You are on page 1of 20

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Hutan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia, karena hutan memberikan sumber kehidupan bagi kita semua. Hutan menghasilkan air dan oksigen sebagai komponen yang sangat diperlukan bagi kehidupan umat manusia. Demikian juga dengan hasil hutan lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat. Hal ini disampaikan dalam Pra Kongres Kehutanan Indonesia III (2001) dalam upaya membangun kesepahaman tentang hutan Indonesia. Pengelolaan hutan bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang perlu menjadi perhatian bersama, baik oleh pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha. Pemanfaatan nilai ekonomis hutan harus seimbang dengan upaya pelestarian lingkungan hidup sehingga hutan tetap dapat dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan. Realitas yang terjadi saat ini kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Kesejahteraan masyarakat yang dimaksud dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat di suatu wilayah (UNDP, 2001). Model pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan diterapkan untuk menjaga keberadaan hutan agar tetap lestari sehingga dapat memenuhi kebutuhan akan sumberdaya kayu di masa mendatang, baik bagi industri pengolahan kayu maupun bagi masyarakat sekitar. Salah satu contoh bahwa kebijakan pemerintah belum mampu menyentuh dalam pengelolaan hutan adalah masih terdapatnya konflik antar Sektor Kehutanan. Konflik tersebut terjadi antara pihak masyarakat dan pihak Perhutani Unit I Jateng (ARuPA, 1999). Konflik ini berawal dari keinginan masyarakat untuk menumpahkan ketidakpercayaan kepada pemerintah, khususnya kepada aparat penjaga hutan, akibat

manipulasi yang dilakukannya dengan para pemodal. Keterlibatan para pemodal yang sebagian besar berperan sebagai penadah itu, dilihat oleh masyarakat dari dua sisi. Pertama, mereka semakin menyadari bahwa kegiatan kehutanan dapat menghasilkan pendapatan yang cukup besar dibandingkan dengan kegiatan masyarakat selama ini yang hanya terlibat dalam skala kecil, misalnya upah tanam, hasil tumpangsari, upah tebangan dan upah dari berbagai kegiatan lain. Kedua, masyarakat menyadari bahwa kegiatan kehutanan melibatkan begitu banyak pemain yang sebagian besar melanggar hukum. Kejadian-kejadian tentang keterlibatan oknum Perhutani, oknum militer, pemilik modal, dan pihak-pihak lain dalam jaringan gelap tata usaha kayu, saat ini menjadi terbuka ketika warga juga terlibat di dalamnya. Hal ini menimbulkan suatu keberanian baru yang bersifat negatif, yaitu mencontoh pelanggaran- pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat yang terjadi di hadapan mereka. Pada beberapa kejadian terakhir, aparat sudah tidak lagi ditakuti oleh warga dan ini menunjukkan betapa motivasi warga telah berkembang cukup kompleks. Konflik terbuka antara masyarakat dan Perhutani dipicu ketika petugas Perhutani melakukan tindakan represif terhadap pencurian kayu, yang menyebabkan dua orang warga masyarakat tertembak pada pertengahan 1998 (ARuPA, 1999). Setelah kejadian tersebut, masyarakat semakin bebas dan leluasa dalam melakukan aksi-aksi penjarahan baik dalam bentuk penjarahan maupun perambahan hutan. Aksi penjarahan dan perambahan hutan tersebut sangat merugikan baik dari segi ekonomi, ekologi, sosial dan budaya. Kerugian dari segi ekologi dikarenakan pemanfaatan sumberdaya hutan dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian hutan itu sendiri atau fungsi-fungsi lain dari hutan yang lebih strategis dan substantif. Sedangkan dampak negatif penjarahan terhadap sosial, ekonomi dan budaya adalah masyarakat cenderung tetap berkutat dengan kemiskinannya karena tidak

mendapatkan manfaat dari hutan yang ada di wilayahnya. Untuk memperbaiki kondisi di kawasan hutan, Perhutani Unit I Jateng menerapkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan biaya ditanggung Perhutani sejak ditetapkannya kebijakan PHBM tahun 2001. Program PHBM diyakini menjadi salah satu terobosan Perhutani agar kejadian penjarahan

tidak terulang kembali karena program ini menerapkan konsep bagi hasil (sharing). Program ini juga dinilai telah menggeser paradigma pengelolaan hutan yang berbasis hasil kayu (timber management) ke pengelolaan yang berbasis sumberdaya (resource management) yang mengedepankan pengelolaan sumberdaya hutan partisipatif dan dilakukan bersama masyarakat atau kelompok masyarakat yang memiliki

kepentingan terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Model Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam pemanfaatan hutan mencoba diterapkan dalam kawasan hutan di Jawa Tengah. Salah satu kabupaten yang menerapkan program PHBM adalah Kabupaten Blora. Kabupaten Blora merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak di wilayah paling timur Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Blora mencapai 1.794,40 km
2 2 2

