You are on page 1of 27

PERJANJIAN KERJA SEBAGAI BENTUK PERSYARATAN KERJA BERSAMA

Oleh WAHYUDI B10009102

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..iii

BAB I

: PENDAHULUAN

A. Latar belakang . B. Rumusan masalah C. Tujuan .. D. Manfaat E. Metode penelitian .

BAB II

: PEMBAHASAN ...

A. Perjanjian kerja dan dasar hukumnya. B. Bentuk perjanjian kerja sebagai persyaratan kerja.. BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran . DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Pembangunan sektor ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya pembangunan sumberdaya manusia merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur baik materiil maupun spiritual. Peran serta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu, kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas nasional. Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotongroyong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tenaga kerja dan perusahaan merupakan dua faktor yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan terjadinya sinergi kedua factor itu baru perusahaan akan berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya, seahli apapun tenaga kerja tanpa adanya perusahaan hanya akan melahirkan produk pengangguran. Sisi lain, pengusaha sebagai pemilik perusahaan berada pada posisi yang kuat sebab didukung modal yang besar, sedangkan tenaga kerja hanya bermodalkan keahlian, intelektual, menjadikan tenaga kerja berada pada posisi yang

lemah. Hal ini sering digunakan oleh pengusaha yang nakal berbuat semena-mena terhadap karyawannya dalam mendapatkan hak-haknya seperti hak upah yang layak, hak mendapatkan pesangon, hak istirahat, dan hak cuti serta hak mendapatkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berupa : 1. Jaminan kecelakaan kerja, 2. Jaminan kematian, 3. Jaminan hari tua dan 4. Jaminan pemeliharaan kesehatan. Hubungan buruh yang dalam penulisan ini disebut tenaga kerja dengan perusahaan sebagai majikan tunduk dibawah aturan ketenagakerjaan apabila diantara mereka telah ada hubungan kerja. Hubungan kerja antara tenaga kerja dan majikan terjadi apabila diantara mereka telah ada perjanjian kerja. Hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut "Arbeidsoverenkoms", mempunyai beberapa pengertian. Hubungan kerja saat ini juga dikenal dengan hubungan industrial dikenal dengan Perjanjian Kerja Perorangan baik untuk pekerjaan tertentu maupun waktu tertentu dan Perjanjian Kerja untuk waktu tidak tertentu serta Perjanjian Kerja kolektif yang dibuat antara perwakilan pekerja Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) dengan pengusaha atau gabungan pengusaha. Perjanjian kerja pada masa sekarang ini masih sangat diperlukan sebagai pendamping dari peraturan perundang-undangan yang berlaku karena secara umum peraturan perundangundangan ketenagakerjaan kita belum mengatur secara terperinci tentang syaratsyarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Untuk pengaturan syaratsyarat kerja tersebut agar dapat dipedomani sehari-hari dalam hubungan kerja, maka perlu diatur melalui Perjanjian

Kerja, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama. Perjanjian kerja sebagai suatu bentuk perikatan antara tenaga kerja dan majikan juga tunduk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1233 KUH Perdata menentukan bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki para pihak sedangkan perikatan yang timbul karena undang-undang menurut Pasal 1352 KUH Perdata diperinci menjadi 2 (dua), yaitu perikatan yang timbul sematamata karena undang-undang dan perikatan yang timbul dari undang-undang akibat dari perbuatan orang. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan "semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 mengandung asas kebebasan berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian serta bebas untuk menentukan bentuk dan isi dari perjanjian tersebut menurut yang dikehendaki dalam batas-batas tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak ini juga mendorong para pihak untuk saling mengadakan perjanjian yang bebas bentuknya, termasuk dalam perjanjian kerja. Pasal 1601 a KUH Perdata memberikan pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah". Perjanjian kerja merupakan titik tolak lahirnya hubungan kerja antara seorang tenaga kerja dengan pengusaha/majikan. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Untuk sahnya suatu perjanjian kerja Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa : Perjanjian Kerja dibuat atas

