You are on page 1of 26

PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA YANG MENJADI OTORITAS PPNS DIKAITKAN DENGAN KUHAP

I. PENDAHULUAN Pada tanggal Indonesia Undang 31 Desember 1981 Pemerintah Republik

mensahkan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Pada awal

tentang Hukum Acara Pidana yang juga disebut dengan Kitab Undangdimunculkannya KUHAP, bangsa Indonesia sangat bangga atas terciptanya karya kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana nasional tersebut. Terlebih dengan kelebihan-kelebihan yang bersifat mendasar dibandingkan dengan HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) yang berlaku sebelumnya, kehadiran KUHAP telah memberikan harapan besar bagi terwujudnya penegakan hukum pidana yang lebih efektif, adil dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga tidak heran jika pada awal-awal diberlakukannya, KUHAP disebutsebut dikalangan pemerhati hukum sebagai Karya Agung bangsa Indonesia. Apapun sebutannya, setelah KUHAP diberlakukan selama kurun waktu 30 tahun, ternyata semakin menampakkan adanya keterbatasan. Harapan-harapan terhadap KUHAP telah berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan setelah pada kenyataannya masih saja terjadi pelanggaran hak asasi manusia pada proses peradilan pidana. Di sisi lain ternyata KUHAP masih saja menampakkan peluang-peluang hukumnya. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP) memberikan peran utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk untuk ditafsirkan sekehendak pihak yang berkepentingan sehingga justru semakin kehilangan aspek kepastian

melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa soal-soal sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, KUHAP masih memberikan kewenangan kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu untuk melakukan penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Dalam ketentuan peralihan KUHAP Pasal 284 ayat (2) dijelaskan bahwa dalam waktu dua tahun setelah diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam kenyataannya berdasarkan fakta sejarah terlihat bahwa bangsa ini tidak konsisten dengan pernyataan yang terdapat dalam aturan peralihan KUHAP tersebut. Hal ini terbukti dengan terbitnya beberapa undang-undang baru yang secara eksplisit sepertinya dapat dikatakan mengebiri kewenangan Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sebagaimana diamanatkan oleh KUHAP. Beberapa undang-undang seperti undang-undang kepabeanan, undang-undang perikanan, dan lain sebagainya yang memberikan kewenangan kepada penyidik pegawai negeri sipil sekaligus membatasi Polri dalam melakukan penyidikan suatu tindak pidana tertentu. Perkembangan lebih lanjut apabila mencermati draft RUU tentang KUHAP yang disusun oleh Kelompok Kerja (Pokja) Nasional RUU tentang KUHAP yang diketuai oleh Prof. Dr. ANDI HAMZAH,

S.H, peran Penyidik Polri sebagai Korwas PPNS malah cenderung ditiadakan. Sudah terdapat wacana yang menyebutkan agar PPNS bisa langsung menyerahkan ke penuntut umum tanpa melalui Polisi dengan alasan mempersingkat waktu. Draft RUU tentang KUHAP yang disusun oleh Pokja Nasional jika diterapkan, akan menghadapi banyak kendala dalam penerapannya sehingga justru akan menghambat pelaksanaan Hukum Acara Pidana yang sejauh ini sudah semakin mapan dan cukup representatif dalam upaya perlindungan HAM. Peran Penyidik Polri sebagai Korwas PPNS hendaknya tetap diefektifkan, mengingat bahwa hakikat Korwas PPNS bukan berarti Polri selalu super di atas PPNS, melainkan demi sinergi antara Polri yang memiliki kemampuan penyidik umum ( kesiapan personel di seluruh Indonesia, dengan fasilitas, sarana penyedilikan, dan mobilitas yang lebih lengkap) dengan PPNS yang memiliki kemampuan teknis di bidang khusus. Era globalisasi yang ditandai dengan meningkatnya komunikasi dan interaksi antar individu menyebabkan potensi terjadinya beragam permasalahan antar individu atau kelompok masyarakat. Permasalahan yang kerapkali muncul seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kehadiran berbagai jenis kejahatan yang berbasis teknologi informasi, seperti, pencucian uang (money laundering), cyber crime, dan kejahatan Hak atas Kekayaan Intelektual. Upaya mengantisipasi yang dan dilakukan pembuat undang-undang yang dalam

menanggulangi

kejahatan

cenderung

meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas adalah menyusun peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan pada institusi lain, di luar Polri, untuk terlibat dalam proses penyidikan.

