakan (empowerment) masyarakat. Akibat belum berjalannya Otonomi Khusus, tampak pada beberapa hal sebagai berikut: Laporan Biro Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan United Nations Development Project (UNDP) mengenai Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2004 yang berjudul: The Economics of Democracy; Financing Human Development in Indonesia, mengemukakan bahwa secara nasional, kualitas sumber daya manusia Papua berada pada posisi yang sangat rendah. Angka Human Development Index (HDI) Papua pada tahun 2002 hanya mencapai 60,1, berada pada peringkat ke-29 dari 32 provinsi.16 Dalam pandangan Masyarakat Adat Papua pada evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi kebijakan Otonomi Khusus Papua, Otonomi Khusus tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat adat Papua. Sebagai konsekuensi dari penilaian ini, Dewan Adat Papua (DAP) pada bulan Agustus 2004 atas nama masyarakat adat, menyatakan menolak dan mengembalikan Otonomi Khusus Papua. Masih banyak di antara komponen masyarakat Papua yang belum memahami secara baik dan benar hakikat Otonomi Khusus Papua. Hal ini terbukti dari adanya berbagai persepsi, penafsiran, bahkan kebijakan yang keliru, baik dari para elit politik Papua, para praktisi, akademisi, maupun masyarakat luas terhadap materi muatan yang termasuk dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Budaya Rakyat Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut antropologi, juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain. Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan nasionalisme superior ala Adolf Hitler (diktator

Jerman pada Perang Dunia II). Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aria (bangsa Germanika) merupakan manusia super yang lebih tinggi derajat dan kemampuan berpikirnya daripada manusia asal ras lain.

3. Munculnya International Parliamentarians For West Papua (IPWP) Perjuangan Papua Merdeka saat ini cukup memprihatinkan, mencermati perkembangan media saat ini. Timbul pertanyaan apakah benar apa yang diilakukan Benny Wenda murni untuk mensejahterakan masyarakat Papua. Dari beberapa media, Benny Wenda merupakan seorang narapida (napi) Papua yang melarikan diri dari penjara Indonesia dan pergi ke Inggris sebagai asylum seeker hingga melakukan kampanye pergerakan untuk Papua merdeka17. Benny Wenda kemudian melakukan berbagai kampanye menyuarakan Papua merdeka, yang dimulai dengan pembentukan IPWP di Inggris hingga ILWP di Guyana. Tetapi apakah benarbenar IPWP tersebut mendapat dukungan dari pemerintah Inggris atau dia hanya ingin menjualnya sebagai pancingan untuk berburu pounsterling belaka yang tentunya lebih banyak dari pada rupiah di Papua dan pada akhirnya ingin meraih kekuasaan (seperti yang Benny Wenda ungkapkan dalam blognya, memproklamirkan sebagai calon pemimpin Papua masa depan). Dengan kata lain, Benny Wenda hanya memainkan bisnis poundsterling dengan mengatas namakan rakyat Papua. Sepak terjang IPWP dalam kegiatannya mulai dari pendeklarasian dengan meminta dukungan anggota parlemen Inggris hingga seruan aksi kampanye menyuarakan Papua merdeka kepada rakyat Papua bisa dikatakan berbuah kosong belaka pada kenyataannya. Faktanya bisa dilihat dalam peluncuran IPWP bahwa yang dihadiri oleh sekitar 11 delegasi dan sejauh ini tidak banyak anggota parlemen yang mendukung kemerdekaan Papua. Bila dilihat dalam setiap aksi seperti di depan kedubes RI di Inggris terlihat hanya segelintir orang sekitar 10 orang yang mendukung aksi tersebut. Selain itu, seruan kampanye serempak kepada rakyat Papua baik di Papua dan luar negeri nampaknya ditanggapi dingin termasuk Free West Papua Campaign di luar Inggris. Kampanye yang dilakukan untuk kemerdekaan nampaknya hanya upaya untuk kepentingan individu/kelompok semata meskipun mengatas namakan rakyat Papua, namun perlu dipertanyakan rakyat yang mana, maksud dan tujuan apa yang diharapkan. Kenyataannya, IPWP tidak mencerminkan sikap parlemen Inggris yang terdiri dari 646 anggota House of Commons dan 746 anggota House of Lords. Lebih jauh lagi, IPWP tidak signifikan secara politik karena tidak mencerminkan sikap pemerintah Inggris. Adapun sikap pemerintah Inggris tidak merencanakan untuk mengangkat masalah Papua di forum Dewan Keamanan PBB karena Inggris percaya bahwa pelaksanaan UU Otonomi Khusus (Otsus) secara penuh adalah jalan terbaik untuk penyelesaian masalah perbedaan internal dan stabilitas jangka panjang Papua secara berkelanjutan. Pemerintah Inggris mengakui bahwa terdapat banyak perdebatan pada Pepera 1969, tetapi hasil Pepera 1969 sudah diterima oleh PBB pada saat itu dan sejak itu tidak ada lagi keraguan internasional bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Lebih lanjut karena pemerintah Inggris tidak menerima kemerdekaan Papua, maka Inggris tidak menganggapnya pantas untuk mengangkat isu Papua di Dewan Keamanan atau Sidang Umum.

Segala upaya Benny Wenda dengan melakukan aksi demo 2 minggu sekali di depan Kedubes RI di London tidak akan mempengaruhi sikap pemerintah Inggris yang tidak mendukung Papua merdeka. Adanya klaim bahwa Benny Wenda sebagai calon pemimpin masa depan Papua dengan mendapatkan dukungan hampir dari seluruh rakyat Papua tidaklah sesuai dengan kenyataan yang dapat dilihat dalam dukungan di Papua sendiri saat peluncuran IPWP ternyata tidak seluruh rakyat Papua dengan hanya 800 orang di Jayapura, itu tidak dapat dikatakan seluruh rakyat Papua. Benny Wenda sebagai sosok dibalik peluncuran IPWP dan ILWP begitu diagung-agungkan bagi rakyat Papua sebagai pemimpin masa depan Papua. Dari sifat kepemimpinan Benny Wenda selama ini, terlihat bahwa kesan yang ada yaitu hanya Benny Wenda yang mampu dan berhasil dalam diplomasi internasional yang mengabaikan dan menganggap tokoh pergerakan lainnya seperti Andi Ayamiseba, Nicolas Jouwe, Franzalberth Joku, Nick Messet, Oridek Ap, John Ondowame, dan sebagainya tidak berhasil di luar negeri. Dengan menganggap bahwa dirinya yang berhasil menunjukkan keangkuhan, egoisme, dan haus akan kekuasaan dengan merendahkan tokoh lainnya. Seorang pemimpin sejati tidak saling menghujat antara tokoh satu dengan yang lain. Dengan demikian, apakah hanya Benny Wenda satu-satunya yang dianggap berhasil melakukan diplomasi untuk Papua merdeka. Pemimpin sejati harus dapat merangkul semua gololongan dan bukan memunculkan perpecahan diantara sesama tokoh pergerakan. Sama halnya seperti peluncuran IPWP di Inggris dengan sedikitnya dukungan untuk IPWP, kejadian serupa juga terjadi pada peluncuran ILWP di Guyana sebagai tempat advokasi terkait aspek hukum Papua dimana gaung beritanya sudah sejak lama saat IPWP dibentuk nyatanya tidak banyak pemberitaan media internasional terkait ILWP dan dukungan dari Internasional Lawyers pun terlihat tidak signifikan. Perubahan tempat peluncuran dari Amerika Serikat ke Guyana perlu ditanyakan. Peluncuran ILWP yang juga lagi-lagi dipelopori Benny Wenda terbukti tidak mendapat perhatian di dunia. Perjuangan bangsa papua sebagai bangsa merdeka dan berdaulat masih tetap hidup dan gaungnya terus bergema dari luar negeri. Buktinya setelah pembentukan kaukus papua barat lewat Internasional Parliement West Papua (IPWP) yang diluncurkan di London, inggris pada 15 Oktober 2008, kembali akan dideklarasikan Intenasional Lawyers for West Papua (ILWP) di Amerika serikat. Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja - Gererja Baptis Papua (BPP-PGBP) Bapak Dumma Socratez Sofyan Yoman dalam Rilisnya mengatakan, pemerintah Indonesia melalui Kekuasaan, kekuatan hukumnya, Kepolisian, Jaksa, dan Undang-undangnya boleh saja bersandiwara dengan orang penduduk asli papua, pemilik dan ahli waris negeri dan tanah papua ini. Contoh terbaru, menangkap, mengadili dan memenyarakan para pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) bangsa papua barat Filep Karma, Yusak Pakage, Buctar Tabuni, Sembi Sambon dan umat Tuhan Lainnya, Tetapi perjuangan untuk mengugat rekayasa PEPERA 1969 terus mendapat tempat dihatri masyarakat internasional. Dumma Socratez Sofyan Yoman, Ketua perserikatan baptis gereja-gereja Papua mengatakan bahwa setelah Internasional Parlement For West Papua (IPWP) diluncurkan pada 15 Oktober 2008 di gedung parlemen inggris. Sebagai instrument atau badan politik dan langka berikutnya

pada tanggal 2-5 April 2009 akan diluncurkan Internasional Lawyers For West Papua (ILWP) sebagai Instrumen Hukum.18 Ikatan para ahli hukum intenasional untuk papua barat akan diluncurkan Negara Adi Daya Amerika Serikat. Beberapa negera afrika saat ini keluar sebagai pemenang, hasil PEPERA 1969 itu pernah diprotes oleh 15 Negara Afrika disidang Umum PBB tahun 1969. Ada salah satu Negara menyatakan mendukung resmi dan mengirim surat ke IPWP di London, Inggris. Akhirnya pelan tapi dengan langkah yang pasti, rakyat dan bangsa papua barat akan keluar sebagai pemenag diera demokrasi ini, demi masa depan dinegeri leluhur mereka sendiri.

1 Admin, Profil Pemerintah Provinsi Papua dalam http://www.papua.go.id/profil.htm diakses 24 Juni 2009 2 Bappeda Prop. Papua, Pendapatan Asli daerah dan Product Domestic Regional Bruto (PDRB) Papua, Bappeda Prop Papua 2008 3 Dinas Pendidikan Prop. Papua, 2009, Jayapura, Profil Pendidikan Papua 2008, hal 30 4 Dinas Pendidikan Prop. Papua, 2009, Jayapura, Profil Pendidikan Papua 2008. hal 35 5 Ibid. hal 46 6 Dinas Kesehatan Prop. Papua, 2009. Profil Kesehatan Papua, 2008 dalam http://www.papua.go.id 7 BPS Prop. Papua, 2009, Papua dalam Angka 2008, Jayapura, BPS Papua, 2008 8 Admin, 2009, Profil Pemerintah Provinsi Papua dalam http://www.papua.go.id/profil.htm diakses 24 Juni 2009 9 Dinas Pendidikan, 2007, Jayapura, Profil Pendidikan Papua 2006 10 BPS Papua, 2008, Papua dalam Angka 2008, dalam http://www.bpspapua.go.id 11 Bappeda Papua Barat, 2004, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Papua Barat 2004-2009. 12 Pendidkan dan Kesehatan Memprihatinkan dalam http:/www.papualine.com, diakses, 27 September 2009. 13 Tata Aturan Otsus Papua, Tumpang Tindih: Cendrawasih Pos, 24 Maret 2005, hal 1.

14 Agus, Alua. Mubes Papua 2000 Jalan Sejarah dan Kebenaran, Presidum Dewan Papaua, 2002, hal. 41
15 DPRP, Hasil-Hasil Konggres Rakyat Papua ke II, Jayapura, Presidum Dewan Rakyat Paua, 2001, hal 15. 16 Setneg RI, Otonomi Khusus dan Percepatan Pembangunan di Tanah Papua, Laporan Tahunan, Jayapura, 15 Januari 2009 17 Wenda Tokoh di Balik IPWP, Cendrawasih Post, 24 Juni 2004, hal 4. 18 Socratez Sofyan Dumma Yoman, Berjuang Demi Papua Merdeka, Papua Times 29 Januari 2009, hal 58.

BAB III KEKECEWAAN DAN KETIDAKPUASAN RAKYAT PAPUA TERHADAP PEMERINTAH PUSAT

1. Kekecewaan Rakyat Papua Siapa yang tidak miris setiap kali membaca ataupun melihat berita-berita terkait dengan pembubaran secara paksa yang seringkali ditindaklanjuti dengan penangkapan oleh aparat keamanan terhadap para pendemo di Papua. Selain itu para pendemo juga acap kali di jatuhi hukum tanpa di akomodir oleh badan hukum yang jelas. Betapa tidak, di bagian barat dari negara yang sama, yang namanya bendera, lambang daerah, bahkan lagu kebangsaan di luar dari bendera, lambang daerah dan lagu kebangsaan resmi bangsa ini dapat diakomodir. Ini yang menjadi pertanyaan serius yang harus di jawab bangsa dan negera Indonesia. Konstitusi yang tentu saja masih berlaku di negeri ini menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Ini berarti menyatakan bahwa warna kulit, agama, jenis rambut, pangkat dan kedudukan, status social, dan sebagainya, bukan merupakan penghalang bagi seseorang atau sekelompok orang apalagi sebuah suku bangsa untuk mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum di bumi pertiwi ini. Kadang kala konstitusi hukum yang di berlakukan di Indonesia tidak pernah di perhatikan keberadaannya. Bahkan tidak banyak juga yang sering kali melanggar hukum konstitusi yang telah pemerintah buat sendiri. Hal ini sekaligus, menimbulkan berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum di negara Republik Indonesia. Penanganan secara represif terhadap berbagai gejolak yang timbul di satu daerah sudah bukan saatnya lagi. Karena hal ini justru akan membuat kondisi yang semakin tidak kondusif bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat. Diperlukan sebuah pendekatan yang tidak bisa dikatakan baru lagi terhadap gejolak-gejolak yang timbul di Papua. Sebab bagaimanapun juga, suatu saat pelanggaran terhadap HAM yang seringkali terjadi dan seakan-akan diabaikan di daerah ini justru akan menjadi boomerang bagi keutuhuan NKRI sendiri. Indah Harlina, dalam kata pengantarnya sebagai penyunting dalam buku Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menyebutkan bahwa keberadaan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan sebuah resultante dari sejarah panjang perjuangan dan pergolakan politik di bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidakkah hal yang sebut saja sama, UU Tentang Papua bukan sekedar

Otsus saat ini juga dibutuhkan bagi solusi terhadap berbagai konflik kekerasan yang terus berkepanjangan di Papua.1 Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso mengakui ada kekecewaan di Papua hingga kerap muncul berbagai insiden dan upaya pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Maraknya berbagai aksi demo memisahkan diri dari NKRI, menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah berkembang. Kalau demokrasi tidak ada, aksi-aksi itu mungkin sudah digebuk.2 Djoko menambahkan, selain berkembangnya demokrasi, berbagai aksi tersebut menandai adanya kekecewaan di masyarakat Papua. Pemerintah memang sudah banyak memberikan fasilitas dan pembangunan yang besar di Papua, namun itu belum menyentuh semua komponen di wilayah tersebut. Djoko yakin, dengan adanya peningkatan kesejahteraan di Papua lambat laun aksi separatis akan dapat mengecil. Saya yakin, aksi itu hanya dilakukan sekelompok kecil masyarakat Papua. Otonomi khusus (otsus) yang semula diproyeksikan untuk membangun masyarakat Papua akhirnya dikembalikan oleh Dewan Adat Papua kepada pemerintah pusat. Sebab, dalam lima tahun sejak disahkan, otsus nyaris tidak bermakna bagi masyarakat. Kondisi masyarakat tetap miskin dan terbelakang.3 Tidakheran, isu Papua makin membesar, terlebih ketika menjadi agenda politik di AS. Kini setelah setengah bulan Undang-Undang (UU) Otsus dikembalikan pada 12 Agustus 2005. Pada dasarnya semua itu merupakan rasa kekecewaan karena selama ini otonomi khusus dinilai tak berdampak langsung kepada masyarakat, seperti disampaikan Mansoben, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih, Jayapura. Bagaimanapun juga pengembalian Undang Undang Otsus semakin memperlebar polarisasi di tanah Papua. Di satu sisi, Dewan Adat Papua dan di sisi lain pemerintah daerah (pemda). Kedua belah pihak bertahan pada sikapnya masingmasing. Pemda menilai aspirasi penolakan itu terkait dengan pemilihan kepala daerah gubernur Papua periode 2005-2010. Sebaliknya Dewan Adat Papua menyatakan, sikap itu merupakan puncak kekecewaan atas pelaksanaan otsus yang tak berpihak pada kepentingan masyarakat kecil. Gubernur Papua JP Solossa menilai tindakan pengembalian UU Otsus itu karena ada elite politik yang memanfaatkan Dewan Adat Papua bagi kepentingan politik tertentu, terutama dalam proses pilkada gubernur, 10 Oktober 2005. Ini bisa dirunut dari tujuh butir tuntutan Dewan Adat Papua, di antaranya pemeriksaan terhadap gubernur dan para pejabat di Papua terkait penggunaan dana otsus. Padahal, kata Solossa, penggunaan dana otsus dilaporkan kepada pemerintah pusat setiap triwulan. Dana tahun 2005 sebesar Rp 1,7 triliun dikucurkan per triwulan, langsung ke setiap kabupaten/kota melalui pemda provinsi. Pengucuran dana dari pusat sangat tergantung pada pertanggungjawaban dana triwulan sebelumnya. Jika dana tidak dipertanggungjawabkan, pusat tidak akan mengucurkan dana triwulan berjalan. Melalui kebijakan ini, pusat mengontrol penggunaan dana itu. Namun, Sekretaris Dewan Adat Papua Fadhal Alhamid menanggapi hal itu. Sikap mengembalikan UU Otsus itu sesuai dengan hasil Musda III Dewan Adat Papua di Manokwari, Januari 2005. Tidak