dasar (1) Kesepakatan kedua belah pihak, (2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, (3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan (4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Berkaitan dengan Perjanjian Kerja ini Subekti menegaskan : Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seseorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian dimana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperbatas (direst verhadning) yaitu suatu hubungan yang berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah yang harus ditaati pihak yang lain.4 Berkenaan dengan hal ini, Ridwan Halim mengemukakan bahwa : Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan tertentu yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak selaras dengan hak dan kewajiban mereka masing-masing, terhadap satu sama lainnya". Pakar hukum perburuhan lain memberikan pengertian dengan penekanan pada posisi keduabelah pihak. Wiwoho Soedjono mengemukakan bahwa "Pengertian Perjanjian Kerja merupakan hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan". B. Rumusan masalah Dari latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah yaitu: 1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian kerja bersama dan apa dasar hukumnya? 2. Mengapa perjanjian kerja bersama sebagai bentuk persyaratan kerja? C. Tujuan 1. Mengetahui apa itu perjanjian kerja dan dasar hukumnya 2. Mengetahui perjanjian kerja sebagai bentuk persyartan kerja

D. Manfaat 1. Agar pembaca mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian kerja dan dasar hukumnya 2. Agar pembaca mengetahui kaitan perjanjian kerja sebagai bentuk persyaratan kerja
E. Metode penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis metodologis, dan konsisten melalui analisa konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan atau kemudian diolah. Oleh sebab itu, agar penelitian yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik maka diperlukan adanya suatu metode yang dipakai guna memudahkan penelitian agar dapat memperoleh data-data yang dibutuhkan. Metode penelitian dibedakan menjadi dua bagian, yakni metode penelitian lapangan atau empiris dan metode penelitian normatif atau kepustakaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini lebih difokuskan pada metode penelitian normatif atau kepustakaan, yang dalam menguraikan permasalahannya dilakukan secara deskriptif analisis terhadap data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Data sekunder tersebut dari sudut kekuatan mengikatnya terdiri dari: 1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti peraturan

perundang-undangan, yurisprudensi dan traktat. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti buku-buku dan literatur terkait, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. Dalam penulisan ini bahan hukum sekunder penulis dapatkan

dari makalah-makalah, hasil seminar dan hasil lokakarya, artikel-artikel yang relevan yang bersumber dari majalah, surat kabar dan internet. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang mem berikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia.

BAB II PEMBAHASAN

A. Perjanjian kerja barsama dan dasar hukumnya Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya Undang-undang No.21 Tahun 2000. Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) digunakan untuk menggantikan istilah sebelumnya yaitu Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dikarenakan pembuat undangundang berpendapat bahwa pengertian dari Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sama dengan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) Tetapi Sentanoe Kertonegoro berpendapat lain mengenai persamaan pengertian Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), beliau mengatakan bahwa : Perjanjian Kerja Bersama (PKB) ialah : a. Merupakan dasar dari individualisme dan liberalisme yang berpandangan bahwa diantara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam perusahaan. b. Bebas untuk melakukan perundingan dan juga membuat perjanjian tanpa adanya campur tangan dari pihak lain. c. Dibuat melalui perundingan yang bersifat tawar-menawar (bargaining) masing-masing pihak akan berusaha memperkuat kekuatan tawar- menawar, bahkan dengan menggunakan senjata mogok dan penutupan perusahaan. d. Hasilnya adalah perjanjian yang merupakan keseimbangan dari kekuatan tawar-menawar. Adapun Kesepakatan Kerja Bersama, yaitu :

a. Dasar adalah hubungan industrial Pancasila berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha terdapat hubungan yang bersifat kekeluargaan dan gotong-royong. b. Mereka bebas melakukan perundingan dan memuat perjanjian asal saja, tetapi memperhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu masyarakat, bangsa, dan negara. c. Dibuat melalui musyawarah untuk mufakat, tidak melalui kekuatan tawar-menawar, tetapi yang diperlukan sifat yang keterbukaan, kejujuran, dan pemahaman terhadap kepentingan semua pihak. Kehadiran serikat pekerja dalam rangka meningkatkan kerja sama dan tanggung jawab. d. Hasilnya adalah suatu kesepakatan yang merupakan titik optimal yang bisa dicapai menurut kondisi yang ada, dengan memperhatikan kepentingan semua pihak. Apabila dicermati pendapat Sentanoe mengenai perbedaan antara PKB dengan KKB, tampak ada peluang yang dapat digunakan oleh majikan dalam memanfaatkan suatu keadaan dari pengertian KKB untuk menekan buruh dalam memperjuangkan haknya. Pada pengertian KKB, lebih ditekankan bahwa semua pihak tidak hanya mengutamakan kepentingannya, tetapi juga harus memperhatikan juga kepentingan bangsa dan negara. Sebagai contoh pemerintah telah menetapkan upah minimun provinsi/kota. Pasal 103 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyebut Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan salah satu sarana dilaksanakannya hubungan industrial. Sangat diharapkan akan terbentuk PKB yang berkualitas dengan mengkomodasikan tiga kepentingan yaitu buruh, pengusaha dan negara. Sayangnya sulit terwujud, karena terdapat inkonsistensi aturan hukum atau terdapat konflik norma di dalam norma pembentukan PKB. Perjanjian kerja bersama adalah hak yang mendasar yang telah disyahkan oleh anggota-anggota ILO dimana mereka mempunyai kewajiban untuk menghormati, mempromosikan dan mewujudkan dengan itikad yang baik. Perjanjian kerja bersama adalah hak pengusaha atau organisasi pengusaha disatu pihak dan dipihak lain serikat pekerja atau