yang sebagian besar berupa hutan (904,16 km ), sawah (462,08 km ) dan tanah lainlain (454,33 km ) (Kompas, 2005). Potensi sumberdaya alam yang terdapat di Kabupaten Blora bermacam-macam mulai dari hutan, minyak, pertanian, wisata, sarang burung walet dan industri kayu (Kompas, 2005). Potensi tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian yang mempengaruhi cepat tidaknya Kabupaten Blora berkembang. Dari 904,16 km kawasan hutan, mayoritas hutan Blora ditumbuhi kayu jati yaitu sekitar 82.000 hektar kawasan hutan ini dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pengelolaan kawasan hutan tersebut dipegang dalam enam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) dan sisanya merupakan hutan rakyat yang hasil produksinya diolah oleh industri penggergajian dan mebel skala kecil di daerah Kabupaten Blora sendiri (Kompas, 2003). Penduduk Kabupaten Blora memandang hutan sebagai kekayaan daerah yang seharusnya bisa lebih menjamin kehidupan ekonomi mereka sehari-hari (Kompas, 2003). Hal ini sesuai dengan motto Cacana Jaya Kerta Bhumi yang berarti bumi Blora mengandung kejayaan dan kemakmuran yang langgeng (Kompas, 2003). Namun, pemaknaan tersebut menjadi bertentangan ketika marak terjadi penjarahan di kawasan hutan tersebut.
2 2

Kondisi hutan di Kabupaten Blora yang mengalami penurunan kelestarian akibat penjarahan menyebabkan kerugian ketiga KPH di Blora yaitu KPH Randublatung, KPH Cepu, dan KPH Blora semakin meningkat (Kompas, 2003). Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Kabupaten Blora mencoba menerapkan kebijakan PHBM di ketiga KPH di Kabupaten Blora. KPH Randublatung merupakan KPH yang kawasannya paling luas (324,641 km atau 35,91%) di Kabupaten Blora namun berdasarkan proyeksi memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah (RPKH KPH Randublatung 2003-2012). Sebanyak 63,94% keluarga di kecamatankecamatan yang berada di wilayah KPH Randublatung yang terdiri dari enam kecamatan yaitu Kecamatan Jati, Kecamatan Randublatung, Kecamatan Kradenan, Kecamatan Jepon, Kecamatan Banjarejo dan Kecamatan Kunduran, masih berada pada tahapan keluarga pra sejahtera (BKKBN Kabupaten Blora, 2003). Melalui sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), diharapkan kepentingan bersama untuk mewujudkan fungsi dan manfaat hutan dapat tercapai optimal dan proporsional di KPH Randublatung. PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional guna mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan Perhutani, yang antara lain misi tersebut adalah memberdayakan sumberdaya manusia (SDM) melalui lembaga perekonomian masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.
2

Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan status keberlanjutan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Kajian keberlanjutan tersebut dianalisis dari aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan.

BAB II PERMASALAHAN

Empat tahun berlalu sejak penetapannya, PHBM diawali dengan SK Direksi No. 136/KPTS/Dir/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Ketentuan ini dikuatkan dengan SK Gubernur Jawa Tengah No. 24 Tahun 2001 tanggal 26 September 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Sejak itu PHBM ditetapkan sebagai sistem pengelolaan hutan yang ideal. Pelaksanaan PHBM di KPH Randublatung yang telah memasuki tahun keempat ini masih menemui beberapa kendala yang pada akhirnya menghambat kurang lancarnya pelaksanaan PHBM. Pada awal pelaksanaan program, masyarakat belum sepenuhnya percaya kepada pihak Perhutani. Selain itu kendala muncul karena sering terjadi adanya oknum masyarakat yang mempunyai kepentingan pribadi melakukan provokasi, sehingga pelaksanaan PHBM agak tersendat. Kendala pada sumberdaya manusia juga terjadi, yaitu pada SDM pihak internal Perhutani di tingkat bawah yang pemahaman tentang program PHBM belum komprehensif. Kondisi hutan yang mengalami penurunan kelestarian akibat penjarahan menyebabkan kerugian KPH di Blora yaitu KPH Randublatung, KPH Cepu, dan KPH Blora semakin meningkat (Kompas, 2003). Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pihak Perhutani dan pemerintah menerapkan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang berarti penduduk seputar kawasan hutan dilibatkan aktif dalam mengelola hutan dengan sistem bagi hasil (Kompas, 2002). Program PHBM tersebut diterapkan di Kabupaten Blora, termasuk KPH Randublatung yang merupakan KPH dengan kawasan hutan yang paling luas. Penerapan PHBM di KPH Randublatung dilakukan dengan harapan melalui sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), kepentingan bersama untuk mewujudkan fungsi dan manfaat hutan dapat tercapai secara optimal dan proporsional.