Harapannya, proses penyidikan dapat diperiksa dan diselesaikan secara cepat, tepat dan bermuara pada terungkapnya suatu peristiwa tindak pidana. Adapun institusi sipil yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan suatu kasus pidana adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Munculnya PPNS sebagai institusi di luar Polri untuk membantu tugas-tugas kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 6 KUHAP diatur : (1) Penyidik adalah : a. pejabat polisi Negara Republik Indonesia b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Pasal 7 angka 2 KUHAP diatur: Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa: Penyidik pegawai negeri sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan

penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Dari kedua undang-undang tersebut tampak jelas bahwa eksistensi PPNS dalam proses penyidikan ada pada tataran membantu, sehingga tidak dapat disangkal lagi kendali atas proses penyidikan tetap ada pada aparat kepolisian, mengingat kedudukan institusi Polri sebagai kordinator pengawas (Korwas), sehingga menjadi hal yang kontra produktif apabila muncul pandangan bahwa PPNS dapat berjalan sendiri dalam melakukan penyidikan tanpa perlu koordinasi dengan penyidik utama yaitu Polri. Upaya mendudukan PPNS sebagai lembaga mandiri dalam melakukan penyidikan suatu tindak pidana tampaknya bukan lagi sekedar wacana namun sudah mengarah pada upaya pelembagaan, akibatnya dalam praktik penegakan hukum, tidak jarang muncul tumpang tindih kewenangan antara PPNS dan aparat Polri. Saat ini peran PPNS ingin diperluas lagi agar daerahpun dapat memiliki PPNS untuk menegakkan Perda. Hingga kini DKI Jaya adalah satu-satunya Pemda yang memiliki PPNS pada lembaga kedinasannya. Upaya melepaskan kedudukan PPNS di bawah koordinasi aparat kepolisian tentunya memiliki dampak yang sangat luas terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia, sehingga melalui uraian singkat ini saya bermaksud untuk menyampaikan sedikit pemikiran terkait kedudukan PPNS dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Tujuan yang hendak dicapai melalui tulisan ini tidak lebih dari upaya menempatkan masing-masing lembaga penyidik sesuai dengan kedudukannya masing-masing sebagaimana arahan undangundang, sehingga dikemudian hari tidak lagi muncul tarik menarik

dalam menjalankan penyidikan dan yang terpenting sistem penegakan hukum yang selama ini telah dibangun dapat berdiri kokoh. II. DASAR HUKUM KEWENANGAN PPNS DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN Dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system), peran aparatur penegak hukum, khususnya penyidik, sangat strategis. Penyidik merupakan pintu gerbang utama dimulainya tugas pencarian kebenaran materiil karena melalui proses penyidikan sejatinya upaya penegakan hukum mulai dilaksanakan. Selama ini luas lingkup tugas dan tanggung jawab penyidik dalam sistem penegakan hukum di Indonesia menyisakan banyak permasalahan, tidak saja terkait banyaknya institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan atas suatu tindak pidana, tetapi juga masih terdapatnya tumpang tindih kewenangan penyidikan antara beberapa institusi. Akibatnya, antar institusi penyidik muncul kesan kurang terjalin koordinasi dan sinergitas yang dapat berdampak pada berkurangnya kredibilitas institusi penegak hukum dimata masyarakat. Permasalahan sebagaimana digambarkan di atas tentunya akan terus berlanjut apabila tidak segera ditemukan jalan keluarnya, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah terancamnya rasa keadilan masyarakat. Hanya karena muncul sikap ego sektoral di antara masing-masing intitusi penegak hukum, rasa keadilan masyarakat yang seharusnya dijunjung tinggi harus dikorbankan. Apabila memperhatikan pada perundang-undangan nasional, ada beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai

dasar hukum diberikannya wewenang kepada PPNS untuk melakukan penyidikan di antaranya1: 1. Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; 2. Pasal 1 angka 10 dari Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; 3. Pejabat Bea dan Cukai sebagai penyidik berdasarkan Pasal 112 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan; 4. Pasal 89 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menegaskan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Merek. 5. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.18-PW.07.03 Tahun 1993 tentang Petunjuk Mutasi dan Pelaksanaan Pengusulan Penyidik Pengangkatan, Pemberhentian

Pegawai Negeri Sipil; 6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah; 7. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah; 8. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam Penegakan Peraturan Daerah;

http://elisatris.wordpress.com/kedudukan-ppns-dalam-penegakan-hukum/. Dikunjungi 20 Oktober 2011.