organisasi yang mewakili pekerja. Hak ini ditetapkan untuk mencapai kondisi-kondisi pekerja yang manusiawi dan penghargaan akan martabat manusia (humane conditions of labour and respect for human dignity), seperti yang tercantum dalam Konstitusi ILO. Banyak para ahli yang mengemukakan pendapat mengenai pengertian Perjanjian Kerja Bersama, diantaranya pendapat dari Prof.Subekti,SH beliau mengatakan dalam bukunya Aneka Perjanjian, disebutkan bahwa Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama (PKB) berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU No. 13 Tahun 2003 jo Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004 tentang Tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan serta pembuatan dan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Bertolak dari pengertian tersebut, tersirat bahwa di dalam perjanjian kerja bersama terkandung hal-hal yang sifatnya obligator (memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban pihak-pihak yg mengadakan perjanjian), hal-hal yg bersifat normatif (mengenai peraturan perundang-undangan). Dengan demikian, dalam suatu perjanjian kerja bersama dimungkinkan untuk memuat kaedah yang bersifat horizontal (pengaturan dari pihak-pihaknya sendiri), kaedah yang bersifat vertikal (pengaturan yg berasal dari pihak yg lebih tinggi tingkatannya), dan kaedah yg bersifat diagonal (ketentuan yang berasal dari pihak yg tidak langsung terlibat dalam hubungan kerja). Untuk menjaga agar

isi perjanjian kerja bersama sesuai dengan harapan pekerja maka isi perjanjian kerja bersama haruslah memuat hal-hal yang lebih dari sekedar aturan yang berlaku (normatif), dengan membatasi masa berlakunya suatu perjanjian kerja bersama, guna untuk selalu dapat disesuaikan dengan kondisi riel dalam kehidupan bermasyarakat. Perjanjian Kerja Bersama merupakan hasil perundingan para pihak terkait yaitu serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau beberapa pengusaha yang mengatur syarat-syarat kerja, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian Kerja Bersama tidak hanya mengikat para pihak yang membuatnya yaitu serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha saja, tetapi juga mengikat pihak ketiga yang tidak ikut di dalam perundingan yaitu pekerja/buruh, terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut menerima atau menolak isi perjanjian kerja bersama atau apakah pekerja/buruh tersebut menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berunding atau tidak. Penggunaan istilah bersama dalam perjanjian kerja bersama ini menunjuk pada kekuatan berlakunya perjanjian yaitu mengikat pengusaha, atau beberapa pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pekerja/buruh itu sendiri. Penggunaan istilah bersama itu bukan menunjuk bersama dalam arti seluruh pekerja/buruh ikut berunding dalam pembuatan perjanjian kerja bersama karena dalam proses pembuatan perjanjian kerja bersama pekerja/buruh bukan merupakan pihak dalam berunding. Dalam hubungan dengan hubungan ketenagakerjaan, salah satu perjanjian yang mungkin ada adalah perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut umumnya memuat kesepakatan antara pekerja dengan perusahaan, yang dalam hal ini sering diwakili oleh manajemen atau direksi perusahaan. FX Djumialdy, SH, M.Hum menyebutkan bahwa agar dapat disebut perjanjian kerja harus dipenuhi 3 unsur yaitu: 1. Ada orang diperintah orang lain, 2. Penunaian kerja, 3. Adanya upah Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan perusahaan ini kemudian menjadikan adanya hubungan kerja antara keduanya. Di dalam Undang-Undang

