You are on page 1of 27

KONTRIBUSI KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI Abstrak Oleh : Ismiati Salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam menyesuaikan diri adalah faktor internal, yaitu suatu faktor yang berasal dari dalam dirinya, diantaranya adalah faktor kecerdasan emosional. Menurut Goleman kecerdasan bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidak akan meghasilkan kesuksesan seseorang dalam hidupnya. Peranan kecerdasan akademik (IQ) menentukan sukses seseorang sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosi (EQ) memberi kontribusi 80%. Hal ini disebabkan karena kecerdasan akademik tidak memnberikan kesiapan untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. Banyak bukti menunjukkan bahwa orang yang secara emosional cakap, mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, cenderung memiliki keuntungan dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam hubungan asmara, persahabatan atau dalam menangkap aturanaturan tertulis yang menentukan keberhasilan dalam politik organisasi

I. Pendahuluan

Menurut konsep lama, pada diri manusia ada suatu kekuatan (power) yang melengkapi akal pikiran manusia dengan gagasan yang bersifat abstrak dan universal untuk dijadikan sumber

tunggal kekuatan sejati. Kekuatan tersebut dalam bahasa Yunani disebut dengan Nous, sedangkan penggunaan kekuatannya disebut Noesis. Istilah tersebut dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan intelectus atau intellegentia. Dalam bahasa Inggris kedua istlah tersebut diterjemahkan menjadi intellect dan intelligence. Transisi bahasa merubah makna intellegence yang semula bermakna penggunaan intelektual secara nyata, berubah menjadi suatu kekuatan lain (Spearman & Wynn, 1951)1. Berbagai definisi yang dirumuskan oleh para ahli memang menunjukkan adanya pergeseran arah, namun selalu

mengandung pengertian bahwa intelegensi merupakan suatu kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu.

Masyarakat awam mengenal intelegensi sebagai istilah yang menggunakan kecerdasan, kepintaran, atau kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Gambaran anak yang berintelegensi tinggi adalah seorang anak yang pintar dan selalu naik kelas dengan nilai yang baik, bahkan gambaran tersebut meluas pada citra fisik seperti ganteng, berpakaian bersih, matanya bersinar dan lain sebagainya2. Pandangan awam seperti yang digambarkan di atas, walaupun tidak memberikan arti yang jelas tentang intelegensi, namun pada umumnya tidak berbeda jauh dari makna inteligensi sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli. Adapun definisinya, makna inteligensi memang

mendeskripsikan suatu kepintaran dan kebodohan seseorang. Menurut Dusek (dalam Nuryoto) intelegensi biasanya

didefinisikan dengan dua jalan, yaitu secara kualitatif dan secara kuantitatif. (1) Secara kuantitatif, adalah sebagai proses belajar untuk memecahkan masalah. Kemampuan ini dapat diukur dengan tes intelegensi; dan (2) Secara Kualitatif, yaitu sebagai suatu cara berpikir dalam bentuk konstruk bagaimana

menghubungkan dan mengolah informasi dari luar disesuaikan dengan dirinya3. Dilihat dari sudut pandang mengenai faktor-faktor yang menjadi unsur intelegensi, menurut Suradinata (dalalm

Subandi), teori-teori intelegensi dapat digolongkan ke dalam beberapa golongan, diantaranya adalah: 1. Teori unifaktor. Teori ini dikemukakan oleh Binet, yang mengatakan bahwa intelegensi sebagai kemammpuan psikhis manusia. 2. Teori dua faktor. Teori ini dikemukakan oleh Spearman, yang beranggapan bahwa manusia mempunyai

kemampuan intelektual yang terdiri dari dua faktor, yaitu general faktor g dan spesifik faktor s. 3. Teori multi faktor. Teori ini dikemukakan oleh Thurston. Ia membagi intelegensi ke dalam tujuh faktor, yaitu verbal comprehension, word fluency, number, space, associative memory, dan induction.