Diberikannya wewenang untuk melaksanakan tugas penyidikan kepada PPNS, di satu sisi tentunya akan memudahkan dalam pengungkapan suatu tindak pidana mengingat banyaknya kendala yang dihadapi oleh aparat kepolisian dalam melakukan penyidikan, seperti kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, sarana-prasarana pendukung, serta anggaran. Namun, di sisi lain banyaknya institusi penyidik berpotensi menimbulkan tarik menarik kewenangan antar institusi, terlebih apabila ego masing-masing yang dapat institusi penyidik pada mengedepankan Oleh sektoral, itu, berujung

terhambatnya proses penegakan hukum. karena dalam mengantisipasi munculnya ketidaksinkronan dalam melaksanakan tugas penyidikan, khususnya antara penyidik Polri dan PPNS, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memberikan solusi terkait kedudukan kedua intsitusi tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri). III. PERAN PPNS DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA Di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice system) terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan) yang secara keseluruhan berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana yang berwujud resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang).

Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated criminal justiuce system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing. Pada pokoknya, sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan oleh empat fungsi utama, yaitu: 1. Fungsi pembuatan undang-undang (law making function) Fungsi ini dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah atau badan lain berdasar delegated legislation. Yang diharapkan, hukum yang diatur dalam undang-undang, tidak kaku (not rigid). Sedapat mungkin fleksibel (flexible) yang bersifat cukup akomodatif terhadap kondisi-kondisi perubahan social. 2. Fungsi penegakan hukum (law enforcement function) Tujuan obyektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (social order): a. Penegakan hukum secara aktual (the actual enforcement law) meliputi tindakan: 1) Penyelidikan-penyidikan (investigation) 2) Penangkapan (arrest)- penahanan (detention); 3) Persidangan pengadilan (trial), dan 4) Pemidanaan (punishment) pemenjaraan guna memperbaiki tingkah laku individu terpidana (correcting the behaviour of individual offender) b. Efek preventif (preventive effect) Fungsi penegakan hukum diharapkan mencegah orang (anggota masyarakat melakukan tindak pidana). Dalam konteks kehadiran polisi berseragam upaya ditengah-tengah prevensi. masyarakat dan dimaksudkan sebagai Kehadiran

keberadaan Polisi dianggap mengandung preventive effect yang memiliki daya cegah (detterent effort) anggota masyarakat melakukan tindak criminal. 3. Fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan (function of adjudication) Fungsi pemeriksaan ini merupakan sub fungsi dari kerangka penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum serta pejabat pengadilan yang terkait. Melalui fungsi inilah ditentukan: a. Kesalahan terdakwa (the determination of guilty) b. Penjatuhan hukuman (the imposition of punishment) 4. Fungsi memperbaiki terpidana (The function of correction) Fungsi ini meliputi aktivitas Lembaga Pemasyarakatan, Pelayanan Sosial Terkait, dan Lembaga Kesehatan Mental. Tujuan umum semua lembaga-lembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan pemenjaraan terpidana: merehabilitasi pelaku pidana (to rehabilitate the offender) agar dapat kembali menjalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and productive life). Penyidik Polri bila dilihat dari Sistem Peradilan Pidana merupakan salah satu mata rantai dalam sistem tersebut. Polri merupakan salah satu sub sistem peradilan pidana yang terdiri dari: sub Sistem Kepolisian (dalam hal ini penyidik Polri), kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat Sub sistem tersebut mempunyai peranan masing-masing yang satu sama lain saling berkaitan.

10

Dalam kerangka pemahaman sistem tersebut maka kepolisian, kejaksaan, advokat, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan merupakan unsur-unsur yang membangun sistem tersebut. Masingmasing memang berdiri sendiri dan menjalankan pekerjaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya tetap merupakan satu kesatuan. Jika diperhatikan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP terlebih jika dihubungkan dengan beberapa bab dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti Bab V (Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, dan Pemeriksaan Surat) serta Bab XIV (Penyidikan), ruang lingkup wewenang dan kewajiban penyidik adalah sangat luas. Ruang lingkup wewenang yang masuk dalam proses penyidikan antara lain: 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya suatu tindak pidana; 2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; 3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka; 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. 7. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; Memanggil orang untuk didengar dan diperiksan sebagai tersangka atau saksi; 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara; 9. Mengadakan penghentian penyidikan; 10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