ada upaya menyudutkan elite politik Papua yang sedang bertarung dalam pilkada gubernur periode 2005-2010. Sikap itu muncul setelah Dewan Adat Papua menilai bahwa sepanjang lima tahun, pelaksanaan otsus (2001- 2005) tidak membawa kemajuan berarti bagi masyarakat tingkat bawah. Otsus hanya untuk kepentingan pejabat daerah dan elite politik di Papua. Karena itu, otsus dinilai gagal menjawab aspirasi rakyat. Solossa mengakui otsus belum berhasil sepenuhnya, tetapi tidak dapat dikatakan gagal.4 Sangat disesalkan sikap dewan adat menolak otsus Papua. Jika ada hal- hal yang kurang berkenan terkait dengan otsus ini sebaiknya dicari jalan keluar bersama. Bagaimana cara terbaik menjalankan otsus ini perlu masukan dari semua pihak karena otsus ini baru berlangsung secara efektif tiga tahun, kata Solossa. Menurut dia, otsus telah membawa sejumlah perubahan bagi kepentingan masyarakat Papua. Data Bank Indonesia menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir, perkembangan pembangunan ekonomi masyarakat cukup signifikan. Sampai Juli 2005 perkembangan investasi di Papua meningkat 3,38 %5. Di dalam draft Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Papua (2005-2025) disebutkan bahwa beberapa kemajuan telah diraih meskipun masih sangat banyak pekerjaan rumah yang harus dirampungkan agar target kemajuan dan kesejahteraan tercapai. Ambil contoh, keluarga prasejahtera yang pada tahun 2000 tercatat 230.034 keluarga, menjadi 227.855 keluarga tahun 2004. Angka putus sekolah juga mengalami perbaikan. Jika tahun 2000 angka putus SD 5,96%, SLTP 5,12%, dan SLTA 5,05%, pada tahun 2004 menjadi 5,14% (SD), 4,09% (SLTP), dan 3,95% (SLTA). Namun, catatan-catatan itu ibarat buih kecil di tengah samudra.6 Untuk mengatasi hal ini, upaya serius dan konkret juga harus dilakukan Pemerintah Indonesia dengan menghasilkan kebijakan politik yang solutif bagi persoalan Papua. Peristiwa ini anggap saja sebagai shock therapy bagi pemerintah Indonesia untuk lebih melihat lebih dekat persoalan Papua sebenarnya, serta lebih memahami apa yang dibutuhkan masyarakat Papua saat ini. Nasionalisme yang didengung-dengungkan para pemimpin bangsa harus dilandaskan pada kerja nyata. Jangan sampai peristiwa ini menjadi suatu preseden buruk bagi persoalan disintegrasi Indonesia yang dibayang-bayangi oleh lepasnya Timor Timur dari negara kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan rakyat Papua Barat melalui jalur damai sudah ditunjukan lewat cara demonstrasi damai, baik di wilayah Papua Barat maupun di luar Papua oleh anak negeri menuntut agar Indonesia mempunyai kemauan politik bagi penyelesaian status politik Papua melalui cara-cara yang dialogis. Terakhir, aksi massa di Jayapura yang menolak kehadiran militer dan pertanggungjawaban atas pembunuhan Opinus Tabuni 9 Agustus 2009 lalu saat perayaan hari Pribumi Internasional meminta dialog dengan Pandam dan Kapolda. Sampai hari ini tidak ada kemauan dari institusi DPRP. DPR Papua justru acuh tidak acuh menanggapi persoalan itu. Mereka justru menyibukan diri dalam kegiatan internal fraksi partai untuk Pemilu 2009. Ini bukti bahwa jalur damai dengan sendirinya diblokade oleh penguasa dan petinggi militer di Papua Barat. Timbulnya konfilk di Papua didasari 3 faktor utama, yakni distori sejarah, kejahatan terhadap kemanusiaan dan krisis identitas.7 Ketiga fakta ini kadang menjadi penyulut terjadinya konflik

kekerasan di Papua. Konfilk berdarah ini terjadi karena pihak-pihak yang bertikai berjuang untuk kepentingan elit lokal dengan menggunakan kekerasan. Baik pemerintah RI, maupun TNI dan Polri yang mempunyai kekuatan senjata telah mengakibatkan rakyat Papua non Papua menjadi korban. Dari hasil monitoring perkembangan HAM Papua dan Asesmen peta konfilk yang dilakukan ELSHAM (Effective Last Soon Hak Asasi Manusia) Papua. Situasi di Papua cendrung dilakukan pada kekerasan fisik yang sangat berpotensi terhadap timbulnya konflik vertikal maupun horisontal yang dimainkan oleh kepentingan Pemerintah Pusat. Penyebab kegagalan Pemerintah yang tidak mampu mensejahterakan rakyat Papua denga Otonomi khusus sekalipun membuat masyarakat sangat kecewa. Kegagalan ini membawa dampak dengan timbulnya berbagai gerakan salah satunya yang dilakukan oleh Benyy Wenda dan kawan-kawan, yang melakukan perjuangan tanpa senjata yang dilakukan di luar negeri sambil mencari dukungan internasional. 1. Pemerintah Mengabaikan Makanan Pokok Lokal Papua. Pemerintah Pusat sebenarnya melihat dengan seksama, rakyat papua banyak mengkonsumsi beras yang bukan makanan pokok masyarakat papua. Makanan pokok orang papua adalah ubi jalar, sagu, singkong bete dan lain-lain. Makanan pokok adalah makanan yang dikonsumsi sahari-hari pada suatu daerah.8 Secara khusus aturan yang mengatur ketersediaan pangan atau makanan pokok lokal masyarakat papua memang tidak diatur, namun dalam konvebsi PBB dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah diratifikasi atau disetujui oleh 108 negara, termasuk Indonesia. Naskah Kovenan ini memuat landasan yang mungkin paling signifikan bagi hak atas makanan di antara semua prinsip hukum yang ada, Pasal 11 ayat 1 dari Kovenan menyatakan bahwa: Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas ketersediaan makanan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kelayakan pangan, sandang dan papan, dan perbaikan kondisi hidup yang terus menerus. Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin perwujudan hak tersebut, dengan mengakui arti penting yang esensial dari kerja sama internasional yang didasarkan pada kesepakatan sukarela. Di samping kedua hal ini, Deklarasi PBB tentang Kemajuan dan Pembangunan Sosial (1969) serta Deklarasi Vancouver tentang Pemukiman Manusia PBB (1976) mengakui hak setiap orang atas makanan pokok yang dikonsumsi secara adat (lokal).9 Makanan lokal sudah dikonsumsi secara turun temurun sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Menurut data statisitik data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Papua Barat Masyarakat yang mengkonsumsi umbi-umbian sebesar 74%. Kebutuhan umbi-umbian seperti umbi jalar, ketela dan kentang masih merupakan kebutuhan yang dominan, sedangkan beras dan sagu tidak signifikan dalam jumlah produksi yang dihasilkan antara tahun 2005 hingga tahun 2009 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Produksi Pertanian dan Perkebunan 2005-2009 Produksi Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Total Beras 630.195 751.422 776.185 805.764 871.105 3.834.671 Sagu 876.300 908.420 899.650 902.750 941.610 4.528.730 Umbi Jalar 1.838.520 2.010.451 2.572.940 2.811.368 3.027.464 12.260.743 Ketela 1.142.611 1.237.948 1.460.130 1.502.094 1.790.553 7.133.336 Kentang 957.360 906.420 809.340 910.680 946.750 4.530.550

*) produksi dalam kg Sumber : Dinas Pertanian dan Perkebunan Propinsi Papua, 2009 dalam http://wwwpapua.go.id

Berikut ini juga dapat dilihat kebutuhan makanan berdasarkan jenis yang dikonsumsi oleh masyarakat papua pada tahun 2009. Gambar 3.1. Kebutuhan Pangan Papua

Rakyat Papua mengkonsusmi makanan seperti ubi jalar, ketela umbi-umbian karena kondisi alam dan geografis. Pemerintah seharusnya mencoba mekanan pengganti (makanan subtitusi) agar jika terjadi kondisi alam yang tidak memungkinkan dapat dicarikan jalan keluar. Tetapi antara tahun 2004-2005 terjadi perubahan pola konsumsi beras menjadi makanan pokok menggantikan makanan-makanan lokal papua. Ada dampak mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok bagi orang papua. Masyarakat tidak cocok dengan pencernaan yang mengakibatkan beberapa

penyakit seperti diare dan sebagainya. Mestinya pemerintah menjadi prihatin terhadap beberapa masalah yang dialami rakyat papua pada umumnya masyarakat papua tidak tahu-menahu tentang cara menanam/ menghasilkan padi, belum mempuyai sawah. Tingkat konsumsi tinggi, pemenuhan kebutuhan hidup meningkat, masyarakat papua tahu itu bagian dari makanan pokok. Hal tersebut di atas itulah yang dianggap masyarakat papua pemerintah lalai dan menganggap mengabaikan ketersediaan makanan pokok lokal. Selama ini jika di lihat dari hasil produksi umbi-umbian merupakan produksi yang tertinggi disamping beras dan sagu (84% dari makanan pokok papua). Warga memaksa mengkonsumsi beras, dengan seakan membuat masyarakat, tidak memikir makanan pokok alternatif lainnya. Kelambanan pemerintah dalam menangani kasus kelaparan dan mengatakan rakyat Papua Barat mati karena kelaparan itu tidak masuk akal sehat. Sebenarnya pemerintah pusat maupun daerah secara gentlement mengakui bahwa masyarakat tidak mampu lagi merubah taraf hidup masyarakat Papua pada umumnya, Otonomi khusus walau sudah ditolak rakyat Papua namun tetap dipaksakan, 154 orang telah mati diatas otonomi khusus10, ini bukti bahwa sebenarnya pemerintah NKRI tidak mencintai rakyat Papua tetapi lebih mencintai kekayaan alam saja, untuk itu para tokoh masyarakat Papua mendesak pemerintah NKRI untuk segera mengadakan Dialog yang luas bersama Organisasi Papua Merdeka dan rakyat Papua Barat guna mencari solusi atas semua permasalahan yang ada di bumi Cenderawasih. 2. Kebutuhan Perumahan Belum Terpenuhi Hak atas Perumahan bagi Penduduk Asli Draft Deklarasi PBB tentang hak-hak penduduk asli, meskipun masih belum ditetapkan, telah menyebutkan masalah hak penduduk asli ini dua kali: penduduk asli harus memiliki hak untuk menentukan setiap program tentang perumahan serta program-program ekonomi dan sosial lainnya yang mempengaruhi kehidupan mereka; demikian pula penduduk asli harus memiliki hak otonomi dalam hal yang berhubungan dengan kegiatan internal dan lokal masyarakat Papua, termasuk masalah perumahan. Di samping itu untuk menjadi bagian dari berbagai perjanjian dan deklarasi yang baru disebutkan, hak atas perumahan yang layak juga telah dikemukakan dalam sejumlah resolusi yang ditetapkan oleh berbagai jenis badan pembuat keputusan PBB. Walaupun resolusi-resolusi tersebut tidak mengikat secara hukum, resolusi tersebut menjalankan fungsi penting dalam menyampaikan standar yang diterima secara internasional. Metode pengakuan ini mengungkapkan perhatian dan dukungan global yang terus menerus diberikan terhadap hak atas perumahan oleh masyarakat internasional, setidaknya secara prinsip. Sebagian besar resolusi tentang hak-hak atas perumahan ditujukan kepada Pemerintah-pemerintah, dengan maksud untuk mendorong mereka berusaha lebih banyak lagi bagi pelaksanaan hak-hak tersebut. Sebagai contoh, dalam resolusi 42/146, Majelis Umum menyatakan bahwa: perlu dilakukan upaya-upaya pada tingkat nasional dan internasional untuk kemajuan hak bagi setiap orang atas standar kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk perumahan yang layak, dan mengajak semua Negara dan organisasi-organisasi internasional terkait untuk memberikan perhatian khusus terhadap pelaksanaan hak atas perumahan yang layak dalam melaksanakan upaya-upaya membangun strategi perumahan nasional dan program-program peningkatan pemukiman.

Walau telah dipahami secara umum bahwa, membangun rumah adalah sebuah investasi masa depan. Sama hal dengan sekolah (pendidikan). Dimana seringkali orang menyebut pendidikan merupakan suatu investasi masa depan. Yang mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan uang. Untuk mendapatkan (mewujudkan) impian rumah idaman, tentunya kita butuh daya (tenaga) paya (uang). Tetapi, mengapa untuk membangun kehidupan orang Papua harus bermula dari membagun rumah. Bukan berarti orang Papua itu tidur di bawah jembatan (seperti kota-kota besar di pulau Jawa). Justru orang Papua memiliki beragam jenis bentuk arsitektur dari setiap suku yang ada di Papua, dimana keunikan rumah-rumah itu sedang menuju kepunahan karena kekejaman jaman. Karena, di dalam rumah dapat melakukan segala aktivitas. Rumah juga merupakan kebutuhan manusia yang prima setelah sandan dan papan terpenuhi. Rumah tradisional pada jaman dulu dibangun untuk melindungi diri dari gangguan binatang buas. Dengan desain bangunan atau rumah menaikan lantai (panggung) atau sekaligus dibangun di atas pohon. Dengan memanfaatkan ranting dan dahan sebagai struktur rangka dan dinding. Serta, batang pohon sebagai struktur utama dan sekaligus berfungsi sebagai pondasi bangunan (pondasi setempat). Berikut ini dapat dilihat kebutuhan akan tempat tinggal yang layak bagi masyarakat Papua dalam memenuhi kebutuhan perumahan mereka, data diperoleh dari Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah provinsi Papua. Tabel 3.2 Ketersediaan Perumahan di Papua

2007 Rumah Sangat Sederhana Rumah Sederhana Rumah Adat Belum Terpenuhi (tidak layak) Total 11.750 6.750 45.300 58.400 63.800

2008 16.400 11.850 38.700 62140 66.950 *) dalam unit

2009 8.100 5.400 36.820 66150 50.320

Sumber : Dinas Kimpraswil Prop. Papua, 2009 dalam http://www.papua.go.id

Berdasarkan tabel 3.2 di atas, dapat dilihat bahwa kebutuhan akan perumahan masyarakat Papua masih kurang dapat dipenuhi oleh pemerintah. Pembangunan rumah sangat sederhana dalam tiga tahun terakhir justru menurun, sementara rumah sederhana mengalami fluktuasi kebutuhan. Rumah adat masyarakatpun semakin tergantikan dengan dibangunnya beberapa perumahan di

wilayah Papua, dan kebutuhan masyarakat yang belum tercover dan tidak memiliki tempat tinggal yang layak (belum terpenuhi) justru mengalami peningkatan.

Gambar 3.2 Kebutuhan Perumahan di Papua.

Pemberian hak atas perumahan merupakan salah satu rintangan dalam mewujudkan hak atas perumahan adalah tidak adanya pengakuan universal terhadap definisi dari sejumlah hal yang mencerminkan norma ini. Rintangan tersebut mungkin lebih merupakan hasil penafsiran daripada analisis hukum yang sebenarnya. Pad tahun 2006, telah diambil sejumlah langkahlangkah untuk menjernihkan pendekatan hukum terhadap masalah ini. Hal terpenting adalah Keterangan Umum No. 4 dari Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tentang Hak atas Perumahan yang Layak, yang merumuskan hak ini sebagai kumpulan dari berbagai permasalahan yang spesifik. Secara keseluruhan, hak-hak ini membentuk suatu jaminan pokok, yang berdasarkan hukum internasional secara yuridis melekat pada setiap orang. 1. Jaminan hukum atas hak huni. Semua orang harus memiliki tingkat jaminan hukum atas hak huni yang memberikan jaminan perlindungan terhadap pengusiran paksa, gangguan dan ancaman-ancaman lain. Oleh karena itu

Pemerintah harus segera melakukan upaya-upaya untuk memberikan jaminan hukum atas hak huni kepada rumahtangga-rumahtangga yang saat ini tidak memiliki perlindungan tersebut. Langkah-langkah ini harus dilakukan melalui pertimbangan yang tulus dengan orang atau kelompok dimaksud. 2. Ketersediaan pelayanan, material dan infrastruktur Semua pemegang hak atas perumahan yang layak harus terus mempunyai akses terhadap sumber daya alam dan sumberdaya bersama, air minum yang bersih, energi untuk memasak, pemanas dan penerangan, fasilitas sanitasi, mencuci, tempat penyimpanan makanan, tempat sampah, saluran pembuangan, dan pelayanan-pelayanan darurat. Perumahan yang terjangkau harganya, pengeluaran pribadi atau rumah tangga yang berhubungan dengan perumahan harus berada pada tingkat yang terjangkau tanpa merugikan hak-hak atas kebutuhan dasar lainnya. Subsidi untuk perumahan harus bisa didapat oleh mereka yang tidak mampu memiliki rumah, dan para penyewa harus dilindungi dari tingkat harga sewa atau kenaikan harga sewa yang tidak masuk akal. Di dalam masyarakat di mana bahan alam menjadi bahan utama pembangunan perumahan, negara harus mengambil langkah untuk menjamin tersedianya bahan-bahan tersebut. Perumahan yang layak huni Perumahan yang memadai adalah yang layak huni. Dengan kata lain, rumah tersebut harus dapat memberikan ruang yang cukup serta perlindungan terhadap udara dingin, lembab, panas, hujan angin atau ancaman lain yang membahayakan kesehatan, resiko struktur bangunan dan pembawa penyakit. Keselamatan fisik para penghuni juga harus dijamin. Perumahan yang memadai harus dapat diakses oleh mereka yang berhak. Kelompok-kelompok yang kurang beruntung harus diberikan akses penuh dan berkesinambungan ke sumber daya perumahan yang layak. Dengan demikian kelompok-kelompok tersebut seperti orang yang lanjut usia, anak-anak, penderita cacat, orang sakit, pengidap HIV, orang yang terus bermasalah dengan kesehatannya, yang sakit jiwa, korban bencana alam, penduduk yang hidup di wilayah pusat bencana dan kelompok-kelompok yang kurang beruntung lainnya harus mendapat jaminan untuk diprioritaskan dalam mempertimbangkan lingkungan perumahan. Baik hukum maupun kebijakan tentang perumahan harus benar-benar memperhatikan secara khusus kebutuhan perumahan bagi kelompok-kelompok ini. Lokasi Perumahan yang layak harus berada pada suatu lokasi yang menyediakan akses untuk memilih pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat penitipan anak dan fasilitas sosial lainnya. Perumahan tidak boleh dibangun pada daerah yang berpolusi, juga tidak boleh dibangun pada daerah dekat sumber polusi yang membahayakan hak atas kesehatan bagi penduduk. Perumahan yang layak secara budaya, cara membangun rumah, penggunaan bahan bangunan dan kebijakan mengenai masalah ini harus dapat mencerminkan identitas dan keanekaragaman budaya. Kegiatan yang dilakukan untuk mengembangkan atau memodernisasi lingkungan perumahan harus menjamin bahwa dimensi budaya dari perumahan tidak dikorbankan. Luasnya hak ini menunjukkan sejumlah permasalahan berkenaan dengan hak atas perumahan yang layak. Hak-hak tersebut juga memperlihatkan banyaknya bidang yang harus benar-benar diperhatikan oleh Negara yang berkewajiban memenuhi hak atas perumahan dari penduduknya.11 Setiap orang, keluarga, rumah tangga, kelompok atau masyarakat yang hidup dalam kondisi di mana hak-hak ini tidak seluruhnya dipenuhi, mempunyai alasan untuk menyatakan bahwa masyarakat tidak menikmati hak atas perumahan yang layak seperti tercantum dalam hukum hak asasi