4. Teori struktur intelek. Teori ini dikemukakan oleh Guildford, yang mengemukakan bahwa intelegensi tersusun atas dasar tiga struktur pokok. Selanjutnya berdasarkan ketiga teorinya, maka intelegensi pada tingkah laku manusia terdiri dari 120 macam, yang didapat dari hasil kali antara 5x4x6. Ketiga dasar struktur yang dimaksud adalah: a. Operasi, yang terdiri dari lima faktor, yaitu kognitif, ingatan, berpikir, divergensi, konvergensi, dan evaluasi. b. Isi, yang terdiri dari empat faktor, yaitu bentuk, simpul, semantik, dan kelakuan. c. Product, yang terdiri dari enam faktor, yaitu unit, kelas, relasi, sistim, transformasi, dan implikasi. d. Teori hierarkhi faktor. Teori ini dikemukakan oleh Burt, Vernon, dan Humphreya. Teori ini menyebutkan bahwa faktor-faktor intelegensi tersusun secara hierarkis menurut struktur organisasinya4. Gardner merupakan salah seorang ahli yang tidak setuju bila inteligensi di efinisikan hanya dari sudut pandang psikometri dan kognitif saja, karena itu ia merumuskan teori intelegensi ganda (multiple intelligence) yang berorientasi pada struktur inteligensi. Selanjutnya ia mengklasifikasikan inteligensi ke dalam tujuh macam, yaitu:

1. Inteligensi linguistik, yaitu intelegensi yang banyak berhubungan dengan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. 2. Inteligensi matematik-logis, yaitu inteligensi yang

digunakan untuk memecahkan masalah berbentuk logika simbolis, dan matematika abstrak. 3. Inteligensi spatial, yaitu intelegensi yang digunakan untuk meggunakan satu cara ke cara yang lain. 4. Inteligensi musik, yaitu intelegensi yang berfungsi untuk menyusun lagu, memainkan alat musik, atau sekedar mendengar musik. 5. Inteligensi kelincahan tubuh, yaitu inteligensi yang digunakan untuk aktivitas tubuh, seperti olah raga,

menari, berjalan, dan sebagainya. 6. Inteligensi interpersonal, yaitu inteligensi yang

digunakan dalam berkomunikasi, saling memahami, dan berinteraksi dengan orang lain. 7. Inteligensi intrapersonal, digunakan untuk yaitu diri inteligensi sendiri, yang seperti

memahami

kemampuan untuk peka terhadap suasana hati dan kecakapannya sendiri.5 Pendapat lain yang tidak setuju dengan pendekatan psikometris dan kognitif, dikemukakan oleh Stenberg (dalam Azwar), yang menekankan teorinya pada kesatuan dari berbagai

aspek inteligensi, sehingga teorinya lebih berorientasi pada proses. Selanjutnya ia mendefinisikan inteligensi dengan konsep triarchic (contextual, experiental, componential). Karena itu tiori ini berisikan tiga sub teori. Dalam prakteknya teori ini berusaha menjelaskan secara terpadu hubungan antara: 1. Inteligensi dengan dunia internal seseorang, atau mekanisme mental yang mendasarkan prilaku inteligen. 2. Inteligensi dengan dunia eksternal seseorang, atau pengguanaan mekanisme mental sehari-hari, guna mencapai kesesuain dengan lingkungan. 3. Inteligensi dan dunia pengalaman atau peranan perantara antara dunia internal dan eksternal dalam hidup seseorang6. Dari uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ada bermacam-macam pengertian dari inteligensi, sangat tergantung pada pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang biasa digunakan dalam memahami inteligensi adalah pendekatan neurobiologis, psikometris, dan perkembangan. Tulisan ini akan membahas pengertian inteligensi dalam bentuk yang lain, yaitu kecerdasan emosional yang merupakan bentuk lain dari kecerdasan kognitif dan dianggap berperan penting dalam kehidupan manusia sehari-hari.

II. Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah emotional intelligence yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kecerdasan emosi, pertama kali diperkenalkan oleh Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayor dari University Of New Hampshire pada tahun 1990. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh seorang penulis kenamaan yang bernama Daniel Goleman dalam sebuah judul buku Emotional Intelligence. Emosi adalah perasaan tertentu yang bergejolak dan dialami oleh seseorang serta berpengaruh terhadap kehidupan7. Oleh karena itu manusia tidak terlepas dari emosi. Cooper & Aswaf menjelaskan bahwa emosi manusia merupakan suatu wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri tersembunyi, dan sensasi emosi8. Penelitian Martani membuktikan bahwa emosi-emosi

tertentu dapat ditentukan melalui rangsang suara atau gambar. Meskipun dalam hal ini unsur biologis memainkan peran tetapi pengalaman hidup serta budaya akan mempengaruhi

