You are on page 1of 24

PENDEKATAN KONFLIK KOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN FISIKA Oleh : SUGIYANTA Widyaiswara LPMP DIY ABSTRAK Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang pengaruh pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran Fisika terhadap hasil belajar siswa dan lingkungan belajar di kelas. Untuk keperluan tersebut model penelitian menggunakan metode quasi eksperimen. Adapun subjek penelitian terdiri dari kelompok penelitian dan kelompok kontrol yang diambil secara acak, masing-masing terdiri dari 40 siswa . Data hasil belajar siswa berupa data kuantitatif dianalisis secara deskriptif dan uji-t, sedangkan data lingkungan belajar di kelas dianalisis secara secara komparatif kualitatif antara kedua kelompok penelitian. Berdasarkan analisis dan pengujian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran Fisika mempunyai pengaruh yang berarti meningkatkan hasil belajar siswa pada taraf signifikan 0,05. Selain itu pendekatan konflik kogntif dalam pembelajaran Fisika juga mampu meningkatkan kualitas lingkungan belajar di dalam kelas lebih kondusif bagi proses pembelajaran. Kata kunci : Konflik kognitif BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan terhadap peningkatan mutu pendidikan, khususnya pembelajaran sains dewasa ini makin terasa. Selain teknis pembelajaran terdapat pula aspek-aspek penting seperti moral dan nilai-nilai (values) yang harus diperhatikan dalam pembelajaran, bukan hanya sekedar pernyataan tentang fakta, konsep, teori maupun hukum-hukum sains. Dengan demikian pendidikan perlu ditempatkan dalam konteks pembentukan manusia seutuhnya sesuai amanat UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003. Tetapi kenyataan di lapangan masih terdapat gejala yang menandai tidak efektifnya pembelajaran di sekolah. Satu di antaranya masih banyak sistem pembelajaran fisika di sekolah yang berjalan secara tradisional dan instingtif sehingga menghambat siswa untuk belajar secara aktif-kreatif, mengalami dan menghayati sendiri proses sains melalui kegiatan belajarnya (Sugiyanta, 2003). Pragmatisme sempit menjadi hantu bagi dunia pendidikan kita. Bukan hal yang mengejutkan jika hasil belajar fisika relatif masih rendah, dan kurang diminati oleh siswa.

Karenanya diperlukan reorientasi dan pendekatan baru yang lebih efektif dalam pembelajaran sains fisika. Menurut Moh. Amien (1987) efektivitas pendekatan instruksional sains tergantung pada produk dan proses yang diinginkan. Produk didasarkan pada transfer produk ilmiah (fakta, konsep, generalisasi, prinsip, teori, dan hukum) yang dapat dilakukan dengan aplikasi spesifik tugas-tugas serupa dengan pengalaman aslinya (Specific transfer of training). Sedangkan proses adalah transfer science is what scientists do, meliputi sikap ilmiah (hasrat ingin tahu, jujur, obyektif dsb) dan proses / metode ilmiah (mengidentifikasi problem, mengamati, merumuskan hipotesa dsb). Sikap dan proses ilmiah tersebut merupakan dimensi penting yang harus menjadi fokus dalam pembelajaran Fisika . Dengan demikian pendekatan baru dalam pembelajaran sains adalah merupakan suatu keyakinan bahwa sains harus diajarkan pada siswa untuk kemanfaatan yang dapat membawa ke arah peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan, mampu mengembangkan potensi secara utuh (self-actualized), melakukan pendekatan baru terhadap situasi untuk memecahkan masalah melalui pemikiran yang mendalam, dengan mengkombinasikan unsur-unsur kemampuan yang dimiliki yaitu kognitif, psikomotorik dan affektif. Banyak penelitian dilakukan, diantaranya penelitian Munandar (1977) menyatakan bahwa pembelajaran yang terbuka, responsif mengakomodasi perbedaan individu dan berorientasi pada kebutuhan siswa dapat memberikan pengalaman belajar yang bernilai, menyenangkan dan memberi kepuasan pada siswa. Moh. Sidin Ali (1985) menemukan hubungan yang berarti antara berpikir divergen dan kemampuan operasi logik terhadap prestasi belajar fisika dengan koefisien korelasi masing-masing r=0,79 dan r = 0,88. Kemudian Rowe (1970) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara rangsangan pertanyaan yang diajukan guru dengan tanggapan kreatif siswa. Dengan demikian pembelajaran yang mengakomodasi perbedaan, bersifat terbuka dan memberikan rangsangan efektif akan lebih efektif dalam membantu siswa membangun ilmu pengetahuannya. Teori konstruktivisme Piaget menyatakan ketika seseorang membangun ilmu pengetahuannya, maka untuk membentuk keseimbangan ilmu yang lebih tinggi diperlukan asimilasi, yaitu kontak atau konflik kognitif yang efektif antara konsep lama dengan kenyataan baru(Woolfolk, 1984). Secara spesifik Van den Berg (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa metode konfik kognitif dalam pembelajaran Fisika cukup efektif untuk mengatasi

miskonsepsi pada siswa dalam rangka membentuk keseimbangan ilmu yang lebih tinggi. Rangsangan konflik kognitif dalam pembelajaran akan sangat membantu proses asimilasi menjadi lebih efektif dan bermakna dalam pergulatan intelektualitas siswa. Untuk itu pendekatan konflik kognitif perlu dilakukan dalam strategi pembelajaran sains fisika Namun demikian tidaklah mudah untuk mendesain dan melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan baru, karena masalah instruksional adalah kompleks. Dalam hal ini Bloom (1976) berpendapat bahwa, dalam belajar faktor yang sangat penting adalah lingkungan belajar, yaitu bagaimana mengelola lingkungan belajar anak dan bukan mengelola anak. Lingkungan belajar yang kondusif memberi pengaruh nyata bagi subjek didik mengembangkan potensi dan intelektualitasnya. Maka penelitian ini hanya memusatkan pada pengaruh pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran Fisika kaitannya dengan hasil belajar dan kualitas lingkungan belajar di kelas pada siswa SMP. B. Rumusan Masalah Bagaimanakah pengaruh pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran sains Fisika terhadap hasil belajar dan lingkungan belajar di kelas pada siswa SMP ? C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang pengaruh pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran sains Fisika terhadap hasil belajar dan lingkungan belajar di kelas pada siswa SMP. D. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan teoritis bagi peningkatan kualitas layanan pendidikan baik bagi guru, siswa maupun praktisi pendidikan lainnya. E. Sajian Definisi Agar diperoleh kesamaan persepsi perlu dikemukakan beberapa definisi berikut: 1. Pendekatan konflik kognitif : Adalah seperangkat kegiatan pembelajaran dengan mengkomunikasikan dua atau lebih rangsangan berupa sesuatu yang berlawanan atau berbeda kepada peserta didik agar terjadi proses internal yang intensif dalam rangka mencapai keseimbangan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi. 2. Lingkungan belajar di kelas 3. Hasil belajar siswa : : Adalah kondisi interaksi dan keaktifan peserta didik di kelas ketika proses pembelajaran .