11

Dengan memperhatikan ruang lingkup wewenang di atas tidak dapat disangkal lagi bahwa proses penyidikan sejatinya bukan proses yang sederhana, karena itu tidak setiap institusi dapat melaksanakannya. Apalagi hanya dilakukan oleh institusi yang tugas pokoknya sejatinya bukan sebagai penyidik karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kesalahan procedural yang berpotensi menyebabkan terlanggarnya hak asasi seseorang. Dilibatkannya PPNS, yang sejatinya merupakan bagian dari institusi eksekutif, dalam proses penyidikan tindak pidana lebih banyak dilatarbelakangi kondisi faktual di lingkungan internal Polri yang mana Polri masih memiliki berbagai kekurangan sumber daya, di antaranya: a. Sumber Daya Manusia Harus diakui bahwa sampai sekarang kondisi sumber daya manusia Polri masih menghadapi kendala, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Belum seimbangnya ratio antara jumlah anggota Polri dan masyarakat berdampak pada minimnya personil Polri yang memiliki kualifikasi sebagai penyidik, sedangkan secara kuantitas, masih banyak anggota Polri yang belum memahami materi (substansi) kasus pidana tertentu. Misalnya, pemahaman tentang keimigrasian, kepabeanan, ketenagakerjaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, keterlibatan PPNS dalam penyidikan suatu tindak pidana tertentu sejatinya merupakan upaya mengatasi kendala tersebut. Namun demikian, dalam tataran taktis dan teknis penyidikan kendali tetap ada pada aparat Polri sebagai penyidik utama. b. Sarana Prasarana Dalam kasus-kasus tertentu, institusi Polri belum memiliki sarana prasarana penyidikan yang relatif memadai dibandingkan dengan PPNS. Misalnya untuk penindakan kasus kepabeanan

12

tentunya diperlukan sarana prasarana kapal motor dengan kualifikasi khusus, sementara aparat Polri belum memiliki kapal dengan kwalifikasi tersebut sehingga memerlukan bantuan dari Bea dan Cukai. Hal yang sama terjadi pula pada penyidikan tindak pidana illegal fishing, hingga sekarang sarana prasarana pendukung penyidikan yang dimiliki Polri masih belum memadai sehingga membutuhkan keterlibatan PPNS. c. Anggaran Sebagaimana diketahui bersama anggaran yang dialokasikan khusus untuk melakukan penyidikan suatu tindak pidana relatif kecil dibandingkan kebutuhan riil, apalagi jika lokasi penyidikan saling berjauhan dan melintasi batas wilayah. Karena itu, keterlibatan PPNS dalam melakukan penyidikan diharapkan dapat meminimalisir kendala anggaran. Dengan memperhatikan pada beberapa kendala di atas, dapat dijelaskan bahwa pelibatan PPNS dalan tugas-tugas penyidikan tidak pada tataran taktis dan teknis penyidikan karena sudah sejak semula instansi tersebut dibentuk hanya untuk membantu aparat Polri dalam melakukan penyidikan, sehingga upaya melembagakan PPNS sebagai lembaga mandiri dalam melakukan tugas penyidikan dikhawatirkan akan berdampak pada tercederainya proses penegakan hukum. Oleh karena itu, agar pada saat melaksanakan kewenangan melakukan penyidikan antara PPNS dan penyidik Polri tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, KUHAP telah mengatur hubungan di antara masing-masing institusi sebagai berikut: 1. Penyidik pegawai negeri sipil berkedudukan di bawah: a) Koordinasi penyidik Polri b) Di bawah pengawasan penyidik Polri

13

2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP) 3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP) 4. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP) 5. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP). Yang perlu mendapat perhatian dalam hal penghentian penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil adalah meskipun pada saat pelaporan tindak pidana yang sedang disidiknya, penyidik pegawai negeri sipil cukup memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu kepada penyidik Polri, tidak perlu diberitahukan kepada pununtut umum, namun dalam hal penghentian penyidikan, disamping harus memberitahukan penghentian tersebut kepada penyidik Polri, juga harus memberitahukan penghentian penyidikan tersebut kepada penuntut umum. Hal lain yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai alasan sehingga kewenangan PPNS dalam melakukan penyidikan tidak dapat dipisahkan dari kedudukan Polri sebagai Korwas PPNS dapat ditinjau dari kerangka Criminal Justice System (CJS).

14

Sebagaimana diketahui, dalam kerangka CJS institusi utama yang menjadi pilar penopang berjalannya sistem tersebut adalah kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Apabila PPNS, yang sejatinya merupakan subordinasi dari lembaga eksekutif diperkenankan untuk langsung melakukan tugas-tugas penyidikan menggantikan kedudukan Polri sebagai penyidik, maka dikhawatirkan proses penegakan hukum nasional yang selama ini dibangun atas landasan CJS akan tercederai mengingat eksekutif tidak masuk dalam kerangka CJS. Oleh karena itu, agar CJS tidak tercederai dengan masuknya PPNS sebagai institusi penyidik, maka KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa PPNS tidak diperkenankan untuk secara langsung menyerahkan hasil pemeriksaan kepada jaksa penuntut umum tetapi kepada penyidik Polri. Agar pada saat melaksanakan kewenangan melakukan

penyidikan antara PPNS dan penyidik Polri tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, KUHAP telah mengatur hubungan di antara masingmasing institusi sebagai berikut2: 1. Penyidik pegawai negeri sipil berkedudukan di bawah: a) Koordinasi penyidik Polri; b) Di bawah pengawasan penyidik Polri 2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP) 3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk
http://jdih.jatimprov.go.id/kabbondowoso/index.php? option=com_content&view=article&id=109:ppns-dalam-penegakanhukum&catid=1:makalah-hukum&Itemid=37. Dikunjungi 20 Oktober 2011.
2