ekspresinya. Oleh karena itu pengelolaan emosi sangat dimungkinkan agar kekuatan yang terkandung dalam emosi dapat dimanfaatkan secara positif9. Para pakar psikologi telah berusaha mendefinisikan makna dari kecerdasan emosional, namun masih terdapat adanya beberapa kecerdasan perbedaan emosional pendapat. sebagai Patton suatu mendefinisikan kemampuan untuk

menggunakan emosi secara efektif dalam mencapai suatu tujuan10. emosional Cooper sebagai & Sawaf, mendefinisikan untuk kecerdasan mengindra,

suatu

kemampuan

memahami, dan dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh11. Salovey dan Mayer (dalam Shapiro) memberikan definisi kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan dalam memantau perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, kemampuan tindakannya12. Howard Gardner menyebutkan istilah kecerdasan emosional dengan istilah kecerdasan intrapribadi dan antarpribadi. Adapun definisi dari kedua istilah tersebut adalah sebagai berikut: a) Kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan yang bersifat korelatif tetapi terarah ke dalam diri sendiri, yang wujudnya berupa kemampuan untuk memilah-milah semuanya, dan kemudian

menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan

membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri, serta kemampuan untuk

menggunakan model tersebut sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.

b) Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain, yang wujudnya berupa pemahaman terhadap apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, dan bagaimana mereka bekerja sama dengan sesamanya. Dalam rumusan yang lain, ia itu mengatakan mencakup bahwa kecerdasan untuk

antarpribadi

kemampuan

membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi , dan hasrat orang lain13. Senada dengan pendapat di atas, dikemukkan oleh Carkhuf (dalam Martaniah) yang mengatakan bahwa kecerdasan

emosional melibatkan dua faktor utama, yaitu faktor emotivation yang pada prakteknya melibatkan pada pengembanagn misi di luar diri sendiri dan faktor motivation yang pada prateknya melibatkan pengembangan misi pada diri sendiri14. III. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman, kecerdasan emosional bisa dicirikan dengan adanya beberapa kemampuan sebagai berikut: 1. Kesadaran diri (self awarness). Kesadaran diri adalah perhatian yang terus menerus terhadap keadaan batin seseorang. Para ahli psikologi menyebut kesadaran diri dengan istilah metakognisi dan metamood, yaitu

kesadaran seseorang akan proses berpikir dan keadaan emosinya sendiri.

2. Kendali dorongan hati (self control). Kemampuan ini merupakan akar dari segala kendali diri emosional, karena semua emosi bersifat membawa pada salah satu dorongan hati untuk bertindak. Menurut Walter (dalam Goleman), inti dari kendali diri adalah berupa

kemampuan untuk menunda kepuasan, yang tujuannya adalah untuk menjaga keseimbangan emosi bukan untuk menekan emosi, karena pada dasarnya setiap perasaan itu mempunyai nilai dan makna. 3. Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Peran motivasi positif dalam kehidupan ini sangatlah penting. Menurut Goleman, motivasi positif adalah berupa kumpulan berbagai perasaan antusias, gairah, dan keyakinan diri dalam mencapai prestasi. Penelitian yang dilkukan oleh Ericson (dalam Goleman) menunjukkan adanya kesamaan sifat untuk tetap memotivasi diri sendiri dan berlatih secara rutin pada para atlit olympiade, musikus kelas dunia, dan grand master catur. 4. Kemampuan untuk tetap mempunyai harapan (optimis). Bersikap optimis berarti memiliki pengharapan secara umum segala sesuatu dalam kehidupan akan beres, walaupun ditimpa kegagalan dan frustasi. Selingman (dalam Goleman), mendefinisikan orang yang optimis sebagai orang yang menganggap bahwa kegagalan

disebabkan oleh sesuatu yang dapat dirubah, sementara orang yang pesimis adalah orang yang menganggap kegagalan sebagai kesalahannya sendiri, dan berasal dari faktor bawaan yang tak dapat dirubah. Ada hubungan yang sangat erat antara sikap optimis dengan cara berpikir positif. Penelitian yang dilakukan oleh Lestari menemukan bahwa cara berpikir positif mampu

meningkatkan sikap optimis dan mampu menurunkan depresi. 5. Kemampuan untuk berempati. Empati adalah

kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Menurut Goleman empati dibangun

berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka kita pada diri sendiri, maka semakin terampil kita membaca perasaan orang lain. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah kemampuan untuk membaca perasaan nonverbal, seperti nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya. 6. Kemampuan untuk membina hubungan (kecakapan sosial). Kecakapan sosial adalah suatu kemampuan untuk memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar sesama manusia. Hatch & Gardner (dalam Goleman) membagi kemampuan jenis ini ke dalam

empat bagian, yaitu:

a) Mengorganisir kelompok, yaitu berupa ketermapilan seorang pemimpin untuk memprakarsai dan

mengkoordinir upaya menggerakkan orang. b) merundingkan pemecahan, yaitu berupa kemampuan seorang modiator yang dapat mencegah konflik atau menyelesaikan konflik-konflik yang timbul. c) Hubungan pribadi, yaitu suatu kemampuan yang memudahkan seseorang masuk dalam lingkup

pergaulan dan merespon dengan tepat perasaan dan keprihatinan orang lain. Kemampuan ini biasa disebut dengan seni membina hubungan. d) Analisis sosial, yaitu kemampuan untuk mendeteksi perasaan, motif, dan keprihatinan orang lain serta kemampuan untuk memahaminya15. Pendapat senada dikemukakan oleh Gibbs yang

menyebutkan bahwa ciri-ciri kecerdasan emosional adalah kesadaran diri, empati, ketekunan, dan kecakapan sosial. Sedangkan Gothman menyebutkan bahwa kecerdasan

emosional bisa dicirikan dengan adanya kemampuan seperti, menyejukkan emosi ketika dilanda kesedihan16. Selanjutnya Goleman membagi kecerdasan emosional dalam dua bagian, yaitu: 1. Kemampuan pada orang tua, yang dicirikan dengan

adanya kemampuan seperti sadar terhadap emosi anak,

mampu berempati terhadap anak, mampu menyejukkan hati anak, dan mampu membimbing anak. 2. Kemampuan pada anak, yang dicirikan dengan adanya kemampuan seperti mampu mengontrol impuls, mampu menunda kepuasan, mampu memotivasi diri, mampu memahami orang lain, dan mampu menguasai emosi baik ketika sedih maupun senang17. Salovey menempatkan kecerdasan pribadi dari konsep Gardner ke dalam definisi tentang kecerdasan emosional, ia membagi kecerdasan emosional ke dalam lima dimensi, yaitu : a) Mengenali emosi diri, yaitu kesadaran dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan untuk mengenali emosi diri ini

merupakan dasar bagi kecerdasan emosional dan merupakan hal yang penting bagi pemahaman diri. b) Mengelola emosi, yaitu menangani perasaan agar perasaan tersebut dapat terungkap dengan tepat. Pengelolaan emosi ini terwujud dengan adanya suatu kemampuan seperti kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, menghilangkan kemurungan, dan mengurangi ketersinggungan. c) Memotivasi diri sendiri, yaitu menata emosi diri sendiri untuk mencapai suatu tujuan yang

dikehendaki. Motivasi diri ini terwujud dalam suatu

kemampuan untuk antusias, gairah, dan daya juang yang tinggi dalam mencapai kesuksesan yang disertai dengan dorongan hati yang kuat untuk mencapai citacita. d) Empati, yaitu suatu kemampuan untuk mengetahui bagaimana keadaan perasaan orang lain. Menurut Shapiro, ada dua komponen empati, yaitu reaksi emosi pada orang lain yang secara normal telah berkembang pada usia enam tahun pertama

kehidupan anak dan reaksi kognitif yang menentukan sejauh mana seseorang mampu memandang sesuatu dari sudut perspektif orang lain. e) Membina hubungan dengan orang lain, yaitu suatu kemampuan yang bisa memudahkan masuk ke dalam lingkup pergaulan. Hal yang penting dalam membina hubungan orang lain18. Berbeda dengan pendapat di atas, dikemukakkan oleh Cooper dan Aswaf, yang memberikan gambaran kecerdasan emosional dengan sebuah model empati batu penjuru, yang akan memindahkan kecerdasan emosional dari dunia analisis psikologis dan teori-teori filosofis ke dalam dunia yang nyata dan praktis. Keempat model tersebut adalah: ini adalah bagaimana kita