Adalah nilai ulangan harian siswa meliputi tes pemahaman dan aplikasi konsep fisika serta kinerja ilmiah. BAB IIIDESKRIPSI PENELITIAN A. Konteks Implementasi Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas VII semester gasal Tahun Pelajaran 2004/2005 di SMP Negeri 1 Kalasan. Adapun materi pembelajaran meliputi Pengukuran, Zat dan Wujudnya , serta Gerak Lurus. Sedangkan media pembelajaran menggunakan alat-alat laboratorium maupun sumber belajar lain di lingkungan sekitar, terutama kejadian riel dalam kehidupan sehari-hari. Secara lengkap hal ini disajikan dalam bentuk Lembar Kerja Siswa dan perangkat pembelajaran. B. Perencanaan. Desain instruksional dengan pendekatan konflik kognitif memerlukan persiapan yang matang, hal ini terkait dengan konsep, tingkat kematangan berpikir subjek didik, konteks lingkungan dan fasilitas yang tersedia. Berikut ini beberapa tahapan yang perlu diperhatikan . 1. Pemetaan masalah dan analisis materi Langkah awal yang perlu dilakukan adalah analisis tematik dan maping terhadap masalah materi esensial. Analisis tematik digunakan untuk melihat kaitan suatu konsep dengan konsep lain dalam suatu tema pembelajaran yang dipilih. Sedangkan pemetaan masalah sangat diperlukan untuk melihat permasalahan yang mungkin timbul pada suatu konsep seperti miskonsepsi, peta konsep yang rumit dan sulit untuk dipahami, kesalahan struktur konsep, serta kemungkinan masalah lain. 2. Menemukan dan menentukan rangsangan konflik kognitif. Hal ini dapat dikembangkan sesuai konteks masalah, kondisi lingkungan siswa, serta sarana fasilitas dan media yang tersedia. Bentuk konflik kognitif berupa rangsangan kognitif(pembanding) yang mengandung pertentangan dan dinilai mampu memberikan pengalaman belajar berarti sebagai acuan bagi guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang dapat berupa hasil pengamatan, data, fakta, konsep, teori, hukum, pendapat, informasi media cetak dan elektronik maupun prediksi. 3. Menyusun Silabus Berdasarkan analisis tematik dan peta masalah di atas, dirancang silabus pembelajaran dengan memasukkan unsur konflik kognitif sebagai bentuk pengalaman belajar siswa.

Silabus pembelajaran dengan pendekatan konflik kognitif (Contoh terlampir) Sekolah : .. Mata Pelajaran : .. Kelas/semester : . Standar Kompetensi : Kompetensi Materi Dasar Pokok 1. . 1. . Strategi Pembelajaran Alokasi Sumber Waktu Bahan Tatapmuka/ Pengalaman Belajar Konflik Metode Kognitif .. . . .

4. Sintaks pembelajaran Garis besar prilaku guru perlu digambarkan terlebih dahulu dalam sintaks berikut, meski dalam hal ini bersifat dinamik dan kondisional. SINTAKS PEMBELAJARAN MODEL PENDEKATAN KONFLIK KOGNITIF FASE-FASE KEGIATAN GURU

Fase 1 Orientasi siswa kepada konflik Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan sumber belajar yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat aktif dalam penmecahan konflik dan mencari kebenaran konsep siswa untuk Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan konflik

Fase 2 Mengorganisasi belajar

Fase 3 Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang relevan, melaksanakan eksperimen, diskus internal untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan masalah/konflik hasil karya Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan hasil karya, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

Fase 5 Menganalisis dan mengevaluasi

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan prosesproses yang mereka lakukan 5. Menyusun Rencana Pembelajaran Berdasarkan analisis pemetaan materi, silabus dan sintaks pembelajaran di atas, maka dapat disusun skenario pembelajaran, yaitu berupa urutan kegiatan pembelajaran sehingga tampak apa yang akan dikerjakan baik oleh guru maupun peserta didik dalam satuan waktu yang telah ditetapkan. Untuk lebih memberi tekanan pada strategi konflik kognitif maka dikembangkan format Rencana Pembelajaran berikut: RENCANA PEMBELAJARAN ( Contoh terlampir) : :

Identitas Mata Pelajaran Skenario Pembelajaran

No Tahap Langkah-langkah 1 Pendahuluan(Fase 1) a. Penyajian konflik dan Prasyarat pengetahuan b. Motivasi 2 Kegiatan Inti(Fase 2-4) Pengelolaan konflik Penutup(fase 5) 3 . . Keterangan : 1. Pendahuluan : a.

Waktu menit

menit

menit menit

Prasyarat pengetahuan adalah merupakan pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik untuk memahami konsep yang akan di ajarkan . Penyajian konflik adalah cara-cara yang akan digunakan oleh guru dalam menyajikan konflik (bersifat elastis dan dinamis) sesuai dengan metode yang akan digunakan.

b.

Motivasi adalah suatu rangsangan yang akan digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik untuk mempelajari suatu konsep.

