You are on page 1of 12

KASTRASI PADA KUCING

I.

TUJUAN 1. Mengetahui pengertian kastrasi 2. Mengetahui macam macam metode kastrasi 3. Mengetahui tekhnik operasi kastrasi 4. Mengetahui keuntungan dan kerugian kastrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA Sistem reproduksi jantan terdiri dari dua testes ( testikel ) yang terbungkus di dalam skrotum. Testis menghasilkan spermatozoa ( sel kelamin jantan ) dan testosterin atau hormon kelamin jantan. (Frandson, 1993) Orchidektomi atau kastrasi adalah sebuah prosedur operasi / bedah dengan tujuan membuang testis hewan. Kastrasi ini dilakukan pada hewan jantan dalam keadaan tidak sadar (anastesi umum). (Waluyo, 2009) Metode kastrasi dibagi menjadi dua macam yaitu : 1. Metode terbuka Sayatan dilakukan sampai tunika vaginalis communis, sehingga testis dan epididimis tidak lagi terbungkus. 2. Metode tertutup Sayatan hanya sampai pada tunika dartos, sehingga testis masih terbungkus oleh tunika vaginalis communis. Peningkatan dan penyayatan pada funiculus spermaticus Kucing yang akan dikebiri harus dalam keadaan sehat. Sebagian besar kucing dikebiri ketika berumur 5 8 bulan. Para ahli perilaku hewan menyarankan mengkebiri kucing sebelum memasuki masa puber, karena dapat mencegah munculnya sifat / perilaku kucing yang tidak diinginkan. Keuntungan kastrasi, antara lain : 1. Mencegah Kelahiran Anak Kucing Yang Tidak Diinginkan Salah satu keuntungan mengkebiri kucing adalah mencegah kelahiran anak kucing yang tidak diinginkan. Selain menjaga populasi kucing tetap terkendalikan, tindakan

ini juga memungkinkan pemilik kucing bisa merawat kucing-kucingnya dengan maksimal. 2. Kurang Agresif Terhadap Kucing Lain. Testosteron adalah hormon kelamin jantan. Hormon ini mempengaruhi banyak polapola perilaku pada kucing jantan. Salah satu perilaku yang banyak dipengaruhi hormon testosteron adalah perilaku agresi. Setelah kebiri, perilaku ini cenderung berkurang banyak. Spraying/Urine marking Spraying/urine marking adalah salah satu perilaku alami kucing jantan yang tidak di kebiri. Sebagian besar perilaku ini hilang setelah kucing di kebiri. 3. Tidak Suka Berkeliaran Kucing betina yang sedang birahi mengeluarkan feromon yang dapat menyebar melalui udara. Feromon ini dapat mencapai daerah yang cukup jauh. Kucing jantan dapat mengetahui dimana letak kucing betina yang sedang birahi melalui feromon ini, lalu kemudian mencari dan mendatangi sang betina meskipun jaraknya cukup jauh. Kucing jantan yang telah dikebiri cenderung tidak bereaksi terhadap feromon ini dan lebih suka diam di dalam rumah. 4. Lebih Jarang Terluka Keuntungan medis lain dari kebiri adalah jarangnya kucing terluka akibat berkelahi dengan kucing lain. Semakin jarang terluka semakin kecil juga kemungkinan terkena penyakit yang dapat menular melalui luka/kontak. 5. Peningkatan Genetik Beberapa kucing dikebiri karena mempunyai/membawa cacat genetik. Diharapkan kucing-kucing cacat tersebut tidak dapat lagi berkembang biak, sehingga jumlah kucing-kucing cacat dapat dikurangi. 6. Mengurangi Resiko Tumor & Gangguan Prostat Tumor dan gangguan prostat lebih sering terjadi pada anjing, pada kucing jarang sekali terjadi. Sebagian besar gangguan pada prostat berhubungan dengan hormon testosteron yang dihasilkan oleh testis. Tindakan kebiri menyebabkan hewan tidak lagi menghasilkan hormon tersebut, sehingga resiko tumor dan gangguan pada prostat dapat dikurangi. 7. Cenderung Lebih Manja Sebagian besar perilaku agresif pada kucing jantan dipengaruhi hormon testosteron. Kucing yang dikebiri cenderung tidak agresif dan lebih manja.