mengekspresikan emosi kita secara tepat terhadap

1. Kesadaran emosi (emotional literacy), yang bertujuan membangun tempat kedudukan bagi kepiawaian dan rasa percaya diri melalui kejujuran emosi, energi emosi, umpan balik emosi, intuisi, rasa tanggung jawa, dan koneksi. 2. Kebugaran Emosi (emotional fitness), yang bertujuan untuk mempertegas kesejatian, sifat dapat dipercaya, keuletan, kemampuan untuk mendengarkan, mengelola konflik, dan mengatasi kekecewaan dengan cara yang konstruktif. 3. Kedalaman Emosi (emosional depth), yang bertujuan untuk mengeksplorasi cara-cara untuk menyelaraskan hidup dan kerja dengan melalui potensi dan bakat, ketulusan, kesetiaan pada janji, rasa tanggung jawab, yang pada gilirannya akan memperbesar pengaruh diri terhadap orang lain. 4. Alkemi Emosi ( emotional alchmey), yang bertujuan

untuk memperdalam naluri dan kemampuan kreatif untuk mengatasi masalah-masalah dan tekanan-tekanan, dan bersaing demi masa depan dengan membangun keterampilan untuk lebih peka solusi akan yang adanya masih

kemungkinan-kemungkinan

tersembunyi dan peluang yang masih terbuka19.

Dari pembahasan para tokoh tersebut di atas, yang dijadikan fokus perhatian dalam tulisan ini adalah kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Daniel Goleman. Adapun aspek Kecerdasan Emosional menurut Goleman terdiri dari: 1. Kecerdasan intrapribadi, yaitu suatu kemampuan

emosional yang bersifat korelatifdan terarah kepada diri sendiri. Adapun bentuk dari kecerdasan ini adalah berupa: kemampuan untuk sadar terhadap diri sendiri, kemampuan kemampuan untuk untuk mengendalikan memotivasi dorongan sendiri, hati, dan

diri

kemampuan untuk tetap bersikap optimis. 2. Kecerdasan antarpribadi, yaitu kemampuan emosional yang lebih bersifat keluar diri (orang lain). Adapun bentuk kecerdasan antar pribadi adalah berupa:

kemampuan untuk berhubungan atau bersahabat dengan orang lain, dan kemampuan untuk berempati terhadap orang lain20.

V. Penyesuaian Diri

Banyak ahli yang telah merumuskan pengertian penyesuaian diri, di antara pendapat tersebut terdapat perbedaan mengenai formulasinya. Pada dasarnya para ahli sepakat bahwa

penyesuaian diri adalah proses untuk menyelaraskan antara

individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya sehingga mencapai suatu kebahagiaan hidup. Penyesuaian diri adalah suatu respon mental atau tingkah laku individu untuk mengatasi kebutuhan, ketegangan, frustasi dan konflik yang ada dalam dirinya, serta berfungsi untuk menjaga keserasian antara tuntutan yang ada dalam diri dan lingkungan hidupnya. Penyesuaian diri pada dasarnya terdiri dari dua unsur, yaitu intra personal dan ekstra personal, yang keduanya mendukung bagi proses berfungsinya kepribadian21. Mouly mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah sesuatu yang dialami individu dalam usaha mempertahankan

keseimbangan fisiologis dan psikologis serta mendorong dirinya untuk menuju peningkatan diri. Penyesuaian diri bersifat relatif dan khusus untuk individu tertentu dan pada kondisi tetentu pula22. Senada dengan pendapat di atas, Meichati mengatakan bahwa kunci penyesuaian diri terletak pada keberhasilan manusia dalam memenuhi dorongan, baik dari dalam diri maupun dari luar, di mana cara-cara yang digunakan untuk memenuhi dorongan tersebut harus baik bagi dirinya dan juga bagi luar dirinya atau lingkungannya23. Berdasarkan pendapat di atas, penyesuaian diri yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu proses dinamis yang melibatkan respon mental dan tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan, baik dari dalam diri maupun dari luar, dan tidak

bertentangan dengan norma masyarakat, yang berfungsi untuk mengatasi hambatan sehingga tercipta keselaraan antara diri dengan lingkungannya.