No. 13 tahun 2003 didefiniskan bahwa Perjanjian kerja adalah Perjanjian antara pekerja dengan pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Sebagai suatu Undang-undang yang tujuannya antara lain untuk memberikan perlindungan kepada pekerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga, Undang-undang No. 13 tahun 2003 memberikan panduan mengenai perjanjian kerja. Menurut Undang-undang ini perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Apabila perjanjian kerja dibuat secara tertulis, maka harus memuat sebagai berikut: a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat -syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur bahwa suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi 4 syarat, maka dalam hukum ketenagakerjaan secara khusus

diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 bahwa kesahan suatu perjanjian kerja harus memenuhi adanya 4 persyaratan sebagai berikut: 1. kesepakatan kedua belah pihak; 2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; 4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti juga pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu Perjanjian kerja yang tidak memenuhi syarat pada nomor 1 dan 2 diatas dapat dibatalkan, sedangkan yang tidak memenuhi syarat huruf 3 dan 4 batal demi hukum. Suatu perjanjian kerja tentu saja dapat meliputi berbagai jenis pekerjaan, sepanjang pekerjaan tersebut memang diperlukan oleh pemberi kerja. Sedangkan ditinjau dari jangka waktu perjanjian kerja, pemberi kerja dapat saja membuat perjanjian kerja untuk suatu jangka waktu yang ditetapkan lebih awal atau tidak. Namun demikian, dalam rangka memberi kepastian hukum kepada pekerja dan pemberi kerja, perjanjian kerja yang dikaitkan dengan jangka waktunya dibagi menjadi 2 jenis perjanjian kerja. Kedua jenis perjanjian kerja yang diperbolehkan oleh Undang-undang tersebut adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT). Pengertian perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu tersebut dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu disebutkan sebagai berikut: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam

waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.

PKWT memiliki dasar batasan bahwa jangka waktu perjanjian kerja sudah ditetapkan dari awal, dibatasi oleh suatu dasar khusus. Dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 disebutkan bahwa PKWT didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Jika dibandingkan dengan PKWTT, maka PKWT memiliki keterbatasan, hal ini karena PKWT tersebut tidak bersifat berkelanjutan, sehingga jangka waktu perlindungan kepada pekerja terbatas pada waktu tertentu tersebut. Salah satu upaya agar PKWT tidak diterapkan kepada setiap jenis pekerjaan, Undang-undang memberikan perlindungan dengan pembatasan agar PKWT diterapkan pada situasi-situasi khusus. Hal ini berarti bahwa diluar situasi-situasi tersebut, PKWT tidak diperbolehkan. Adapun batasan situasi tersebut, dinyatakan dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 sebagai berikut: 1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; 2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; 3. pekerjaan yang bersifat musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. 4. perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Disamping itu, di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV/2004 diatur lebih lanjut mengenai persyaratan PKWT atas 4 jenis pekerjaan.

Misalnya mengenai PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun diatur dalam Pasal 3 Keputusan Menteri tersebut sebagai berikut: 1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. 2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun. 3. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. 4. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. 5. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT. 6. Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. 7. Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha. Adapun mengenai perjanjian waktu tidak tertentu, pengaturannya dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003. Undang-undang ini memberikan kesempatan kepada perusahaan/pemberi kerja untuk memberlakukan masa percobaan paling lama 3 bulan. Hal ini salah satunya dilatarbelakangi oleh karena sifat perjanjian yang bersifat berkelanjutan dan jangka panjang, maka perusahaan memerlukan waktu untuk evaluasi pekerja tersebut sebelum menjadi pekerja

tetapnya. Namun demikian menurut Pasal 61 tersebut, walaupun diberlakukan masa percobaan selama 3 bulan, perusahaan tidak diperkenankan membayar di bawah upah minimum. Selain perjanjian kerja yang didasari dengan jangka waktu tersebut di atas, hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan dapat juga terjadi melalui pemagangan. Dalam proses pemagangan ini, pekerja mengikuti kegiatan perusahaan yang biasanya berupa pelatihan kerja yang dilaksanakan secara langsung di tempat kerja. Pemagangan sebagai salah satu dari bentuk pelatihan kerja dipandang sebagai salah satu upaya yang efektif untuk meningkatkan kompetensi pekerja, serta memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan. Untuk memberikan perlindungan kepada pekerja magang, Undangundang No. 13 tahun 2003 mengatur sebagai berikut: 1. Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis. 2. Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan. 3. Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan. Dalam teori ekonomi modal dan tenaga kerja samasama merupakan alat ekonomi dimana keduanya saling bekerja saja dalam kegiatan ekonomis dalam menghasilkan baik barang maupun jasa. Maka artinya secara makro baik modal dan tenaga kerja sebagai faktor utama merupakan besaran memiliki pengaruh yang signifikan dalam perekonomian suatu negara. Besaran investasi kerap dijadikan ukuran economical performance suatu negara demikian pula halnya dengan tingkat penyerapan tenaga kerja pada sektor formal, selain itu baik besaran tingkat

