You are on page 1of 18

Naskah Akademik Ranperda Pasar Lokal Kota Makassar (1) 20th Agustus 2009KABAR LAINNYA NASKAH AKADEMIS PERLINDUNGAN

DAN PEMBERDAYAAN PASAR LOKAL DAN PENATAAN PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODEREN Dipersiapakan oleh: Active Society Institute (AcSI), Persaudaraan Pedagang Pasar Terong (SADAR), Dan Asosiasi Pedagang Kaki Lima (Aspek 5) Pasar Sentral Sebagai masukan untuk: Pemerintah Kota Makassar, Dewan Perwakilan Kota Makassar, Dalam menyusun Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Lokal danPenataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Moderen 2009 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar B. Konteks Makro dari Permasalahan C. Perkembangan Upaya Penanganan Permasalahan D. Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan BAB II PERMASALAHAN YANG HENDAK DITANGANI A. Hakikat dan Ruang Lingkup Permasalahan B. Pelaku dan Perilaku yang Bermasalah C. Dampak Sosial-Ekonomi dari Permasalahan D. Pengalaman Negara/Daerah Lain BAB III ANALISA ATAS PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH A. Pengantar B. Analisa atas Penyebab Perilaku 1. Pelaku Peran 2. Lembaga Pelaksana C. Kesimpulan Singkat BAB IV SOLUSI A. Alternatif-alternatif Solusi B. Solusi Pilihan

C. Analisa Biaya dan Manfaat D. Analisa Dampak Sosial 1. Kelompok marjinal (kaum miskin, wanita dan anak-anak, dan kelompok minoritas) 2. Isu-isu sosial (lingkungan hidup, hak asasi manusia, korupsi) BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Kesejahteraan rakyat adalah tujuan dari berfungsinya sebuah Negara. Tanpa tujuan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di dalamnya maka arah perkembangan suatu Negara dapat diprediksikan akan rentan disalahgunakan memonopoli oleh pihak-pihak untuk tertentu dirinya, yang bertujuan untuk kesejahteraan kelompoknya, ataupun

kalangan tertentu dalam jaringannya. Untuk itu, sebuah Negara yang di dalamnya pemerintah menjadi regulator memiliki peran sangat mendasar dalam menentukan arah kepemerintahan. Hal ini khususnya menghindari adanya celah bagi pihak lain atau bahkan aktor dalam pemerintahan sendiri untuk masuk dan menyalahgunakan peran yang dimilikinya.Bila hal ini terjadi maka, secara politik, Negara akan lemah karena intervensi kekuatan politik di luar dirinya yang melemahkan posisi Negara vis a vis dengan kekuatan lain di luar dirinya dan secara ekonomi kekuatan modal luar menggerogoti sumberdaya alam dan manusia yang dimiliki oleh Negara. Bila kekuatan ekonomi luar dan kekuatan pemerintah berkolaborasi untuk menggerogoti sumberdaya Negara yang seharusnya digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, maka terbentuklah sebuah negara bayangan (shadow state). Negara semacam ini tidak lagi berfungsi sebagai rumah bagi seluruh rakyat namun telah menjadi media bagi para pencari untung (rent seeker). Prinsip dari para pencari untung ini adalah minimize cost maximize utilities.

Sumberdaya ekonomi Negara adalah salah satu asset yang paling rentan digerogoti oleh aktor-aktor ini, apalagi dalam konteks era perdagangan bebas. Di era ini, berbagai level pengusaha mengambil manfaat dari ruang yang disediakan Negara untuk mencari keuntungan. Di dalamnya ada pelaku usaha mikro dan kecil dengan aneka usaha kecil yang mengisi apa yang disebut sektor informal dan pelaku usaha menengah dan besar yang mengisi sector formal. Dalam domain pasar bebas, lingkungan kompetisi yang sempurna dari setiap pelaku usaha dan tingginya kedaulatan pembeli/konsumen dapat menciptakan kestabilan harga dan kenyamanan dalam berusaha. Namun dalam kenyataannya, persaingan penuh (perfect competition) yang diharapkan terjadi tidak selamanya sejalan dengan harapan di atas. Bahkan kedaulatan pembelipun tidak seluruhnya tercipta begitu saja karena lemahnya akses konsumen untuk memantau aneka produksi yang dipasarkan. Akibatnya harga tidak stabil dan persaingan menjadi tidak sehat. Korban utama dalam lingkungan yang tidak adil ini adalah pelaku ekonomi kecil dan mikro atau sector informal. Untuk keluar dari dilema ini, maka sebuah aturan ketat dibutuhkan untuk menata agar kompetisi berlangsung secara adil dan bukan dalam bingkai kompetisi sempurna di mana semua pelaku dianggap setara untuk bertarung satu sama lain. Jelas dalam pemikiran ini, pelaku usaha kecil apalagi mikro tidak akan mungkin bersaing dengan pelaku usaha raksasa yang memiliki modal nyaris tanpa batas akibat kemudahan akses kepada pihak perbankan dan agunan yang beraneka ragam yang mereka miliki. Di sinilah peran sebuah Negara diharapkan hadir menyelamatkan relasi yang timpang dan menciptakan iklim usaha yang adil bagi keduanya. Sektor formal cukup penting untuk diperhatikan, namun sektor informal jauh lebih penting untuk diperhatikan karena daya serapnya yang sangat tinggi akan tenaga kerja yang tak mampu diserap oleh sektor formal. B. Konteks Makro dari Permasalahan