manusia internasioanal. Memantau Hak atas Perumahan Yang Layak Luasnya ruang lingkup permasalahan yang timbul dari hak atas perumahan yang layak menuntut PBB untuk melakukan berbagai kegiatan pemantauan. Pemantauan oleh Habitat Sejumlah persoalan teknis yang berhubungan dengan hak ini dipantau oleh Pusat Pemukiman Manusia PBB (Habitat) sejalan dengan Strategi Global untuk Pemukiman sampai Tahun 2000. Habitat telah membuat sekumpulan indikator kunci yang dirancang untuk menangkap elemen-elemen penting dari kinerja sektor pemukiman di setiap negara. Indikator ini menekankan adanya pelayanan dasar sebagai komponen integral untuk mencukupi pemukiman. Faktor relevan lainnya termasuk harga, jumlah, mutu, pasokan dan permintaan. Laporan dari pemerintah-pemerintah berdasarkan berbagai indikator ini dipersiapkan setiap dua tahun sekali untuk dipertimbangkan oleh Komisi untuk Pemukiman Manusia. Pemantauan sehubungan dengan penerapan Strategi Global untuk Pemukiman sampai Tahun 2000 juga dikoordinir oleh Habitat. Proses ini dirancang untuk mengetahui langkah-langkah yang diambil beserta kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, tidak hanya oleh Negara Anggota PBB, tetapi juga oleh badan-badan dalam sistem PBB seperti organisasi regional, bilateral dan organisasi non-pemerintah. Pada 5 Mei 1993, Komisi untuk Pemukiman Manusia menetapkan resolusi tentang hak asasi manusia untuk perumahan yang layak. Resolusi merekomendasikan antara lain, agar Komite Persiapan untuk rencana Konperensi PBB tentang Pemukiman Manusia tahun 1996 (Habitat II), memperhatikan persoalan hak asasi manusia atas perumahan yang layak. Pemantauan oleh Sistem Hak Asasi Manusia PBB terhadap pemukiman harus dilaporkan Pada Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC). Berdasarkan Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Negara Pihak diminta untuk menyampaikan laporan sekali dalam lima tahun, yang menggambarkan antara lain, upaya legislatif dan upaya lainnya yang telah dilakukan dalam wilayah hukum masing-masing untuk melaksanakan hak atas perumahan yang layak bagi setiap orang. Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya membahas pedoman untuk membantu Negara Pihak dalam menyusun laporannya. Pedoman ini telah selesai direvisi pada 1990. Banyak rumah tinggal di Papua tidak pernah memikirkan utulitas bangunan (perlengkapan bangunan). Utilitas bangunan yang perlu di lengkapi adalah penyediaan air bersih, saluran pembuangan air kotor, penangkal petir, penghawaan alami dengan pemanfaatan angin, pencahayaan alam dan buatan (listrik), perancangan sistim plambing (pipa), pencegahan kebakaran, telepon, transpotasi dalam bangunan. Utilitas kelengkapan dalam bangunan kadang menjadi pertimbangan yang terakhir bagi bangunan di Papua. Yang mereka (orang Papua) pikirkan adalah yang penting rumah jadi. Utilitas menjadi satu kebutuhan bahkan dikatakan pelengkap bangunan. Karena, rumah mewah, dengan desain arsitek yang berpengalaman, rumah tanpa utilitas bangunan tidak akan berfungsi secara maksimal. 3. Faktor Kesehatan Masyarakat Papua yang Sangat Minim Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait wabah muntaber yang melanda beberapa kampung di Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai, serta daerah lain di sekitarnya sejak 6 April 2008 sampai saat ini, wabah yang melanda beberapa daerah di Tanah Papua. Salah satunya wabah kolera di Lembah Kamuu dan Paniai (kampung Kebo). Wabah tersebut telah menelan ratusan nyawa baik orang dewasa maupun anak-anak, dan ini bukan hanya karena faktor kebersihan semata, tetapi bisa saja ada faktor lain yang turut menyebabkan.

Wabah yang telah melanda beberapa daerah di Papua itu bila tidak diantisipasi, dapat menyebar ke daerah-daerah lain. Ini sangat disayangkan, sebab walaupun wabah tersebut sudah tergolong Kejadian Luar Biasa (KLB), tetapi sampai saat ini tidak ada tindakan penanganan secara serius dan nyata dari pemerintah daerah, provinsi dan pemerintah pusat untuk menyelamatkan warga lainnya. Emanuel menambahkan, banyak korban yang sudah datang ke Puskesmas atau Rumah Sakit, namun meninggal dunia akibat tidak tertangani dengan baik, atau meninggal dalam perjalanan. Semua itu berarti jelas dibutuhkan tindakan ekstra dari pemerintah untuk menjangkau daerah wabah yang jauh dari fasilitas kesehatan pemerintah bahkan penambahan tenaga medis dan fasilitasnya di daerah-daerah. Tapi ironisnya, kenapa Pemda justru sibuk meresmikan wilayah pemekaran dan melantik pejabat Bupati yang baru, sementara wabah sudah berlangsung 6 bulan dan urusan nyawa bukan hal yang bisa ditunda-tunda. Kurang seriusnya penanganan yang bersifat segera, menyeluruh dan berkelanjutan dari pemerintah telah menimbulkan frustrasi dan kecurigaan mendalam di tengah masyarakat bahwa wabah itu sengaja diciptakan dan pemerintah sengaja membiarkan masyarakat mati dengan wabah penyakit.12 Hal itu yang membuat warga curiga sampai terjadi ketegangan dan mendorong mereka melakukan pengrusakan terhadap rumah milik sejumlah warga pendatang yang dicurigai berhubungan dengan wabah tersebut. Oleh sebab itu beberapa poin keprihatinan sekaligus desakan kepada Pemerintah daerah untuk melakukan tindakan : Pertama, pemerintah kabupaten Nabire, Paniai, Dogiyai, dan Gubernur Papua, serta pemerintah pusat agar segera mengambil langkah-langkah pro-aktif dengan mengirim tim medis yang profesional ke lapangan guna melakukan pengobatan bagi masyarakat yang menderita di tempat kejadian. Kedua, segera melakukan tindakan pemulihan atas segala dampak buruk baik fisik, mental, dan sosial yang ditimbulkan oleh wabah tersebut. Juga tindakan pencegahan, misalnya berupa pelatihan SAR (Search And Rescue) kepada rakyat di kedua kabupaten supaya bila terjadi lagi di kemudian hari, maka masyarakat setempat sudah siap untuk menanganinya sendiri. Ketiga, membangun infrastruktur kesehatan baru di daerah-daerah terpencil lengkap dengan tambahan tenaga medis, bukan hanya untuk mengatasi penyakit yang sudah ada, tapi bersifat pencegahan dengan memberikan pendidikan-pendidikan pola hidup sehat. Keempat, pemerintah tidak menyibukkan diri dengan pemekaran dan jabatan politik semata. Sebaiknya memberikan pelayanan kesehatan bermutu seperti diperintahkan pasal 59 UU Nomor 21/2001 tentang Otsus dan Sistem Kesehatan dan Pangan yang mendukung terjaminnya gizi yang baik. Keempat, mengkaji/ menyelidiki dan mendalami tentang penyebab sesungguhnya dari wabah diare-kolera ini dan hasilnya diumumkan kepada masyarakat luas agar dapat menghentikan segala praduga dan kecemasan yang sedang berkembang. Hingga akhir 2007, jumlah kasusnya mencapai 990 orang. Korbannya adalah warga yang bermukim di daerah pesisir selatan Kabupaten Mimika, yakni di Kekwa Distrik Mimika Tengah, Mapurujaya Distrik Mimika Timur, Manasari Distrik Mimika Timur Jauh, Fakafuku Distrik

Agimuga, serta Noema dan Wapu Distrik Jita, Wakiya Distrik Mimika Barat Tengah, dan Umpliga Distrik Jita. Dari 990 kasus diare tersebut, tercatat 30 orang dinyatakan meninggal dunia.13 Pemerintah kaget karena ternyata wabah ini juga sudah melanda daerah Timika. Jadi, apakah nantinya akan membawah di seluruh Papua?, imbuh sfat Yayasan Binterbusih Semarang, Medex Pakage sembari menambahkan bahwa jika dicermati ada faktor keterlambatan penanganan oleh pemerintah, maka wabah ini semakin bertambah dan banyak jiwa yang akan menjadi korban. Biasanya ada banyak alasan yang dipakai pemerintah untuk membelah diri, seperti faktor geografis, ketiadaan transportasi dan alasan lainnya yang masuk akal tetapi sebenarnya itu hanya berbohong. Hal ini terbukti sekarang pemerintah daerah juga lebih memilih sibuk dengan Pilkada, Caleg, partai dan persoalan-persoalan lain yang sebenarnya bukan prioritas pertama. Kalau pihak gereja, LSM dan masyarakat sudah melakukan hal-hal yang bisa dikerjakan sesuai kemampuannya, tetapi kenapa pemerintah tidak maksimal melihat kasus ini? Lantas dimana tanggungjawab mereka sebagai pemimpin rakyat di daerah? Kita berharap pemerintah mampu melihat realita di daerah. Dengan demikian, masyarakat dan mahasiswa/i suku Mee dalam diskusi terbuka menyatakan bahwa era Otsus dan pemekaran merupakan lambang kejahatan bagi manusia Papua. Otsus Papua merupakan janji-janji politik, karena tidak mengangkat harkat dan martabat manusia Papua. Otsus dan Pemekaran bukan solusinya. Solusinya adalah tanyakan langsung kepada rakyat pribumi Papua. Jangan bunuh orang Papua, karena dengan memberikan Otsus dan Pemekaran, maka pemusnahan dan pembantaian etnis orang Papua terjadi Papua, kemiskinan meningkat, ketidakadilan terjadi di mana-mana seluruh Papua, terbukti di beberapa daerah seperti yang telah diuraikan di atas. Pemerintah tidak mampu menangani rakyat kecil malah membunuh, pemerintah sangat pintar untuk beli hati masyarakat, sehingga menjadi Yudas. Hentikan pembantaian etnis Papua dan jangan habiskan manusia Papua hanya demi menjaga keutuhan NKRI. Pemerintah Indonesia harus menghargai hak asasi manusia. hukum, ham, dan demokrasi sudah miring dan melenceng, padahal ketiga hal ini menjadi tiga utama, namun ketiga hal ini sedang goyang dan miring di negara indonesia. dari pandangan mata nkri orang papua tidak berarti, maka kami dibantai dan dibunuh. pemerintah indonesia tidak mempunyai pikiran dan perasaan akan kemanusiaan, hal ini terbukti pemusnahan dan pembantaian etnis secara massal di lembah kamuu, sekarang Kab. Dogiyai, hasil pemekaran dari Kab. Nabire, maka hentikan pembunuhan dengan terang-terangan dan terselubung yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu. orang papua dibunuh dan dibantai demi mengambil kekayaan sumber daya alam: emas, pohon, dan obat-obatan. pemerintah indonesia hanya cinta akan tanah dan kekayaan, sumber daya alam (SDA) di papua, terbukti 172 orang mee, namun diperkirakan korban kematian lebih dari itu. korban ini bukan akibat muntaber dan diare, namun ada kelompok-kelompok tertentu memainkan peran penting di daerah itu dalam rangkah pemusnahan dan pembantaian etnis. Untuk itu, masyarakat dan mahasiswa mendesak sekaligus menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan dunia internasional serta PBB yang menangani akan kemanusiaan, bahwa14 :

1. mendesak sekjen PBB dan dewan who segera mengirimkan tanaga-tanaga para medis untuk mengamankan dan melindungi rakyat pribumi papua barat yang sedang berada pada ancaman genoside yang sedang diterapkan dengan sistematis dan terpola oleh pemerintah indonesia melalui pendekatan bio militerisme (perang biologis). dan, berbagai tindakan kejahatan lainnya terhadap rakyat pribumi papua khususnya di daerah lembah kamu. 2. menyerukan kepada masyarakat internasional yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari ham, demokrasi, kebenaran dan keadilan segera mendesak sekjen PBB dan dewan keamanan PBB untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam mewujudkan tentang point satu di atas demi menegakkan kemanusiaan manusia papua di atas segala kepentingan. 3. menyerukan kepada pimpinan agama, terlebih khusus pimpinan gereja-gereja sedunia dan pimpinan gereja katolik sedunia segera mendesak sekjen PBB dan komisi-komisinya untuk menyelamatkan rakyat pribumi papua dari ancaman pembantaian etnis papua dengan jalan menentukan status papua barat. 4. mendesak presiden susilo bambang yudhoyono segera menghentikan pembantaian terhadap rakyat papua barat melalui perang biologis (bio militerisme) dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya; serta segera menarik pasukan non-organik dan organik, dan juga bubarkan milisi bentukan ri dan bin/basis yang telah dan sedang memperkeruh situasi di tanah papua. 5. menyerukan kepada rakyat papua jangan terprovokasi dengan berbagai isu atau tindakan tertentu dari pihak tertentu yang mau menciptakan konflik di papua, jangan masuk dalam milisi bentukan, mari kita bersatu dan maju bersama memperjuangkan kebenaran dan keadilan bangsa papua secara damai.

2. Ketidakpuasan Rakyat Papua Ketidakpuasan orang Papua salah satu indikasinya penyerahan Undang-Undang Otonomi Khusus disebabkan ketidakadilan ekonomi politik akibat kebijakan pusat yang tidak kondusif. Kekayaan alam belum mengangkat nasib ekonomi setempat; penduduk lokal terpinggirkan di tanah sendiri, demografi di Merauke menunjukkan, 40% penduduk adalah etnis Jawa, 30% sukusuku asli, dan 30 % etnis-etnis pendatang non-Jawa; dan banyak masalah lain.15 Sebagai respons dari pendekatan ekonomi politik, banyak dibuat program yang sifatnya juga ekonomi politik, misalnya pemberian status otonomi khusus dan pemekaran provinsi. Ada pula pembentukan kelompok pemerhati Papua, misalnya Kelompok Kerja Papua. Tentu saja pendekatan-pendekatan itu benar. Namun, sampai sekarang masih terasa ada sesuatu yang mengganjal dalam situasi Papua. HS Dillon dalam sebuah pertemuan mengatakan, sudah dilakukan banyak upaya politik dan ekonomi untuk menyelesaikan masalah Papua, tetapi terasa

sekali upaya itu belum berdampak maksimal. Ada sesuatu yang tidak lengkap dalam melihat dan merespons masalah Papua.16 Kenyataan sejarah di Papua memperlihatkan secara jelas bahwa hingga kini masalah Papua belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh, kendati telah diupayakan penyelesaiannya melalui berbagai cara, termasuk dengan menerapkan cara kekerasan oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik. Konflik yang melibatkan dua pihak yang berlawanan, yakni Pemerintah Indonesia dan orang Papua ini sudah dimulai sejak Indonesia menguasai Tanah Papua. Dalam rangka menyelesaikan konflik Papua, pemerintah telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di Tanah Papua, seperti Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983 1984), dan Operasi Sapu Bersih (1985).3Jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan konflik Papua juga dinyatakan melalui operasi militer yang dilancarkan di Mapunduma (1996)17, dan peristiwa pelanggaran HAM di Wasior (2001). Setelah UndangUndang Otonomi Khusus Papua diberlakukan sejak tahun 2001, kekerasan masih dipakai militer sebagai cara menyelesaikan konflik seperti yang dinyatakan melalui operasi militer di Wamena tahun 200318, dan di Kabupaten Puncak Jaya tahun 2004. Upaya penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan ini telah mengakibatkan jatuhnya korban pada kedua belah pihak yang bertikai. Namun jumlah korban lebih banyak terjadi pada orang Papua yang hidup di kampung-kampung yang terisolir. Orang Papua di berbagai kampung dapat menceritakan pengalaman pahitnya yang dialami, misalnya selama operasi militer dilaksanakan. Ada yang bilang bahwa saudaranya mati di kali, sambil menunjuk kali yang dapat di kampung. Ada yang menunjuk pohon tertentu sebagai tempat pembunuhan anak laki-lakinya. Ada yang menunjuk jurang sebagai tempat di mana mayat anaknya dibuang. Ada yang memperlihatkan bekas dari kampung yang dibumi hanguskan dalam operasi militer. Ada yang menceritakan tentang rumah-rumah penduduk di kampung yang dibakar oleh militer. Ada orang Papua yang menunjuk hutan sebagai tempat pengungsiannya selama operasi militer dilaksanakan. Pengalaman dan sejarah Papua memperlihatkan bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan konflik Papua. Kekerasan malah menambah jumlah korban dan memperbanyak masalah. Maka penyelesaian konflik Papua melalui jalan damai yakni dialog merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mencegah pertumpahan darah di masa depan19. B.1. Implementasi Otsus Gagal Mensejahterakan Masyarakat Papua Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pemerintah gagal mengimplementasikan UndangUndang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua. Status Otonomi Khusus (Otsus) diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk Papua Barat. Sebagai komitmen nasional dan jawaban Pemerintah Indonesia terhadap Papua maraknya tuntutan kemerdekaan yang disuarakan oleh orang asli Papua. Pemerintah selanjutnya menetapkan Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai pengejawantahan dari Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/ 1999, dan Ketetapan MPR RI No. IV/2000. Provinsi Papua dan Papua barat merupakan contoh gamblang ketidak berhasilan penerapan Otonomi khusus20. Dalam tahun 2003, Badan Pusat Statistik Papua melaporkan bahwa 80% dari