15

mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP) 4. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP) 5. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP). Yang perlu mendapat perhatian dalam hal penghentian penyidikan disidiknya, oleh penyidik pegawai negeri sipil sipil adalah cukup meskipun pada saat pelaporan tindak pidana yang sedang penyidik pegawai negeri memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu kepada penyidik Polri, tidak perlu diberitahukan kepada pununtut umum, namun dalam hal penghentian penyidikan, disamping harus memberitahukan penghentian tersebut kepada penyidik Polri, juga harus memberitahukan penghentian penyidikan tersebut kepada penuntut umum. IV. HUBUNGAN ANTARA POLRI DENGAN PPNS DALAM KUHAP Koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap Polsus, PPNS, dan Pam Swakarsa merupakan salah satu tugas Polri yang secara tersurat dicantumkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No 2 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1) huruf f. Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai tugas Polri tersebut penulis mencoba menjabarkan arti kata secara harfiah seperti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia. Koordinasi diartikan dengan

16

perihal mengatur suatu organisasi dan cabang-cabangnya sehingga peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan. Pengawasan dalam kamus Bahasa Indonesia berarti penilikan dan penjagaan serta pengarahan jalannya kebijakan. Sedangkan pembinaan artinya proses, cara membangun, mendirikan, mengusahakan agar lebih baik dan lebih maju atau sempurna. Dari beberapa pengertian tersebut judul makalah ini dapat disederhanakan dengan tugas Polri dalam melaksanakan penilikan, penjagaan, pengaturan dan cara mengusahakan Polsus, PPNS, dan Pam Swakarsa menjadi lebih baik dan lebih maju atau sempurna. Dalam hukum acara pidana (hukum pidana formil) sebagaimana tercantum dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah dilakukan pengaturan secara tegas dan jelas mengenai hubungan antara Penyidik POLRI dengna Penyidik Pegawai Negeri Sipil: Hubungan Penyidik POLRI Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). 1. PPNS dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinator dan pengawasan Penyidik POLRI ( Pasal 7 ayat 2 ); 2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan ( Pasal 107 ayat 1 ); 3. PPNS melaporkan tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidik POLRI ( Pasal 107 ayat 2 ); 4. PPNS menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI ( Pasal 107 ayat 3 );

17

5. Dalam

hal

PPNS

menghentikan

penyidikan,

segera

memberitahukan penyidik POLRI dan Penuntut Umum ( Pasal 109 ayat 3 ). Menurut Kadiv Binkum Polri, Irjen Pol. Dr. Teguh Soedarsono3, Korwas itu adalah koordinasi dan pengawasan. Koordinasi itu diartikan suatu hubungan kerjasama. Khususnya dalam bekerjasama tugastugas penyidikan antara Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dalam hal bidang tertentu dan dalam rangka meningkatkan kemampuan itu sendiri. Sementara pengawasan itu sendiri diartikan sebagai pengamatan atau pembinaan agar pelaksanaan penyidikan dalam proses hukum itu tidak menyalahi ketentuan undang undang. Pembinaan atau bantuan yang diberikan Polri kepada PPNS itu diminta atau tidak diminta Polri wajib untuk melakukan itu. Karena menurut KUHAP sendiri bahwa penyidik itu adalah Polri. Lebih lanjut ditambahkan Momo Kelana, keberadaan PPNS itu erat kaitannya dengan perkembangan organ dan fungsi kepolisian dalam masyarakat. Jadi semula sebelum terbentuk negara, fungsi kepolisian diemban oleh setiap warga negara. Saat ini fungsi kepolisian hanya merupakan salah satu bagian dari fungsi pemerintahan negara. Keberadaan PPNS ini sebetulnya merupakan satu fenomena dari perkembangan fungsi kepolisian secara keseluruhan. Oleh karena itu keberadaan PPNS ini juga harus dilihat dalam keseluruhan fungsi kepolisian secara seutuhnya. Kepolisian didalam KUHAP disebutkan sebagai koordinasi dan pengawas. Tapi bukan kepada instansinya, namun kepada kegiatan penyidikannya. PPNS itu sebagai bentuk partisipasi masyarakat yang bisa memberdayakan masyarakat dalam membangun kemitraan dengan Polri. Lebih lanjut menurut Momo, saat ini koordinasi dan
3

http://polisijaya.blogspot.com/p/ppns.html. Dikunjungi 20 Oktober 2011.