Tempat paling subur bagi pelaku usaha sektor informal adalah pasar lokal dan sepanjang badan jalan kota. Pelaku ini mengisi segala ruang informalitas kota di sana untuk menjajakan hasil produksi dari tanah di desa dan pabrik-pabrik di kota atau pinggir kota. Denyut nadi usaha ini sudah berdenyut sejak sebuah komunitas eksis dalam suatu ruang yang terisi baik oleh arus migrasi maupun arus pertumbuhan penduduk kota. Salah satu contoh dalam hal ini adalah sebuah pasar lokal di kota Makassar yakni pasar Terong. Pasar ini, sebelum mengalami revitalisasi tahap satu di era pemerintahan Daeng Patompo pada tahun 1972 menyusul tahap kedua di masa Malik B. Masri tahun 1994 adalah pasar rakyat. Pasar ini didirikan secara alamiah oleh rakyat berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat yang mulai ramai di awal tahun 1950an. Salah satu fackor pendorong (push factor) terjadinya migrasi dari desa adalah maraknya aksi gerombolan Qahhar Mudzakkar di desa dan daya tarik (pull factor) kota yang menyediakan lapangan kerja yang mudah. Contoh lain seperti pasar Cidu, yang hingga kini masih masih berfungsi sebagai area jual-beli bagi komunitas kampong Tabaringan dan sekitarnya jauh sebelum tahun 1950. Fungsi dasarnya tidak pernah terganggu, walau pada persoalan kebersihan dan drainase yang buruk tetap masih menjadi kelemahan pasar ini yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah. Pasar Cidu, bila dibentangkan hanya memiliki panjang kurang lebih seratus meter dengan bentuk huruf L. Selalu ramai sejak pukul 06.00 hingga pukul 12.00 siang dan akan berlanjut di jalan Tinumbu pada sore harinya khususnya bagi pembeli yang melintas sepulang kerja dari pelabuhan atau area industri di sekitarnya. Demikian pula pasar Kokolojia di kampong Kokolojia tepat di muka tempat atau Pasar Pelelangan Ikan Lelong jalan Rajawali telah melayani masyarakat di sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lahirnya pasar Terong berawal di awal tahun 1960 di mana masyarakat di sekitar Maccini dan Baraya yang menjadi area migrasi semakin padat

dan

pasar

Kalimbu

yang

berdiri

lebih

dulu

tidak

mampu

lagi

mengakomodir pembeli yang semakin padat. Dengan hadirnya pasar Terong dan banyak pasar lokal lainnya maka hiduplah ekonomi kota Makassar. Puluhan ribu pedagang kecil, mikro, dan aneka jasa lainnya terserap dengan mudah hingga di sektor ini walaupun mereka tidak berpendidikan formal. Di tahun 1980an 1990an logika ekonomi Negara adalah pertumbuhan (economic growth). Dalam teori ini, ekonomi diharapkan tumbuh pesat melalui perusahaan raksasa (konglomerat) yang mampu memainkan uang dalam jumlah besar dengan penghasilan atau keuntungan yang besar pula. Untuk mencapai hal itu, maka Negara bertindak sebagai penentu kebijakan yang memudahkan perusahaanperusahaan pilihan untuk meraup keuntungan. Dari keuntungan yang berhasil diraup itu lalu akan dikumpulkan oleh Negara dan diteteskan ke seluruh pihak yang bernaung di bawahnya dalam hal ini seluruh rakyat Indonesia di mana mayoritas mereka adalah pelaku ekonomi sektor informal. Efek ini, dalam teori ekonomi pertumbuhan adalah efek menetes atau trickle down effect. Menurut berbagai laporan ekonomi saat itu, baik dari IMF maupun World Bank, roda pertumbuhan Indonesia tumbuh dengan pesatnya bahkan mampu menembus angka 8 digit. Secara teori, efek menetes ini seharusnya terjadi, namun dalam kenyataannya, tidak terjadi! Pelaku usaha raksasa sebagai kroni Negara dan aktor pemerintah dalam hal ini rezim Orde Baru telah secara bersama menikmati keuntungan itu dan membatasi tetesan ke bawah dan dengan sendirinya meruntuhkan fondasi ekonomi Negara pada tahun 1996/1997 dan terus berlanjut yang menyebabkan penolakan rakyat kepada Soeharto sebagai presiden di tahun 1998. Krisis masih terus berlanjut dan pilihan model ekonomi kita belum lepas dari kerangka pasar bebas di mana peran Negara direduksi sedemikian rupa dalam ragam praktek deregulasi, privatisasi, dan hukum permintaan