Proses penerapan PHBM di KPH Randublatung sebagai suatu sistem selama lima tahun sejak penetapannya, tentu tidak lepas dari kendala dan hambatan baik dari internal maupun eksternal. Kendala dan hambatan yang dalam penerapan PHBM yang masih dirasakan masyarakat adalah masyarakat kurang memahami akan penerapan kebijakan PHBM (Prastawa, 2005). Tingkat pemahaman yang kurang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam meginterpretasikan kebijakan PHBM di lapangan. Adanya pemahaman yang berbeda dalam masyarakat akan berakibat kurang berhasilnya tujuan dari PHBM dan kurang optimalnya hasil kegiatan PHBM. Masalah lain yang masih dirasakan oleh banyak pihak dari unsur yang terkait dengan PHBM adalah masalah alokasi dana bagi hasil (sharing) 25% untuk LMDH yang tercantum dalam kebijakan PHBM. Kurang sesuainya kebijakan mengenai alokasi dana dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan berdampak pada hasil pelaksanaaan PHBM yang kurang optimal (Awang, 2007). Gambaran masih terdapatnya permasalahan dalam implementasi kebijakan PHBM diatas menjadikan alasan perlunya evaluasi dalam implementasi PHBM di KPH Randublatung. Studi ini akan mengevaluasi implementasi PHBM dengan menganalisis proses pelaksanaan PHBM, faktor-faktor penyebab pergeseran penerapan PHBM dan dampak dari penerapan PHBM. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan campuran dengan model less quantitative more qualitative. Pendekatan kuantitatif merupakan penekanan terhadap evaluasi program PHBM di lapangan sehingga terjadi proses eksplorasi terhadap variabel yang tersedia untuk menggambarkan fenomena di lapangan, yang merupakan bagian dari pendekatan kualitatif. Studi ini menggunakan teknik analisis kualitatif deskriptif dan kualitatif komparatif dengan wilayah studi Desa Jegong KPH Randublatung. Hasil penelitian menggambarkan pelaksanaan PHBM di Desa Jegong KPH Randublatung sesuai. Kesesuaian implementasi dilakukan dengan sistem check list terhadap variabel evaluasi implementasi PHBM pada masing-masing analisis. Analisis proses pelaksanaan PHBM di Desa Jegong KPH Randublatung berjalan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan (SK No.136/KPTS/Dir/2001 tentang PHBM

dan SK No.2142/KPTS/I/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan PHBM) yang dilihat dari aspek kegiatan PHBM, ketentuan berbagi, tahapan pelaksanaan dan kelembagaan PHBM. Analisis faktor-faktor penyebab pergeseran penerapan PHBM

menggambarkan bahwa tidak semua tahapan dalam pelaksanaan PHBM terdapat kendala. Hal itu menunjukkan pelaksanaan PHBM berjalan baik. Selain itu adanya potensi masyarakat dalam menyelesaikan konflik sangat mendukung kesesuaian dalan pelaksanaan PHBM. Kondisi adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan menggambarkan adanya dampak psitif dari penerapan PHBM yang diperoleh dari analisis dampak. Hasil analisis tersebut dikomparasi sehingga menggambarkan bahwa implementasi PHBM di Desa Jegong KPH Randublatung sesuai berdasarkan indikator pada masing-masing variabel analisis. Berdasarkan hasil analisis diatas pelaksanaan PHBM telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan di KPH Randublatung, meskipun masih terdapat kendala dalam beberapa tahapan pelaksanaan PHBM. Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis diatas dirumuskan rekomendasi untuk mendukung pengembangan PHBM dalam mewujudkan

masyarakat sejahtera dan hutan yang lestari. Strategi tersebut meliputi strategi pengembangan pada aspek/ tahapan implementasi PHBM, strategi pengembangan kelembagaan PHBM (kelembagaan Masyarakat Desa Hutan dan kelembagaan kolaboratif ) dan strategi pemanfaatan bagi hasil (sharing).

BAB III METODE PENELITIAN

Obyek Penelitian Objek penelitian ini adalah keberlanjutan pengelolaan hutan bersama masyarakat adapun sasaran penelitiannya adalah penduduk Desa ikut serta dalam program PHBM yang tergabung dalam LMDH. Rancangan Penelitian Penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengelolaan hutan yang dilakukan bersama oleh Perhutani dan masyarakat. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan metode kualitatif yang digunakan secara dominan dan ditunjang dengan metode kuantitatif (Creswell, 2003). Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi dari informan kunci tentang keberlanjutan pengelolaan hutan yang dilakukan Perhutani bersama masyarakat dari aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui pendapatan dan penilaian masyarakat yang ikut dalam program PHBM terhadap keberlanjutan PHBM dari aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Untuk menghindari adanya bias pada hasil penelitian maka dilakukan cross check dengan metode triangulasi data, yaitu data dikumpulkan dari berbagai sumber majemuk dari kuesioner, wawancara, pengamatan dan analisa dokumen (Creswell, 2003). Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Sampling dalam metode kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive sampling. Pemilihan informan dilakukan berdasarkan aspek pertimbangan relevansi dan kompetensi yang dimilikinya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah perolehan informasi di lapangan. Pada metode kuantitatif, pengumpulan data dilakukan melalui

sensus,sehingga responden dalam penelitian ini adalah seluruh anggota LMDH Desa.