Kelemahan dari kucing yang dikastrasi antara lain: 1. Kegemukan atau obesitas. Rata-rata seekor kucing jantan yang dikastrasi membutuhkan asupan kalori sebanyak 25% untuk menjaga berat badannya dank arena kucing yang dikastrasi memiliki rata2 proses metabolisme makanan yang rendah maka asupan nutrisi tersebut akan disimpan menjadi lemak, sehingga menimbulkan kegemukan. 2. Kehilangan untuk memperoleh keturunan yang potensial /berharga terutama untuk para breeder. 3. Penurunan kadar testosterone mengakibatkan kehilangan sifat maskulinasi dan penurunan fungsi otot-otot badan. Penurunan kadar testosteron juga mengakibatkan penundaan penutupan pertumbuhan tulang panjang, sehingga kucing yang dikastrasi pertumbuhan tulang-tulang ekstremitasnya lebih panjang dibandingkan yang tidak dikastrasi.

Preanastesi Obat-obatan preanastesi digunakan untuk mempersiapkan pasien sebelum pemberian agen anestesi baik itu anastesi local, regional ataupun umum. Tujuan pemberian agen preanestesi tersebut adalah untuk mengurangi sekresi kelenjar ludah, meningkatkan keamanan pada saat pemberian agen anestesi, memperlancar induksi anestesi, mencegah efek bradikardi dan muntah setelah ataupun selama anestesi, mendepres reflek vagovagal, mengurangi rasa sakit dan gerakan yang tidak terkendali selama recovery (Kumar, 1996). Agen preanastesi digolongkan menjadi 4 yaitu; antikolinergik, morfin serta derivatnya, transquilizer dan neuroleptanalgesik (Kumar, 1996). Sementara menurut Sardjana dan Kusumawati (2004), obat-obat yang digunakan untuk anastesi premedikasi meliputi antikolinergik, analgesik, neuroleptanalgik, tranquilizer, obat dissosiatif dan barbiturate. Menurut Sardjana dan Kusumawati (2004) pada umumnya obat-obat preanastesi bersifat sinergis terhadap anastetik namun penggunaanya harus disesuaikan dengan umur, kondisi dan temperamen hewan, ada atau tidaknya rasa nyeri, teknik anastesi yang dipakai, adanya antisipasi komplikasi, dan lainnya. Atropin Sulfat

Atropin merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip antimuskarinik mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada syaraf postganglionik kolinergik dan otot polos. Hambatan ini bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase (Ganiswarna, 2001). Atropin sulfat berbentuk kristal putih, tidak berwarna dan tidak berbau. Atropin dalam bentuk bubuk atau tablet harus disimpan dalam container tertutup dengan suhu 15-30C, sedangkan dalam bentuk injeksi harus disimpan pada suhu kamar. Atropin sebagai premedikasi diberikan pada kisaran dosis 0,02-0,04 mg/kg, yang diberikan baik secara subkutan, intra vena maupun intra muskuler (Plumb, 1998), sedangkan menurut Rossof (1994), atropin sebagai premedikasi diberikan dengan dosis 0,03-0,06 mg/kg. Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf pusat, merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropin pada mata menyebabkan midriasis dan siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi hidung, mulut dan bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropin sebagai antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung, sedangkan pada otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan retensi urin (Ganiswarna, 2001). Anestesi Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun obat anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga menghilangkan kesadaran. Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti perut, maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar (Ibrahim, 2000).

Anestesi umum diperlukan untuk pembedahan karena dapat menyebabkan penderita mengalami analgesia, amnesia, dan tidak sadarkan diri sedangkan otot-otot mengalami relaksasi dan penekanan reflek yang tidak dikehendaki (Mycek, 2001). Agar anestasi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diingini (Gan, 1987). Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (1993) mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi hewan. Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; (1) Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), stadium ini dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Pada stadium ini hewan masih sadar dan memberontak. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. (2) Stadium II (stadium eksitasi involunter), stadium ini dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak. Pernafasan tidak teratur, inkontinentia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia.

(3) Stadium III (pembedahan/operasi), stadium ini terbagi dalam 3 bagian yaitu; (a) Plane I, ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepres. ( II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro

medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. (c) Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisa medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisa otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Archibald, 1966). Setelah hewan berada dalam kondisi anastesi harus dilakukan monitoring anastesi terhadap: (1) Tingkat kedalaman anastesi, sesuai tingkat depresi terhadap sistem syaraf pusat yang dapat dilihat melalui tekanan darah, respirasi, reflek pupil, pergerakan bola mata dan kesadaran, (2) temperatur tubuh, dimana umumnya tubuh tidak mampu mempertahankan temperatur tubuhnya, (3) kardiovaskular melalui monitoring pulsus dan detak jantung dan (4) respirasi, melalui pemeriksaan tipe respirasi dan komplikasi sistem respirasi (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Ketamin HCl Ketamin adalah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relative aman dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistim somatik tetapi lemah lemah untuk sistim visceral, tidak menyebabkan relaksasi otot lurik bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi. Secara kimiawi, ketamin analog dengan phencyclidine. Ketamin HCl berwarna putih dan berbentuk bubuk kristal yang mempunyai titik cair 258-261C. Satu gram ketamin dilarutkan dalam 5 ml aquades dan 14 ml alkohol. Ketamin yang digunakan sebagai agen anestesi untuk injeksi dipasaran biasanya mempunyai pH antara 3,5-5,5 (Anonimus b, 2005). 1. Ketamin HCl bekerja dengan memutus syaraf asosiasi serta korteks otak dan thalamus optikus dihentikan sementara, sedangkan sistem limbik sedikit dipengaruhi. Ketamin HCl merupakan analgesia yang tidak menyebabkan depresi dan hipnotika pada syaraf pusat tetapi berperan sebagai kataleptika. Setelah pemberian ketamin, refleks mulut dan menelan tetap ada dan mata masih terbuka. 2. Menurut Slatter (2003), penggunaan ketamin mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungan penggunaan ketamin, yaitu; (1) dalam pengaplikasianya ketamin sangat mudah, (2) menyebabkan pendepresan kardiovaskuler dan respirasi minimal, (3) dapat digunakan dalam situasi darurat dimana hewan belum dipuasakan, karena

refleks faring tetap ada, (4) induksi cepat dan tenang, dan (5) dapat dikombinasikan dengan agen preanestesi atau anestesi lainnya. Kerugian dari penggunaan ketamin adalah (1) menyebabkan relaksasi otot tidak maksimal bila penggunaannya secara tunggal, (2) respon yang bervariasi pada beberapa pasien, (3) dapat menyebabkan hipotermia, (4) dapat menyebabkan kekejangan ektremitas, (5) menyebabkan konvulsi pada beberapa pasien, dan (6) recovery yang lama. 3. Ketamin dapat dipakai oleh hampir semua spesies hewan. Ketamin bersama xylazine dapat dipakai untuk anastesi pada kucing. Ketamin dengan pemberian tunggal bukan anastetik yang bagus (Sardjana dan Kusumawati, 2004). Dosis pada kucing 10-30 mg/kg secara intra muskuler, mula kerja obat 1-5 menit, lama kerja obat 30-40 jam dan recoverinya 100-150 menit (Lumley, 1990). Menurut Kumar (1997) dosis ketamin pada anjing dan kucing ialah 10-20 mg/kg diberikan secara intra muskuler.

III. MATERI DA METODE 1. Alat a. Atropin dosis 0,03 mg , sediaan 0,25 mg/cc / kg BB b. ACP dosis 20 mg, sediaan 0,1 mg / 0,1 cc 0,1 mg x 3 kg = 0,3 mg / kg BB c. Ketamin dosis 20 mg, sediaan 10 mg / 0,1 cc d. Alkohol 70% e. Betadine f. Kapas g. Duk kleem h. Towel i. j. Needle holder Needle ( 20 mg x 3 kg ) / 0,1 = 0,6 cc 0,03 mg / 0,25 mg/cc x 3 kg = 0,36 mg

k. Pinset anatomis l. Pinset chirurgis

m. Gunting tumpul tumpul n. Gunting tajam - tajam 2. Bahan a. Kucing jantan dengan berat badan 3 kg.

IV. Cara Kerja

Preanastesi kucing dengan pemberian atropin 0,36 mg / kg BB Injeksikan secara subcutan

10 menit kemudian anastesi dengan ACP sediaan 0,1 mg / 0,1 cc Dosis 0,3 mg/kg BB dan ketamin sediaan 10 mg0,1 cc dosis 0,6 cc/kgBB secara intramuskular sebelah kanan kaki

kucing di rebah dorsal, ke tempat ekstremitas, difiksasi dalam posisi simetris

basahi bulu bulu scrotum dan daerah sekitar scrotum dengan air lalu cukur bersihkan dengan alkohol 70% buat sayatan / insisi dari cranial ke caudal pada bagian testis sebelah kanan Insisi lapisan Tunika vaginalis Pada testis sebelah kanan dan Arteri testicularis di ikat Pada testis sebelah kiri, ductus deferens arteri testicularis disimpul Potong testis, buang testis