2. Kegiatan Inti : Pengelolaan konflik adalah cara-cara yang akan ditempuh dalam mengkomunikasikan konflik yang terjadi sesuai metode yang digunakan. 3. Penutup adalah kegiatan akhir dari satu proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa untuk merangkum dan membuat kesimpulan atas konflik yang ada. 6. Pengelolaan kelas. Dalam pembelajaran ini pengelolaan kelas menjadi amat penting, karena tidak seperti lingkungan belajar yang terstruktur dengan ketat, namun bersifat terbuka, demokratis, siswa berperanan aktif. Meskipun guru dan siswa melakukan tahapan pembelajaran yang terstruktur dan dapat diprediksi, norma pembelajaran adalah norma inquiri terbuka dan bebas mengemukakan pendapat. Oleh karena itu pengendalian terhadap fokus materi bahasan , waktu, dan kompetensi yang diamanatkan harus diperhatikan dengan seksama. C. Pelaksanaan Untuk menguji pengaruh sebuah perlakuan maka digunakan metode quasi eksperimen dengan desain 2x1. Kelas yang ada dipilih secara random menjadi dua bagian, yaitu kelompok

penelitian terdiri dari 40 siswa diberi perlakuan pendekatan konflik kognitif dan kelompok kontrol terdiri dari 40 siswa tidak diberi perlakuan tersebut. Meski demikian dalam penelitian sosial pendidikan tidak dapat melakukan pengontrolan secara ketat terhadap variabel-variabel terkait seperti dalam penelitian ilmu murni. Untuk lebih mengoptimalkan interaksi kognitif,afektif dan psikomotorik, kelas dibagi dalam beberapa kelompok untuk melakukan eksperimen. Kemudian secara bergantian, siswa mempresentasikan hasilnya. Perbedaan hasil pengukuran / data percobaan , simpulan percobaan siswa merupakan sumber konflik kognitif yang efektif. Pada kesempatan tersebut guru menyajikan data pembanding yang lain berupa informasi, pendapat maupun teori yang mengandung pertentangan sehingga terjadi konflik kognitif. Konflik tersebut kemudian dikelola dalam bentuk diskusi kelompok dan diskusi kelas Dengan bimbingan guru, siswa menyelesaikan konflik masalah yang timbul dalam rangka membangun teori yang benar. D. Penilaian Dalam pembelajaran ini ada dua aspek yang akan diteliti yaitu hasil belajar siswa (meliputi nilai pemahaman aplikasi konsep fisika dan kinerja ilmiah) dan kualitas lingkungan belajar di kelas. Untuk itu dikembangankan instrumen berupa : 1. Soal Tes Ulangan Harian dan Lembar Observasi Siswa(LOS) , yaitu untuk mendapatkan data hasil belajar siswa. 2. Lembar Observasi Kelas dengan menggunakan skala likert, untuk mendapatkan data kualitas lingkungan belajar di kelas. Data hasil belajar siswa akan dianalisis secara deskriptif analitis . Sedangkan analisis uji beda ( Uji t ), digunakan untuk menguji keberartian pengaruh perlakuan pendekatan konflik kognitif terhadap hasil belajar. Analisis komparasi kualitatif akan digunakan untuk melihat sejauhmana kualitas lingkungan belajar di kelas. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Belajar Siswa Berdasarkan tes yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut: Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa Kelompok Penelitian ( Kelas VII A ) Ulangan Harian ke Rata-rata Median Modus Standar Deviasi Jumlah Siswa Tuntas Belajar

1 2 3 Rata-rata

7,41 7,98 8,17 7,85

7,30 8,00 8,40 7,94

6,67 8,00 6,80 8,04

0,94 0,71 0,57 0,74

21 (52,5 % ) 27 (67,5 % ) 28 (70,0 % ) 25,33(63,33 %)

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa Kelompok Kontrol ( Kelas VII C ) Ulangan Harian ke 1 2 3 Rata-rata Rata-rata 7,90 7,63 7,24 7,62 Median 8,00 8,00 7,20 7,43 Modus 8,67 8,00 7,20 6,51 Standar Deviasi 0,71 0,71 0,00 0,47 Jumlah Siswa Tuntas Belajar 28 (70,0 % ) 26 (65,5 %) 18 (45,0 %) 23 (57,5 %)

Berdasarkan data di atas tampak bahwa rata-rata nilai ulangan harian pada kelompok penelitian mengalami peningkatan yang cukup berarti dengan nilai rata-rata 7,85. Demikian pula median pada kelompok ini juga mengalami peningkatan. Adapun ketuntasan belajar (nilai >= 7,5) mengalami peningkatan prosentase yang signifikan dengan rata-rata 63,33 % tuntas belajar. Pada kelompok kontrol justru sejumlah indikator mengalami penurunan dengan nilai ratarata 7,62 median7,43 dan modus 6,51. Sedangkan tingkat ketuntasan belajar lebih rendah dibanding kelompok penelitian, yaitu hanya 57,50 %. Hal ini berkaitan dengan intensitas proses kognitif belajar siswa , dimana pembelajaran disampaikan secara konvensional sehingga kurang memberikan rangsangan kognitif yang baik bagi subjek didik. Sebaran nilai pada kelompok yang diberi pendekatan konflik kognitif ternyata lebih baik meningkat. Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa kedua Kelompok Kelompok Kelompok Penelitian Kelompok Kontrol Rata-rata Nilai Standar Deviasi (s) UH
0

dibanding kelompok kontrol, hal ini menunjukkan adanya peningkatan interaksi-

induksi kognitif yang cukup berarti antar siswa. Dengan demikian hasil belajar semakin

= 7,8511 = 7,6183

0,7385 0,4714

Untuk menguji sejauh mana keberartian perlakuan pendekatan konflik dalam pembelajaran sains fisika terhadap hasil belajar siswa , digunakan ujit pada taraf signifikan 0,05. Dari tabel 3 di atas setelah dilakukan pengujian diperoleh t hitung = 1,9937 ( perhitungan lengkap terlampir). Harga ini jauh lebih besar dari t tabel yaitu 1,68. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa : Pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran IPA Fisika mempunyai pengaruh yang berarti terhadap hasil belajar siswa.B. Lingkungan Belajar di Kelas Berdasarkan observasi kelas yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut : Tabel 4. Data Perbandingan Kualitas Lingkungan Belajar di Kelas Aspek Keaktifan siswa Kondisi Kelas Kelompok Penelitian Skor 31 21 Kriteria Baik sekali Baik Kelompok Kontrol Skor 23 19 Kriteria Cukup Baik Baik

Jumlah Skor 52 Baik sekali 42 Keterangan : Data lengkap dan penetapan kriteria terlampir.