investasi maupun penyerakan tenaga kerja sama-sama memiliki sapek public yang apabila terjadi ketidakseimbangan dampaknya akan merembet hingga ke ranah publik dan akhirnya menjadi permasalahan sosial. Oleh karena kedua hal tersebut merupakan bagian penting dalam perekonomian suatu negara, keduanya harus diregulasi negara sehingga sinergi keduanya dapat terkelola dengan baik. Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dibahas mengenai Ketenagakerjaan yang disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja / buruh. Kemudian diperkuat lagi dengan terbitnya Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang memiliki dampak sangat besar dalam penanganan masalah-masalah perselisihan perburuhan di Indonesia. Meskipun Undang-undang tersebut telah satu tahun terlambat untuk diimplementasikan disebabkan faktor teknis, Pemerintah, Januari 2006 lalu sudah melakukan tekadnya dalam menerapkan UU tersebut, yang sekaligus menghapuskan fungsi P4D maupun P4P yang selama ini berfungsi sebagai lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan tingkat daerah dan pusat. Dalam kedua produk perundang-undangan tersebut diatur mengenai hal-hal yang harus tertuang dalam perjanjian kerja, persyaratan dan konsekwensinya serta prosedur penyelesaian apabila terjadi sengketa dalam hubungan kerja antar buruh dengan pengusaha. Adapun berkenaan dengan penulisan ini, secara khusus Undang-undang No. 13 Tahun 2003 membagi bentuk sistem hubungan kerja antara buruh dan majikan, yaitu : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) , Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu (PKWTT), dan Borongan Pekerjaan (Outsourcing). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disebut PKWT) dan Perjanjian kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) diatur dalam Pasal 56 UU NO. 13 Tahun 2003 yang kemudian

dijabarkan dalam Kepmennakertrans No.kep.100/Men/VI/2004 Tentang Ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu. Adapun pengertian PKWT dalam Pasal 1 angka 1

kepmenakertrans No.kep.100/Men/VI/2004 adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu, sedangkan PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Sedangkan bentuk sistem hubungan kerja outsourcing diatur dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No. 12 Tahun 2003. mengenai pengertian outsourcing rumusan Pasal 64 menerangkan yaitu ; Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut: Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement. (Websters English Dictionary). Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut : Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces. Menurut definisi di atas, Outsourcing dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama.