18

pengawasan Polri dengan PPNS sudah berjalan dengan baik, namun apa yang sudah berjalan ini masih bisa ditingkatkan efisiensinya. Jadi masalah-masalah kalangan Polri. Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah Polri yang dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Polsus, PPNS dan Pam Swakarsa dalam melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Pengemban fungsi kepolisian ditemukan melalui penguraian dimensi fungsi kepolisian yang terdiri dari dimensi yuridik dan dimensi sosiologik. Dalam dimensi yuridik, fungsi kepolisian terdiri atas Fungsi Kepolisian Umum dan Fungsi Kepolisian Khusus. Fungsi Kepolisian Umum, berkaitan dengan kewenangan kepolisian yang berdasarkan undang-undang dan atau peraturan perundang-undangan meliputi semua lingkungan kuasa hukum (lingkungan kuasa soal-soal; lingkungan kuasa orang; lingkungan kuasa tempat; dan lingkungan kuasa waktu). Pengemban fungsi kepolisian umum sesuai UU No 2 tahun 2002 adalah Polri, sehingga tugas dan wewenangnya dengan sendirinya akan mencakup keempat lingkungan kuasa soal tersebut di atas. Fungsi Kepolisian Khusus, berkaitan dengan kewenangan kepolisian yang oleh atau atas kuasa undang-undang secara khusus ditentukan untuk satu lingkungan kuasa. Badan-badan pemerintahan yang oleh atau atas kuasa undang-undang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian khusus dibidangnya masing-masing dinamakan alat-alat kepolisian khusus. Kepolisian khusus sesuai didalam pengembangan koordinasi dan pengawasan ini timbul. Tidak saja di kalangan PPNS-nya, tapi juga di

19

dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya, berada dalam lingkungan instansi tertentu seperti antara lain : Bea Cukai, Imigrasi, Kehutanan, Pengawasan Obat dan Makanan, Patent dan Hak Cipta. Diantara pejabat pengemban Fungsi Kepolisian Khusus, ada yang diberi kewenangan represif yustisial selaku penyidik dan disebut penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Penyidik Polri sebagai koordinasi dan pengawasan (Korwas) PPNS mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberikan batuan penyidikan yang didasarkan pada sendi-sendi hubungan fungsional. Korwas PPNS tersebut perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas PPNS agar pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS terhadap tindak pidana tertentu yang menjadi dasar hukumnya dapat berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Pada dasarnya pelaksanaan tugas koordinasi, pengawasan dan bantuan teknis kepada PPNS dapat dilaksanakan dalam tiga bentuk kegiatan yaitu : 1. Hubungan tata cara kerja agar terjalin kerjasama yang serasi 2. Pembinaan teknis, dan 3. Bantuan operasional penyidikan. Hubungan tata cara pelaksanaan kooordinasi dan pengawasan terhadap PPNS dilakukan dalam dua bidang yaitu bidang pembinaan dan bidang operasional. Di bidang pembinaan, hubungan kerja secara fungsional dalam rangka pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pembinaan dilaksanakan langsung oleh satuan reserse. Hubungan kerja ini dilaksanakan secara horisontal fungsional dengan tidak menutup kemungkinan hubungan yang bersifat diagonal antara Polri (satuan reserse mulai dari Mabes Polri sampai dengan Polres) dan unsur PPNS. Pembinaan ini dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan terhadap unsur PPNS. Di bidang operasional, pada hakekatnya koordinasi dilaksanakan secara timbal balik antara PPNS

20

dengan penyidik Polri. Secara kronologis mekanisme koordinasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Dalam hal PPNS melaksanakan penyidikan tindak pidana tertentu yang termasuk lingkup bidang tugasnya, maka PPNS menerima laporan/ pengaduan wajib memberitahukan hal itu kepada Penyidik Polri (Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) untuk kemudian diteruskan kepada Penuntut Umum. 2. Penyidik Polri memberikan petunjuk-petunjuk baik diminta atau tidak diminta berdasarkan tanggung jawabnya dan wajib memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan 3. Petunjuk yang diberikan meliputi Petunjuk Teknis, Taktis dan Yuridis. Sedangkan bantuan penyidikan meliputi bantuan tehnis, bantuan taktis dalam upaya paksa/ penindakan apabila wewenangnya tidak dimiliki PPNS. 4. Dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh PPNS ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan ke Penuntut Umum, maka PPNS wajib melapor hal itu kepada Penyidik Polri tentang perkembangan penyidikannya. 5. Dalam hal PPNS memerlukan bantuan untuk melakukan upaya paksa/penindakan yang wewenangnya tidak dimiliki oleh PPNS yang bersangkutan, maka untuk tindakan tersebut dimintakan bantuan kepada Penyidik Polri. 6. Permintaan bantuan upaya paksa harus disertai laporan serta perkembangan penyidikan dan alasan/ pertimbangan