Berdasarkan tabel 4 di atas, kualitas lingkungan belajar di kelas untuk kelompok penelitian adalah 52 dengan kategori baik sekali, kondisi ini lebih tinggi dibanding kelompok kontrol yaitu 42 dengan kategori baik. Khususnya aspek keaktifan siswa pada kelompok penelitian memiliki skor 31 dengan kategori baik sekali sedang skor kelompok kontrol adalah 23 dengan kategori cukup. Pada aspek kondisi kelas, perlakuan yang diberikan pada kelompok penelitian juga memberikan pengaruh positif terhadap penciptaan lingkungan belajar di kelas, meskipun keduanya mempunyai kategori baik , tetapi skor kelompok penelitian lebih tinggi yaitu 21 dibanding skor kelompok kontrol yaitu 19 . Dengan demikian pendekatan konflik kognitif dalam pembelajaran sains fisika mampu memberikan pengaruh positif terhadap kualitas lingkungan belajar di kelas, sehingga lebih hangat, komunikatif dan siswa enjoy belajar. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa :1. Pendekatan konflik kognitif pada pembelajaran Fisika mempunyai pengaruh yang berarti terhadap hasil belajar siswa. Yaitu ada peningkatan hasil belajar yang cukup signifikan pada kelas yang diberi pendekatan konflik kognitif.2. Pendekatan konflik kognitif pada

pembelajaran Fisika mampu meningkatkan kualitas lingkungan belajar di kelas, dimana kelas menjadi lebih hangat, terbuka, kondusif, dan interaktif. B. Saran Dengan segala keterbatasannya, maka dari hasil penelitian ini dikemukakan saran sebagai berikut :1. Agar diperoleh hasil yang lebih komprehensif maka aspek maupun variabel penelitian perlu diperluas.2. Jumlah sampel perlu ditambah dan perlu dilakukan pada jenjang pendidikan lainnya.3. Dari sisi teknis pembelajaran, karena kelas dan norma pembelajaran bersifat terbuka maka penggunaan pendekatan konflik kognitif harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat, pengelolaan kelas dan waktu harus efisien.4. Agar proses pembelajaran lebih bermakna dan terkontrol , maka perlu ada refleksi bersama, baik dengan siswa maupun sesama guru.5. Pembelajaran dengan pendekatan ini menuntut kreativitas, inovasi dan semangat guru untuk selalu berpihak pada peningkatan kualitas layanan pendidikan, untuk itu perlu adanya keberanian dan kerja keras. DAFTAR PUSTAKA Bambang Subali.(2002). Pedoman khusus penyusunan silabus berbasis kemampuan dasar siswa SMP. Yogyakarta: Program Pascasarjana UNY. Bloom, B.S.(1976). Human characteristic and school learning. New York : Mc. Grow Hill. Euwe Van den Berg. (1991)Miskonsepsi fisika dan remidiasi. Salatiga: UKSW Fernandes, H.J.X.(1984). Testing and Measurement. Jakarta. National Educational Planning. Imam Barnadib (1995). Beberapa aspek substansi ilmu pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset. Moh. Amien.( 1987). Mengajarkan ilmu pengetahuan alam(IPA) dengan menggunakan metode discovery dan inquiri. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. Maslow, A.H.(1971). The farther reaches of human nature. New York : The Viking Press. Mitchel,B.W.(1976). Planning for creative learning. Washington: Kendall/Hunt Publishing Company. Moh. Sidin Ali (1995). Kreativitas, kemampuan operasi logik dan kemampuan dasar berhitung dengan prestasi belajar fisika pada siswa SMA di kotmadya Ujung Pandang. Tesis .Yogyakarta. Munandar, S.C.U.(1977). Creativity and education: A Study relationsip between measures of creative thinking and a number of educational variabels in Indonesian primary and junior secondary schools. Jakarta : UI. Rowe, B.M.(1970). Wait-time and reward as instructional variabel: Influence on inquiry and sense and fate control. New York : Columbia University.

Saifudin Azwar.(1976). Tes Prestasi: Fungsi dan pengembangan pengukuran prestasi belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Sugiyanta(2003). Hubungan antara beberapa faktor karakteristik guru dengan gaya mengajar kreatif pada pembelajaran fisika. Tesis. Yogyakarta Sukamto (1997). Course material on applied educational research. Medan: PPPGT. Treffinger, D.J.(1992). Encouraging creative learning for gifted and the talented. Ventura Clif : Ventura Country Super Intendent of School Office. Woolfolk, A.E.(1984). Eductional phsycology for teachers. New Jersey: Prentice-Hall.Inc Lampiran 1. Pengujian Hipotesis dan data penelitian 1. Pengujian Hipotesis. Berdasarkan tabel 3. di depan dapat dikemukakan : Hipotesa Ho : = Hi : > Rumus : Kriteria : Ho ditolak jika ( dk=n 1= 40-1=39 ). Diketahui berdasarkan daftar distribusi Student t ( =0,05) dengan dk=39 adalah 1,68 Perhitungan :
o

: ( Pendekatan konflik kognitif tidak menyebabkan meningkatnya hasil belajar siswa )


o

(Pendekatan konflik kognitif menyebabkan meningkatnya hasil belajar siswa )

2. Kualitas Lingkungan Belajar di Kelas. Berdasarkan observasi kelas yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut : a. Kelompok Penelitian Tabel 5. Skor Kualitas Lingkungan Belajar di Kelas Kelompok Penelitian ( Kelas VII A ) Aspek Keaktifan Siswa Indikator 1. Siswa aktif mengemukakan pendapat 2. Siswa siswa aktif melakukan percobaan 3. Siswa aktif bertanya pada guru 4. Siswa aktif bertanya pada siswa atau kelompok lain 5. Siswa aktif berdiskusi kelompok Skor 1 2 3 4 5