2.469.785 penduduk Papua adalah penduduk miskin21. Dalam bulan Februari 2007 Gubernur Barnabas Suebu SH, dengan mengutip data statistik pemerintah, mengumumkan bahwa di Provinsi Papua terdapat 480.578 rumah tangga miskin atau sama dengan 81,52% dari total rumah tangga yang tersebar 2.283 kampung22. Presentasi ini kurang lebih sama dengan kenyataan di mana 72,72% penduduk Papua dikategorikan miskin atau bahkan miskin absolut. Dengan kata lain, penduduk di semua kampung di seluruh pelosok Papua tanpa terkecuali adalah orang-orang yang miskin. Sekalipun dana trilyunan rupiah dikucurkan ke Papua, masyarakat asli Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan di atas tanahnya yang kaya akan sumber daya alam. Sekalipun pemerintah menerbitkan UU Otsus Papua, pemerintah yang sama tidak memperlihatkan konsistensi dalam melaksanakan Undang- undangnya sendiri. Kebijakan UU Otsus Papua adalah pengejawantahan dari Ketetapan MPR RI tahun 1999. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Setelah pengesahan UU Otsus Papua, Presiden yang sama menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Tengah, tanpa konsultasi dengan pemerintah daerah di Papua dan orang asli Papua. Inpres ini dibuat secara sengaja oleh Presiden, sambil menyadari bahwa Inpres ini melanggar UU Otsus Papua. Ketidak konsistenan Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan UU Otsus Papua juga terlihat ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Itu berarti bahwa pemerintah dapat saja mengubah pasal-pasal dari Undang-undang Otsus Papua kapan saja dikehendaki, sesuai dengan kepentingannya, dan tanpa diusulkan oleh rakyat Papua sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Otsus Papua. Menurut amanat UU Otsus Papua, Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setelah itu Pemerintah Indonesia di bawah kepemimipinan Presiden SBY meneruskan dan memaksakan pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar). Dengan melanggar UU Otsus, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) No 1, Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kemudian Presiden SBY menerbitkan UU No. 35 tentang Provinsi Papua Barat. Selain itu, daripada mengimplementasikan UU Otsus Papua secara konsisten, Presiden SBY menerbitkan lagi Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pun memperlihatkan ketiadaan niat untuk melaksanakan UU Otsus Papua. Hal ini diperlihatkan secara jelas ketika DPR dengan menggunakan hak inisiatifnya mengesahkan pada tanggal 22 Januari 2007 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pembentukan empat provinsi baru di Papua yakni Provinsi Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Selatan dan Tengah. Mengesampingkan tugasnya untuk mengawal implementasi UU Otsus Papua, pemerintah dengan mendapatkan dukungan dari DPR RI malah terus membentuk kabupaten-kabupaten baru di Provinsi Papua. Kebijakan membentuk provinsi dan kabupatenkabupaten ini meremehkan kepercayaan dan keyakinan orang Papua terhadap kehendak baik pemerintah untuk mengimplementasikan Otsus, serta menciptakan kerancuan antara penerapan

kebijakan pemekaran daerah dan kebijakan Otonomi Khusus yang dibuat oleh pemerintah sendiri.23 Selain kerancuan yang disebutkan diatas, berbagai upaya untuk mengimplementasikan Otsus tidak berlangsung secara efektif karena tidak dilaksanakan secara teratur dan sistimatis. Dalam bahasanya Gubernur Papua, Barnabas Suebu, implementasi UU Otsus tersebut sejak tahun 2002 hingga 2006 disimpulkan dengan dua kata yakni kacau balau24. Kekacauan ini, menurut Gubernur Suebu, terjadi karena tiga alasan yakni belum adanya kesamaan persepsi antara rakyat dan pemerintah daerah (Pemda) dan pemerintah pusat mengenai Otsus, kurangnya kemauan dan keikhlasan serta kesungguhan dari pemerintah pusat untuk menyerahkan pelaksanaan Otsus kepada Provinsi Papua, dan belum adanya peraturan pelaksanaan dari UU Otsus berupa Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Terjadinya kerancuan dan kekacauan dalam implementasi UU Otsus ini dapat diprediksi dan dipahami. Dua hal ini terjadi karena Pemerintah Indonesia tidak mempunyai target yang ingin dicapai pada akhir masa berlakunya UU Otsus Papua. Hingga kini pemerintah sendiri tidak mempunyai gambaran yang jelas mengenai finalitas dari pemberlakuan UU Otsus ini. Karena tidak mempunyai target akhir ini, maka pemerintah tidak bisa menetapkan target-target antara yang ingin dicapai dalam periode lima tahun. Maka tidak heran apabila pemerintah sendiri malah tidak mengetahui tentang apa yang ingin dicapai setiap tahun dengan mengimplementasikan UU Otsus Papua. Oleh sebab itu UU Otsus Papua dilaksanakan tanpa adanya arah yang jelas serta target yang konkrit dan terukur. Apa yang terjadi hingga sekarang ini adalah bahwa pembangunan diarahkan dan dilaksanakan mengikuti selera pribadi dari pimpinan setempat. Pemerintah Indonesia di Jakarta pun tidak bisa melakukan fungsi monitoring dan pengawasan terhadap implementasi UU Otsus Papua. Dan rakyat pun sulit untuk melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan UU Otsus ini. Akibatnya UU Otsus tidak diimplementasikan secara konsisten dan terarah oleh pemerintah. Tidak mengherankan apabila pemerintah tampil sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kegagalan implementasi UU Otsus Papua. Sementara UU Otsus Papua tidak diimplementasikan secara serius, pemerintah terus menerus menambah komando militer dan polisi yang baru, melipatgandakan jumlah pos-pos militer terutama di sepanjang perbatasan dengan Papua New Guinea, memperbanyak jumlah anggota di batalyon infantri yang sudah dibentuk sebelum UU Otsus diberlakukan, dan mendirikan batalyon-batalyon infantri yang baru di sejumlah daerah. Orang Papua merasakan dampaknya dari kehadiran pasukan non organik yang berlebihan dan sikap mereka yang arogan. Sikap arogansi aparat keamanan yang berlebihan terwujud dalam tindakan sewenang-wenang terhadap orang asli Papua yang masih dicurigai dan dipandang sebagai separatis oleh Pemerintah Indonesia. B2. Orang Papua Tidak Mempercayai Pemerintah Indonesia Orang Papua tahu bahwa sejumlah masalah yang dihadapinya sudah diakomodir dalam UU Otsus Papua. Masyarakat berasumsi bahwa apabila UU Otsus Papua ini dilaksanakan dengan baik, maka masalah-masalah tersebut akan terjawab dengan sendirinya. Diharapkan agar dengan implementasi UU Otsus Papua ini, tingkat kesejahteraan hidup orang asli Papua bakal semakin Lihat Ridwan Max Sijabat, Government Blamed for Stagnant Special Autnomy in Papua,

dalam Surat Kabar Harian The Jakarta Post, 29 Maret 2008. baik, rasa keadilannya terjawab, dan hak hidupnya dijamin. Dengan demikian bendera Bintang Kejora tidak dikibarkan dan tuntutan merdeka tidak terdengar lagi karena orang Papua merasakan manfaat dari implementasi UU Otsus. Kenyataannya adalah implementasi UU Otsus tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap hidup orang asli Papua. Maka ketidak percayaan orang Papua terhadap Pemerintah Indonesia semakin hari semakin tinggi. Ketidak percayaan ini sudah mulai diperlihatkan melalui beberapa cara. Sejak awal Maret 2008 orang Papua memunculkan tuntutan referendum untuk menentukan status dan masa depan dari Tanah Papua. Tuntutan ini dimunculkan terutama dari kalangan pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Pemuda Mahasiswa Papua (FPMP). Suatu referendum dituntut karena, menurut FPMP, pemerintah gagal melaksanakan UU Otsus Papua. Bentuk ketidak percayaan terhadap pemerintah ini juga diungkapkan melalui ramainya pengibaran bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua dalam 2008, seperti yang terjadi di Timika 23 September, di Wamena tanggal 9 Agustus, di Fak-fak Juli 2008, di Manokwari dan di Jayapura 1 Juli 2008. Baik tuntutan referendum maupun pengibaran bendera Bintang Kejora, terjadi karena pemerintah gagal menyelesaikan melalui implementasi UU Otsus Papua masalahmasalah yang mendorong munculnya tuntutan merdeka. Apabila semakin banyak orang Papua menyadari akan kegagalan implementasi UU Otsus Papua ini dan dampaknya bagi hidup dan masa depannya, maka semakin banyak orang yang akan menyuarakan tuntutan referendum dan semakin banyak terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora. Otomatis semakin banyak orang Papua yang mempertanyakan manfaat dari menjadi warga negara Indonesia dan semakin banyak orang yang bergabung menyuarakan tuntutan kemerdekaan. Tuntutan referendum dan pengibaran Bintang Kejora merupakan tanda yang secara jelas memperlihatkan kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan UU Otsus Papua. Kegagalan pemerintah melaksanakan UU Otsus Papua memperkuat separatisme di Papua. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia dapat dipandang sebagai pihak yang memicu dan menyebabkan semakin kuatnya separatisme di Papua25. Konsekwensi lain dari kegagalan implementasi UU Otsus ini, menurut pendapat penulis, adalah munculnya ketidak percayaan terhadap pemerintah dari sebagian komunitas internasional. Sekalipun belum ada negara asing yang secara jelas mengatakan ketidak percayaan ini, saya melihat sekalipun tafsiran bisa salah adanya tanda dari munculnya ketidak percayaan ini. Misalnya, surat dari dua anggota Kongres Amerika yakni Eni Faleomavaega dan Donald Payne, tertanggal 5 Maret 2008, yang dikirim kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah mereka mengunjungi Papua. Mereka secara tegas mengungkapkan kekecewaannya terhadap buruknya implementasi UU Otsus Papua, We are also disappointed that your government has not made substantial proggressoin implementing special autonomy26. Setelah itu, 40 orang anggota Kongres Amerika mengirim surat kepada Presiden Yudhoyono guna membebaskan dua tahanan politik orang Papua yakni Filep Karma dan Yusak Pakage27. Surat ini memperlihatkan adanya pelanggaran terhadap hak dan kebebasan berekspresi dari setiap orang di Papua, sekalipun UU Otsus Papua sudah diberlakukan. Yang lebih menghebohkan lagi adalah diloloskannya House Approriation Bill HR 2601, 1 Juni 2005 yang memuat tuntutan Kongres Amerika kepada Menteri Luar Negeri untuk mengevaluasi implementasi UU Otsus di Papua dan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang dilaksanakan di Papua tahun 1969.

Rancangan HR 2601 masih berlaku hingga kini, sekalipun belum dibahas di tingkat Senat. Apabila ada pihak yang mendesak secara kuat maka HR 2601 bisa saja disahkan oleh Kongres Amerika. Sekalipun Barak Hussein Obama yang mempunyai hubungan yang unik dengn Indonesia telah menjadi Presiden Amerika, menurut pendapat, Indonesia tidak mempunyai jaminan bahwa konflik Papua tidak akan mendapatkan perhatian yang cukup kuat baik dalam Kongres maupun pemerintah Amerika. Pihak berwenang di Indonesia selama ini menanggapi pemberontakan bersenjata tingkat rendah yang telah lama berlangsung di Papua dengan melakukan militerisasi di wilayah tersebut dan seringkali mengeluarkan respon yang sangat keras dan tidak seimbang terhadap perbedaan pandangan atau kritik. Selama hampir tigapuluh tahun, sejak 1969, ketika wilayah tersebut masih tergabung secara resmi sebagai bagian dari Indonesia, hingga Oktober 1998, lima bulan setelah jatuhnya mantan Presiden Soeharto, Papua secara resmi ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Di bawah status DOM, yang diberlakukan di Papua jauh lebih lama dibandingkan dengan di tempat-tempat lain di Indonesia, pasukan keamanan memperoleh kekuasaan bebas untuk memerangi perlawanan terhadap undang-undang Indonesia. Seperti yang didokumentasikan oleh Human Rights Watch dan pihak-pihak lain, berbagai operasi penumpasan pemberontakan yang dilakukan pemerintah selama periode di atas mentargetkan tidak hanya kelompok-kelompok bersenjata melainkan juga kelompok-kelompok oposisi sipil, seluruhnya dengan impunitas yang nyaris penuh. Akibatnya, gerakan kemerdekaan dipaksa untuk berlangsung di bawah tanah, kelompok-kelompok lokal melaporkan terjadinya berbagai kekejaman, dan rasa takut ada dimana-mana. Seperti halnya di tempat-tempat lain di Indonesia, warga sipil menderita secara berlebihan selama berlangsungnya operasi militer28. Jumlah korban yang berasal dari warga sipil tidak diketahui; tidak pernah ada penyelidikan independen dan menyeluruh yang dilakukan. Pada akhir 1999, direktur ELSHAM mengatakan kepada sebuah surat kabar bahwa ELSHAM memiliki dokumentasi mengenai 921 kematian yang diakibatkan oleh operasi-operasi militer di berbagai daerah di Irian Jaya antara tahun 1965 dan 199929. Banyak orang Papua yang meyakini bahwa jumlah yang sebenarnya setidaknya beberapa kali dari angka yang disebut tadi. Upaya-upaya penumpasan pemberontakan dan rasa takut yang diakibatkannya juga diyakini telah berulangkali menyebabkan ribuan orang meninggalkan desadesa mereka dan, karena kondisi lingkungan yang berat di sebagian besar Papua, hal tersebut juga dilaporkan telah menyebabkan beberapa kejadian di mana sejumlah besar rakyat meninggal karena penyakit, kekurangan gizi, atau kelaparan. Penangkapan terhadap aktifis-aktifis politik dan para pemimpin oposisi selama era Soeharto di Indonesia terdokumentasikan dengan baik. Soeharto dan pasukan militernya menjalankan sistem negara kepolisian di mana tangan-tangan mereka mencapai hampir seluruh pulau dan seluruh desa di kepulauan Indonesia. Para jurnalis seringkali ditangkap dan berbagai majalah dilarang peredarannya. Membuat pernyataan yang dianggap menghina presiden merupakan tindakan melanggar hukum dan berbagai batasan hukum dikenakan terhadap kebebasan mengeluarkan pikiran. Tuntutan rakyat Papua saat ini sendiri antara lain berakar dari kekejaman militer di masa lampau dan kecurigaan yang telah tertanam di mana-mana. Dukungan terhadap kemerdekaan juga dipancing oleh hilangnya tanah warisan leluhur karena berbagai proyek pembangunan dan

masuknya pendatang dari wilayah lain di Indonesia dalam rangka mencari pekerjaan dan lahan. Populasi pendatang yang besar-pendatang merupakan mayoritas penduduk di banyak kota besar dan kecil di sepanjang pantai-telah menyebabkan berbagai ketegangan karena populasi yang terus tumbuh bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang jumlahnya hanya sedikit. Banyak orang Papua yang merasa mengalami diskriminasi dan di-marjinal-kan di tanah papua. Hanya ada sedikit tindakan yang diambil oleh pemerintahan-pemerintahan pasca-Soeharto untuk menangani pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lampau maupun saat ini. Hal ini memberikan dampak yang penting kepada sentimen masyarakat terhadap Jakarta, karena banyak kekejaman yang terlanjur tertanam di dalam kesadaran publik. Kekejaman ini mencakup pembunuhan di luar hukum, penahanan semena-mena, dan penyiksaan pada saat penggerebekan polisi terhadap asrama mahasiswa di Abepura, Papua, pada bulan Desember 2000, serta selama berbagai operasi yang dijalankan oleh unit-unit pasukan Brimob (Brigade Mobil) di tahun 2001. Sikap resmi terhadap pembunuhan atas pemimpin kemerdekaan Papua yang terkenal,Theys Eluay, di tahun 2001 juga telah memperdalam sikap sinis yang ada. Pada tahun 2003 tujuh prajurit berpangkat rendah yang tergabung dalam pasukan khusus (Kopassus) diputuskan bersalah, bukan atas pembunuhan, tetapi atas perlakuan sewenang-wenang dan penganiayaan yang berakibat pada kematian Eluay. Hukuman terberat hanyalah tiga setengah tahun penjara. Kepala staf angkatan darat, Jendral Ryamizard Ryacudu, menyebut para prajurit tersebut pahlawan karena seorang "pemberontak" telah terbunuh. Tidak ada penyelidikan lebih jauh mengenai siapa yang memberikan perintah atau membiayai pembunuhan tersebut. Wilayah papua yang dimiliki Indonesia menempati setengah dari pulau New Guinea yang berada di bagian barat. Pada mulanya merupakan satu propinsi di dalam Republik Indonesia, kemudian di tahun 2003 wilayah tersebut secara kontroversial dibagi menjadi dua propinsi baru. Propinsi baru yang bernama Irian Jaya Barat kini menempati bagian barat wilayah semula dengan ibukota propinsi yang baru yaitu Manokwari. Propinsi baru yang berada di sebelah timur masih tetap disebut Papua, dengan ibukota propinsi tetap sama yaitu Jayapura. Berbagai rencana usulan pendirian propinsi ketiga yang diberi nama Irian Jaya Tengah telah ditunda. Untuk kepentingan laporan ini kami merujuk kepada kedua propinsi secara bersama-sama sebagai Papua. B.3. Isu Pelanggaran HAM Perlu kearifan semua pihak yang terkait dalam membahas masalah pelanggaran HAM ini. Muridan Widjoyo peneliti dari LIPI menekankan dua hal masalah pemahaman tentang siklus kekerasan di Papua dan pentingnya memahami pelaku kekerasan non-negara di Papua. Pertama, pemahaman tentang kualitas dan intensitas kekerasan di Papua lebih didominasi oleh mitos kekerasan yang ditandai dengan angka korban yang dibesar-besarkan,sehinga mendorong orang untuk mengangkat isu genosida. Para aktivis bahkan peneliti biasanya mengutip minimal 100.000 orang Papua sudah dibunuh dari 1963-2005.30 Angka ini, yang sebetulnya dianggap moderat tetapi mereka sendiri merasa sangat sulit dibuktikan. Kedua, kekerasan di Papua terus menerus berlangsung karena selain pelaku dari aktor negara, juga dari aktor non-negara. Keduanya perlu dipahami perannya secara kritis. Tidak hanya kekerasan aktor negara yang perlu dibahas, tetapi juga kekerasan aktor non-negara yang perlu ditanggapi.