dan penawaran yang tidak berjalan. Pilihan Negara ini buklan tanpa sebab, karena 3 poin kebijakan di atas adalah sebentuk pemaksaan dari aktor di luar Negara dalam hal ini World Bank dan IMF dan aktor ekonomi Negara lain yang sekian lama menyeret Indonesia ke dalam sistem ekonomi pertumbuhan yang sebenarnya membuat Negara sangat tergantung dari aspek financial yang berimplikasi pada politik. Sebenarnya, bila merujuk pada 3 model kebijakan di atas, Negara bukanlah kehilangan peran, namun keberpihakannya telah salah sasaran. Deregulasi dan privatisasi adalah sebentuk kebijakan yang menguntungkan pemodal besar. Awalnya mereka harus mengeluarkan anggaran untuk bekerja di Indonesia melalui ragam regulasi, kini mereka hampir tak perlu khawatir dengan bea masuk ke dalam negeri karena deregulasi. Dahulu mereka tak mampu menguasai asset publik, kini pergerakan mereka lebih longgar dalam mengelola asset tersebut melalui privatisasi. Dan yang lebih parah, Negara begitu percaya bahwa mekanisme penentuan harga akan berlaku sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, padahal dalam kenyataannya, pengusaha besar dapat semena-mena mempermainkan harga sembila bahan pokok di pusat perbelanjaan seperti Hypermarket, Supermarket, dan Mal sebagai penarik minat bagi konsumen dan mengancam banyak pedagang kecil di pasar lokal. Di akhir tahun 1990an dan sepanjang tahun 2000an, di kota Makassar, berbagai proyek revitalisasi beberapa pasar tradisional berlangsung. Beberapa contoh diantaranya adalah pasar Butung yang menjadi pusat grosir garmen, pasar Sentral yang beralih fungsi menjadi Makassar Mall, pasar Daya menjadi Pusat Niaga Daya, dan pasar Baru. Ke depan sedang direncanakan revitalisasi pasar Pabaeng-baeng dan pasar pasar Panampu. Tiga pasar hasil revitalisasi di atas, Butung, Sentral, dan Terong praktis mengalami kegagalan. Pasar Butung tak berfungsi di lantai 3 dan 4, lantai 2 kurang dari 50 % terisi. Nasib yang sama menimpa pasar Sentral yang menapikan pedagang di lantai dasar yang

tersiksa oleh kepengapan dan bau kurang sedap, serta drainase serta sanitasi yang buruk. Pasar Terong pun demikian, menyisakan persoalan kesemerawutan akibat kekecewaan yang mendalam atas tidak maksimalnya fungsi gedung baru bagi mereka, di mana pembeli malas masuk dan pedagang kehilangan kepraktisannya. Di saat yang sama, kebijakan pemerintah kota dari periode satu ke periode lainnya terus berpihak kepada pasar luar atau kerap disebut pasar moderen. Akibatnya pusat perbelanjaan dan aneka toko moderen mulai dari rumah toko hingga pusat pertokoan dan mal menjamur hingga mengurangi keindahan kota dan yang terparah mengurangi daya tarik pasar lokal yang tidak diperhatikan dengan baik. Konsumen menengah yang dulu memenuhi pasar Induk Terong, pasar penunjangseperti Pabaeng-baeng, Panampu, Sambung Jawa, dan Pusat Niaga Dayadan berbagai pasar lokal lain di Makassar, kini memilih beralih ke pasar luar. Aneka pasar luar atau moderen ini, semisal Carrefour, Hypermart, Diamond, Giant, dan lain-lain berhasil menawarkan bukan hanya kebutuhan sehari-hari, namun juga memadukan konsep rileksasi melalui aneka fasilitas hiburan dan jasa lainnya dalam satu area. Ditambah lagi berbagai fasilitas sekunder yang menjamin kebersihan lokasi, kenyamanan konsumen, dan gaya hidup. Di satu sisi, pasar lokal mengalami marginalisasi melalui ketidakberpihakan pemerintah kota dalam menjaga bahkan batas minimum sebuah pelayanan public, yakni kebersihan dan saluran air yang memadai bagi sebuah pasar lokal. Yang terjadi justru adalah aneka bentuk diskriminasi mulai dari penamaan seperti liar bagi pedagang dan pasar yang dianggap mengotori keindahan lokal kota. melalui Selain itu, mismanagement pengelolaan pasar dualisme