6. Siswa aktif mempresentasikan hasil karyanya. 7. Siswa aktif membuat laporan praktikum. Jumlah 8. Suasana kelas hangat Kondisi 9. Siswa enjoy mengikuti proses pembelajaran 10. Fokus terhadap materi bahasan Kelas 11. Ketertiban siswa di dalam kelas 12. Pemanfaatan sumber belajar Jumlah b. Kelompok Kontrol

3 8 3 8

20

10

Tabel 6. Skor Kualitas Lingkungan Belajar di Kelas Kelompok Kontrol ( Kelas VII C) Aspek Indikator Skor 1 2 3 4 2 9 12 4 8 5 5

1. Siswa aktif mengemukakan pendapat Keaktifan 2. Siswa siswa aktif melakukan percobaan 3. Siswa aktif bertanya pada guru 4. Siswa aktif bertanya pada siswa atau kelompok lain Siswa 5. Siswa aktif berdiskusi kelompok 6. Siswa aktif mempresentasikan hasil karyanya. 7. Siswa aktif membuat laporan praktikum. jumlah 8. Suasana kelas hangat Kondisi 9. Siswa enjoy mengikuti proses pembelajaran 10. Fokus terhadap materi bahasan Kelas 11. Ketertiban siswa di dalam kelas 12. Pemanfaatan sumber belajar Jumlah Keterangan : 1 = Sangat kurang 2 = Kurang 3 = Cukup c. Komparasi hasil 4 = Baik 5 = Baik Sekali

Berdasarkan tabel di atas diperoleh rekapitulasi skor antara kedua kelompok sebagai berikut : Tabel 7. Rekapitulasi Skor Kualitas Lingkungan Belajar di Kelas Kedua Kelompok Aspek Keaktifan siswa Kelompok Penelitian 31 Kelompok Kontrol 23

Kondisi Kelas Jumlah Skor

21 52

19 42

Untuk memberikan penilaian kualitatif pada hasil tersebut, diperlukan kriteria yang jelas dan tegas. Hasil skor penilaian diatas dibagi dalam kategori yaitu baik sekali , baik ,cukup ,kurang, dan kurang sekali . Adapun Kriteria penilaian ditentukan sebagai berikut : Range Rentang kriteria penilaian Median Contoh : Berdasarkan data keaktifan siswa tabel 5 di atas, maka dapat ditentukan kriteria sebagai berikut : Range = Skor maksimal - skor minimum = 35 7 = 28 Rentang kriteria penilaian = Range : Jumlah kategori = 28 : 5 kategori = 5,6 dibulatkan jadi 6 Median = skor minimum + range/2 = 7 + 28/2 = 21 Sehingga diperoleh kriteria sebagai berikut : 1. Kriteria Keaktifan siswa : Skor 7 12 Skor 13 18 Skor 19 23 Skor 24 29 Skor 30 35 : kurang sekali : kurang : cukup : baik : baik sekali = Skor maksimal - skor minimum = Range : Jumlah kategori = skor minimum + range/2 (Fernandes, 1984)

2. Kriteria Kondisi kelas : Dengan menggunakan rumus seperti di atas maka diperoleh kriteria sebagai berikut : Skor Skor 58 9 12 : kurang sekali : kurang : cukup : baik : baik sekali

Skor 13 17 Skor 18 21 Skor 22 25

3. Kriteria Lingkungan Belajar di kelas : Dengan menggunakan rumus seperti di atas maka diperoleh kriteria sebagai berikut Skor Skor Skor Skor Skor 12 21 22 31 32 41 42 51 52 60 : kurang sekali : kurang : cukup : baik : baik sekali

http://lpmpjogja.org/index.php? option=com_content&task=view&id=225&Itemid=112 PENDAHULUAN Pembelajaran sains di Sekolah Menengah masih dijumpai siswa kurang memiliki kompetensi pemahaman konsep, keterampilan proses sains dan kurang motivasi berprestasi yang berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa. Hal ini tersebut dapat terjadi karena dalam pembelajaran fisika di sekolah masih banyak dilakukan secara oral oleh guru tanpa memperlihatkan peristiwa fisis yang membangun konsep yang diajarkan, sehingga pemahaman konsep siswa hanya menekankan pada penghapalan konsep sehingga berakibat siswa tidak dapat mengaplikasikan konsep fisis yang telah dipelajari dalam situasi lain. Permasalahan tersebut perlu diupayakan pemecahannya agar siswa dalam pembelajaran dapat terlibat aktif dalam suasana pembelajaran yang ilmiah dan menyenangkan. Untuk itu guru dapat merancang pembelajaran dengan menghadapkan siswa pada suatu peristiwa dalam kehidupan sehari-hari secara kontekstual yang memperlihatkan gejala fisis untuk merekonstruksi suatu konsep fisika. Perbedaaan antara prakonsepsi dengan pengamatan menimbulkan konflik kognitif dalam struktur kognitif siswa. Hal ini membuat siswa tertarik untuk lebih mengamati, mengambil data, menganalisis dan menyimpulkan gejala fisis yang dialami dalam kegiatan praktikum secara kelompok dengan menggunakan alat peraga sederhana yang bahannya dapat dibuat dari bahan lingkungan sekitar. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa dan pemahaman konsep fisika siswa yang menerapkan pengembangan strategi konplik kognitif dengan model PBL dan CL berbantuan alat peraga dengan tanpa alat peraga. MATERI DAN METODE Materi Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang guru ke peserta didik, tetapi peserta didik harus mengartikan apa yang diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka atau konstruksi yang telah mereka bangun/miliki sebelumnya (Lorbach dan Tobin, 1992). Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak

seja melalui pengalaman fisik tetapi juga pengalaman kognitif dan mental. Pengetahuan dibentuk oleh struktur penerimaan konsep seseorang sewaktu dia berinterksi dengan lingkungannya yaitu semua obyek yang dibstraksikan dalam diri seseorang dan di sekeliling kita. (von Glaserfeld, 1989). Menurut pandangan konstruktivisme oleh Brooks & Brooks (1993) bahwa murid membina makna tentang dunia dengan mensintesis pengalaman baru kepada apa yang mereka telah fahami sebelumnya. Mereka membentuk peraturan melalui refleksi tentang interaksi mereka dengan objek dan idea. Apabila mereka bertemu dengan objek, idea atau perkaitan yang tidak bermakna kepada mereka, maka mereka akan sama ada menginterpretasi apa yang mereka lihat supaya secocok dengan peraturan yang mereka telah bentuk atau mereka akan menyesuaikan peraturan mereka agar dapat menerangkan pemahaman baru ini dengan lebih baik Menurut Gagne (1974) ketika seorang berinteraksi dengan lingkungannya maka dalam otaknya akan terbentuk struktur kognitif tertentu yang disebut skemata berupa organisasi mental yang melalui dua mekanisme yaitu asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi seseorang menggunakan struktur kognitif dan kemampuan yang sudah ada untuk beradaptasi dengan masalah atau informasi baru yang datang dari lingkungannya. Adaptasi dapat terjadi jika informasinya mengandung kesamaan dengan struktur mental yang ada. Sedangkan proses akomodasi adalah modifikasi struktur kognitif untuk melakukan respon terhadap informasi yang dihadapi. Hal inilah yang menyebabkan tidak setiap informasi dari guru dapat dimengerti atau dipahami dengan baik oleh siswa dalam proses pembelajaran. Belajar sains khusunya fisika memerlukan proses sains dalam pembentukan konsep, prinsip atau hukum. Untuk itu pembelajaran sains di sekolah diharuskan taat pada proses sains agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi. Miskonsepsi dapat terjadi karena setiap siswa mempunyai konsepsi awal tentang suatu peristiwa atau gejala yang diamati tetapi bertentangan dengan konsep ilmuwan. Untuk itu guru harus berusaha dalam pembelajaran untuk mengetahui konsepsi awal siswa dan memodifikasi atau mengkalarifikasi agar sesuai dengan konsepsi ilmuan. Startegi Konplik Kognitif Pembelajaran yang dapat mengklarifikasi atau memodifikasi konsepsi siswa salah satu alternatifnya adalah menggunakan strategi konflik kognitif yang merupakan penerapan paham konstruktivisme seperti yang dikemukan oleh Osborne (1993) bahwa strategi konflik kognitif mempunyai pola umum yaitu: exposing alternative framework (mengungkapkan konsepsi awal), creating conceptual cogntif ( menciptakan konflik koseptual), encouraging cognitive accommodation (mengupayakan terjadinya akomodasi kogntif).

1. Mengungkapkan Konsepsi Awal Siswa Belajar konsep sains melibatkan akomodasi kognitif terhadap konsepsi awal siswa. Untuik mengetahui konsepsi awal siswa dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan dengan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai gejala alam yang relevan dengan tujuan pembelajaran atau kompotensi dasar yang akan dicapai. 2. Menciptakan Konflik Konseptual Menciptakan konflik konseptual dalam fikiran siswa merupakan fase yang menantang siswa untuk menguji konsepsi awalnya apakah benar atau salah dengan konsepsi ilmuwan. Pada fase ini guru dapat membimbing siswa mendemonstrasikan atau melakukakan percobaan untuk menguji konsepsi awalnya. 3. Mengupayakan Terjadinya Akomadasi Kognitif Akomodasi kognitif merupakan interpretasi dari hasil demonstrasi atau percobaan yang dilakukan siswa agar konsepsinya benar dan meyakinkan. Pada fase ini guru membimbing siswa dengan pertanyaan yang sifatnya inkuiri dengan mengajukan pertanyaan seperti: apa yang anda maksud, mengapa, dan bagaimana bisa terjadi. Pengembangan Strategi Konflik Kognitif Strategi konflik kognitif dapat dikembangkan dengan mengintegrasikannya kedalam model Problem Based Learning (PBL) dan Cooperative Learning (CL) dengan sintaks pembelajaran seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Sintaks Pengembangan Pembelajaran Strategi Konflik Kognitif (SKK) dengan mengintegrasikan model CL dan PBL Pola SKK Mengungkapka n Konsepsi Awal Siswa Fase-Fase CL Fase-Fase PBL Tingkah Laku Guru Memberikan pertanyaan secara lisan atau tulisan Menciptakan Konflik Konseptual Menyampaikan Tujuan dan motivasi siswa Menyajikan informasi Orientasi siswa kepada masalah Menyampaikan tujuan pembelajaran, mempersiapkan kegiatan ilmiah dan

Mengorganisas ikan siswa dalam kelompokkelompok belajar Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Mengorganisasik an siswa untuk belajar

memotivasi siswa Mendemonstrasikan dan atau membimbing dalam membuat permasalahan

Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok Mengembangk an dan menyajikan hasil karya

Mendorong siswa dalam kerja kelompok untuk pemecahan masalah dan mengkomunikasikan nya Membantu siswa dalam evaluasi dan atau refleksi dari proses pemecahan masalah

Mengupaya kan Terjadinya Akomadasi Kognitif

Evaluasi

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Penghargaan

Memberikan penghargaan baik secara individu maupun kelompok

Modifikasi dari sintaks model-model konstruktivistik (Trianto, 2007)