Sensus dilakukan untuk memperoleh data tentang penilaian anggota tentang kondisi air, pengolahan tanah, perlindungan tumbuhan dan satwa liar, partisipasi aktif, keputusan partisipatif, akses terhadap sumber daya hutan, kegiatan ekonomi yang berasal dari hutan, tumpang sari, bagi hasil serta penilaian anggota tentang LMDH. Jenis Dan Sumber Data Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. 1) Data primer, yakni data yang diperoleh secara langsung di lapangan untuk mengetahui keberlanjutan pengelolaan hutan bersama masyarakat dari aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Data tersebut diperoleh melalui kuesioner, wawancara mendalam dengan informan kunci dan pengamatan lapangan. 2) Data sekunder diperoleh dari Perum Perhutani tentang laporan PHBM, perjanjian kerjasama dengan LMDH dan peta, dari LMDH berupa laporan tahunan LMDH dan dokumen lain terkait masalah penelitian, dari kantor tentang monografi Desa serta dari Bappeda. Teknik Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dengan studi kepustakaan sedangkan data primer diperoleh melalui pengamatan, wawancara dan kuesioner. Secara lebih rinci teknik pengumpulan data primer tersebut diuraikan di bawah ini: 1. Pengamatan dilakukan untuk mengamati indikator sumber daya air dilindungi melalui pengamatan terhadap kawasan sempadan sungai yang dijadikan kawasan perlindungan setempat, indikator minimasi erosi tanah dengan pengamatan secara langsung lahan hutan yang dijadikan lokasi tumpang sari, serta indikator tata kelola organisasi melalui pengamatan pertemuan anggota LMDH. Pada teknik ini, pengamatan dilengkapi dengan alat bantu kamera foto. 2. Wawancara mendalam digunakan untuk mengkaji indikator keberlanjutan PHBM dari aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Wawancara

mendalam dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan berdasarkan panduan wawancara dari peneliti. 3. Kuesioner digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai pendapatan dan penilaian masyarakat yang ikut dalam program PHBM terhadap keberlanjutan PHBM dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi serta pendapatan petani. Data yang diambil merupakan data sikap dengan menggunakan pengukuran skala Likert dengan kategori jawaban terdiri atas lima tingkatan dari 1 sampai 5. Pengukuran terhadap penilaian responden terhadap PHBM dilakukan dengan cara membandingkan jumlah skor jawaban (Sp) dengan skor yang diharapkan (tertinggi / Sm) kemudian dikalikan 100% dan hasilnya berupa persentase dengan rumus yang digunakan sebagai berikut: N = Sp x 100% Sm Selanjutnya persentase jawaban diinterpretasikan dengan acuan sebagai berikut :Tinggi : Nilai > 66%, Sedang : Nilai = 33-66%, Kurang : Nilai < 33% Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pada analisis kualitatif, data yang dikumpulkan kemudian dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan penyusunan kesimpulan. Tahap reduksi data terdiri dari pemilihan, penyederhanaan, pembuatan abstraksi dan transformasi data mentah yang didapatkan di lapangan. Pada tahap penyajian data, data disusun menjadi kumpulan informasi yang terorganisasi. Kesimpulan dibuat dengan menentukan apa arti dari sesuatu atau berbagai hal yang dikumpulkan, gambaran pola, penjelasan kausal dan membuat proposisinya. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan serta penilaian anggota LMDH terhadap keberlanjutan PHBM dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Analisis dilakukan dengan menggunakan statistik proposional berupa persentase (%). Hasil analisis tersebut disajikan dalam bentuk tabel yang menunjukkan sebaran jumlah dan persentase.