kepemimpinan di dalamnyaperusahaan daerah pasar Makassar Raya dan pengembangtelah mengacaukan nasib pedagang kecil yang tidak dapat masuk ke dalam gedung baru hasil revitalisasi. Belum lagi ketidakmampuan pemerintah menangani aktor-aktor lain di luar

ketentuan formal sepeti keberadaan preman, polisi, dan bahkan aparat militer yang bermain di pasar lokal. Semua ini harus dibenahi demi kepentingan pelaku di sektor informal. Sektor formal juga penting, namun sektor informal harus diutamakan. Dalam kajian Miftah Wirahadikusumah, bahkan disebutkan bahwa sektor informal dapat berfungsi sebagai katup pengaman atas konflik kapitalis dan borjuis dalam hubungan pemodal-pekerja di level industry kota (LIPI, 1997). Bahkan lebih jauh dari sekedar katup pengaman bagi relasi pekerja-pemodal, sektor informal juga mampu memberi peluang kerja yang jauh lebih lebar dari pada yang dapat ditampung oleh sektor informal. Untuk itu, keberpihakan Negara dalam hal ini pemerintah kota sangat dibutuhkan. Namun, berbeda dengan keberpihakan ala pemerintah Orde Baru, keberpihakan pemerintah harus ditarik untuk lebih melindungi pedagang kecil dan mikro serta eksistesi pasar lokal sebagai cirri khas kota Makassar melalui penerapan regulasi yang adil, perlakuan yang adil, dan pemberdayaan yang maksimal bagi mereka. Bagi pelaku ekonomi di level menengah, besar, dan raksasa, regulasi tetap akan mengatur mereka sesuai dengan kemampuan mereka dalam bersaing di dunia usaha yang adil dan fair. C. Perkembangan Upaya Penanganan Permasalahan Pada sebuah peta kota Makassar tahun 1955, hanya ada terlihat 5 pasar lokal, yakni pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Termasuk dua pasar pelelangan ikan, Gusung dan Kampung Baru. Jauh sebelum itu, di tahun 1917, sebuah photo tua memperlihatkan pasar Boetoeng diawal berdirinya. Pasar ini, begitu rapi dengan model hamparan yang hingga kini masih menjadi ciri khas dari banyak pasar lokal kita. Sebuah pasar yang telah didefinisikan oleh Negara sebagai pasar tradisional atau dengan kata lain sebagai pasar yang ketinggalan jaman. Di tahun yang sama, tepatnya 1 September 1917, sebuah peraturan tentang pasar dikeluarkan untuk menjamin tertatanya pasar ini

dengan baik. Surat edaran itu bernomor 15 dan yang menjadi pengesah surat itu adalah W. Fryling. Pokok pengaturannya adalah pendayagunaan lingkungan pasar dengan model penarikan retribusi. Retribusi dalam surat itu di tulis dengan bahasa lokal sussung pasara dengan pengawasan yang ketat dan penggunaan yang maksimal untuk berbagai kepentingan tata kelola pasar lokal. Di Indonesia, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Harian Kompas menunjukkan bahwa terdapat kurang lebih 13.450 pasar tradisional atau dalam konteks paper ini pasar lokal yang masih eksis yang menampung sekitar 12,6 juta pedagang (Kompas, 2006). Sementara di kota Makassar sendiri, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Active Society Institute (AcSI) sepanjang tahun 2008 jumlah pasar lokal sudah mencapai lebih 50 buah. 16 pasar diantaranya oleh pemerintah kota dikategorikan sebagai pasar tradisional Resmi dan 34 pasar atau selebihnya di cap sebagai pasar tradisional darurat atau liar, sebuah penamaan yang mendiskreditkan pedagang-pedagang kecil yang tidak tertib. Bahkan, hal yang menggelikan, dalam pasar ini dikenal juga kepala pasar darurat yang di SK-kan oleh direktur Perusda pasar Makassar Raya (AcSI, 2008). Meningkatnya pasar-pasar lokal ini, diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama, masyarakat kelas menengah ke bawah atau kecil membutuhkan akses pasar yang murah dan dekat. Hal ini ditandai oleh sejarah lahirnya pasar-pasar lokal di kota Makassar. Bila merujuk pada definisi pasar adalah adanya penjual lebih dari satu dan terjadi transaksi jual beli dengan konsumen juga lebih dari satu maka sebuah pasar sudah bisa disebut eksis. Kedua, meningkatnya migrasi dari desa-desa di Sulawesi Selatan ke kota akibat kekacauan yang berkepanjangan di desa-desa selama keberadaan kaum gerombolan Qahhar Mudzakkar, termasuk di dalamnya migrasi penduduk dari pulau Jawa dan Madura, Flores, Bima, dan Dompu. Di lain sisi adalah meningkatnya daya tarik