pembelajaran

inovatif

berorientasi

Metode Metode dalam penelitian menggunakan metode eksperimen semu dengan desain penelitian pretest and posttest control group designe yang dilakukan di SMA Negeri 1 Kupang tahun ajaran 2008/2009 dengan Sampel dua kelas X yang diambil secara random kelompok. Instrumen penelitian berupa: perangkat pembelajaran yaitu silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar kegiatan Siswa (LKS), dan Alat peraga; evaluasi penelitian berupa lembar observasi keterampilan berpikir kritis siswa dan tes pemahaman konsep fisika siswa. Prosedur penelitian berupa: tahap persiapan menyusun instrumen perangakat pembelajaran dan instrumen evaluasi penelitian; tahap pelakasanaan yaitu pembukaan pembelajaran berupa pemberian tes pemahaman konsep awal (prior knowlidge) siswa, apersepsi berupa pertanyaan dari peristiwa kehidupan sehari-hari dan gejala fisis yang didemonstrasikan; kegiatan inti berupa menciptakan konflik kognitif berupa demonstrasi sehingga siswa melakukan penyelidikan dalam kelompok dengan menggunakan LKS sementara itu guru membimbing kelompok bekerja dan belajar; mengupayakan terjadinya akomodasi kognitif berupa evaluasi dari proses penyelidikan untuk pemecahan masalah. Penutup berupa rangkuman dan penghargaan kepada individu atau kelompok. Pengumpulan data keterampilan berpikir kritis dilakukan pada setiap pertemuan oleh dua orang observer sedangkan pemahamn konsep fisika siswa dilakukan pada awal dan akhir pelaksanaan penelitian. Analisis data untuk keterampilan berpikir kritis siswa secara deskriptif sedangkan untuk prestasi belajar fisika siswa menggunakan uji infrensial uji t-studen. HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil rata-rata keterampilan berpikir kritis siswa selama 3 kali pertemuan mengalami perubahan seperti pada tabel 1 dan 2. Tabel 1. Penigkatan KBKS yang diajar dengan integrasi strategi konflik kognitif berbantuan alat peraga. No 1 2 3 4 5 Parameter KBPS Bertanya Menjawab Menanggapi Menarik Kesimpulan Mengkomunikasikan Hasil Rata-Rata Skor KBKS Pert. I 3,31 3.13 2,75 2,44 1,38 2,6 Pert. II 3,59 3,37 2,81 2,46 1,40 2,7 Pert. III 3,68 3,58 3,09 2,53 1,42 2,9

Tabel 2. Penigkatan KBKS yang diajar dengan integrasi strategi konflik kognitif tanpa berbantuan alat peraga No Parameter KBPS Pert. I Pert. II Pert. III 1 Bertanya 3,16 3,38 3,53 2 Menjawab 3,00 3,44 3,28 3 Menanggapi 2,63 2,75 2,84 4 Menarik Kesimpulan 2,63 2,41 2,16 5 Mengkomunikasikan Hasil 1,28 1,25 1,44 Rata-Rata Skor KBKS 2,5 2,6 2,7 Dari data Tabel 1 diperoleh bahwa secara keseluruhan KBKS pembelajaran pengembangan strategi konflik kognitif dengan model PBL dan CL berbantuan alat peraga mengalami peningkatan. Peningkatan yang besar terjadi pada kemampuan mengkomunikasikan dalam menyampaikan pendapat ke teman-temannya. Hal ini terjadi karena siswa sebelumnya belum terbiasa dalam menyampaikan pendapat tapi setelah mengalami proses pembiasaan dalam mengambil data, maka siswa sudah mulai berusaha mengemukakan pendapat sesuai apa yang diobservasi. Sedangkan dalam menarik kesimpulan peningkatannya paling rendah, hal ini karena siswa belum terbiasa dalam menarik kesimpulan dari proses yang telah dilakukan Dari data Tabel 2 diperoleh bahwa secara keseluruhan KBKS pembelajaran pengembangan strategi konflik kognitif dengan model PBL dan CL berbantuan alat peraga mengalami peningkatan. Peningkatan yang besar terjadi pada kemampuan mengkomunikasikan dalam menyampaikan pendapat ke teman-temannya. Hal ini terjadi karena siswa sebelumnya belum terbiasa dalam menyampaikan pendapat tapi setelah mengalami proses pembiasaan dalam mengambil data, maka siswa sudah mulai berusaha mengemukakan pendapat sesuai apa yang diobservasi. Sedangkan dalam menarik kesimpulan peningkatannya paling rendah, hal ini karena siswa belum terbiasa dalam menarik kesimpulan dari proses yang telah dilakukan. Data Pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa secara keseluruhan KBKS pembelajaran pengembangan strategi konflik kognitif dengan PBL dan CL tanpa baerbantuan alat peraga mengalami peningkatan tetapi lebih rendah daripada dengan berbantuan alat peraga. KBKS yang paling tinggi peningkatannya adalah keterampilan dalam bertanya, karena siswa susah melakukan proses sains tanpa alat peraga sehingga dia sering bertanya mengenai proses sains yang mungkin terjadi. Keterampilan yang lain berfluktuasi karena kurangnya penguatan saat terjadi proses sains yang hanya berdasarkan nalar saja. Peningkatan pemahaman konsep fisika siswa yang pembelajarannya menerapkan pengembangan strategi konflik kognitif dengan PBL dan CL yang berbantuan alat

peraga lebih baik daripada tanpa alat peraga pada taraf signifikasi . Hal ini dapat terjadi karena selain disebabkan adanya peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa juga karena siswa belajar aktif melalui aktivitas proses sains secara riil dari alat peraga yang didemonstrasikan. SIMPULAN Peningkatan keterampilan berpikir kritis dan pemahaman konsep fisika siswa yang pembelajarannya mengembangkan strategi konflik kogtif dengan model PBL dan CL berbantuan alat peraga lebih baik daripada tanpa alat peraga

DAFTAR PUSTAKA Brooks,J.G. & Books,M.G. (1993). The Courage To Be Constructivist. Educational Leadership, Alexandria, VA:Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).

alah satu landasan teoretik pendidikan IPA (fisika) modern termasuk pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah teori pembelajaran konstruktivis. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered. Sebagian besar waktu proses belaJar mengajar beriangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan, dan penemuan. Salah satu prinsip kunci yang diturunkan dari teorinya adalah menekankan pada hakikat sosial dan pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau ternan sebaya yang lebih mampu (Slavin, 2000). Berdasarkan teori ini dikembangkan pembelajaran kooperatif, yaitu siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Dalam mengubah miskonsepsi siswa menuju konsepsi ilmiah dalam pembelajaran fisika, diperlukan strategi pengubahan konsep (conceptual change) yang tepat dan diberikan pada saat yang tepat pula. Pengubahan konsepsi dapat dilakukan dengan menyajikan konflik kognitif (cognitive conflict). Hal ini dilakukan secara hati-hati jangan sampal konflik kognitif yang disampaikan justru akan memperkuat stabilitas miskonsepsi siswa. Konflik kognitif yang disajikan dalam proses pembelajaran harus mampu menggoyahkan stabilitas miskonsepsi siswa. Jika siswa sudah menjadi ragu terhadap kebenaran gagasannya, maka dapat diharapkan mereka akan mau merekonstruksi gagasan atau konsepsinya sehingga pada akhir proses pembelajaran di kepala siswa hanya terdapat sains guru yang berupa pengetahuan ilmiah (Sadia, 1997: 12). Implikasi penting dalam pembeiajaran fisika menurut piaget (Slavin,1994:45) adalah (a) Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak,