Pelanggaran HAM di Papua semakin menjadi perhatian para aktivis LSM di dunia, terlebih diluncurkannya isu genosida dipraktekkan di Papua. Peter King, sebagai koordinator pengamat masalah Papua di Sydney University, mengklaim bahwa berbagai kejadian sejak berkuasanya Indonesia di Papua pada 1963 hingga sekarang ini menjadi bukti praktik genosida. Peter King menyebut contoh-contoh operasi militer yang diikuti dengan pembunuhan dalam skala besar, praktik rasisme dan diskriminasi yang memarjinalisasi orang Papua, serta transmigrasi dan migrasi spontan yang mengambil alih lahan, kesempatan kerja, dan sumber daya alam orang asli Papua, bahkan program Keluarga Berencana dan merebaknya HIV/AIDS di Papua juga dimasukkan sebagai bukti adanya genosida. Pendapat Peter King ini ditentang oleh Ed Aspinall, seorang ahli tentang gerakan mahasiswa Indonesia dan akhir-akhir ini banyak menulis tentang Aceh dan pengalaman penelitiannya di Indonesia jauh lebih banyak dan tidak terbatas di Papua saja. Dalam praktek genosida, salah satu syarat yang mutlak harus ada yaitu adanya keinginan atau niat. King dikritik telah menerima sepenuhnya pemahaman versi kalangan aktivis Papua merdeka sehingga gagal menempatkan masalah-masalah dan peristiwa di Papua di dalam konteks yang lebih luas. Aspinall mengingatkan bahwa jenis-jenis kekerasan seperti yang terjadi di Papua juga terjadi di daerah lainnya di Indonesia. Lalu, apakah kejadian di daerah lain itu dapat juga disebut sebagai bukti genocide. Belakangan diketahui bahwa, King hanya bersumber pada sumber data yang menyangkut intensitas dan ekstensitas kekerasan yang secara sepihak dikutipnya dari kalangan aktivis yang berkunjung ke Australia atau yang ditemuinya di Jakarta atau di tempat lain seperti Belanda. Peter King tidak pernah langsung berada di Papua untuk mengumpulkan data tersebut. Dan yang terpenting adalah, tuntutan keadilan HAM adalah milik semua insan manusia, siapapun dia tanpa terkecuali termasuk TNI/Polri. Dan setiap penuntutan keadilan atas pelanggaran HAM seyogyanya dilakukan atas dasar komitmen untuk menjamin tidak terjadi/terulang kembali pelanggaran yang pernah dilakukan. Bukan dijadikan komoditi untuk kepentingan politik apalagi memecah belah integritas bangsa. Seperti yang masyarakat ketahui, data-data dalam setiap laporan/informasi yang disampaikan oleh OPM memang jelas bertujuan untuk menjatuhkan kredibilitas RI di mata dunia Internasional sehingga sangat wajar apabila terlalu berlebihan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kondisi obyektif Papua dilihat dari perspektif sosial budaya dan sosial ekonomi; Papua dihuni oleh berbagai kelompok warga masyarakat dengan latar belakang berbeda-beda baik suku, agama, adat istiadat dan asal daerah. Secara umum terdapat dua kelompok warga masyarakat yaitu warga asli papua dan warga pendatang. Secara keseluruhan Penduduk Asli Papua berjumlah 250an suku dan warga pendatang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang datang dan menetap di Papua. Para pendatang umumnya berasal dari ; Jawa, Sunda, Sulawesi (Bugis dan Makasar), Button, dan Minahasa, Kalimantan, Bali, NTT dan NTB serta Medan dan Kalimantan. Masyarakat baik pendatang maupun lokal terpolarisasi dalam kehidupan kelompok etnis atau asal daerah masing-masing. Proses akulturasi terjadi di wilayah pantai utara dan pusatpusat kota, sedangkan penduduk asli papua yang hidup di wilayah-wilayah pinggiran dan pedalaman masih sangat kental dengan kehidupan adat istiadatnya masing-masing. Kondisi tersebut mempengaruhi pola pikir dan pola perilaku menghadapi perubahan zaman dan segala implikasinya terhadap kehidupannya. Masyarakat di pantai dan pusat-pusat kota lebih cepat melakukan adaptasi terhadap tuntutan perubahan, sementara masyarakat di wilayah pinggiran dan pedalaman sangat lambat beradaptasi dengan perubahan. Papua memiliki beragam kelompok

suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan ekonomi yang berbeda-beda , namun keretakan sosial yang terjadi antara kelompok masyarakat terutama antara kaum penduduk pendatang dan penduduk jarang terjadi baik sebelum implementasi Otonomi Khusus Papua maupun Pasca Otsus berjalan relativ lebih baik. Pengalaman konflik di papua umumnya terjadi yaitu konflik antar suku di kalangan-kalangan suku di wilayah pegunungan tengah yang mempunyai budaya perang suku. Sedangkan konflik antar suku atau kelompok. Kaum penduduk asli dan pendatang hampir tidak pernah terjadi permasalahn dan kalaupun ada sifatnya kasuistik, namun tidak meluas (eskalatif) dan pemicunya pun beragam seperti ; salah paham, pengaruh minum keras dan lain-lain. Konflik yang terjadi di Timika dua tahun lalu sifatnya kasuistik, namun bila dicermati banyak faktor turut mempengaruhi; diantaranya; faktor sosial ekonomi dan sosial budaya, dll. Konflik antar suku-suku dari wilayah pegunungan tengah seperti ; suku Nduga, Moni, Mee, Ngalum dan suku Amungme di areal wilayah PT Freeport terutama dipicu oleh motive ekonomi. Konflik terjadi antar berbagai kelompok suku yang berasal dari areal pertambangan dengan PT Freeport. Masyarakat merasa bahwa kehadiran PT Freeport mengeksploitasi hasil tambang di wilayah Tembaga Pura hingga melintasi wilayah pegunungan Tengah tidak berdampak terhadap perbaikan dan peningkatan kesejahteraan terhadap penduduk setempat. Konfik juga terjadi antara sesama kelompok suku dari wilayah pegunungan tengah. konflik antara suku tersebut umumnya dilatar eakangi faktor sosial budaya, seperti; pencaplokan wilayah ulayat, perbuatan asusila dan salah pengertian dalam pergaulan sosial, dan lain-lain. Kondisi kehidupan sosial kemasyarakatan di kota dan kampung-kampung relatif stabil dan aman. Konflik-konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan pendekatan tiga tungku yaitu adat, agama dan pemerintah. Hukum adat yang dipahami masyarakat dalam memahami persoalan konflik di wilayah Timika maupun pedalaman harus diselesaikan secara adat. Artinya bila ada korban di pihak lawan , maka pihak korban harus membalas nyawa dengan nyawa dan apabila telah disepakati untuk menyelesaikan konflik antara kelompok yang bertikai penyelesaiannya dilakukan dengan proses pembakaran batu dengan menyediakan sejumlah ekor Babi sebagai simbol perdamaian. Konsekuensi darai pemahaman masyarakat menghadapi konflik yang terjadi diantara masyarakat papua, maka proses penyelesaian konflik pun memakan waktu yang panjang. Pihak keamanan memainkan peran siginfikan sebagai mediator dan tetap menjaga agar konflik tidak ekskalatif. Pihak keamanan sangat memahami kondisi sosial budaya masyarakat setempat sehingga penyelesaian konflik menggunakan pendekatan sosial budaya. Konflik-konflik yang belakangan muncul dapat terselesaikan dengan baik walaupun memakan waktu yang panjang dan menarik bahwa proses penyelesaiannya tidak berakhir di meja hijau atau proses peradilan namun diselesaikan secara internal melalui pendekatan sosial budaya. Proses penyelesaian konflik cukup efektiv, namun sifatnya kuratif semata dalam menyelesaikan konflik yang belakangan ini terjadi di wilayah pegunungan tengah termasuk di areal PT Freeport atau Timika. Akar permasalahan konflik di wilayah pegunungan dan Timika oleh faktor ekonomi dan budaya. Konflik dengan latar belakang sosial budaya dapat diselesaikan dengan pendekatan yang sama, namun dalam perkembangan kehidupan modern dimana ekonomi kapitalis atau ekonomi market sangat memainkan peran, sementara masyarakat tetap terbelakang maka tidak mustahil konflik yang dilatari oleh motiv ekonomi yang berlabel kecemburuan sosial dapat saja terjadi yang bermuara kepada persoalan politik. Kenyataan di papua bahwa sektor informal maupun formal dalam seluruh aktivitas perekonomian dikuasai oleh kaum pendatang.

1 Sukidi, Resep Salah bagi Problem Papua, dalam http:/www.jil.org, diakses 8 Pebruari 2009
2 Papua Pos (Papos), Ada Kekecewaan di Papua, 12 Maret 2009 3 BPS Papua, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua Barat adalah 66,1. terendah dari IPM di seluruh Indonesia, BPS Papua, Jayapua, 2008, hal 24. 4 Isu Papua Jangan Sampai Terlambat Ditangani , Kompas, 29 Agustus 2005 5 Papua, Investasi meningkat tetap miskin dalam http://www.yipd.com, diakses 8 Pebruari 2010 6 Renstra Papua Barat, 2004 dalam LKPJ Gubenur Papua Barat. 7 Agus Bhakti, Menjawab Tantangan Papua Dalam Bingkai NKRI , Makalah dalam Seminar "Conflict, Violence, and Displacement in Papua" oleh (RSC) Oxford, 26 Oktober 2006. 8 Kotuwaiby Kudiaiboo, Mengabaikan makanan pokok lokal papua, dalam http:www.detik.com, diakses 8 Pebruari 2010. 9 SACHAR, Working Paper on the Right to Adequate Foods and Housing (1992). United Nations Document No. E/CN.4/Sub.2/1992/15. 10 "Otonomi Kusus Papua Dipaksakan Pusat, Cendrawasih Pos, 22 maret 2005,, hal 1. 11 LECKIE, Housing as a Need, Housing as a Right: International Human Rights Law and the Right to Adequate Housing. International Institute for Environment and Development, London, United Kingdom, 1992

12 Setneg, Undang Undang RI No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Sekretariat Negrara RI, 1999 13 Papua Pos, Wabah Diare serang Masyarakat, Kamis, 12 Maret 2009, hal 9. 14 HAM di Papua dalam http:/www.hampapua.com. Diakses 5 Desember 2009 15 Merintis Jalan Kultural bagi papua dalam http://www.ppi-india.org, diakses 1 Pebruari 2010 16 Upaya Penyelesaian Papua Temui Jalan Buntu dalam http://www. kompas.com, Senin, 20 Oktober 2008 17 Budiardjo C. Liong L.S, Mengenai Operasi militer yang dilaksanakan sebelum tahun 1990, lihat., West Papua: The Obliteration of a People, Tapol: London, 1988, hal 77-92. 18 Wasior, Amnesty International, Grave Human Rights Violations in Wasior, Papua, Amnesty International, London 2002. 19 Widiyanti A., Warga Papua Laporkan Kekerasan Oleh TNI ke Komnas HAM, dalam Detikcom. 22 November, 2004. 20 Otonomi Khusus Papua Gagal, Harian Sinar Harapan, 26 November 2008. hal 8 21 BPS Papua, , Papua dalam Angka. BPS: Jayapura, 2003

22 Odeodata H Julia, Gubernur Papua: 72 Persen Penduduk Papua Miskin, Sinar Harapan, 2 Februari 2007. hal 12.

23 Otonomi Khusus Papua Gagal, Harian Sinar Harapan, 26 November 2008. hal 4
24 Implementasi Otsus Papua Kacau Balau, Harian Bintang Papua, 19 November 2008, hal 3 25 Lihat The Jakarta Post.com, 4 Maret 2008. 26 Media Release, House Foreign Affairs Subcommittee Chairmen Call upon Indonesia to end Unreasonable Restrictions on International Acces to West Papua. 10 Maret 2008 27 Lihat surat dari 40 Anggota Kongres Amerika Serikat Kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tertanggal 29 Juli 2008. 28 Human Rights Watch, "Death in Custody Increases Fear in Papua," New York, 17 April 2003; Human Rights Watch, "Investigate Death of Papuan Leader," New York, 11 November 2001; Human Rights Watch, "Violence and Political Impasse in Papua," New York, Vol. 13, No. 2 (C) 1 Juli 2001; Human Rights Watch, "Human Rights and Pro-Independence Actions in Papua," New York, 1999-2000, Vol. 12, No.2 (C); Human Rights Watch, "Human Rights and Pro-Independence Actions in Irian Jaya," New York, 28 Desember 1998, Vol. 10, No. 8 (C). 29 "Menghitung Korban, Menarik Dukungan," Tekad No. 5/Tahun II, 29 November 5 Desember 1999 30 Muridan Widjoyo, Kekerasan di Papua, Konflik yang tak Pernah Berakhir, Penelitian LIPI Tahun 2004

BELUM TERPENUHINYA KEBUTUHAN DASAR RAKYAT PAPUA DAN TERBENTUKNYA INTERNATIONAL PERLEMENTARIANS FOR WEST PAPUA (IPWP)

1. Kebutuhan Dasar Rakyat Yang Belum Terpenuhi Manusia sebagai mahluk sosial, akan tergantung satu sama lain. Baik itu antar manusia, dengan lingkungan maupun dengan negara. Untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Papua selama ini tidak dapat menikmati kebutuhan dasarnya secara utuh. Kebutuhan yang terbagi beberapa tingkatan, pada dasarnya manusia hanya membutuhkan dua kebutuhan utama sebagai kebutuhan dasar mempertahankan hidup. Kebutuhan masyarakat Papua selama ini kurang dapat dipenuhi oleh pemerintah disebabkan luasnya medan papua, kondisi geografis dan sulitnya medan dalam menjangkau masyarakat dianggap sebagai alasan yang kurang berdasar sebagai negara walfere state. 1. Kebutuhan Sandang, Pangan, Papan

Sandang, pangan, papan adalah kata yang sering kita dengar dalam kehdiupan kita sehari-hari, karena ketiga hal tersebut memang merupakan kebutuhan dasar manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Warga Papua dan Papua Barat selama ini merasakan bahwa selama ini mereka serasa tinggal jauh di pelosok sehingga tidak terjangkau akan hal-hal yang sangat mendasar seperti makanan yang bergizi dan tempat tinggal yang layak. Masyarakat Papua merasakan selama ini merasa bahwa bumi dan kekayaan alam Papua sangat kaya namun hasil pembagunan yang dilaksakan belum menyentuh pada rakyat secara langsung. Masih rendahnya kualitas pendidikan ,pelayanan kesehatan dan kesejahteraan sebagai kebutuhan dasar merupakan salah satu bentuk kekecewaan yang terjadi. Kekecewaan juga timbul karena pemerintah kurang merespon tuntutan masyarakat tersebut. Sebahagian kebutuhan dasar memang sudah terpenuhi seperti kebutuhan sandang dan pangan yang merupakan kebutuhan primer (dapat dilihat pada tabel 3.3 dan 3.4). Namun kebutuhan sosial yang lain di atas belum dapat memenuhi. Hal ini memicu beberapa tokoh dan aktivis Papua untuk melakukan perlawanan tetepi tidak dilakukan secara bersenjata namun melalui aksi damai melalui forum Internasional hingga mereka membentuj IPWP di luar negeri. Berikut dapat dilihat tabel yang menyatakan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan : Tabel 4.1. Perbandingan Jumlah Sekolah dan Siswa di Papua

SD Jumlah Sekolah Jumlah Siswa/Mahasiswa Tidak Bersekolah 840 92.156 12.441

SMP 581 48.856 11.293

SMA 375 42.172 10.116 18 5.447 -

PT

Sumber : Dinas Pendidikan Papua, 2009 dslam http:www.papua.go.id

Tabel 4.2 Pelayanan Kesehatan di Papua

Jumlah Puskesmas Balai Pengobatan Rumah Sakit Jumlah Pasien tertangani 316 112 62 16.452

Sumber : Dinas Kesehatan Prop. Papua, 2009 dalam http:www.papua.go.id

Kebutuhan dasar manusia tersebut mau tidak mau harus dapat terpenuhi, karenanya pemerintah harus memperhatikan saudara-saudara kita tersebut sama dengan warga negara Indonesia di wilayah lainnya di tanah air. Untuk itu kebutuhan mendasar yang harus segera dipenuhi terhadap masyarakat papua adalah kebutuhan dasar makanan, tentunya makanan yang bergizi dan perumahan yang layak dan beradab. Kelaparan di Kabupaten Yahukimo Papua Barat yang telah menewaskan 154 orang, tokoh papua menuding bahwa Pemerintah RI harus bertanggung-jawab atas kasus kelaparan di Yahukimo ini, Pemerintah juga mengatakan pangdam dan jajaranya di Papua tidak mempolitisir kasus Kelaparan ini lalu mendatangkan militer yang lebih banyak di daerah Papua, karena masyarakat disana tidak membutuhkan mereka (militer) tetapi makanan yang saat ini masyarakat Yahukimo butuhkan adalah makanan yang bergizi. Dewan Adat Papua mengecam kelambanan pemerintah dalam menangani kasus kelaparan ini dan mengatakan rakyat Papua Barat mati karena kelaparan itu tidak masuk akal sehat, sebenarnya pemerintah Jakarta maupun Daerah secara gentlement akui bahwa mereka tidak mampu lagi merubah taraf hidup masyarakat Papua pada umumnya, Otononimi khusus walau sudah ditolak rakyat Papua namun tetap dipaksakan, apa buktinya? 154 orang telah mati diatas otonomi khusus, ini bukti bahwa sebenarnya pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak mencintai rakyat Papua tetapi lebih mencintai kekayaan alam saja, untuk itu tokoh masyarakat Papua mendesak pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk segera mengadakan Dialog yang luas bersama Organisasi Papua Merdeka dan rakyat Papua Barat guna mencari solusi atas semua permasalahan yang ada di Papua khususnya Papua Barat.1 Berdasarkan Hasil Lokakarya Evaluasi Bidang Prasarana, Ekonomi Kerakyatan, Sosial Budaya, Pendidikan dan Kesehatan Dalam Rangka Pelaksanaan Otsus Tahun 2006 Di Kabupaten Manokwari, yang berlangsung pada tanggal 8-12 Januari 2007, Otonomi Khusus yang bertujuan untuk merubah kehidupan masyarakat Papua dianggap Gagal. Hal ini nampak pada belum atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat pada bidang prasarana, ekonomi, sosial budaya,