kota (pull factor) di mana kota terus mempercantik diri melalui pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik bagi masyarakat kota. Ketiga, krisis ekonomi 1997 yang telah menyebabkan ambruknya sektor ekonomi formal yang menyebabkan terjadinya rasionalisasi pekerja (PHK) di sektor industri kota yang tinggi dan menuntut mereka memilih sektor informal untuk bertahan hidup. Dan keempat, mudahnya memperoleh modal usaha dari para lintah darat atau yang lazim disebut appabunga doe dan koperasi dengan bunga hingga 20%. Menuju Pengelolaan Pasar yang berkualitas dan berbasis kearifan lokal Klasifikasi tradisional dan liar atau resmi dan tidak resmi bagi pasar lokal yang dilekatkan oleh pemerintah dan media lokal menunjukkan adanya berbagai bentuk diskriminasi. Bentuk diskriminasi dimaksud dapat dilihat dari aspek pelayanan bagi pelaku pasar lokal seperti maraknya aksi penggusuran, sulitnya akses modal usaha bagi pelaku usaha kecil dan mikro, mahalnya harga kios setelah revitalsasi pasar lokal, kumuhnya puluhan pasar-pasar lokal yang masih eksis, dan lainlain. Diskriminasi juga terlihat dari tiadanya regulasi yang mengatur secara khusus dan adil atas ekonomi kerakyatan, khususnya pasar lokal vis a vis pusat perbelanjaan dan toko moderen. Satu-satunya regulasi pemerintah kota yang berkaitan dengan pasar lokal adalah Peraturan daerah kota Makassar No. 12/2004 tentang Pengurusan Pasar Dalam Daerah Kota Makassar yang sedikit banyak bernafaskan otoritarianisme di mana peran besar dilekatkan kepada pihak perusda dan pengawasnya dan menapikan peran dari pedagang pasar lokal sendiri. Tentu saja, dari sekian perda yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah kota, belum ada kebijakan pasar yang benar-benar menempatkan pasar lokal khususnya para pedagang di dalamnya sebagai aktor utama. Dalam perda ini, pemerintah kota telah melimpahkan kekuasaan penuh kepada Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya untuk mengelola pasar. Dengan demikian seorang direktur PD Pasar Makassar Raya memiliki

wewenang penuh dalam menetapkan berbagai hal seputar pasar mulai dari areal hingga waktu buka pasar. Bila merujuk ke belakang, beberapa aturan yang sedikit banyak merujuk pada sektor informal adalah Peraturan Daerah kota Ujung Pandang/Makassar no. 10 Tahun 1990 (Tgl. 17 Desember 1990) tentang Pembinaan Pedagang Kaki Lima Dalam Daerah Kotamadya Daerah TK II Ujung Pandang, lalu no. 8 Tahun 1992 (Tgl 12 Oktober 1992) tentang Pendirian Perusahaan Daerah Bank Pasar Kotamadya Daerah TK II U.Pandang, kemudian no. 8 Tahun 1996 (Tgl. 26 Agustus 1996) tentang Retribusi Pasar dan Pusat Perbelanjaan Dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang, lalu no. 4 Tahun 1999 tentang Pendirian Perusahaan daerah Pasar Makassar Raya Kota Ujung Pandang, selanjutnya no. 17 Tahun 2002 (Tgl. 3 Desember 2002) tentang Perubahan atas Perda Kota Makassar tentang PD Pasar Makassar Raya KMUP, dan terkahir no. 12 Tahun 2004 (Tgl. 31 Agustus 2004) tentang Pengurusan Pasar Dalam Daerah Kota Makassar. Sejak tahun 1990-an, Makassar, sebagai kota metropolitan di Indonesia Timur semakin sesak oleh keberadaan pasar-pasar moderen. Ekspansi pasar besar seperti Gelael, Makro, Hypermart, Diamond hingga Giant dan Carrefour mulai mengancam keberadaan pasar-pasar lokal di Makassar. Dalam wawancara dengan banyak pedagang kecil di pasar Terong dan pasar lokal lainnya, yang paling dirasakan adalah menurunnya omzet para pedagang itu antara 30-40% setiap bulannya. Bahkan data dari riset A.C. Nielsen menunjukkan bahwa pasar moderen di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Lebih lanjut mereka menyebutkan bahwa bila kondisi ini tetap dibiarkan, ribuan bahkan jutaan pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya. Pasar tradisional mungkin akan tenggelam seiring dengan tren perkembangan dunia ritel saat ini yang didominasi oleh pasar moderen (A.C. Nielsen, 2006).