VI. Macam-macam Penyesuaian Diri Manusia dalam usahanya untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri dan lingkungannya sangat bervariasi, namun pada dasarnya usaha penyesuaian diri tersebut dapat digolongkan ke dalam jenis penyesuain diri tertentu. Manson (dalam Meichati) menyebutkan bahwa penyesuaian diri pada praktiknya mencakup dua bagian. Pertama

penyesuaian dalam diri sendiri yang di dalamnya menyangkut penyesuaian secara psikologis seperti rasa cemas, tertekan, sensitif dan lain sebagainya. Kedua, penyesuaian diri sosial, yang di dalamnya menyangkut kehidupan individu dalam kehidupan sosialnya, seperti perasaan dendam, terasing, benci, dan hubungan antar pribadi24. Schneider berpendapat bahwa berdasarkan situasi respon yang dihadapi, penyesuaian diri dapat digolongkan pada lima macam, yaitu: 1. penyesuaian diri fisik dan emosi, yaitu suatu

penyesuaian diri yang melibatkan respon-respon fisik dan emosional. Dalam penyesuaian diri ini kesehatan fisik merupakan kebutuhan pokok untuk mencapai

penyesuaian diri yang sehat. Kesehatan fisik ini sangat berhubungan dengan kesehatan emosi yang betuknya meliputi kemantapan emosi, kematangan emosi, dan kontrol emosi 2. penyesuaian diri seksual, yaitu penyesuaian diri yang merupakan kemampuan bereaksi terhadap realitas

seksual (impuls-impuls, nafsu, pikiran, konflik-konflik, frustasi, perasaan bersalah, dan perbedaan seks)

kapasitas tersebut memerlukan perasaan, sikap sehat yang berkenaan dengan seks, kemampuan menunda ekspresi seksual, orientasi heteroseksual yang cukup, kontrol dari pikiran dan perilaku, dan identifikasi diri yang sehat dengan satu peranan seks. 3. penyesuaian diri moral dan agama. penyesuaian diri moral dan agama adalah penyesuaian diri berupa kemampuan untuk memenuhi moral kehidupan secara efektif dan bermanfaat bagi kehidupan seseorang. Sedangkan penyesuaian diri religius merupakan proses dan gaya hidup seseorang ketika bereaksi secara mantap dan sehat terhadap realitas-realitas dalam memperoleh pengalaman-pengalaman dan nilai-nilai religius yang tepat. Penyesuaian diri moral dan religius saling berhubungan secara integral dan tidak bisa dipisahkan, karena penyesuaian diri moral adalah merupakan tahap

paling efektif yang mengarah pada orientasi religius yang sehat. 4. penyesuaian diri sosial, yaitu penyesuaian diri yang melibatkan aspek khusus dari kelompok sosial yang meliputi sehingga hubungan aspek rumah, sekolah, dan masyarakat, pola-pola

penyesuaiannya

melibatkan

diantara kelompok tersebut dan saling

berhubungan secara integral diantara ketiganya. 5. penyesuaian diri terhadap rumah dan keluarga mempunyai ciri (1) hubungan yang sehat antara anggota keluarga, (2) penerimaan terhadap otoritas orang tua, (3) kemampuan untuk mengambil tanggung jawab dan penerimaan terhadap pembatasan atau pelarangan, dan (4) adanya usaha untuk membantu keluarga baik secara individual maupun kelompok25.

VII. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Kemampuan Penyesuain Diri Kecerdasan emosional seseorang dapat mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri dalam berbagai seting kehidupan, terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Sebuah contoh kasus yang dikemukakn oleh Daniel Goleman, penulis buku terlaris Emotional Intelligence sebagai berikut:

Hari itu dua orang anak muda yang berteman sangat berbahagia. Hari itu adalah hari wisuda kelulusan sarjana mereka. Roni lulus dengan IPK terbaik, yaitu hampir empat, sedangkan teman baiknya, Eko lulus dengan nilai IPK baik, nilainya hampir tiga. Eko memang memiliki kecakapan luwes dalam berteman, baik dengan Roni atau dengan yang lainnya. Tetapi Roni berbeda, ia dapat berteman dengan orang-orang tertentu saja meskipun ia sangat pandai di bidang akademis. Roni dan Eko memiliki nasib yang beruntung. Mereka diterima kerja diperusahaan yang sama, sesuai dengan keahlian mereka. Roni, karena nilai akademisnya sangat bagus, Roni memperoleh gaji awal lebih baik dibanding Eko, yaitu sekitar 1,5 kali lebih besar. Sampai tahun kedua bekerja, prestasi mereka