pendidikan dan kesehatan yang seharusnya dijamin dan dipenuhi dengan pelaksanaan Otonomi Khusus.2 Yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi kebutuhan dasar masyarakat Papua adalah Pertama, pemerintah harus tetap menjaga kebutuhan dasar di masyarakat tetap stabil. Selanjutnya, pemerintah harus lebih pro aktif menjaga kemungkinan-kemungkinan tangantangan tidak bertanggung jawab seperti para spekulan nakal. Para spekulan nakal yang sering menggunakan logika ambil untung sebesar-besarnya dari ketidakpastian pasar harus di jerat dengan peraturan dan sanksi yang berat. Kedua, pemerintah sejak dari sekarang harus memikirkan cara penanggulangan kemungkinan masalah yang tepat bila timbul masalah nantinya. Sejak dulu makanan pokok penduduk Papua adalah sagu atau keladi dan umbi-umbian. Bercermin diri dari gonta-ganti bahan makanan pokok penduduk Papua, sagu-beras-sagu, dan seterusnya adalah potret pembangunan yang biasa, pembangunan yang bertumpu pada kebijakan dari atas (top-down), bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat (bottom up). Karena, arah pembangunan itu terkesan dipaksanakan, bukan berdasarkan kearifan lokal, pendekatan budaya, kultur atau pendekatan lainnya yg memuliakan manusia. Maka, tidak heran, sehebat apapun konsep agribisnis di atas kertas, di lapangan pasti akan mengalami kegagalan. Karena, pembangunan itu tidak melibatkan masyarakat. Karena tidak melalui pendekatan budaya, kultur dan nilai-nilai yang dianut oleh penduduk, dan oleh masyarakat setempat. Masyarakat Papua harus bisa belajar dari berbagai masalah dan problematika kompleks pembangunan yangg memang semakin carut-marut, apalagi dibumbui dengan intrik-intrik atau isu-isu politik yg berbau sara maka; masyarakat akan mengalami kegagalan yg sama dengan kawan-kawan Papua di masa lalu. Kawan-kawan Papua telah bangkit dan dengan santun dan cerdas. Dengan kondisi seperi kebutuhan dasar yang belum terpenuhi dan bagi masyarakat Papua, maka sebahagia aktivis mencoba mencari dukungan internasional. Sebenarnya tujuan awal mereka hanya menyampaikan tuntutan agar di Papua terjadi pembangunan yang seimbang,tetepi nampaknya hal ini kurang di dengar oleh pemerintah. Para aktivis seperti Wenda lari ke luar negeri untuk mencari dukungan Internasional bagi terbentuknya negara papua merdeka. Mereka kemudian melobi beberapa tokoh parlemen dan para senator dari berbagai negara untuk mendeklarasikan International Perlementarians For West Papua IPWP. 2. Kebutuhan Keamanan Tujuan Papua Merdeka, sebuah Papua Barat yang mandiri, mendorong gelombang protes dan pengibaran bendera yang melanda kota-kota di kawasan itu pada pertengahan tahun 1998. Pengibaran bendera Papua Barat di Biak, Manokwari, Sorong, dan Jayapura menyusul tumbangnya Suharto pada Bulan Mei dan menandai gelombang baru optimisme bahwa pendudukan brutal Jakarta terhadap Papua Barat akan berakhir. Tanggapan militer adalah dengan lebih banyak kekejaman, sehingga menambah daftar panjang tindakan-tindakan yang tidak terbayangkan terhadap penduduk asli wilayah itu selama tiga

dekade terakhir. Di Biak, kota pulau di lepas pantai Papua Barat, sejumlah orang yang tidak diketahui jumlahnya dibunuh secara masal setelah pemberontak penaikan bendera selama lima hari pada Bulan Juni 2003. Ratusan orang terluka ketika tentara melepas tembakan tanpa peringatan dalam penggrebekan subuh hari terhadap para pengunjuk rasa yang sedang tidur. Laporan-laporan saksi mata dan penyidikan untuk mengungkap skala kekejaman mendokumentasikan bahwa orang-orang lain ditangkap dalam pencarian dari rumah ke rumah, para wanita diperkosa di belakang truk tentrara dan makin banyak orang, termasuk anak-anak, yang dibawa ke kapal angkatan laut untuk dibuang di tengah laut. Ketika jenasah-jenasah itu hanyut ke pantai, tentara mengatakan mereka adalah korban-korban bencana Tsunami di negara tetangga Papua Nugini. Jenasah-jenasah itu segera dimakamkan dan tidak dilaksanakan otopsi yang tepat. Bagaimanapun laporan-laporan mengindikasikan bahwa setidaknya sebagian dari jenasah itu adalah orang setempat. Perlakuan keras berlangsung atas semua orang yang melawan kependudukan Indonesia di Papua Barat. Pada Bulan Oktober 2003 pengadilan atas empat orang yang terlibat dalam pengibaran bendera dimulai dan akan lebih banyak pengadilan setelah unjuk rasa pengibaran bendera di Manokwari yang terjadi pada bulan yang sama. Para kriminal itu termasuk orang yang sematamata ingin membahas status politik Papua Barat. Masih pada Bulan Oktober 2003, delapan orang yang terlibat dalam persiapan sebuah diskusi dua hari ditangkap.3 Mereka termasuk seorang pemimpin senior suku dari Sentani, Theys H Eluay, yang merupakan pemimpin Komite Kemerdekaan Papua Nugini yang baru dibentuk. Theys H Eluay sebelumnya bekerja di pemerintah daerah propinsi dan baru saja diangkat menjadi Ketua Lembaga Adat Masyarakat Irian Jaya. Jabatan itu kini sudah dicabut oleh Gubernur Freddy Numberi. Pendekatan keamanan adalan sebuah pendekatan yang melihat segala persoalan yang terjadi di tengah masyarakat sebagai persoalan keamanan, sehingga harus diselesaikan dengan melalui penegakan keamanan. Padahal tidak semua persoalan di masyarakat tersebut sebagai persoalan keamanan. Karena bisa saja akar persoalannya bersumber pada persoalan ekonomi atau politik. Dalam satu daerah yang terus-menerus bergolak seperti Papua, pendekatan keamanan menempatkan aktor keamanan terutama militer, sebagai aktor utama untuk penyelesaiannya. Maka kemudian dikirimlah sejumlah pasukan ke wilayah bergolak tersebut. Lebih lanjut, pola inilah yang berlaku di Papua. Dalam perkembangannya, kehadiran militer memang semakin terasa hampir di semua wilayah Papua. Militer bukan hanya dekat tetapi sudah berada di tengah masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dalam dua hal; Pertama, terjadinya pengiriman pasukan TNI dari luar Papua (non-organik) untuk menambah jumlah pasukan yang sudah ada sebelumnya. Sejak awal 2006 misalnya, upaya pengiriman ini begitu intensif dilakukan oleh Mabes TNI. Pada bulan April 2006 tercatat ada empat kali pengiriman satuan TNI non-organik secara besar-besaran ke Papua dengan alasan untuk menumpas gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).4 Pada saat yang sama, militer berusaha untuk mengubah citra mereka di Papua Barat, dari penindas Hak Asasi Manusia menjadi penjaga perdamaian. Status Papua Barat sebagai Daerah Operasi Militer DOM dicabut pada Bulan Oktober dan gencatan senjata antara tentara Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka dinyatakan di salah satu kawasan di sana. Menurut Panglima Daerah Militer Mayor Jenderal Amir Sembiring, pasukan akan ditarik secara bertahap, sementara

yang lainnya akan dikirim untuk bekerja dalam program pembangunan perkampungan. Namun langkah-langkah ini tidaklah menjanjikan seperti namanya: di Aceh status DOM sudah dicabut dan penarikan mundur tentara diumumkan namun malah terjadi peningkatan tajam dalam kekejaman serta lebih banyak lagi tentara yang dikerahkan secara diam-diam. Di Papua Barat status DOM sudah diganti dengan status lain yang masih memungkinkan tentara untuk ditempatkan di lokasi-lokasi yang rawan. Tentunya sulit bagi orang-orang di Biak dan di desadesa pegunungan yang sudah diratakan oleh tentara dalam operasi pembersihan melawan OPM untuk menghapus kenangan bangsa papua dan kemudian sekarang melihat tentara sebagai penjaga perdamaian. Adalah kota yang sama yang mengalami trauma, Biak, yang dipilih oleh pemerintah sebagai tempat Dialog nasional tentang Papua Barat yang direncanakan awal tahun 2006. Ini mungkin bukan suatu kebetulan. Pembicaraan itu merupakan tanggapan pemerintah terhadap kekacauan politik, suatu tawaran damai bagi penduduk yang sudah cukup ditindas oleh pasukan Indonesia dan sudah cukup mengalami diskriminasi oleh birokrasi Indonesia. Kenapa tidak memilih Biak, yang menjadi lokasi terjadinya pembunuhan masal terburuk tahun lalu sebagai tempat untuk mencoba dan memulai sekali lagi? Bagaimanapun alasan praktisnya lebih banyak : Biak memiliki jumlah kamar hotel yang banyak untuk menampung delegasi-delegasi (banyak diantara kamar-kamar ini berada di kompleks wisata yang gagal di pulau Biak). Yang lebih menarik, Habibie ingin menggabungkan kunjungannya dengan peresmian proyek pembangunan. Hal ini , memberi kesan bahwa Dialog Nasional bukan merupakan pritoritas utama bagi pemerintah, walaupun seharusnya begitu. Di balik seluruh kemeriahan itu, kecil kemungkinan untuk menerima kalau Dialog Nasional akan menghasilkan sesuatu yang memuaskan kebutuhan mendesak bagi perubahan mendasar orangorang Papua Barat yang sudah lama menderita. Presiden Habibie, Gubernur Freddy Numberi dan pihak militer semuanya menegaskan kalau Kemerdekaan tidak masuk dalam agenda. Para komandan militer di beberapa daerah sudah memperingatkan bahwa siapapun yang bertindak menentang Indonesia akan diburu dan dihukum tegas. Seorang bekas pemimpin OPM Marianus Wanggai, yang sekarang diyakini dekat dengan militer sudah meminta agar orang-orang Papua mengabaikan gagasan kemerdekaan. Kata yang didengung-dengungkan pemerintah adalah otonomisasi. Pilihan lain yang harus dibahas, kata para penentang OPM adalah federasi dengan Indonesia dan kemerdekaan. Orang-orang Papua Barat kini berada dalam posisi yang aneh karena tidak diijinkan membahas dua gagasan terakhir dan khususnya Merdeka karena jika melakukan hal itu berarti subversif (dan itulah sebabnya pemimpin Papua Barat Theys H Eluay dan pemimpin lainnya ditangkap). Pada saat yang sama mereka seharusnya berusaha untuk menemukan cara pemecahan atas masalah-masalah tanah papua. Penanganan secara represif terhadap berbagai gejolak yang timbul di satu daerah sudah bukan saatnya lagi. Karena hal ini justru akan membuat kondisi yang semakin tidak kondusif bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat. Diperlukan sebuah pendekatan yang tidak bisa dikatakan baru lagi terhadap gejolak-gejolak yang timbul di Papua secara persuasif. Sebab bagaimanapun juga, suatu saat pelanggaran terhadap HAM yang seringkali terjadi dan seakanakan diabaikan di daerah ini justru akan menjadi bumerang bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri. Solusi mengatasi krisis Papua haruslah dimulai dari dalam negeri sendiri, ditopang dengan diplomasi luar negeri kita yang efektif dan memadai. Spirit dan pengalaman historis dalam

"diplomasi perjuangan" pada awal kemerdekaan, bisa menjadi sumber inspirasi. Penyelesaian menyeluruh, detail dan tuntas untuk selamanya (once and for all) atas masalah Papua harus dicapai oleh pemerintah bekerja sama dengan civil society di Tanah Air. Kini sejarah menanti penyelesaian kompleksitas masalah Papua secara tuntas.

2. Kebutuhan Untuk Pembentukan International Perlementarians For West Papua (IPWP) Tanggal 1 Desember 2008, IPWP akan dideklarasikan. Oleh karenanya, 1 akan menjadi faktor terpenting bagi kebangkitan gerakan dalam negeri, Papua Barat. Guna memantapkan pressure internasional ke PBB, suhu politik di Papua Barat harus kita ganti kedalam kondisi aslinya, yaitu Kondisi Darurat. Hari yang sama, seluruh wilayah Papua Barat harus mendeklarasikan Wilayah kita sebagai Tanah Darurat, atau Papua Zona Darurat. Solidaritas Internasional dalam masalah HAM semakin tinggi. Di Vanuatu didukung oleh Pemerintah dan Rakyatnya. Di Inggris, setelah diluncurkan Parlement Internasional untuk Papua Barat, IPWP terus menggalang solidaritas parlement dari berbagai negara lain guna mendorong resolusi-resolusinya. IPWP harus didorong oleh gerakan rakyat Papua Barat agar pressure ke PBB menjadi tajam. Kedutaan Besar Republik Indonesia di London mengharapkan masyarakat di Indonesia, khususnya di Propinsi Papua dan Papua Barat, tidak terpancing dengan upaya distorsi kegiatan kelompok pro-kemerdekaan di Inggris yang tidak ada artinya secara politik. Hal itu disampaikan Counsellor for Cultural and Public Diplomacy Kedutaan Besar Republik Indonesia London Herry Sudradjat pada ANTARA di Jakarta, Kamis sehubungan dengan kelompok prokemerdekaan Papua, FWPC (Free West Papua Campaign), di Inggris meluncurkan International Parliamentarians for West Papua (IPWP). Herry Sudradjat mengatakan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) London menilai kegiatan itu merupakan upaya-upaya dari beberapa kalangan untuk memancing dan mendorong gerakan-gerakan pro-kemerdekaan yang berdampak negatif kepada Indonesia. Menurut Herry Sudradjat, dari informasi yang dikumpulkan pada tanggal 15 Oktober pukul 3 sore, sekitar 50 orang berkumpul secara tertutup di salah satu ruangan di Parlemen Inggris. Para delegasi mengklaim kelompok pro-kemerdekaan Papua Inggris merupakan peluncuran international parliamentarians for west papua (IPWP) merupakan upaya untuk membesar-besarkan kegiatan. Anggota parlemen dari luar Inggris yang hadir dua orang yaitu masing-masing anggota Parlemen dari Papua New Guinea dan Vanuatu. Sementara anggota Parlemen Inggris yang hadir adalah tiga anggota yang selama ini dikenal pendukung pro-kemerdekaan Papua. Kegiatan di dalam gedung Parlemen tidak mendapatkan perhatian dari anggota Parlemen yang lain, kalangan media maupun publik dan tidak masuk dalam agenda kegiatan House of Common dan tidak tercatat dalam pengumuman di loby gedung Parlemen. Selain itu kegiatan demonstrasi dengan menyanyi dan menari yang dilakukan sebelum dan setelah acara kegiatan di luar gedung parlemen Inggris (parliament square) kurang mendapatkan perhatian dari publik.

Konflik vertikal, seperti pemerintah versus rakyat Papua yang terdiri dari dua bagian yaitu, kebijakan pemerintah versus aspirasi akyat Papua, TNI/POLRI versus rakyat Papua. Sedangkan konfilk horisontal, rakyat versus rakyat yang terbagi dalam tiga bagian yaitu; rakyat pendukung aspirasi Merdeka versus rakyat pendukung aspirasi Otonomi/Pemekaran Propinsi. Penggunaan pendekatan keamanan tentu bukan pilihan tepat dalam menangani atau menyelesaikan tipologi konflik seperti itu. Sebab, model pendekatan inilah yang mendorong terjadinya siklus kekerasan dan bencana kemanusiaan yang tidak pernah berakhir. Pasca Aceh berhasil mencapai tahap perdamaian dan memberikan sebuah harapan baru bagi masyarakatnya, semestinya pola pendekatan keamanan sudah harus ditanggalkan. Konflik bukannya berakhir tetapi semakin berakar kuat karena aktor-aktornya bergenerasi. Selain itu, penggunaan pendekatan ini juga berdampak pada terjadinya tragedi kemanusiaan. Fakta menunjukan penggunaan bahwa pendekatan keamanan di Papua tidak lebih hanya menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di berbagai tempat. Masyarakat kerap menjadi sasaran ancaman dan tindakan kekerasan oleh prajurit TNI. Dalam kasus masa lalu mislanya, terjadi kasus pembunuhan terhadap Theys Hiyo Eluay Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) oleh Kopassus Tribuana.5 Sementara hingga sekarang ini, kasus-kasus seperti ancaman pembunuhan, teror, dan kekerasan juga masih banyak terjadi. Dengan terus diintensifkannya pendekatan keamanan, potensi pelanggaran hak asasi manusia akan semakin besar terjadi di Papua. Saat ini yang harus dilakukan harus belajar dari kesahalan masa lalu dan capaian perdamaian yang sekarang ini sudah berjalan di Aceh. Berlanjutnya pendekatan keamanan atas Papua mencerminkan kalau pemerintah lebih tunduk pada keinginan militer dalam penyelesaian kasus konflik meskipun biaya yang harus dikeluarkan sangat mahal, seperti pemenuhan anggaran bagi TNI dan dampak kemanusiaan. Semestinya pemerintah untuk melihat bagaimana persoalan Papua secara sebenarnya. Terjadinya gerakan perjuangan yang diimplementasikan dalam berbagai bentuk oleh masyarakat seharusnya itu dipandang sebagai bentuk koreksi atas kebijakan pemerintah terhadap Papua selama ini. Dalam konteks ini, pemerintah harus menyadari bahwa gejolak di Papua adalah akibat kekeliruan dalam kebijakan yang dibuatnya. Sebab, yang selama ini terjadi Papua adalah ketidakadilan dan peminggiran hak-hak dasar hampir di semua ruang kehidupan masyarakatnya. Yang menjadi kebutuhan saat ini bagaimana pemerintah bisa mendengarkan dan mengakomodasi suara-suara masyarakat Papua. Adanya kepentingan negara untuk menjaga keutuhan NKRI tidak lantas menjadi dasar mengebiri kepentingan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan sebuah pendekatan yang konstruktif dan lebih beradab sehingga tujuan menyelesaikan persoalan Papua dalam kerangka menjamin terpenuhinya kepentingan masyarakat Papua bisa tercapai. Pendekatan keamanan yang sekarang ini sedang berjalan tidak lebih hanya akan mengakibatkan konflik semakin jauh dari upaya penyelesaian. Pendekatan yang konstruktif dan lebih beradab ini menempatkan individu warga negara sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Sebab, hanya dengan cara inilah setiap individu warga dapat menjadi manusia seutuhnya. Sebuah jalan untuk

menuju tersebut adalah menggunakan mekanisme dialog yang dilakukan secara terbuka antara negara dengan warganya. Jalan ini mengedepankan komunikasi terbuka yang melandaskan pada kejujuran dan keinginan untuk menyelesaikan persoalan Papua dalam kerangka keberpihakan pada masyarakat Papua. Bukan pemilik modal ataupun militer. Jika dibandingkan pendekatan keamanan yang menggelar pasukan militer secara besar-besaran, jalan dialog ini tidak membutuhkan pengeluaran biaya yang sangat besar. Sebab, yang dibutuhkan dalam pendekatan ini adalah komitmen dan konsistensi pemerintah untuk menjalankannya. Lebih lanjut, dialog tersebut harus melibatkan semua elemen yang ada di Papua tanpa terkecuali. Kendati demikian, satu syarat sebelum menempuh jalan tersebut pemerintah harus membatasi gelar dan aktivitas militer di Papua, yang diwujudkan dengan menarik semua aparat keamanan non-organik dari Papua. Untuk menyelesaikan masalah Papua Barat, setiap orang harus memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar. Masalah Papua harus ditinjau dari segi empiris selain ditinjau dari segi kemauan politik rakyat Papua ke depan. Misi IPWP tiada lain kecuali mengangkat masalah Papua di fora internasional. Meski tidak mewakili negara ataupun parlemen suatu negara, namun sepak-terjang IPWP tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab IPWP bisa menjadi kekuatan penekan agar digelar referendum di Papua, penarikan pasukan TNI dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua di bawah pengawasan PBB.6 Berkaitan dengan perihal diatas, kami memberitahukan bahwa, pada tanggal 19 November 2008 telah terbentuk Komite Nasional Papua Barat sebagai Panitia penyelenggara perayaan 1 Desember 2008, yang bertempat di gedung Aula STT. Walter Pos, Pos 7, Sentani, Papua Barat dan dihadiri oleh aktivis gerakan Pemuda/Mahasiswa dan Masyarakat. Komite terbentuk untuk memoderasi dan mengorganisir aktivitas perayaan di seluruh wilayah Papua Barat dan di luar Papua dimana basis rakyat Papua Barat berada. Komite ini terbuka dan tidak terikat dalam akar faksional, sehingga harus didorong oleh seluruh organisasi gerakan dan faksi yang berada di setiap basis wilayah. Selanjutnya, Komite Nasional Papua Barat mendorong terbentuknya Komite Wilayah agar mengorganisir seluruh komponen perjuangan, baik di tingkatan Pemuda/Mahasiswa maupun masyarakat bersama-sama menyukseskan perayaan 1 Desember 2008. 1. Pernyataan Sikap Gerakan Komando Papua Merdeka Target dari Gerakan komando Papua Merdeka dalam pernyataan Politik 1 Desember 2008 adalah Persoalan penyelesaian status politik adalah aktivitas gerakan moral bersama rakyat Papua Barat untuk mendudukan persoalan yang sudah jelas ada. Indonesia masih belum mengambil kemauan politik untuk menyelesaian konflik politik itu. Resolusi dari Pembentukan Parlement Internasional untuk Papua Barat (IPWP) di Inggris harus didorong oleh gerakan rakyat Papua Barat bagi terjadinya intervensi internasional, dalam hal ini PBB, guna meninjau kembali PEPERA yang cacat hukum dan moral.