Sebuah hipotesa yang masih membutuhkan studi lanjutan adalah segala kesemrawutan pasar lokal dan tidak memadainya ruang berjualan bagi pedagang yang menyebabkan banyak pedagang memilih trotoar-trotoar diakibatkan oleh keberpihakan pemerintah kota yang lebih besar bagi para investor besar atau ritel moderen ketimbang para pedagang di pasar lokal. Tentu saja, kelebihan pasar moderen di atas dalam memanjakan konsumen jauh di atas kemampuan pasar lokal kita. Bahkan strategi perpaduan antara berbelanja dan berekreasi juga merupakan terobosan baru dalam dunia pasar di Makassar. Beriringan dengan itu, kemauan politik (political will) yang rendah dan kemampuan pemerintah kota (services capability) yang tidak maksimal dalam mewujudkan tata kelola pasar yang berdaya guna dan berhasil guna bagi kedua belah pihak, pedagang dan pembeli pasar lokal. Pendekatan yang tidak partisipatif telah menyebabkan pengelolaan pasar yang selama ini dikelola oleh perusahaan daerah menimbulkan beberapa kesemrawutan. Tengok saja proses pemoderenan pasar lokal seperti pasar Terong, Sentral, Kampung Baru dan Pusat Niaga Daya yang telah gagal menampung seluruh pedagang kecil untuk berjualan di dalam gedung baru. Gagalnya menarik para pedagang untuk berjualan di dalam area, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kultur pasar lokal adalah hamparan dan mengubah kultur itu menyebabkan kesulitan para pedagang kecil, bermodal kecil, dan pola permodalan harian, untuk bertahan di dalam pasar. Mereka lalu lebih memilih berjualan di luar area dengan mengindahkan keteraturan. Kedua, pilihan ini, ditempuh oleh para pedagang kecil berkaitan dengan budaya berbelanja warga kota (konsumen) yang tidak mau terlalu direpotkan oleh kesulitan akses ke pedagang (naik tangga, pengap, lorong sempit, copet, lain-lain). Ketiga, adanya dualisme kepemimpinan dalam pasar yakni Kepala Unit Pasar (Perusahaan Daerah) dan direktur pengelola atau developer (Perusahan Swasta). Dua model manajemen ini

tumpang tindih. Sebut saja, peran kepala pasar adalah pelayanan terhadap pedagang (pedagang kios dan pedagang kecil), sementara pihak developer adalah melakukan penjualan atas petak-petak bangunan pasar (ruko, lods, basement). Pihak developer tidak menginginkan adanya pedagang-pedagang yang berjualan di luar area gedung (walau kenyataannya banyak pedagang kecil lebih memilih berjualan di luar area). Dalam konteks ini, pihak pengelola unit pasar tetap menarik retribusi jadi pembayaran pelayanan menjadi dobel khususnya bagi pedagang rumah toko, lods, dan basement dan merugikan mereka. Para pedagang yang protes atas dua model pungutan ini kemudian harus berhadapan dengan pihak keamanan dalam hal ini preman-preman pasar yang membackup pihak pengembang dan pihak unit pasar. Pilihan untuk berdagang di area trotoar (area jalan raya dan area pasar dan lorong), depan ruko (hall), dan halaman atau depan rumah penduduk adalah sebuah bentuk perlawanan dari para pedagang kecil yang dipinggirkan oleh akibat kebijakan pemerintah kota dalam membangun pasar lokal bernuansa moderen. Moderen disini diartikan secara fisik (bangunan) dan non fisik (manajemen), dimana bangunan pasar adalah bertingkat dengan pola distribusi tempat model kios dan lods. Pola distribusi ini mengakibatkan perbedaan pola kelola pasar, dimana kios dan lods kemudian memiliki harga yang tinggi dimana banyak pedagang kecil tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam membeli setiap kios dan lods itu. Bahkan, dengan mencicil sekalipun, kemampuan (affordability) pedagang kecil masih sangat terbatas. Dalam kasus pasar Terong, harga satu lods berkisar 10 20 juta sementara kios bisa mencapai Rp. 60 juta untuk ukuran 2 x 1,5m dan Rp. 80 juta untuk ukuran 2 x 2m, dengan DP (uang muka) bagi yang akan mencicil di atas Rp. 10 15 juta dengan jarak waktu yang sangat pendek (kurang lebih 4 tahun). Belum lagi bila lokasi itu berbeda area, misalnya area strategis dan area tidak strategis. Area strategis itu berada di depan