keadaan untuk menentukan perlunya dilakukan upaya paksa. 7. Atas permintaan tersebut, Penyidik Polri dapat mengabulkan atau menolaknya dan kemudian memberitahukan keputusan tersebut kepada PPNS disertai pertimbangan serta alasan-alasannya. 8. Dalam hal permintaan dikabulkan dan penindakan telah dilaksanakan, maka tanggung jawab yuridis yang mungkin timbul

21

sebagai akibat penindakan tersebut menjadi tanggung jawab bersama. Pembinaan tehnis terhadap PPNS dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti : pembentukan PPNS, pembinaan kemampuan PPNS, dan pembinaan sistem laporan. Sebagai pembina tehnis PPNS, Penyidik Polri memberikan saran-saran tentang urgensi kebutuhan dan keberadaan PPNS dari sesuatu departemen/ instansi serta mengajukan saran tentang rencana formasi organik PPNS. Untuk mewujudkan rencana tersebut, maka departemen / instansi yang bersangkutan mengusulkan pengangkatan PPNS kepada Menteri Kehakiman dengan tembusan kepada Kapolri dan Jaksa Agung. Atas usulan pengangkatan PPNS tersebut Polri memberikan pertimbangan. Masalah pembinaan kemampuan PPNS merupakan tanggung jawab Penyidik Polri. Hal ini disebabkan karena komponen penyidikan dalam sistem peradilan pidana sepenuhnya dipertanggungjawabkan kepada Polri. Kegiatan pembinaan tehnis ini dapat dilakukan melalui

pendidikan di bidang penyidikan, latihan-latihan penyegaran bagi PPNS yang telah mengikuti pendidikan, melaksanakan coaching clinic, melayani permintaan tenaga pengajar / ceramah, penataran, rapat koordinasi secara berkala antara Penyidik Polri dan PPNS, mempersiapkan piranti lunak perundang-undangan yang dibutuhkan PPNS, dan lain-lain. Dalam pembinaan sistem laporan, PPNS wajib melaporkan data perkara pidana yang ditanganinya kepada Penyidik Polri secara berkala. serta Penyidik membuat Polri analisa melaksanakan dan evaluasi sistem untuk pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data perkara-perkara yang ditangani PPNS kepentingan kebijaksanaan pembinaan PPNS.

22

Bantuan operasional penyidikan terhadap PPNS wajib diberikan oleh Penyidik Polri terhadap PPNS baik diminta atau tidak diminta dalam rangka korrdinasi dan pengawasan PPNS dari sejak awal penyidikan sampai dengan akhir penyidikan. Bantuan tersebut dapat diberikan dalam tiga tahap proses penyidikan yaitu sebagai berikut : 1. Pada tahap awal penyidikan Pada tahap ini Penyidik Polri melakukan penelitian dan memberikan petunjuk yuridis kepada PPNS untuk menentukan apakah kasus yang akan ditangani merupakan suatu tindak pidana atau bukan, menentukan cara bertindak yang tepat dalam rangka proses penyidikan, melakukan koordinasi dan penelitian terhadap kelengkapan administrasi penyidikan, dan memberikan bantuan upaya paksa apabila diperlukan oleh PPNS yang bersangkutan. 2. Pada tahap pelaksanaan penyidikan Pada tahap ini Penyidik Polri mengikuti dan mengarahkan perkembangan hasil penyidikan yang dilakukan oleh PPNS yang bersangkutan. Penyidik Polri juga dapat membantu pelaksanaan upaya paksa di mana PPNS yang bersangkutan tidak mempunyai wewenang untuk itu. Apabila ada gelar perkara Penyidik Polri mengikutiny untuk mencari upaya pemecahan masalah terhadap kendala-kendala yang dihadapi PPNS selama proses penyidikan. 3. Pada tahap akhir penyidikan Pada tahap ini Penyidik Polri dapat mengadakan penelitian dan memberikan petunjuk serta arahan yuridis terhadap berkas perkara yang dibuat oleh PPNS dan membantu menyerahkan berkas perkara tersebut ke Penuntut Umum.