Tanggal 1 Desember 2008, haruslah menjadi momen penguatan gerakan aksi massa di seluruh wilayah Papua Barat. 1 Desember 2008 harus menjadi awal kebangkitan nasional Papua Barat. Kita harus mempunyai komitmen untuk mengakhiri penindasan dari penjajah yang maha dasyat ini. Komitmen itu harus diwujudkan dalam kesadaran nasionalisme untuk terlibat aktif dalam kerja-kerja bersama.7 Kami mengharapkan kerja sama menyukseskan agenda ini. Oleh karenanya, kami membentuk struktur hingga ke basis massa yang paling kecil dengan tugas pokok mengkoordinir massa, menjadi agen informasih dan memobilisasi massa menuju aksi-aksi rakyat Papua Barat kedepan. Demikian surat pemberitahuan ini kami buat, atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih. Berdoa, Berfikir dan Bergerak Setiap Waktu, Memperjuangkan Cita Mulia: Bebas Dari Penindasan. Tanggal 1 Desember 2008 : Deklarasi Papua Zona Darurat Thema Papua zona damai yang diusung dalam perjuangan pembebasan nasional Papua Barat telah menjadi kover yang mencengkram hak hidup rakyat Papua Barat. Gerakan Komando Papua melegalkan penjajah dengan leluasa melakukan praktek-praktek penjajahan dalam wilayah yang damai itu. Pengalaman perjuangan damai justru menunjukan peningkatan dan penyuburan bagi ekspansi penjajah di Papua Barat. Bila direnungkan, damai hanya menjadi yel-yel penghibur duka lara. Damai justru membunuh jiwa revolusi anak negeri yang sisa-sisa ini. Tanggal 1 Desember 2008 harus direnungi oleh rakyat Papua Barat bahwa kita sedang mengalami kondisi penindasan yang maha dasyat, dan tanpa kita sadari kita menuju jurang kehancuran. Otonomi Khusus sekalipun dipaksakan oleh elit-elit borjuasi lokal, namun tetap saja tidak bergigi. Kasus HIV/AIDS justru meningkat. Dua topik itu menjadi perhatian alot kedua petinggi Pemda Prov. Papua, Barnabas Suebu dan Abraham Atururi dari Provinsi Boneka, Irian Jaya Barat dalam pertemuan di Jayapura. Militer Indonesia semakin aktif melebarkan basis-basisnya. Pendropan baik organik maupun non-organik ke Papua Barat semakin hari semakin bertambah. Hampir setiap kapal penumpang tujuan Papua di penuhi militer dan migrant dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Pemekaran daerah yang cacat secara hukum dan moral adat semakin banyak dan justru membuka pintu bagi mereka menguasai sendi-sendi kehidupan. Rakyat Papua menjadi penontong dan dalam tidak kuasa, masyarakat menuju kepunahan. Propaganda media penjajah melalui harian surat kabar, TV dan Radio terus menerus memprovokasi dan mendidik rakyat Papua Barat untuk tetap patuh terhadap penguasa yang bejat ini. Perdana Menteri Inggris Malloch-Brown menyatakan bahwa pemerintah Inggris tidak merencanakan untuk mengangkat masalah Papua di forum Dewan Keamanan PBB. Pemerintah Inggris menghormati integritas teritorial Indonesia dan tidak mendukung kemerdekaan Papua. Inggris percaya bahwa pelaksanaan UU Otonomi Khusus secara penuh adalah jalan terbaik untuk penyelesaian masalah perbedaan internal dan stabilitas jangka panjang Papua secara berkelanjutan. Jalan terbaik untuk mengurai isu Papua yang kompleks adalah dengan mempromosikan dialog damai antara kelompok-kelompok Papua dengan pemerintah Indonesia.

Pemerintah Inggris mengakui bahwa terdapat banyak perdebatan tentang apakah pada Pepera 1969 orang Papua membuat keputusan secara obyektif dan secara bebas menurut keinginan masyarakat. Meskipun demikian, kata Malloc-Brown, hasil Pepera 1969 sudah diterima oleh PBB pada saat itu dan sejak itu tidak ada lagi keraguan internasional bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Dalam bidang HAM, Inggris sudah mencantumkannya di laporan HAM Kementerian Luar Negeri dan pemerintah mengangkatnya melalui kedutaan Inggris di Jakarta. Meskipun demikian pemerintah Inggris melihat bahwa skala pelanggaran tersebut masih relatif kecil dan tidak bisa menjadi alasan utama (untuk kemerdekaan Papua). Kedua, karena pemerintah Inggris tidak menerima kemerdekaan Papua, maka Inggris tidak menganggapnya pantas untuk mengangkat isu Papua di Dewan Keamanan atau Sidang Umum. Kekecewaan pemerintah Inggris terhadap pemerintah Indonesia adalah bahwa pelaksanaan UU Otsus tidak mengalami kemajuan akibat pertentangan antara pemerintah dengan kelompok lokal Papua. Meskipun demikian, Inggris percaya bahwa pemerintah Indonesia di bawah Susilo Bambang Yudhoyono lebih menghormati HAM daripada Rezim sebelumnya. Para pejabat di Kedutaan Inggris di Jakarta telah mengunjungi Papua secara berkala dan menemui pejabat lokal, akademisi, wartawan dan LSM, dan hasilnya pemerintah Inggris menyampaikan keprihatinannya kepada pemerintah Indonesia. Campur tangan asing. Selama tidak ada dukungan persenjataan, finansial, dan organisasi luar, ini hanya sementara, ungkap Juwono saat memberikan keterangan pers di Dephan, Jakarta Pusat, kemarin.8 Juwono menjelaskan, insiden seperti pengibaran bendera itu rutin terjadi pada saat-saat tertentu seperti hari ulang tahun (HUT) OPM, GAM, dan sebagainya. Juwono menilai hal itu sebagai upaya untuk menarik perhatian pemerintah pusat. Juwono meminta aparat keamanan di daerah sebaiknya menggunakan pendekatan persuasif. Sebelumnya, Juru Bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah menyatakan, Pemerintah Indonesia tidak perlu menanggapi pertemuan antara West For Papua, LSM Papua di London, dengan perwakilan parlemen Inggris dalam forum Interparliamentary For West Papua. Menurutnya, agenda tersebut tidak signifikan oleh sebagian besar parlemen Inggris yang mendukung Indonesia dan simpatisan pendukung NKRI9. Disebut tidak signifikan karena faktor kehadiran anggota Parlemen Inggris hanya dua orang. Sedangkan jumlah keseluruhan anggota House of Chamber terdiri atas 746 anggota House of Lord dan 646 House of Common. Sebagian besar anggota parlemen Inggris justru mengatakan Indonesia tidak perlu risau dengan kedatangan mereka dan aktivitas LSM tersebut di London.10 Menanggapi pernyataan Deplu RI, Sekjen Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB), A. Tabi, mengatakan,;Ini bukan masalah signifikan atau tidak, tetapi masalahnya mengapa Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatakan tidak signifikan.11 Sebaiknya kan NKRI tidak mengatakan apa-apa. Menurut Tabi, kini perjuangan menuju kemerdekaan Papua Barat sudah “go international. Sebab, kelompok lobi dan kampanye Papua Merdeka tidak diukur dari statusnya dalam negara, tetapi dampak dari kampanyenya.; Tidak dilarang dan tidak terdaftar, apa untung-ruginya sepanjang kampanye tetap berjalan sebagaimana diharapkan.

2. Peluncuran Internasional Parlementarian Untuk Papua Barat (IPWP) Pada tanggal 15 Oktober 2008 pukul 15.00 - 16.30 waktu Inggris bertempat di Comittee Room 13 Gedung Utama Houses of Parliament Inggris telah diluncurkan secara resmi Kelompok Parlemen Internasional untuk Papua Barat oleh Ketua All Party Parliamentary Group for West Papua Inggris Tuan Rt Hon Andrew Smith MP dan Wakil Ketua Tuan Lord Harries of Pentregarth, Sekretaris Lord Avebury. Peluncuran Parlemen Internasional untuk Papua Barat ini dihadiri oleh Hon Moana Carcasses Kalosil MP mewakili Parlemen Vanuatu, Tuan Benny Wenda, Pemimpin Papua Merdeka di Kerajaan Inggris Raya. Acara ini disaksikan secara langsung oleh perwakilan Rakyat Papua Barat dari negeri Belanda. Ibu Melinda Janki (Ahli Hukum HAM internasional) merupakan pembicara utama yang mempresentasikan sebuah paper dengan judul 'West Papua's Legal Right to Self Determination.12 Fenomena pembentukan IPWP di gedung parlemen Inggris adalah keberhasilan kampanye kelompok Papua Merdeka di Oxford yang terdiri dua pemain inti yakni eksil politik asal Wamena Benny Wenda dan seorang Pendeta Inggris Richard Samuelson. Benny dan Richard berhasil meyakinkan sejumlah aktivis LSM di Inggris dan di Belanda untuk mendukung kampanye mereka. Usaha keras mereka berhasil setidaknya meyakinkan dua anggota parlemen Inggris Lord Harries of Pentregarth MP dan Hon. Andrew Smith MP dan mendatangkan masingmasing seorang anggota parlemen Vanuatu dan Papua Nugini. Seorang bekas anggota IPET juga hadir di situ. Dari sisi jaringan gerakan, Benny berhasil membangun pengaruh di kalangan aktivis asal pegunungan di Papua dan di Jawa. Demo pendukung IPWP sebanyak 700-an orang di Jayapura pada 16 Oktober 2008 yang dipimpin Buktar Tabuni, Dominggu Rumaropen dan kawan-kawan menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat di antara kelompok Inggris dengan kelompok Jayapura (Papua). Yang menarik, Benny dan jaringannya berhasil membangkitkan harapan tinggi dan eforia massa terhadap kemerdekaan Papua. Banyak anak muda Papua percaya bahwa IPWP hari itu mendeklarasikan kemerdekaan Papua. Oleh karena itu dalam sebuah wawancara Sekjen PDP Thaha Alhamid perlu menglarifikasi bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menggalang dukungan internasional dan bukan hari kemerdekaan Papua. Ada kesan bahwa Benny dan kawan-kawan membesar-besarkan signifikansi politik IPWP. Keberhasilan kampanye kelompok Benny tampak pula dari reaksi pemerintah Indonesia. Tidak kurang dari Duta Besar Indonesia untuk Inggris Yuri Thamrin dan sejumlah petinggi Indonesia di Jakarta memberikan pernyataan bahwa IPWP tidak signifikan secara politik karena tidak mencerminkan sikap pemerintah Inggris. Terlebih lagi, petinggi polisi dari Mabes Polri juga menyatakan bahwa Benny Wenda adalah kriminal yang melarikan diri dari penjara. Pernyataan yang dimuat di berbagai media massa itu justru menunjukkan bahwa kampanye IPWP telah berhasil membuat stabilitas Papua terganggu dan dengan sendirinya pemerintah Indonesia juga merasa terganggu. Terasa sekali bahwa counter pihak pemerintah Indonesia reaktif dan tidak berhasil membangun simpati publik internasional. Tidak banyak orang tahu bahwa Benny sangat kecewa dengan pemerintah Inggris. Hal ini terlihat dari suratnya kepada PM Inggris Gordon Brown tertanggal 5 Mei 2008. Benny Wenda mengklaim telah berkeliling Inggris dan mendapatkan dukungan rakyat Inggris. Tetapi menurut

Benny Wenda pemerintah mengabaikan dukungan rakyatnya. Singkatnya, Benny tidak melihat sedikit pun tanda bahwa pemerintah Inggris memberikan dukungan pada gerakan Papua Merdeka. Sangat wajar bahwa Benny Wenda kecewa dengan sikap dan pandangan resmi pemerintah Inggris. Sikap pemerintah Inggris itu jelas terlihat di dalam notulensi percakapan di House of Lords antara Menteri Persemakmuran Malloch-Brown dengan beberapa anggota parlemen mengenai isu Papua pada 13 November 2007. Isu Papua itu sendiri pada saat itu diangkat oleh Lord Harries of Pentregarth yang juga kemudian menjadi anggota IPWP. Berdasarkan investigasi, aksi segelintir kelompok ekstrim pimpinan Benny Wenda telah mengadakan kegiatan di London dengan tema International Parliamentarians for West Papua (IPWP) pada 15 Oktober 2008. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 3 anggota Parlemen Inggris, 1 anggota Parlemen Papua New Guinea (PNG), 1 anggota Parlemen Vanuatu dan 30 simpatisan separatis. Kegiatan yang tidak didaftarkan tersebut (kegiatan non formal), disebutnya sebagai gerakan internasional, sama sekali tidak menarik perhatian publik. Para annggota parlemen yang menghadiri kegiatan tersebut tentunya masyarakat dunia yang masih menutup mata dengan perkembangan demokrasi di Indonesia dan perkembangan otonomi khusus yang sudah diterima luas oleh masyarakat Papua. WPP (World Parliamant Papua) kali ini menurunkan hasil investigasi dari mereka-mereka yang hadir utamanya dari Inggris (anggota parlemen Andrew Smith, pendeta L. Harrys dan anggota parlemen Lembit Opik) dan bahayanya pemikiran mereka. Andrews Smith adalah anggota parlemen partai Labour dari Oxford East sampai sekarang. Andrew adalah seorang City Councillor di Blackbird Leys sebelum terpilih menjadi anggota parlemen dan mengepalai Committee hubungan rasial, pariwisata dan perencanaan local. Ia juga aktif di Amnesty Internasional khususnya HAM di China. Partainya Labour adalah partai demokratik sosialis. Namun partai ini sejak pertengahan 1980an, dibawah kepemimpinan Neil Kinnock, John Smith, dan Tony Blair, disebut-sebut sebagai Third Way (more centrist) yang mengadopsi pasar bebas. Dan terkait hal ini, para pengamat lebih menyebutnya sebagai partai Sosial demokratik (left atau center left) atau bahkan neo-liberal. Ia menikah dengan Val dengan satu anak perempuan dan satu cucu. Lord Harrys, Harrys dikenal dengan aliran liberal, menentang Section 38 UU Pemerintah Lokal Inggris yang melarang mempublikasikan homoseksual. Ia dikenal sejalan dengan pendeta controversial pro-gay Jeffry John yang mendapat pertetangan keras dari seluruh dunia, mengingat bertambahnya penderita AIDS di Inggris yang diyakini karena tindakan kaum gay dan biseksual. Tentunya, jika ide mereka diterapkan di Papua, yang bersama dunia internasional justru sedang berjuang memerangi AIDS, adalah counter produktif sebab hanya akan mendukung berkembangnya penyakit AIDS tersebut. Lembik Opik, sedangkan Lembik Opik, lahir 2 Maret 1965 dan anggota parlemen partai Liberal Demokrat dari Montgomery Shire sejak tahun 1997, dikenal sebagai seorang flamboyan. Setelah putus dari pacarnya Sean Lloyd ia kemudian bergandengan dengan penyanyi Romania Gabriele Irimia. Sebagai seorang yang ingin mencari perhatian, ia pernah tampil di Who Wants to be Milionare dan mendapatkan US$ 64.000.13 Pengetahuan tentang Papua adalah sangat diragukan sebab Lembik Opik lebih menekuni masalah komet dan kemungkinannya untuk menabrak bumi. Lord Harrys adalah pria kelahiran 2 Juni 1936, pensiunan bishop of Oxford (ke 41) di Church of England. Setelah pension dari tentara (perwira) Lord Harrys masuk ke sekolah Selwyn Colloge,