10

BAB IV PEMBAHASAN
Hutan adalah lumbung kehidupan. karena didalam hutan terdapat milyaran sumber kehidupan. Hutan-hutan tersebut telah berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman, perkebunan, sawah dan ladang. Tidak sedikit diantaranya menjadi lahan kritis yang rawan dengan longsor dan banjir setelah pembukaan hutan. Kerawanan lahan ini pada umumnya disebabkan oleh tingkat kemiringan lahan yang tidak sesuai dengan prosedur. Pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan struktur tanah serta kemiringan tersebut juga merupakan salah satu penyebabnya. Pembukaan ladang merupakan salah satu permasalahan utama di Negeri kita. Ladang yang baru dibuka umumnya akan memberikan damapak yang positif bagi petani dikarenakan ladang tersebut masih memiliki kandungan unsur hara yang tinggi. Hal inilah yang menjadi penyebab banyaknya praktek perladangan berpindah dengan tebas bakar tanpa melakukan pengelolaan ladang yang baik. Praktek ladang berpindah tersebut telah mengakibatkan rendahnya kesuburan tanah serta tingginya tingkat erosi dan degradasi lahan. Apabila permasalahan-permasalahan tersebut diatas tidak segera dicari solusinya, maka bukan tidak mungkin apabila suatu saat hutan kita akan habis dan hanya menyisakan kepedihan-kepedihan yang berupa bencana yang akan selalu mengancam sebagai akibat hilangnya keseimbangan ekosistem. Solusi yang baik perlu dicari untuk mengembalikan keadaan hutan agar hutan tersebut dapat tetap memberikan manfaat. Usaha melakukan konservasi lahan mulai banyak dilakukan diberbagai penjuru tanah air. Semua usaha konservasi lahan tersebut sejauh ini telah menunjukkan hasil yang positif tetapi hasil positif tersebut masih belum optimal. Usaha konservasi lahan, umumnya dilakukan oleh Instansi Kehutanan dan Masyarakat sekitar hutan saja tanpa dukungan dari pihak lain seperti : Instansi dan ahli yang bergerak dalam bidang pengairan, infrastruktur, pendidikan dan pelatihan,

11

pertanian dan masih banyak lagi pihak lain yang berhubungan dan dapat dilibatkan dalam pengelolaan konservasi hutan. Masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu faktor penting yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan dan konservasi hutan. Dengan pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang telah diterapkan dapat menjadi solusi konservasi hutan yang dilakukan bersama dengan masyarakat, tetapi juga dapat menjadi masalah utama apabila tidak dilakukan koordinasi dan sosialisasi serta manajemen pengelolaan yang terarah. Pola PHBM kini perlu ditambah dengan suatu pola pemikiran baru, dimana pola PHBM tersebut harus menggunakan suatu perancangan dan pengembangan kawasan hutan yang diarahkan tidak hanya sebagai konservasi saja, tetapi juga sebagai kawasan produksi dan pengolahan dengan skala tertentu disektor pertaniankehutanan dalam arti luas, penelitian, alih teknologi, ekspose, pendidikan dan latihan serta kerjasama bisnis dengan sektor swasta maupun masyarakat. Pola itu dapat disebut dengan pola PHBM plus-plus. Untuk mewujudkan hal tersebut diatas, tentu saja Instansi yang bergerak disektor kehutanan tidaklah cukup hanya melakukan kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan saja, tetapi juga harus melakukan sosialisasi dan koordinasi yang pada akhirnya membentuk suatu kerjasama yang kompleks dengan semua sektor yang berkaitan, seperti Instansi bidang pengairan, infrastruktur, pendidikan dan pelatihan, pertanian, dan bidang-bidang lain yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola PHBM plus-plus perlu dirancang dengan beberapa pendekatan, seperti: 1. Keterpaduan Dengan mengintegrasikan beragam usaha tani-hutan dan industry hulu-hilir dalam suatu usaha tani terpadu bersiklus biologi. 2. Pendekatan NiagaDengan melakukan pengelolaan seluruh aktifitas dengan pendekatan bisnis sebagai model pengelolaan hutan lestari secara mandiri. 3. Keberlanjutan Melakukan pendayagunaan sumber daya alam yang ada secara berkelanjutan untuk menjamin pelestarian lingkungan dan keberlangsungan program yang telah berjalan

12

4. Pemberdayaan MasyarakatMelakukan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan, pelatihan, dan pelibatan pada seluruh kegiatan. 5. Pemanfaatan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)Memanfaatkan IPTEK dalam seluruh kegiatan demi peningkatan efisiensi produksi, keragaman dan kualitas produk serta nilai tambah melalui proses adaptasi, integrasi dan pengembangan IPTEK. Salah satu contoh penerapan PHBM plus-plus adalah pada petak perhutani (petak 89) yang terletak di Desa Salam Mulya, Kecamatan Pondok Salam, Kabupaten Purwakarta yang pada saat ini telah berubah fungsi menjadi sawah tadah hujan dan ladang yang dikelola masyarakat. Pegalihan fungsi hutan ini menjadikan lahan seluas 41,5 Ha ini menjadi lahan terbuka yang pada umumnya hanya berproduksi dimusim penghujan, akibatnya lahan ini menjadi rawan longsor dan banjir serta beberapa mata air yang pernah ada dilahan tersebut mulai mongering dan menghilang. Instansi yang bergerak dibidang kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air didaerah ini menjadikan hutan produksi yang dikelola secara lestari, sekaligus melestarikan mata air yang masih ada. Kegiatan ini melibatkan petani penggarap petak 89, sehingga mereka masih tetap mendapatkan penghasilan dari lahan ini. Rencana penghutanan kambali petak 89 tersebut tidak hanya mengenai rencana penanaman dan pengusahaan hutan secara terpadu dan berkesinambungan tetapi juga mewujudkan potensi lahan yang dapat dikembangkan menjadi produktif seperti potensi sebagai tempat tujuan wisata dan sebagai tempat pendidikan dan pelatihan. Selain melibatkan masyarakat sekitar hutan, pemerintah daerah juga perlu menggandeng beberapa instansi dan pihak yang berkompeten seperti instansi dan ahi yang bergerak dibidang, pertanian, peternakan, pariwisata, infrastruktur, serta tidak lupa pula melibatkan para ahli dibidang pendidikan dan pelatihan dalam upaya meningkatkan pengetahuan sikap dan keterampilan masyarakat. PHBM plus-plus ini melibatkan banyak pihak, sehingga kegiatan yang dilakukanpun akan menjadi semakin banyak. Dengan PHBM plus-plus ini maka tidak