Jahit scrotum dengan menggunakan metode sederhana terputus

Bersihkan daerah jahitan, olesi betadin

Injeksi ampicilin secara intra muskular sebelah kiri, dosis 0,5 cc

V. Hasil dan Pembahasan Sebelum operasi kastrasi dilakukan, alat alat operasi dipersiapkan. Alat tersebut berupa duk yang berfungsi sebagai pelindung pasien dari kontaminan dan sebagai alas untuk meletakkan alat alat operasi yang digunakan selama operasi berlangsung. Towel clamp berfungsi untuk menjepit duk agar menempel / melekat pada kulit. Needle holder yang berfungsi untuk memegang jarum. Pinset yang berfungsi untuk memegang jaringan. Gunting yang berfungsi untuk memotong jaringan. Pisau scalpel berfungsi untuk menginsisi kulit scrotum. Pada saat praktikum, sebelum dilakukan tindakan operasi, pasien harus dianastesi. Sebelum oabat anastesi diberikan pasien diberikan obat preanastesi berupa Atropin sediaan 0,25 mg /cc. Dosis atropin yang diberikan adalah 0,03 mg dengan berat kucing 3 kg, sehingga dosis yang di injeksikan secara subcutan pada anjing tersebut adalah ( 0,03 mg / 0,25 mg/cc ) x 3 KgBB = 0,36 mg/kgBB Setelah preanastesi diberikan kemudian tunggu 10 menit , dilanjutkan dengan pemberian obat anastesi, yaitu ACP dosis 0,1 mg. Sediaan 0,1 mg/0,1cc , dosis yang diberikan pada pasien denga berat 3 kg yaitu 0,1 mg x 3 kg = 0,3 mg/kgBB dan di berikan ketamin dosis 20 mg, sediaan 10 mg/0,1cc sehingga dosis yang diberikan ( 20 mg x 3 kg ) / 0,1 = 0,6 cc, pemberian obat anastesi tersebut di berikan secara intramuscular pada kaki sebelah kanan. Kemudian ketika kondisi pasien sudah dalam keeadaan setengah sadar, pasien direbahkan dengan posisi rebah dorsal pada meja operasi dan keempat ekstremitasnya difiksasi dalam keadaan simetris. Agar kucing masih tetap bisa bernafas mulut kucing sedikit dibuka dengan mengaitkan kedua taringnya dan lidah dijulurkan kesamping. Sebelum dilakukan pencukuran bulu pada daerah scrotum, daerah tersebut di basahi terlebih dahulu agar saat dicukur bulu tidak beterbangan. Sisa sisa rambt cukur dibersihkan, kemudian di bilas dengan alkohol 70 %, agar mengurangi kontaminasi bakteri setelah itu diberikan olesan betadin. Kemudian beri sayatan pada scrotum sebelah kanan, panjang sayatan disesuaikan dengan ukuran testis. Sebelum dilakukan sayatan dan pembedahan dilakukan pemberian towel didaerah sekitar yang akan diinsisi sebagai pelindung pasien dari kontaminan. Penyayatan dilakukan sampai tunika vaginalis ikut tersayat. Dan tipe ini termasuk tipe terbuka. Pada testis sebelah kanan, ductus deferens dan arteri testicularis diikat kemudian dipotong untuk kemudian dibuang.

Pada testis sebelah kiri ductus deferens dan arteri testicularis disimpul, sehingga sayatan dilakukan sampai tunika vaginalis. Pada metode terbuka memiliki keuntungan, yaitu resiko perdarahan bisa di minimalisir. Kedua testis yang dipotong kemudian dibuang. Setelah itu metode jahitan terputus sederhana dilakukan dengan menjahit scrotum. Setelah dijahit olesi daerah yang dijahit dengan betadin. Kemudian pasien disuntikkan ampicilin pada daerah intramuscular pada kaki sebelah kiri, dosis ampicilin yang diinjekskan adalah 0,5 cc.

VI. Perawatan Pasca Operasi Setelah operasi dilakukan, pasien dirawat hingga jahitan sudah dapat dibuka. Setiap hari, pasien dikontrol secara rutin, pemberian revanol dan betadin 2 kali sehari membantu mempercepat pengeringan luka jahitan. Pada hari ke 5 jahitan sudah dapat dibuka, perawatan secara rutin dan pemberian revanol dan betadin dapat mencegah terjadinya infeksi.

VII. Daftar pustaka noname, 2008. Preanastesi dan Anastesi Sebelum Operasi.

http://heriblog.wordpress.com/2008/08/23/preanastesi-dan-anastesi-sebelum-operasi/ noname, 2009. Kastrasi Kucing. http://hotsite.blogspot.com/2009/10/kastrasi-kucing.html noname, 2010. Kastrasi Pada Kucing. http://wahidweb.blogspot.com/2010/01/orchidectomykastrasi.html Frandson, R. D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta : UGM press

VIII. Kesmpulan Metode kastrasi yang dilakukan pada kucing jantan dengan berat 3 kg adalah dengan menggunakan metode terbuka, pada tesis sebelah kanan ductus deferens dan arteri testicularis disimpul, metode terbuka dapat menimalisir terjadinya perdarahan. Jahitan yang digunakan adalah metode sederhana terputus. Pada daerah sekitar jahitan tidak terjadi infeksi da luka jahitan sudah kering pada hari ke 5 dan jahitan sudah dapat dibuka

You might also like