pintu masuk atau pintu jalan. Harganya bisa jauh lebih mahal lagi. Bisa dibayangkan, bagaimana pedagang-pedagang kecil mampu bersaing dalam mengakses lods yang demikian mahal itu. Sementara dalam aspek manajemen, pihak pengelola dan developer beranggapan bahwa pedagang kecil harus tumbuh dan tumbuh besar melalui manajemen professional dan keberanian mengambil resiko dalam berdagang, seperti meminjam uang di Bank melalui sistem jaminan dan agunan lainnya. Padahal, dalam banyak kasus, pelaku ekonomi kecil atau sektor informal, umumnya menganut prinsip ekonomi kebertahanan ketimbang pertumbuhan. Bertahan adalah pilihan yang lebih aman ketimbang tumbuh yang mengandung resiko. Untuk itu, yang terpenting bagi mereka adalah bertahan untuk berdagang ketimbang memaksakan diri untuk tumbuh dengan resiko berlebihan. Dalam penelitian etnografis yang dilakukan oleh AcSI sepanjang tahun 2008 dan 2009, intensitas interaksi dengan pedagang-pedagang kecil telah memberikan banyak informasi berharga yang berguna bagi pemerintah kota dan warga kota umumnya mengenai mengapa mereka lebih memilih ruang-ruang ilegal itu. Salah satu informasi penting adalah pola permodalan dari pedagang-pedagang kecil. Namun, sebelum mengurai pola itu terlebih dulu perlu untuk mengklasifikasi pedagang kecil. Mereka adalah Palembara (tipe pedagang tertua asli BugisMakassar atau Melayu, kini dalam model yang lebih bervariasi seperti asongan dan pagaroba), palapara (beralas tikar atau bakul), Pagandeng (menggunakan sepeda dan becak, kini mulai ada yang menggunakan motor), dan pamejang (dengan meja). Temuan penting dalam studi etnografi ini adalah adanya pola interaksi yang khas dari para pedagang kecil yang dibungkus oleh pilosophi saling menghidupi atau lebih dikenal Sitallassi Parangta Rupa Tau dengan 2 prinsip utama, yakni kejujuran itu. (lambusu) Berpegang dan pada tanggung pilosophi jawab inilah (pammentengang). Jadi, ketika anda masuk dalam pilosophi itu maka peganglah kedua prinsip

palembara , asongan, pageroba, palapara, Pagandeng, dan pamejang menjaga eksistensi dagang dan menghidupi keluarga kecil mereka. Palembara (dengan jumlah yang sudah sangat terbatas) adalah pedagang yang modalnya tergantung kepada petani di desa. Mereka mengambil barang dagangan untuk kemudian menjualnya di pasar. Untuk kasus asongan, mereka mengambil barang-barang yang dianggap laku (paling dibutuhkan oleh banyak konsumen) dari kios-kios atau bosbos (punggawa) untuk kemudian menjualnya. Keuntungan mereka adalah selisih harga dari modal. Palapara mengambil barang dari ponggawa-nya atau bos-bos pada dini hari (sekitar pukul 02.00 dan 03.00 malam) untuk kemudian menjualnya di pagi hari (berkisar pukul 06.00 18.00) dan melakukan pembayaran pada sore hari (pola titip-jual). Menurut cerita dari pedagang senior, sebelum merajalelanya pasar moderen, waktu menjual mereka hanya sampai pukul 09.00 saja. Namun, karena omzet semakin menurun maka waktu menjual mereka menjadi lebih panjang. Sementara pamejang adalah mereka yang sudah memiliki modal sendiri dengan kisaran Rp. 500.000,- hingga Rp. 5.000.000. Mereka umumnya sudah lebih mandiri ketimbang pedagang kecil lainnya, bahkan untuk beberapa kasus telah memiliki jaringan dagang antar daerah hingga antar pulau. Pola permodalan dengan filosophi pasar lokal ini, sebenarnya bersandingan dengan pola lain yang kurang mengindahkan aspek-aspek kemanusiaan, yakni pola permodalan melalui mekanisme appabunga doe (lintah darat) dan praktek perkoperasian. Pola ini banyak digemari oleh pedagang kecil yang telah terdesak khususnya pada sesi-sesi pasar ramai, seperti bulan puasa ramadhan, hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan Tahun Baru, Imlek dan sebagainya seperti menjelang hari pertama sekolah. Sedangkan permodalan melalui koperasi dipilih oleh pedagang tertentu untuk kepentingan yang lebih strategis. Jadi, walau dengan