Para pakar serta praktisi outsourcing Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing). Serupa dengan yang dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan. Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain. Ketentuan lain mengenai outsourcing diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku ketiga bab 7A bagian keenam tentang Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yaitu: 1. Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak yang lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan dimana pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu. 2. Dalam perjanjian pekerjaan tidak ada hubungan kerja antara perusahaan pemborong dengan perusahaan yang memborongkan sebab dalam perjanjian tersebut tidak ada unsur upah sebagai salah satu syarat adanya hubungan kerja. Jadi yang ada harga borongan. 3. Hubungan antara pemborong dengan yang memborongkan adalah hubungan perdata murni sehingga jika terjadi perselisihan maka penyelesaiannya dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri. 4. Perjanjian/perikatan yang dibuat secara sah oleh pemborong dengan yang memborongkan pekerjaan tunduk pada KUH Perdata Pasal 1338 jo Pasal 1320 yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Berdasarkan pengertian di atas jelas yang dimaksud dengan hubungan kerja outsourcing adalah bentuk hubungan kerja borongan dari perusahaan kepada perusahaan lain atas dasar perjanjian, dengan demikian dalam hubungan kerja outsourcing pihak yang terlibat dalam kesepakantan kerja bukan antara buruh dan pengusaha akan tetapi antar sesame pengusaha sedangkan buruh diposisikan sebagai perangkat kerja pelaksana isi perjanjian. Dari sudut pandang buruh hubungan kerja outsourcing menempatkan buruh pada posisi perlindungan yang ambigu disatu sisi buruh terikat dengan perusahaan penyedia tenaga di sisi lain kerja riil buruh untuk dan bertempat di perusahaan lain. Berdasarkan bentuk yang diberikan undang-undang antara PKWT atau yang lazim disebut kerja tetap dan PKWTT yang lazim disebut sebagai kerja kontrak, berbeda dengan outsourcing, yang memiliki pengertian sebagai bentuk kerja "pemborangan suatu pekerjaan penunjang yang terpisah dari kegiatan utama suatu perusahaan berdasarkan perjanjian tertulis kepada perusahaan lain". Berdasarkan pemahaman tersebutlah maka kita dapat memahami bahwasanya Outsourcing berbeda dengan pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Dengan kata lain, karyawan outsourcing tidak mempunyai hubungan hukum dengan perusahaan pengguna karyawan outsourcing. Dengan arti kata diantara perbedaannya yang mencolok ialah, pekerja/buruh yang dipekerjakan berdasarkan PKWT dan PKWTT langsung merupakan pihak dalam kesepakatan kerja dengan demikian pekerja/buruh menjadi bahagian dari perusahaan sedangkan pekerja yang diperkerjakan melalui skema outsourcing ia bukan merupakan pihak yang langsung membuat kesepakan kerja dengan pengusaha melainkan pihak yang menjadi pekerja/buruh perusahaan penyedia jasa yang kemudian diperintahkan untuk bekerja pada perusahaan lain, sehingga dengan demikian pekerja/buruh dalam skema outsourcing bukan merupakan bagian daripada

perusahaan tempat mereka bekerja, maka dengan sendirinya perusahaan pengguna tenaga buruh outsourcing tidak bertanggungjawab atas kesejahteraan dan perlindungan pekerja/buruh, sedangkan kewajiban tersebut berada pada perusahaan penyedia jasa outsourcing penyedia jasa empat pekerja/buruh tergabung. Jadi dapat disimpulkan berdasarkan Secara konseptual Outsourcing (Alih Daya) dalam

hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004). Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap. Dari bentuk sistem hubungan kerja yang diberikan undang-undang tersebut hubungan kerja outsourcing menjadi suatu hal yang baru diperkenalkan yang timbul dari latar belakang pembentukan Undang-undang Ketenagakerjaan nitu sendiri yang jelas tampak pada konsideran menimbang poin d yang pada pokoknya menyatakan kepentingan perlindungan dan mewujudkan kesejahteraan buruh tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Hal mana dari ringkasan pokok isi konsideran tersebut dalam praktek kesehariannya dunia usaha menemukan momentumnya yang tepat, sebab jika dilihat dari sudut pandang pengusaha bentuk hubungan kerja outsourcing menjadi pilihan dikarenakan biayanya rendah dan kepada pengusaha tidak dibebankan kewajiban-kewajiban ketenagakerjaan seperti, uang lembur, tunjangan hari raya, tunjangan kesehatan, hak-hak PHK, jaminan sosial tenaga kerja, jaminan pensiun hari tua dan lain sebagainya, serta apabila dikemudian hari terjadi sengketa

pekerja/buruh tidak dapat mengajukan tuntutannya secara langsung kepada pengusaha penguna jasa. Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan Inpres tersebut di atas nampak jelas kepentingan investasi menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan arah kebijakan perburuhan di Indonesia, sehingga praktek hubungan kerja outsourcing dengan konsekwensi buruh murah diharapkan dapat menjadi stimulus bagi iklim investasi. Arah kebijakan pemerintah tersebut jika ditilik dari kepentingan investasi dalam periode singkat memungkinkan adanya harapan perbaikan iklim investasi, namun hendaknya outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya, sebab jika tidak lama-kelamaan bentuk hubungan kerja outsourcing ini akan sangat merugikan kepentingan pekerja/buruh yang sebagaimana dengan pengusaha sama-sama memiliki kepentingan untuk menjadi sejahtera dan hidup layak. Selain itu dalam pelaksanaan outsourcing tidak menutup kemungkinan perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah

peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, dengan arti kata undang-undang tidak menyediakan wadah khusus bagi sengketa perburuhan outsourcing. Maka dalam hal ini yang diharapkan adalah perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource itu sendiri. B. Perjanjian kerja bersama sebagai bentuk persyaratan kerja Perjanjian Kerja Bersama atau disingkat PKB merupakan pijakan karyawan dalam menorehkan prestasi yang pada gilirannya akan berujung kepada kinerja korporat dan kesejahteraan karyawan. Jadi, PKB memang penting bagi perusahaan manapun. Hubungan kerja senantiasa terjadi di masyarakat, baik secara formal maupun informal, dan semakin intensif didalam masyarakat modern. Di dalam hubungan kerja memiliki potensi timbulnya perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Untuk mencegah timbulnya akibat yang lebih buruk, maka perlu adanya pengaturan di dalam hubungan kerja ini dalam bentuk PKB. Dalam prakteknya, persyaratan kerja diatur dalam bentuk perjanjian kerja yang sifatnya perorangan. Perjanjian kerja Bersama ini dibuat atas persetujuan pemberi kerja dan Karyawan yang bersifat individual. Pengaturan persyaratan kerja yang bersifat kolektif dapat dalam bentuk Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).Perjanjian Kerja Bersama atau PKB sebelumnya dikenal juga dengan istilah KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) / CLA (Collective Labour Agreement) adalah merupakan perjanjian yang berisikan sekumpulan syaratsyarat kerja, hak dan kewajiban para pihak yang merupakan hasil perundingan antara Pengusaha,

dalam hal ini diwakili oleh Managemen Perusahaan dan Karyawan yang dalam hal ini diwakili oleh Serikat Karyawan, serta tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 1 UU No.13 tahun 2003 Point 21.PKB dibuat dengan melalui perundingan antara managemen dan serikat karyawan. Kesemua itu untuk menjamin adanya kepastian dan perlindungan di dalam hubungan kerja, sehingga dapat tercipta ketenangan kerja dan berusaha. Lebih dari itu, dengan partisipasi ini juga merupakan cara untuk bersama-sama memperkirakan dan menetapkan nasib perusahaan untuk masa depan.Masa berlakunya PKB paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun. PKB juga merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk untuk menjalankan hubungan industrial, dimana sarana yang lain adalah serikat karyawan, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama bipartit, lembaga kerjasama tripartit, peraturan perusahaan, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Menurut ketentuan, Perundingan pembuatan PKB berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya PKB yang sedang berlaku. Dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka PKB yang sedang berlaku tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. Sehingga dengan demikian proses pembuatan PKB tidak memakan waktu lama dan berlarut-larut sampai terjadi kebuntuan (dead lock) yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Kendala-Kendala yang menjadi masalah tersebut yaitu tidak adanya koordinasi yang dilakukan oleh manajemen perusahaan dengan Sekar dalam menentukan kebijakan yang berdampak kepada kesejahteraan karyawan dan juga penjatuhan sanksi disiplin kepada karyawan dikarenakan adanya pelanggaran disiplin oleh karyawan. Terhadap masalah-masalah yang muncul selama ini cukup diselesaikan melalui forum bipartit. Dimana dalam forum bipartit ini Sekar dalam menjalankan peran dan fungsinya untuk membela kepentingan karyawan juga dipengaruhi oleh kondisi diluar perusahaan seperti kondisi ekonomi dan juga krisis yang mengakibatkan menerima kebijakan yang dikeluarkan oleh manajemen perusahaan. B. Saran Pelaksanaan peran dan fungsi Sekar dalam Perjanjian Kerja Bersama harusnya tetap diperhatikan dalam menentukan kebijakan atau keputusan yang menyangkut keberadaan karyawan. Karena dengan keterlibatan Sekar sejak awal dalam menentukan kebijakan yang menyangkut karyawan melalui peran dan fungsi sekar dapat mencegah bagi adanya perselisihan hubungan industrial.

DAFTAR PUSTAKA Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Jurnal Hukum, No. 7 Vol. 4 Tahun 1997, hal. 2. Aris Ananta, Liberalisasi ekspor dan impor Tenaga Kerja suatu pemikiran awal, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1996, hal. 245. Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa ketenagakerjaan adalah segala hal ihwal menyangkut tenaga kerja baik sebelum, pada saat dan sesudah melakuka pekerjaan. Majalah Tenaga Kerja, Sistem Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, Vol 37, 1999, hal. 14 Sugeng Mulyanto, Seksi Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Disnakertrans Kabupaten Grobogan, Wawancara tanggal 22 Mei 2006. Lihat Pasal 31, 55, 70, dan 76 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. WWW.GOOGLE.CO.ID

You might also like