tidak sekedar kepada hasilnya. (b) Memperhatikan peranan dan inisiatif siswa, serta keterlibatannya secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. (c) Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan intelektual. Sedangkan implikasi utama dalam pembelajaran fisika berdasarkan teori Vygotsky adalah dikehendakinya susunan kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing zone of proximal development mereka. Tahapan-tahapan penerapan model konstruktivis dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (1) Identifikasi awal terhadap prior knowledge dan miskonsepsi siswa tentang konsep tekanan Pada tahap ini guru mengidentifikasi pengetahuan awal siswa tentang konsep tekanan, guna untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes diagnostik (pra tes) dan interview klinis yang dilaksanakan sebelum pernbelajaran; (2) Penyusunan Program Pembelaiaran dan Strategi Pengubahan Miskonsepsi. Program pernbelajaran dijabarkan dalam bentuk Satuan Pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan miskonsepsi diwujudkan dalam bentuk modul tentang konsep-konsep esensial yang mengacu pada konsepsi awal siswa yang telah dijaring sebelum pernbelajaran dilaksanakan; (3) Orientasi dan Elicitasi. Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal pembelajaran guna membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat rnelalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Suasana pembeiajaran dibuat santai, agar siswa tidak khawatir dicemoohkan dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah; (4) Refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direfleksikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesalahan untuk memudahkan merestrukturisasinya; (5) Restrukturisasi Ide, berupa: (a) Tantangan. Siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu; (b) Konflik Kognitif dan Diskusi Kelas. Siswa akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan. melakukan percobaan di laboratorium. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi rnelalui diskusi dengan ternan atau guru yang pada kapasitasnya sebagai fasilitator dan mediator; (c) Membangun Ulang Kerangka Konseptual

Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menuniukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama; (6) Aplikasi. Meyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepi ilmiah. Menganjurkan rnereka untuk menerapkan konsep iimiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudian menguji penyelesaiaanya secara ernpiris; (7) Review. Review dilaksanakan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah beriangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangat resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selarnanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa yang bersangkutan. Menurut Dahar (1988: 95) belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan. Konsep-konsep merupakan batu-batu pembangun (building blocks) dalam berpikir. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk memutuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Flavel (Dahar, 1988: 96) mengemukakan, bahwa konsep dapat berbeda dalam tujuh dimensi, yaitu: 1) atribut; 2) struktur; 3) keabstrakan; 4) keinklusifan; 5) generalitas atau keumuman; 6) ketepatan; 7) kekuatan (power). Dari ketujuh dimensi konsep tersebut, dapat ditarik definisi konsep menurut Rosser (Dahar, 1988: 37), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Rustaman et al. (2003: 61) menambahkan, untuk memecahkan masalah dalam belajar, siswa harus mengetahui konsep dasar permasalahan yang dihadapinya. Konsep merupakan suatu abstraksi yang menggambarkan ciri, karakter atau atribut yang sama dari sekelompok objek dari suatu fakta, baik suatu proses, peristiwa, benda atau fenomena di alam yang membedakannya dari kelompok lain. Pada penguasaan konsep, dikenal suatu teori dari Benjamin Bloom yang disebut Taxonomy of Educational Objectives atau lebih populer dengan istilah Taksonomi Bloom. Uniknya pada taksonomi ini, terdapat suatu urutan atau tingkatan yang menandakan level kemampuan siswa, menurut Ginnis (2008: 63) saat berpindah dari level bawah ke atas, dibutuhkan kecakapan yang lebih maju dari siswa. Berikut merupakan Taxonomy of Educational Objectives menurut Benjamin Bloom (Ginnis, 2008: 63): 1. Evaluasi memeriksa, menilai, memberi bobot, mempersingkat, menentukan, merangking, menguji mutu, mengambil keputusan, menengahi konflik, menyortir, menaksir, mengelompokkan. 2. Sintesis menggabung, membentuk, mencipta, mengelompokkan ulang, mengkonsepsi, meramu, menyusun, mencampur, menyertakan, menstruktur, menghasilkan, memadukan. 3. Analisis menggabung, membentuk, mencipta, mengelompokkan ulang, mengkonsepsi, meramu, menyusun, mencampur, menyertakan, menstruktur, menghasilkan, memadukan. 4. Aplikasi

menerapkan, mengadaptasi, mentransfer, mengadopsi, menerjemahkan, menyelesaikan, menggunakan, mengubah, menggunakan, memanipulasi, memanfaatkan, mentransplantasi, mengaitkan, mengkonversi. 5. Pemahaman menyusun ulang kata, mengubah, merangkum, menjelaskan, mendefinisikan, menafsirkan, menyusun ulang kalimat, memparaphrase, mengubah urutan, memahami, mengkonsep, menghitung. 6. Pengetahuan apa, siapa, kapan, dimana, mengingat, menempatkan, mengulang, menyebutkan, melafalkan, mendaftar, mencari, mengidentifikasi, melabeli. (Sumber: Ginnis, 2008) Level kemampuan siswa dalam penguasaan konsep ditentukan pula oleh cara setiap orang dalam menerima dan memproses konsep tersebut. Menurut Purwanto (1994: 102), hasil belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) kematangan/pertumbuhan; 2) sifat-sifat pribadi seseorang; 3) keadaan keluarga; 4) cara guru mengajar; 5) alat-alat pembelajaran; 6) lingkungan dan kesempatan; 7) motivasi; 8) kecerdasan/intelegensi. Selain faktor-faktor tersebut, keberhasilan belajar itu juga dapat dipengaruhi oleh dua faktor besar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Slameto, 2003: 64). Lebih lanjut diungkapkan bahwa faktor internal terdiri atas faktor biologis (jasmaniah) dan faktor psikologis, sedangkan faktor eksternal terdiri atas faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sekolah, dan faktor lingkungan masyarakat. Faktor lingkungan rumah atau keluarga ini merupakan lingkungan pertama dan utama pula dalam menentukan keberhasilan belajar seseorang.

You might also like