You are on page 1of 4

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Isu keamanan menjadi isu sentral dalam hubungan internasional pasca peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Penyerangan terhadap World Trade Centre (WTC), memunculkan gerakan War Againts Terrorism yang dideklarasikan oleh Presiden Amerika saat itu yakni George W Bush. Gerakan yang popular dengan Doktrin Bush ini membawa efek yang signifikan bagi konstalasi politik dunia, dimana secara umum, Negara dan masyarakat internasional diharuskan untuk meredefenisikan kembali istilah terorisme, dan secara khusus memicu Amerika untuk melakukan Policy Reassessment terhadap hubungan bilateral dengan Negara-negara yang penduduknya mayoritas memeluk agama Islam atau dengan kata lain terjadi pergeseran focus politik luar negeri. Pergeseran politik luar negeri Amerika tentu menjadi Amerika Serikat merupakan Negara Adidaya

permasalahan yang sangat penting mengingat

pemenang perang dunia, satu-satunya Negara yang paling berpengaruh dalam PBB dan penentu dalam banyak atau bahkan semua aktivitas yang terjadi dalam dunia internasional. Liberalisasi sector keamanan merupakan implikasi langsung dari doktrin Bush yang ternyata mampu menghilangkan batas-batas Negara layaknya globalisasi. Berbagai bentuk intervensi dilakukan oleh Amerika baik berupa konsolidasi kekuatan intelijen dan militer, Perang melawan terorisme

bantuan anggaran sampai pada penentuan kebijakan keamanan.

seolah-olah mewajibkan setiap Negara untuk membuka sistem keamanan negaranya dan memberikan ruang bagi kerjasama dan aliansi militer dan intelijen regional maupun internasional. Isu kedaulatan Negara pun menjadi bahan perdebatan lama yang kembali diperdebatkan terkait dengan perang melawan terorisme.

Perdebatan mengenai kedaulatan sebagai akibat dari adanya intervensi atas nama perang melawan terorisme yang paling menarik perhatian yakni Pre emptive Self Defense (PESD) sebagai salah satu bentuk dari War Againts Terrorism. PESD dan terorisme secara fundamental mengubah pemahaman kita mengenai kedaulatan suatu Negara yang diaplikasikan langsung oleh Amerika Serikat dalam beberapa penyerangan balasan ke Negara mayoritas Islam pasca serangan ke WTC. Tidak adanya tindakan atau sanksi Internasional terhadap penyerangan balasan ini, seolah-olah melegalkan tindakan Amerika dengan PESD nya, padahal hukum internasional selain tidak mengatur masalah PESD juga tidak melegalkan tindakan tersebut. 1 Olehnya, penulis dalam tesis ini berupaya untuk menganalisa bagaimana doktrin Bush dengan War Againts Terrorism dalam bentuk Pre emptive self defence mengaburkan istilah kedaulatan suatu Negara dengan focus penelitian mengarah pada judul IMPLIKASI KEBIJAKAN PRE EMPTIVE SELF DEFENCE TERHADAP KEDAULATAN SUATU NEGARA SEMASA PEMERINTAHAN GEORGE W. BUSH, JR. B. Pertanyaan Penelitian Bagaimana implikasi kebijakan pre emptive self defence terhadap kedaulatan suatu negara semasa pemerintahan George W. Bush, jr? C. Studi Literatur : Self Defence dan Kedaulatan Negara Dalam tesis ini, penulis tidak memaparkan sebuah penelitian yang secara keseluruhan baru dalam literature Terorisme dan perkembangannya pasca serangan 11 September. Penulis, mencoba untuk memaparkan salah satu perubahan yang cukup penting dalam hubungan internasional terkait dengan dampak aksi Terorisme 11 September dan gerakan war Againts Terorism yang dideklarasikan oleh Bush. Perubahan tersebut mengenai paradigm keamanan
1

Hukum Internasional dalam Piagam PBB pasal 51 hanya mengatur tentang prinsip pembelaan diri (Self Defence) dan tidak mengatur tentang Pre emptive self defence

baru or New Security Paradigm yakni Pre emptive Self Defence (PESD) atau Anticipatory Self Defence yang dikembangkan secara luas khususnya oleh George W Bush. Penulis menyadari bahwa telah banyak akademisi yang mengulas secara detail mengenai PESD, namun sedikit dari mereka yang kemudian mengaitkannya dengan isu kedaulatan suatu Negara. Untuk itu, penulis mencoba meneliti implikasi dari PESD tersebut terhadap kedaulatan suatu Negara dengan sebelumnya memaparkan poin-poin penting dari PESD yang telah diulas sebelumnya oleh beberapa akademisi. Semua Negara memiliki hak untuk menggunakan kekerasan atau kekuatan militer sebagai upaya mempertahankan integritas territorial dan melindungi kedaulatan negaranya. Hak ini ditegaskan pula dalam piagam PBB pasal 51(http://www.un.org) yakni: Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security. Dengan jelas pasal diatas mengatur hak membela diri dengan dua persyaratan. Pertama, hak tersebut dapat dilaksanakan jika telah terjadi sebuah serangan bersenjata (armed attack) dan kedua, apabila dewan keamanan telah mengambil tindakan yang perlu untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Persyaratan ini harus dipenuhi oleh setiap negara yang akan melaksanakan hak pembelaan dirinya. Namun, pasca 11 september, pasal ini menuai perdebatan terkhusus pada cakupan dari hak tersebut. Amerika dalam hal ini Bush, memperluas cakupan Self Defence menjadi Pre emptive Self Defence (PESD) atau Anticipatory Self Defence. salah satu sarjana terkenal berpendapat International Law on the use of force, its content and effectiveness, is now the

object of more speculation than ever before (Gray, 2004), bahwa serangan 11 september dan War Againts Terrorism yang dideklarasikan oleh Bush mendorong Amerika untuk menyalahgunakan Pasal di atas dengan melakukan penyerangan balasan yang Ilegal terhadap Negara yang dianggap sebagai pendukung terorisme. Penyal

You might also like