13

hanya dapat melakukan reboisasi lahan kawasan hutan tetapi juga melakukan pelindungan sumber daya air, pembangunan percontohan agroforestry, pembangunan percontohan sylvopasture dan pembibitan tanaman, pembangunan percontohan arboretum sekaligus melakukan pemberdayaan masyarakat. Aksi pertama dalam PHBM plus-plus yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perencanaan dan membuat rancangan tata hijau yang tepat dan cermat sehingga nantinya semua kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya dapat melakukan penanaman jenis-jenis tanaman yang cepat tumbuh. Hal tersebut dimaksudkan agar lahan dan mata air cepat terkonservasi. Dalam PHBM plus-plus akan semakin banyak pihak yang terlibat dari berbagai bidang, sehingga dalam pengelolaan konservasi lahannya dapat dilakukan dengan cara membagi wilayah konservasi kedalam beberapa zona, yaitu : Arboretum, hutan produksi, agroforestry, pembibtan dan zona pertamanan. Zona arboretum adalah zona yang diperuntukkan sebagai area konservasi tumbuhan dan air. Zona ini adalah kawasan yang mengkoleksi berbagai jenis tanaman yang berperawakan pohon. Tanaman yang ada pada kawasan ini ditanam dengan menggunakan tata tanam dan diregister dalam pendataan sehingga dapat digunakan sebagai sarana pendidikan dan penelitian. Jenis-jenis tanaman yang ditanam dalam kawasan ini diantaranya adalah : jenis-jenis tanaman langka, tanaman yang dapat mengikat ar dan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa jenis-jenis tanaman yang akan ditanam pada kawasan arboretum ini adalah tanaman yang membutuhkan waktu lama dalam pembibitannya, sehingga kawasan ini dapat digunakan sebagai hutan produksi. Saat tanaman arboretum ini telah siap tanam, maka secara bertahap tanaman produksi diganti dengan jenis tanaman arboretum. Tanaman arboretum ini nantinya akan dipertahankan kelestariannya hingga fungsi-fungsi dari sebuah hutan dapat dirasakan kembali. Zona Hutan Produksi adalah kawasan yang peruntukannya adalah sebagai lokasi penanaman jenis-jenis tanaman yang dapat dikomersilkan dan menguntungkan seperti Janis-janis tanaman yang menghasilkan kayu komersil dengan jangka waktu

14

budidaya yang pendek, jenis tanaman yang menghasilkan buah konsumsi dan olahan serta jenis tanaman yang menghasilkan komoditi industry. Sebagai hutan produksi yang dikelola secara lestari, maka penebangan dilakukan secara bertahap dan system penebangan dilakukan dengan cara membagi area-area tebangan. Dengan begitu maka kekosongan lahan tidak akan terjadi dan hutan akan tetap terjaga kelestariannya. Zona Agroforesty merupakan kawasan yang memadukan cara budidaya tanaman dengan budidaya hutan produksi, dimana budidaya tanaman dilakukan disela-sela tanaman pokok baik pada saat tanaman pokok masih kecil ataupun sudah besar. Kawasan ini ditujukan untuk produksi pangan ataupun hortikultura, agrowisata dan lokasi penanaman pakan ternak. Zona Pembibitan adalah kawasan yang menyediakan bibit berbagai jenis tanaman yang akan digunakan pada semua zona pengembangan. Jenis tanaman tersebut daiantaranya adalah jenis tanaman pada zona arboretum, hutan produksi, agroforestry dan pertanaman. Zona Pertamanan adalah kawasan yang diperuntukkan untuk jenis-jenis tanaman hias. Tanaman ini diperuntukkan pada sudut-sudut tertentu kawasan agar tampil lebih indah. Selain Zona-zona tersebut diatas, selanjutnya dapat dikembangkan lagi beberapa zona perkantoran yang digunakan sebagai wilayah kawasan lokasi pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat sekitar dan bagi masyarakat umum. Siapapun yang berkunjung pada kawasan ini dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan dibidang kehutanan, pertanian dan pariwisata. Keseluruhan zona tersebut apabila dipadukan akan dapat menjadi zona wisata. Perpaduan seluruh kawasan dapat memberikan pengetahuan sekaligus pemandangan yang indah bagi semua orang, termasuk memberikan pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan. Zona yang dikelola secara bersama-sama tersebut akan memberikan hasil yang optimal, dibandingkan bila melakukan pengelolaan sendiri. Kebersamaan dalam pengelolaan konservasi hutan itu sangatlah penting, karena dengan semakin