berkembang tanpa ada yang aneh. Tetapi setelah tahun keempat, terjadi perubahan yang mencolok. Eko memiliki prestasi lebih bagus melampaui prestasi Roni diukur dari berbagai aspek. Meskipun nilai akademis dan gaji awal Roni lebih bagus, Eko memiliki keterampilan lain. Eko adalah orang yang mampu berkawan secara fleksibel, berkomunikasi dengan jelas, dan kompetensi yang memadai. Eko berhasil membangun kerja dengan tim yang tangguh dan mampu berkomunikasi efektif baik dalam tim maupun ke pihak luar. Sebaliknya, Roni memiliki kompetensi teknis brilian tetapi sulit dipahami dan

dikomunikasikan dengan anggota tim, apalagi kepada pihak luar. Berbagai proyek besar diselesaikan Roni sendirian, tanpa bantuan dari anggota tim lainnya Semakin hari tim yang dipimpin keduanya semakin berkembang dan memiliki tanggung jawab yang besar. Tim Roni sangat mengandalkan kompetensi Roni. Sedangkan tim Eko sudah terbiasa kerjasama dalam komando Eko Dalam beberapa proyek besar, tim Eko mendapat kepercayaan lebih besar karena tim Eko mampu menjelaskan dengan baik segala kebijakan yang diambil. Sedangkan Tim Roni sering mengalami kesulitan komunikasi, meskipun secara teknis kompetensi mereka tidak kalah bagus. Tetapi pihak luar cenderung mengambil keputusan mempercayai tim Eko karena .segala sesuatu dapat dipahami dan resikonya dapat diperhitungkan Akhirnya Eko diangkat menjadi pimpinan yang lebih besar tanggung jawabnya termasuk membawahi tim Roni. Eko memperoleh dukungan yang lebih besar baik dari atasan, teman, maupun bawahan. Roni sendiri sangat senang dengan

terpilihnya Eko. Prestasi Eko melejit jauh melalmpaui Roni dan Roni berekembang berkat bantuan Eko. Eko memiliki kecakapan untuk menjadi bintang ditempat kerja yaitu ketrampilan komunikasi dan kerja dalam tim. Keterampilan-keterampilan ini telah diidentifikasi oleh Daniel Goleman sebagai bagian dari kecerdasan emosi. Sementra Roni

tidak memiliki keterampilan ini meskipun ia memilki kecakapan akademis atau IQ yang sangat baik. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam menyesuaikan diri adalah

faktor internal, yaitu suatu faktor yang berasal dari dalam dirinya. Salah satu faktor internal tersebut adalah faktor

kecerdasan emosional. Menurut Goleman kecerdasan bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidak akan

meghasilkan kesuksesan seseorang dalam hidupnya. Peranan kecerdasan akademik (IQ) menentukan sukses seseorang sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosi (EQ) memberi kontribusi 80%.26 Hal ini disebabkan karena kecerdasan akademik tidak memnberikan kesiapan untuk menghadapi gejolak yang

ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. Keterkaitan ini juga digambarkan oleh Goleman tentang keadaan IQ mahasiswa Ivy League (sebuah perguruan tinggi bergengsi di Amerika Serikat), ketika mereka berusia setengah baya, maka mereka yang perolehan tesnya paling tinggi di perguruan tinggi tidaklah terlampau sukses dibandingkan rekanrekannya yang IQ-nya lebih rendah bila diukur menurut gaji, produktivitas, atau status dibidang pekerjaan mereka. Mereka juga bukan yang paling banyak mendapatkan kepuasan hidup, dan juga bukan yang paling bahagia dalam hubungan persahabatan, keluarga, dan asmara.27 Pendapat yang senada

juga dikemukakan oleh Patton mengatakan bahwa orang yang kecerdasan emosionalnya tinggi cenderung akan mengalami kesuksesan di tempat kerja28. Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan

persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesuliatn hidup. Bahkan IQ yang tinggi pun tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau

kebahagiaan hidup. Banyak bukti menunjukkan bahwa orang yang secara emosional cakap, mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, cenderung memiliki keuntungan dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam hubungan asmara, persahabatan atau dalam menangkap aturan-aturan tertulis yang menentukan keberhasilan dalam politik organisasi Orang yang keterampilan emosionalnya berkembang

baik, kemungkinann besar akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan dan menguasai kebiasaan pikiran orang lain yang mendorong produktivitasnya. Sebaliknya, dapat menghimpun akan kendali tertentu orang yang tidak atas kehidupan batin yang

emosionalnya,

mengalami

pertarungan

merampas kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan cenderung tidak memiliki pikiran yang jernih.