bunga tinggi hingga 20% sekalipun, para pedagang rela meminjam disana. Pilihan ini, sedikit banyak serupa dengan pilihan ruang menjual di luar tempat yang sudah disediakan. Pedagang memilih keduanya (ruang ilegal dan appabunga doe) disebabkan oleh ketidakadilan atas mereka. Pedagang-pedagang ini tidak mampu mengakses sistem pengaturan pasar lokal oleh perusahaan daerah maupun developer dan sistem permodalan perbankan yang tidak berpihak pada pedagang kecil. Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian dari semua pihak, khususnya pemerintah kota. Dalam konteks ini, ke depan melalui kerjasama berbagai pihak perlu dibangun sebuah Assisambung Kana atau duduk bersama menyambungkan kata dari setiap pelaku pasar lokal khususnya dalam konteks penataan pasar lokal di tengah himpitan pasar-pasar besar dari pemodal besar. Semangat Assisambung Kana ini adalah Sipakatau Sipakainga, atau dalam bahasa yang lebih santun bahwa pemerintah menghargai masyarakatnya dan demikian sebaliknya, masyarakat menghargai pemerintahnya. Bila diantara keduanya ada yang melakukan kekeliruan atau kesalahan, maka sebuah proses Assisambung Kana dibutuhkan. Dibutuhkan khususnya dalam upaya menemukan kembali ruh pasar lokal kota Makassar yang pernah ada dalam lintasan sejarah pasar di kota Makassar atau dalam bahasa Makassar Ni buntuluki ammotere pasaraka. D. Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan AcSI telah melakukan pendampingan sekaligus penelitian etnografis di pasar Terong. Pendampingan secara kelembagaan sudah berlangsung sejak tahun 2005 dan secara individual sudah berlangsung sejak akhir 1990a. Dengan demikian data yang diperoleh sangat mendalam melalui wawancara dengan informan kunci, baik dari pedagang pasar, pengusaha, pemerintah, maupun pihak pengelola pasar, pihak keamanan baik formal dari pihak kepolisian maupun non kepolisian seperti preman

yang hidup dan mengambil keuntungan di pasar. Selain itu, penelitian juga dilakukan melalui serangkaian diskusi dengan pihak akademisi dan praktisi hukum dan LSM yang memiliki perhatian kepada sektor informal dan pasar lokal, serta melalui kajian literatur atas hasil-hasil riset yang pernah dilakukan. Serangkaian riset, diskusi, dan pendampingan yang dilakukan berada dalam frame keberpihakan kepada sektor informal yang selama ini dipinggirkan baik melalui regulasi maupun sikap yang ditunjukkan oleh pengambil kebijakan. Adapun kerangka analisis (analytical framework) yang digunakan adalah dengan menggunakan kajian ekonomi-politik melalui pendekatan politik aliran kelembagaan baru yang dipadukan dengan pendekatan pikiran rasional (rational choice). Dalam literature ilmu politik, pendekatan ini disebut rational choice institutionalism yang berusaha melihat hubungan aktor-aktor yang bermain dalam bingkai ekonomi dan politik. Juga bagaimana mereka menggunakan instrument kekuasaan yang dimilikinya untuk mempengaruhi kebijakan yang ada, atau mempengaruhi lahirnya kebijakan baru yang berpihak kepada pemodal besar, atau mempengaruhi oknum pemerintah, kepolisian, hukum, dan lain-lain agar secara langsung maupun tidak langsung menyetujui tindakan-tindakan mereka dengan merugikan pihak lain, dalam hal ini pedagang kecil dan pasar lokal. Secara ringkas, maka metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode: 1. Metode etnografi (Tinggal di pasar lokal dan rumah pedagang, mini tour dengan mengunjungi pasar-pasar lokal) 2. Metode sejarah lisan 3. Metode wawancara mendalam 4. Kajian literatur 5. Diskusi Kelompok Terfokus Adapun sistematika penulisan adalah deskriptif-induktif yang menjabarkan fakta-fakta secara khusus dan mengambil kesimpulan

secara umum yang bermanfaat bagi penyusunan kebijakan tentang perlindungan dan pemberdayaan pasar lokal serta penataan pusat perbelanjaan dan toko modern dan sejenisnya. ( . Bersambung)

You might also like