Cambrige hingga mendapat gelar master. Belakangan Lord Harrys masuk kembali ke tentara. Ia menjadi anggota pendiri Abrahamic Group yang meliputi tiga agama Islam, Kristen, dan Yahudi. Pada 2001 Lord Harrys memperoleh gelar Doktor of the University dari Oxford Brookes University. Sementara itu, Jeremy Corbyn adalah pria kelahiran Wiltshire, 26 Mey 1949 ini adalah aktifis partai buruh anggota parlemen Islington North. Ia juga anggota Amnesty Internasional. Kenyataan terlibatnya para tokoh Inggris tersebut utamanya Pendeta Lord Harriys dalam International Parliementarians for West Papua hanyalah untuk mencari popularitas mengingat idenya (Jerry John) yang tidak popular atau mendapat penolakan dari kelompok Kristen di Afrika dan Amerika Selatan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa mereka bukannya bermaksud menyelesaikan Papua, melainkan hanya akan menambah permasalahan baru. Yang menjadikan pertanyaan apakan mereka yang hadir (30 orang ) Papua memiliki ide yang sama dengan Jerry John. Perjuangan bangsa papua sebagai bangsa merdeka dan berdaulat masih tetap hidup dan gaungnya terus bergema dari luar negeri. Buktinya setelah pembentukan kaukus papua barat lewat Internasional Parliement West Papua (IPWP) yang diluncurkan di London, inggris pada 15 oktober 2008, kembali akan dideklarasikan Intenasional Lawyers for West Papua (ILWP) di amerika serikat. Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja Gererja Baptis Papua (BPP-PGBP) Bapak Dumma Socratez Sofyan Yoman dalam Rilisnya mengatakan, pemerintah Indonesia melalui Kekuasaan, kekuatan hukumnya, Kepolisian, Jaksa, dan Undang-undangnya boleh saja bersandiwara dengan orangpenduduk asli papua, pemilik dan ahli waris negeri dan tanah papua ini. Harapan dengan terbentuknya IPWP masyarakat Papua dan para tokoh masyarakat beserta aktivis di Papua berharap IPWP dapat memperjuangkan aspirasi mereka khususnya di kancah intenasional. Dengan begitu maka dunia internasional akan melihat apa yang sebenarnya dialami oleh bangsa papua di Negara Kesatuan Tepublik Indonesia masih jauh dari sejahtera. Disamping itu Pemerintah Pusat dapat lebih menerima segala bentuk aspirasi yang disampaikan kepada Pemerintah, baik itu dari tokoh dan para aktivis di Papua maupun masukan dari tokoh-tokoh IPWP, walaupun bukan berarti Papua harus merdeka secara mandiri.
1 Abdul Syakur Wahis, Belajar dari Bumi Papua : Potret Pembangunan Daerah di Kawasan Timur Indonesia, Selasa, 06 Oktober 2009 dalam http:/www.mediaonline.com, di akses 8 Pebruari 2010 2 Setelah 5 Tahun Berjalan, Otsus Dinilai Gagal, Foker LSM Papua.org, diakses 9 Juni 2009

3 Down to Earth No. 40, Februari 199 9(Jurnal Iinternasional), Papua Barat: Dialog Nasional - Apa Tujuannya.
4 Merubah Pendekatan Keamanan FokerLSM dalam http://www.papua.org, diakses 13 Sep 2009, 5 Tandef.net: Think & Act for National Defense 2008 dalam http:/www.tandef.net, di akses 8 Pebruari 2010 6 .A. Patty, 1994,Penduduk Papua Barat dan Pembangunan. Dalam http:/www.papualine.com, di akses 8 Pebruari 2010.

7 Victor F. Yeimo.Gerakan Komando Papua Merdeka, Port Numbay, 20 November 2008

8 Inggris kecam Indonesia, Setiawan Budi, Suara Pembaruan 2 Januari 2009, hal 1 9 http://web.pab-indonesia.com diakses 11 November, 2009 10 The Harlord Tribune (Newspaper), London, 1 st December 2008 11A Tabi, Sikap Tentara Revolusi Papua dalam http://www.kabarpapua.com, di akses 8 Pebruari 2010 12 International Parliamentarian for West Papua UK, Parlemen internasional untuk Papua Barat, Inggris 2008 dalam http://www.ipwp.org, di akses 8 Pebruari 2010. 13 International Parliamentarian for West Papua UK, Parlemen internasional untuk Papua Barat, Inggris 2008 dalam http://www.ipwp.org, di akses 8 Pebruari 2010.

KESIMPULAN Pemerintah Indonasia tidak ingin mimpi buruk terpecah belahnya Negara Kestuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi kenyataan. Kasus Timor Timur seharusnya bisa Pemerintah Indonasia jadikan pelajaran, sebuah contoh ketidak mampuan dalam mengatur wilayah yang termasuk dalam kedaulatannya dan kegagalan diplomasi di dunia internasional. Ancaman terbesar disintegrasi bangsa saat ini adalah permasalahan Papua. Namun, seringkali Pemerintah Indonasia mengabaikan perhatian atau kalau tidak ingin dikatakan demikian, perhatian yang diberikan tidak tertata dengan baik. Diplomasi internasional untuk meyakinkan dunia Internasional tentang status Papua harus terus dilaksanakan. Termasuk arus kepentingan yang masuk dan pembentukan opini yang kontra produktif harus dibendung dari mulai level lokal, nasional dan internasional. Dengan demikian, pembangunan Papua dalam kerangka otsus akan bisa dilaksanakan secara optimal. IPWP tidak menyinggung sama sekali tentang implementasi UU Otsus Papua sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah Papua. Sulit memprediksi dampak dari peluncuran IPWP ini. Pemerintah Indonesia tidak tahu apakah anggota parlemen dari negara-negara lain akan bergabung dalam IPWP. Pemerintah Indonesia hanya bisa berasumsi bahwa kepercayaan dan dukungan komunitas internasional terhadap Indonesia bisa saja berkurang setiap saat, sekalipun hal ini tidak selalu bisa ditafsirkan sebagai dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Fenomena pembentukan IPWP adalah keberhasilan kampanye kelompok Papua Merdeka di Oxford yang terdiri dua pemain inti yakni eksil politik asal Wamena Benny Wenda dan seorang Pendeta Inggris Richard Samuelson. Benny dan Richard berhasil meyakinkan sejumlah aktivis

LSM di Inggris dan di Belanda untuk mendukung kampanye mereka. Usaha keras mereka berhasil setidaknya meyakinkan dua anggota parlemen Inggris Lord Harries of Pentregarth MP dan Hon. Andrew Smith MP dan mendatangkan masing-masing seorang anggota parlemen Vanuatu dan Papua Nugini. Sejumlah petinggi Indonesia di Jakarta memberikan pernyataan bahwa IPWP tidak signifikan secara politik karena tidak mencerminkan sikap pemerintah Inggris. Terlebih lagi, petinggi polisi dari Mabes Polri juga menyatakan bahwa Benny Wenda adalah kriminal yang melarikan diri dari penjara. Pernyataan yang dimuat di berbagai media massa itu justru menunjukkan bahwa kampanye IPWP telah berhasil membuat stabilitas Papua terganggu dan dengan sendirinya pemerintah Indonesia juga merasa terganggu. Terasa sekali bahwa counter pihak pemerintah Indonesia reaktif dan tidak berhasil membangun simpati publik internasional Satu hal yang pasti, adalah bahwa perhatian dunia akan tertuju pada Papua. Konflik Papua akan menjadi fokus perhatian komunitas internasional karena setelah masalah Timor Timur diselesaikan melalui referendum, dan konflik Aceh sudah dituntaskan melalui perundingan damai (peace talk) maka Papua menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang melawan kekuasaan pemerintah Indonesia. Sebab itu, komunitas internasional akan memperhatikan bagaimana pemerintah menyelesaikan konflik Papua secara damai melalui dialog Pemerintah Indonasia yakini bahwa masalah Papua adalah masalah internal bangsa ini. Dari perspektif manapun, Papua tetap merupakan bagian integral yang sah dari NKRI. Marilah Pemerintah Indonasia sama-sama mendukung kemajuan Papua dalam kerangka Otsus sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari beberapa kesimpulan diatas dapat menjadikan solusi Pemerintah Indonesia untuk : Pertama: Jikalau melihat tingkat pencapaian yang berhasil dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu seeperti Benny Wenda dan kelompoknya, sehingga pada bulan Oktober tahun 2008 yang lalu semua dikagetkan oleh berita tentang peluncuran International Parlementarian for West Papua (IPWP) dilakukan di House of Commons, 15 Oktober 2008, di London dan pada bulan April 2009 juga dikagetkan dengan peluncuran International Lawyer for West Papua di South Amerika, 3-5 April lalu, seharusnya sudah menjadi warning tersendiri bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih serius terhadap masalah Papua. Kedua, dalam rangka mengambil hati orang Papua yang bisa dikatakan tidak sedikit yang telah hilang kepercayaannya, pemerintah perlu segera melakukan re-evaluasi terhadap keberadaan UU Otsus yang oleh banyak kalangan dikatakan telah gagal. Berbeda dengan keberadaan UU Pemeintahan Aceh, karena keterlibatan dan campur tangan dari pihak luar itu begitu jelas dan kental, sehingga hal ini secara tidak langsung membuat Pemerintah nampaknya dipaksa untuk segera mengimplementasikan hal-hal yang sudah diatur dalam UU tersebut. Ketiga, meskipun bisa dikatakan kecil, tetapi kekecewaan yang telah berurat berakar di kalangan generasi muda Papua sehingga tidak sedikit yang masih memiliki asa yang meskipun terpendam untuk merdeka itu perlu diresponi secara positif. Pemerintah Indonesia lupa bahwa mungkin saja kebakaran besar yang terjadi di Australia bulan September 2008 hanya disebabkan oleh sebuah

puntung rokok yang secara sengaja atau tidak telah dijatuhkan oleh seseorang. Untuk itu, sebelum gejolak ini terus berkepanjangan, perlu segera dicari solusinya. Dimana solusi yang bisa menjawab dan menjamin segala kerinduan orang Papua yang selama ini terabaikan. Karena bukan tidak mungkin, ketika hal ini diperhatikan secara serius. Maka tingkat kepercayaan rakyat Papua terhadap NKRI akan semakin bertumbuh. Karena selama ini, penyebab utama ketidakpuasan rakyat Papua terhadap NKRI karena segala kebijakan yang tidak pernah menjawab segala kerinduan orang Papua. Dan dimana orang Papua berada pada posisi yang dirugikan dan dikecewakan oleh segala kebijakan itu. Keempat, perlunya evaluasi menyeluruh terhadapa kinerja Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dikatakan hampir sebagian rakyat Papua bahwa bekerja setengah hati. Banyak pengamat baik dari LSM, bahkan aktivis sendiri menyatakan kekecewaana terhadap kinerja MRP yang kalang kabut, dimana Majelis Rakyat Papua mengatakan bahwa penyebab utama kegagalan MPR adalah intervensi menyeluruh yang dilakukan pemerintah pusat terhadap kinerja pemerintah. Hal ini juga menjadi peringatan penting untuk Pemerintah Indonesia, karena pemerintah sendiri yang telah membuat tingkat kepercayaan masyarakat Papua menurun. Dan ini perlu dikaji secara mendalam, kalau tetap mengigingkan rakya Papua berada dalam wilayah keutuhan NKRI. Otsus dan MRP yang dibentuk tidak pernah memberikan solusi kepada rakyat Papua, malahan menimbulkan gejolak yang mendalam. Kelima, perlu memberikan kepercayaan yang mendalam terhadap masyarakat Papua untuk memberdayakan tanah kelahirannya secara menyeluruh. Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua bukanlah jawaban semata wayang untuk menjawab hal itu, karena sampai sekarang banyak orang Papua yang harus merenung nasib, karena tidak pernah diberkan kepercayaan oleh pemerintah pusat melalui perpanjangan tangannya pemerintah daerah setempat.

Sumber: Alua, Agus, Mubes Papua 2000 Jalan Sejarah Jalan Kebenaran, Presidium Dewan Papua, Jayapura, 2002

__________, Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkauan suatu Ikhtisar Kronologis, Presidium Dewan Papua, Jayapura, 2006

Andriyanto, Tahana Taufiq, Mengapa Papua Bergolak, Gama Global Media, Yogyakarta, 2001

Antoh, Jemmy, Menggugat Implementasi Otsus Papua, Pusat Penkajian Pembangunan Papua, Sorong, 2008

BPS Papua Barat, Papua Barat Dalam Angka, BPS Papua: Jayapura, Tahun 2008

BPS Propinsi Papua Barat, Tingkat Kemiskinan di Papua Barat, Manokwari, Papua dalam Angka, BPS Papua: Jayapura 2006

Budiardjo C. Liong L.S, Mengenai Operasi militer yang dilaksanakan sebelum tahun 1990, lihat., West Papua: The Obliteration of a People, Tapol: London, 1988

Gitosudarmo, Indriyo, Prinsip Dasar Manajemen, Yogyakarta, BPFE, 1986

Hendrajit, Skenario di balik Papua Merdeka, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), 2008

Kambun, Hans Wim. Analisis Implementasi Pengelolaan Alokasi Dana Otonomi Khusus Di Provinsi Papua, Yogyakarta, Tesis, MAP UGM, 2004

Mangsang, John, Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007

Mulyana, Deddy, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2001

Radjab, Suryadi, Indonesia : Hilangnya Rasa Aman HAM dan Transisi Politik Indonesia, Jakarta, PBHI & The Asian Fondation, 2002

Raweyai, TH Yorrys, Mengapa Papua Ingin Merdeka, Jayapura, Presidium Dewan Papua, , 2002 Solossa, Jacobus Perviddya Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2002

Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1985

Simopiaref , Ottis, Dasar dasar Perjuangan Kemerdekaan Papua, Jayapura,Riot, 1951

Singarimbun, Masri, Metode Penelitian Survey , Jakarta, LP3ES,1989

Theo van den Broek ofm, Membangun Kapasitas Untuk Implementasi Otonomi Khusus Papua, Jakarta, CSIS, 2004.

Undang Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Penjelasan Ketentuan Umum, Jakarta, Cipta Umbara, 2005.

Wasior, Amnesty International, Grave Human Rights Violations in Wasior, Papua, Amnesty International, London 2002.

Wonda, Sendius, Tenggelamnya Rumpun Melanesia, Pertarungan Politik NKRI di Paua Barat, Abepura Jayapura, Deiyai Press, 2007

Yarborough, William P, The militer Demenstion: Low intensity Confilict, Washington, Brassseys, 2000

Jurnal :

"Assessment for Papuans in Indonesia," Minorities at Risk, 31 Desember 2003, http://www.cidcm.umd.edu/inscr/mar/assessment.asp?groupId=85005, diakses pada tanggal 2 Januari 2007

"AI Report 1997: Indonesia and East Timor," Amnesty Internasional, 1998, diakses pada tanggal 7 April 2005

"Dividing Papua: How not to do it," Asia Briefing Paper, Internasional Crisis Group, diakses pada tanggal 9 April 2003

"Geneva Appeal on West Papua: Papua Land of Peace," Faith Based Network on West Papua, diakses pada tanggal 7 April 2005

Human Rights Watch, "Death in Custody Increases Fear in Papua," New York, 17 April 2003

Human Rights Watch, Investigate Death of Papuan Leader, New York, 11 November 2001 Human Rights Watch, "Violence and Political Impasse in Papua," New York, Vol. 13, No. 2 (C) 1 Juli 2001

Human Rights Watch, "Human Rights and Pro-Independence Actions in Papua," New York, Vol. 12, No.2 (C), 1999-2000

Human Rights Watch, "Human Rights and Pro-Independence Actions in Irian Jaya," New York, Vol. 10, No. 8 (C), 28 Desember 1998

"Indonesia: Resources and Conflict in Papua," Internasional Crisis Group, diakses pada tanggal 7 April 2005

John Saltford, The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969, (UK: Routledge Curzon, 2003); P.J.Drooglever, Act of Free Choice: The Papuans of Western New Guinea and the limitations of the right to self-determination, Amsterdam, 2005.

"Menghitung Korban, Menarik Dukungan," Tekad, No. 5/Tahun II, 29 November 5 Desember 1999.

Media Release, House Foreign Affairs Subcommittee Chairmen Call upon Indonesia to end Unreasonable Restrictions on International Acces to West Papua. 10 Maret 2008

"OPM Information," Inside Indonesia, Digest 02, 30 Januari 1996, diakses pada tanggal 7 April 2005

"Papua: Land of Peace?" Franciscans Internasional, diakses pada tanggal 7 April 2005

" Papua: The Dangers of Shutting Down Dialogue," Asia Briefing Paper, Internasional Crisis Group, diakses pada tanggal 23 Maret 2006

Victor F. Yeimo Sekjen Gerakan Komando papua Merdeka Port Numbay, 20 November 2008

Surat Kabar :

Hasil IPWP London, Surat Kabar Harian Cenderawasih Pos, 22 Oktober 2008

Inggris kecam Indonesia, Surat Kabar Suara Pembaruan, 2 Januari 2009

Implementasi Otsus Papua Kacau Balau, Surat Kabar Harian Bintang Papua, 19 November 2008

Kasus Kerusuhan antar warga pendatang (transmigrasi) dengan masyarakat adat di Arso, Jayapura, Surat Kabar Cendrawasih Pos, 24 Oktober 2002

Otonomi Khusus Papua Gagal, Surat Kabar Harian Sinar Harapan, 26 November 2008

Odeodata H JULIA, Gubernur Papua: 72 Persen Penduduk Papua Miskin, Surat Kabar Harian Sinar Harapan, 2 Februari 2007

Surat dari 40 Anggota Kongres Amerika Serikat Kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tertanggal 29 Juli 2008.

Skenario di balik Papua Merdeka , Surat Kabar Kompas, 24 Januari 2008

Internet : Barry Goldman, 2008, US House of Representatives Report. Woshington DC : USHR Report dalam http://www.uspolitics.go.id, diakses pada 5 Desember 2009

HAM di Papua dalam http://www.hampapua.com. Diakses 5 Desember 2009

M. Rizai Maslan, "Putusan atas Pembunuhan Theys: Pandangan TNI," www.detik.com, diakses tanggal 23 April 2009

Orange:sk-venezia, dalam http://www.cultura21.net/dokuwiki/lib/exe/fetch.php, diakses tanggal 13 Maret 2009.

Papualine.com,Komisi I Kecam Asing yang Sponsori Papua Barat.htm, diakses 13 maret 2009.

Richard Samuelson, dari http://www.cultura21.net/dokuwiki/lib/exe/fetch.php/orange:skvenezia-.htm

Sumantri, Iwa, Kasus Papua, diplomasi internasional RI kurang, Dalam www.Suara Pembaruan Online, diakses 23 April 2009

The Jakarta Post.com, 4 Maret 2008.

http://web.pab-indonesia.com diakses 11 November, 2009

Wenda Mathias, Pemuda Papua maju terus, dalam Papua.startpagina.nl/ prikbord, diakses 23 April 2009

Widiyanti A., Warga Papua Laporkan Kekerasan Oleh TNI ke Komnas HAM, dalam Detikcom, 22 November 2004

You might also like