23

Penjelasan tersebut di atas adalah hal yang seharusnya atau semestinya ada, tetapi bagaimanakah pelaksanaannya? Secara struktural melalui struktur organisasi formal, Korwas PPNS ini memang telah ditetapkan menjadi sebuah bagian/urusan dalam struktur organisasi Polri mulai dari tingkat pusat (Mabes Polri) sampai tingkat daerah (Polres). Namun dalam pelaksanaannya berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis, tugas korwas PPNS ini terkesan dianaktirikan dan bahkan dikesampingkan. Ada kesan yang timbul bahwa tugas ini merupakan tugas yang tidak begitu populer di kalangan Polri sendiri. Hal ini terkait dengan pemahaman dan penalaran yang sempit dari kalangan Polri sendiri tentang tugas korwas PPNS yang kurang menjanjikan. Kondisi ini apabila dilihat dalam jangka panjang akan sangat riskan terhadap posisi Polri sebagai korwas PPNS. Perkembangan terakhir dalam draft RUU KUHAP sudah mulai terlihat upaya untuk menghapuskan tugas korwas PPNS ini. Hendaknya fenomena ini dapat dijadikan Polri sebagai bahan intropeksi diri khususnya dalam pelaksanaan tugas koordinasi dan pengawasan, serta pemberian bimbingan tehnis terhadap PPNS. Di level Polda berdasarkan pengamatan penulis tugas korwas ini hanya diemban oleh sebuah Seksi (Seksi Korwas PPNS), bahkan di level Polres urusan korwas ini diserahkan kepada salah satu Kepala Unit di Satuan Reskrim dengan jabatan rangkap. Sehingga sudah barang tentu fokus dan keseriusan penanganan tugas ini kurang optimal. Petugas yang diserahi tanggung jawab korwas sekalipun jarang atau bahkan tidak mengetahui dan kurang memonitor pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS dari berbagai instansi. Belum lagi kalau ditinjau dari sisi data yang dimiliki, akan terlihat bahwa betapa tidak seriusnya Polri dalam melaksanakan tugasnya sebagai Korwas dan pembina teknis PPNS.

24

V. PENUTUP Munculnya tarik menarik kewenangan dalam melakukan penyidikan kasus tindak pidana tertentu dapat berdampak negatif tidak saja bagi proses penegakan hukum itu sendiri tetapi juga bagi kredibilitas kedua aparat penegak hukum di mata masyarakat. Padahal, idealnya dalam sistem peradilan pidana antara institusi penegak hukum yang satu dengan institusi penegak hukum lainnya harus berjalan seiring dan seirama. Dengan kalimat yang lebih ilmiah seharusnya dalam penegakan hukum terwujud sebuah integrated criminal justice system. Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam melakukan penyidikan yang diperlukan peningkatan koordinasi dan pengawasan antar institusi yang terkait dalam penegakan hukum, serta sosialisasi peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan kewenangan melakukan penyidikan agar diperoleh pemahaman yang tepat terkait tugas dan kewenangan masing-masing institusi. Melalui sosialisasi ini diharapkan dapat mempersempit jurang pemisah di antara masing-masing institusi sekaligus dapat mewujudkan institusi penyidik yang saling melengkapi. Sesuai amanat KUHAP, Penyidik Polri sebagai koordinasi dan pengawasan (Korwas) PPNS mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberikan batuan penyidikan dalam rangka meningkatkan kualitas PPNS agar pelaksanaan penyidikan dapat berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan tugas koordinasi, pengawasan dan bantuan teknis kepada PPNS dapat dilaksanakan dalam tiga bentuk kegiatan yaitu hubungan tata cara kerja, pembinaan teknis, dan bantuan operasional penyidikan. Hubungan tata cara pelaksanaan kooordinasi dan pengawasan terhadap PPNS dilakukan dalam dua bidang yaitu bidang pembinaan dan bidang operasional. Pembinaan

25

tehnis terhadap PPNS dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti : pembentukan PPNS, pembinaan kemampuan PPNS, dan pembinaan sistem laporan. Bantuan operasional penyidikan terhadap PPNS wajib diberikan oleh Penyidik Polri terhadap PPNS baik diminta atau tidak diminta dalam rangka koordinasi dan pengawasan PPNS dari sejak awal penyidikan sampai dengan akhir penyidikan. Pelaksanaan korwas PPNS ini dirasakan masih belum optimal, hal ini dikarenakan kekurangseriusan Polri di mana ada anggapan bahwa bidang tugas korwas PPNS tidak begitu populer di kalangan Polri. Kondisi seperti ini, apabila dibiarkan terus berlanjut akan menimbulkan pertanyaan tentang penting atau tidaknya eksistensi Polri dalam koordinasi dan pengawasan terhadap PPNS di masa mendatang. Sistem informasi antar instansi dan pelaporan pelaksanaan penyidikan oleh PPNS kepada penyidik Polri juga dirasakan masih belum maksimal.

26

You might also like