15

banyaknya pihak yang terlibat dari semua bidang maka hasil yang dperolehpun akan menjadi semakin optimal. Bukan suatu hal yang mustahil, bila suatu saat hutan kita akan tersenyum lagi. Selain melakukan pembagian wilayah konservasi kedalam beberapa zona, juga diperlukan persiapan sarana dan prasarana yang dapat mendukung program tersebut. Dalam PHBM plus-plus sarana dan prasarana yang dibuthkan diantaranya adalah : kandang ternak, gudang penyimpanan peralatan, unit pengolahan limbah, gerai pelayanan kegiatan agrowisata, kantor, ruang diklat, bedeng pembibitan dan gudang peralatan dan bahan Begitu komplek nya kegiatan PHBM plus-plus ini, sehingga menyebabkan pola ini menjadi rekomendasi yang tepat pada program-program konservasi hutan ditanah air. PHBM plus-plus ini akan sangat baik bila diterapkan diseluruh wilayah kawasan hutan dinusantara ini. Pola ini wajib diterapkan untuk mengembalikan kelestarian hutan yang hilang di negeri kita. Dengan pola ini, maka masyarakat sekitar hutanpun akan mendukung pengelolaan konservasi hutan, karena walaupun melakukan konservasi mereka tetap akan terus mendapatkan hasil dari pengelolaan hutan tersebut. Uraian tersebut jelas sekali menunjukkan betapa penting dan tepatnya program PHBM plus-plus ini, karena bukan hanya plus manajemennya tetapi juga plus pihak yang terlibat, plus ide pengelolaannya dan plus juga hasil yang diperolehnya. Kelestarian hutan bukan hanya kata-kata tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata.

16

BAB V PENUTUP

Keberlanjutan dalam pembangunan berkelanjutan dapat dinilai dengan persoalan mendasar bahwa apakah pemanfaatan sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan dilakukan secara efisien dan selanjutnya dapat menunjang kualitas hidup manusia yang hendak dicapai. Beberapa penilaian terhadap keberlanjutan suatu program antara lain 1) integritas system sosial-ekologi, 2) kehidupan yang layak untuk setiap orang, 3) keadilan yang diwujudkan dalam suatu organisasi dalam menjamin kehidupan setiap orang, 4) kesempatan dan kapasitas generasi yang akan datang untuk memenuhi kehidupan yang layak, 5) pemeliharaan dan efisiensi sumberdaya alam, 6) proses pengambilan keputusan terbuka dan mewujudkan tanggung jawab kolektif dan 7) kehati-hatian dan adaptasi. Beberapa indikator keberlanjutan pada pengelolaan hutan oleh masyarakat. Keberlanjutan ekologi, ditunjukkan dengan indikator antara lain 1) sumberdaya air dilindungi, 2) minimasi erosi tanah dan kualitas tanah dipelihara, 3) ditetapkannya tata guna lahan yang menjamin keanekaragaman hayati dan 4) jenis tumbuhan dan satwa terancam punah dilindungi. Keberlanjutan sosial, ditunjukkan dengan indikator 1) partisipasi aktif masyarakat, 2) pengambilan keputusan secara partisipatif, 3) mekanisme penyelesaian konflik dan 4) akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan terjamin. Keberlanjutan ekonomi dengan indikator 1) kepentingan ekonomi yang berasal dari sumberdaya hutan dan 2) adanya keuntungan yang diperoleh sebagai mata pencaharian tetap yang berasal dari agroforestry. Kriteria dan indikator tersebut perlu dikembangkan untuk menggambarkan sampai sejauh mana permasalahan, kriteria dan indikator dianggap penting di suatu lokasi. Kriteria dan indikator tidak dapat dilihat sebagai satu paket yang umum atau pasti. Beberapa indikator dapat diterapkan di sebagian besar lokasi, beberapa lainnya memerlukan lokasi yang lebih khusus. Ada kemungkinan beberapa indikator tidak relevan sehingga diperlukan penyesuaian berdasarkan lokasi dan kondisi yang ada (Ritchie dkk., 2001).