VIII. PENUTUP Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam menjalani kehidupan, baik faktor internal maupun eksternal. Kemampuan menyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri mapun dengan lingkungan merupakan salah satu yang dianggap penting dan mempengaruhi kesuksesan seseorang. Kemampuan menyesuaikan diri tidak terlepas dari salah satu unsur internal yang dimiliki oleh seseorang, yaitu unsur kecerdasan emosional. Pentingnya kecerdasan emosional dalam kehidupan seseorang telah dikemukakan oleh Goleman yang mengatakan bahwa kecerdasan bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tidaklah akan menghasilkan seseorang yang sukses dalam hidupnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa peranan kecerdasan akademik hanyalah sekitar 20% untuk menopang kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% lainnya ditentukan oleh faktor yang lain, diantaranya adalah faktor kecerdasan emosional. Hal ini disebabkan karena kecerdasan akademik tidak memberikan kesiapan untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup.
1

Spearman, C. Dan Wynn Jones, LL., 1951, Human Ability, London:

Macmilla & Co.LTD., Hal. 32.


2

Azwar, S., 1996, Psikologi Inteligensi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hal. 2.

Nuryoto, S., 1992, Kemandirian Remaja ditinjau dari Tahap perkembangan, Jenis Kelamin, dan Peran Jenis, (Disertasi), Yogyakarta: Program Pascasarjana Pikologi, UGM, Hal. 27. 4 Subandi, 1998, Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Pendididikan Guru Sekolah Dasar, (Tesis), Yogyakarta: Program Pascasarjana Psikologi, UGM, Hal. 37. 5 Azwar, S., 1996, Psikologi Inteligensi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hal. 43.
6 7

Ibid. Hal. 44. Albin, R.S., 1994, Emosi, Bagaimana mengenali, menerima, dan mengarahkannya, Yogyakarta, Kanisius, hal 25. Cooper, R.K., dan Sawaf, A., 1998, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, (Alih Bahasa Widodo), Jakarta: Gramedia, Hal. 46.

Martani, W., 1996, Mengenali Emosi Melalui Rangsang Gambar dan Suara (Penelitian), Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, hal. 8. 10 Patton, P., 1998, Emotional Intelligence di Tempat Kerja, (Alih Bahasa Dahlan), Jakarta; Pustaka Delapratosa, hal.13. 11 Cooper, R.K., dan Sawaf, A., 1998, hal. 34. 12 Shapiro, L., 1997, Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, (Alih Bahasa Kanjono), Jakarta: Buana Printing, hal. 20. 13 Agus Ngermanto, 2002, Quantum Quotient,Cara Praktis Melejitkan IQ,EQ, dan SQ yang Harmonis, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, hal. 98. 14 Martani, W., 1996, Mengenali Emosi Melalui Rangsang Gambar dan Suara (Penelitian), Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, hal. 5. 15 Daniel Goleman, Emotional Intelligence (Alih Bahasa T. Hermaya), 1999, Jakarta: Gramedia. hal.404. 16 Ibid hal. 58. 17 Ibid, hal. 69. 18 Ibid.,hal.58-59. 19 Cooper, R.K., dan Sawaf, A., 1998, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, (Alih Bahasa Widodo), Jakarta: Gramedia, hal.19.
20

21

Agus Ngermanto, 2002, Quantum Quotient,Cara Praktis Melejitkan IQ,EQ, dan SQ yang Harmonis, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, hal.98. Schneider, A.A., 1964., Personal Adjusment and Mental Health, New York: Holt, Rinehart and Winston, hal. 52.

Mouly, G.J., 1982, Psychology for Effective Teaching, Boston : Allyn & Bacon Inc, Hal. 55. 23 Meichiat, S, 1975. Tanggapan Remaja Mengenal Diri dan Kehidupan, Laporan Penelitian, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UGM, haL 8 24 Ibid., hal. 8. 25 Schneider, A.A., 1964., Personal Adjusment and Mental Health, New York: Holt, Rinehart and Winston, hal.62. 26 Agus Ngermanto, 2002, Quantum Quotient,Cara Praktis Melejitkan IQ,EQ, dan SQ yang Harmonis, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, hal. 99
27 28

22

Goleman, hal. 46, Patton, P., 1998, Emotional Intelligence di Tempat Kerja, (Alih Bahasa Dahlan), Jakarta; Pustaka Delapratosa, Hal.64.

You might also like