17

Kegagalan pengelolaan tersebut membuat perubahan paradigma pengelolaan hutan dari yang hanya berorientasi ekonomi semata menjadi pengelolaan hutan yang menuju ke arah kelestarian sumberdaya dan kesejahteraan masyakat. Perubahan pola pikir ini intinya adalah dari pengelolaan kayu ke orinetasi menghasilkan barang (produk) dan jasa hutan secara berkelanjutan dalam kuantitas dan kualitas dengan melibatkan/berbasiskan masyarakat, yang lebih dikenal dengan sebutan CBFM (Community Based Forest Management), atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Perhutani mengimplementasikannya melalui program PHBM. Upaya Perhutani untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan dan menjaga kelestarian hutan, jelas terkait dengan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Sebagai bagian dari pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, aspek keberlanjutan dari pogram PHBM tersebut perlu dikaji. Kajian terhadap keberlanjutan PHBM dapat dikaji sari aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Keberlanjutan ekologi akan menjamin keberlanjutan ekosistem hutan. Dengan adanya keberlanjutan ekologi, keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Keberlanjutan sosial yang diwujudkan dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan pengambilan keputusan akan menjamin pengelolaan hutan berkelanjutan. Adanya partisipasi dalam pengelolaan hutan memberikan fungsi untuk membentuk perasaan memiliki atau mempermudah pelaksanaan program PHBM secara menyeluruh. Keberlanjutan ekonomi dalam pengelolaan hutan menjamin kemajuan ekonomi masyarakat hutan. Adanya jaminan masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumberdaya hutan dan mengelola lahan hutan guna kepentingan ekonomi mereka, diharapkan tekanan masyarakat terhadap hutan menjadi berkurang sehingga kelestarian hutan terjaga sekaligus meningkatkan pendapatan mereka. Keberlanjutan kelembagaan mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan. Melalui nilai, norma, peraturan dan tujuan bersama yang ada dalam kelembagaan, diharapkan masyarakat akan tetap mengelola kegiatan-kegiatan PHBM. Dengan kelembagaan, diharapkan masyarakat memiliki keyakinan, kemampuan dan komitmen untuk mengelola hutan secara lestari.

18

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman.

2003.

Pembangunan

Berkelanjutan

Dalam

Pengelolaan

Sumberdaya Alam Indonesia. Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14-18 Juli 2003. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. Abikusno. 2007. Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkaitan dengan Aspek Tenurial. Makalah. www.wg-tenure.org/file/Seri.../003-

Makalah_Diskusi-Sesi1.pdf. [4 Januari 2012]. Affandi O. 2002. Tinjauan Antropologi Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Pembangunan Kehutanan. Fakultas Pertanian, Program Ilmu Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. USU digital library. Agenda 21 Indonesia. 1997. Strategi Nasional Untuk Pembangunan

Berkelanjutan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Pelangi Grafika. Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta. Asdak C. 2009. Ilmu Biologi dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan. Makalah Seminar Nasional Inovasi Biologi dan Pendidikan Biologi dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Diselenggarakan oleh Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UPI, Bandung, 15-16 Juli 2009. Atik. 2010. Lutung Jawa (Trachypithecus auratus). Petungsewu Wildlife Education Center (P-WEC). Awang S. A. 2006. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat. Buku Ajar Program Peningkatan Kualitas Pembelajaran dan Penjaminan Mutu. Fakultas Kehutanan, UGM. ____________. 2007. Politik Kehutanan masyarakat. Kreasi Wacana Yogyakarta. CIFOR. 2003. Perhutanan Sosial. Warta Kebijakan No. 5 Februari 2003. _______. 2007. Menuju kesejahteraan dalam Masyarakat Hutan.

http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/BAlbornoz0701Ina. pdf. [12 Januari 2012].


19

Dephut. 2006. Promosi Hasil Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (CBFM). www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/2629. [2 Januari 2012]. Djayusman H, Sumardi D, Gamin, dan Ojat. 2005. Sistem Penilaian Pengelolaan Hutan Lestari. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan. Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan. Kadipaten. Khususiyah. 2009a. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM): Upaya untuk Meningkatkan Kesejahteraan & Pemerataan Pendapatan Petani Miskin di Sekitar Hutan. Brief No. 02. November 2009. ICRAF Bogor. Tenure W G. 2007. Kajian dan Opini Apa kata mereka tentang:Hak dan Akses Masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya Hutan .Warta Tenure Edisi 4, bulan Februari 2007 Yudianto. 2005. Prosiding Dialog Stakeholder. Melalui Pembentukan Forum Dialog Stakeholder Kita Wujudkan Pelibatan Masyarakat Setempat Dalam Kegiatan Rehabilitasi Lahan Kritis. Yulianti Y dan Purnomo M. 2003. Sosiologi Pedesaan. Lappera Pustaka Utama.Yogyakarta. Yuwono T dan Putro W T. 2008. Cooperative Forest Management. Potret Pengelolaan Hutan Kabupaten Ngawi di Era Otonomi Daerah. Datamedia. Yogyakarta. Zulkarnain. 1999. Pengembangan Masyarakat Melalui Dinamika Kelompok. Lembaga Pengembangan Masyarakat Pedesaan (LPMP) Dompu NTB.

20

You might also like