You are on page 1of 24

Optimalisasi Usahatani pada Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) dalam Mendukung Pendapatan dan Target Produksi

Pangan Nasional Tahun 2012


1. Latar Belakang
Akibat pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita yang dirangsang oleh kenaikan pendapatan rumah tangga, maka kebutuhan pangan terus mengalami peningkatan. Untuk mengimbangi kebutuhan tersebut, produksi pangan nasional harus meningkat secara memadai dalam rangka mempertahankan kecukupan pangan. Selain itu, pemenuhan pertambahan kebutuhan jumlah pangan juga dirasa perlu sebagai perangsang untuk meningkatkan pendapatan nasional, terlebih pendapatan daerah, dimana peningkatan pendapatan dari sektor pertanian ini diharapkan akan mendorong meningkatnya pendapatan dari sektorsektor lainnya. Kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional kita, juga merupakan salah satu hal yang sangat penting. Hal tersebut berarti bahwa kita mampu menyediakan kebutuhan pangan dari masyarakat ini dengan tidak tergantung dari negara lain dan dapat menyediakan kebutuhan pangan nasional sendiri dengan memaksimalkan sumberdaya dan potensi yang ada dari bangsa ini. Untuk mencapai itu semua tentunya membutuhkan komitmen yang kuat dari semua elemen, baik dari pemerintah, akademisi, lembaga riset, petani dan berbagai elemen yang terkait. Pemerintah dalam hal ini dapat membuat paket-paket program maupun kebijakan yang tepat sasaran, salah satunya dengan menentukan target yang realistis dalam produksi pangan nasional serta dimbangi dengan segala penelitian dan pengembangannya untuk mencapai target tersebut. Selain itu, akademisi maupun lembaga-lembaga riset juga dapat mengadakan penelitian-penelitian untuk menghasilkan sebuah inovasi yang aplikatif di lapangan dan tentunya dapat meningkatkan produktifitas, sehingga secara langsung dapat meningkatkan pendapatan dan produksi pangan nasional. Namun pada sisi lain, usaha tani yang dikelola oleh para petani seringkali menghadapi berbagai kendala pengembangan. Keterbatasan sumberdaya yang dikuasai merupakan karakteristik yang seringkali melekat pada usahatani di negara-

negara berkembang, termasuk di Indonesia. Keterbatasan dalam penguasaan lahan, modal dan input produksi lainnya serta rendahnya kemampuan dalam aspek pengelolaan merupakan kondisi yang membawa implikasi pada masih kurangnya produksi pangan kita dalam memenuhi kebutuhan nasional yang ada. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT), program yang diluncurkan oleh pemerintah dalam hal ini Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian dalam rangka memperbaiki aspek teknis pengelolaan petani dalam mengelola usahataninya. PTT ini bersifat partisipatif yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi sehingga bukan merupakan paket teknologi yang harus diterapkan petani di semua lokasi. Tujuan PTT adalah untuk membantu menerapkan teknologi yang cocok untuk kondisi setempat yang dapat meningkatkan hasil tanaman pangan serta menjaga kelestarian lingkungan sehingga target produksi tanaman pangan nasional pun diharapkan akan dapat tercapai. Dalam rangka mendukung pendapatan daerah, yang akhirnya meningkatkan pendapatan nasional itu sendiri, perencanaan yang cakupannya wilayah dalam penggunaan segala sumberdaya yang ada penting untuk dilakukan. Selama ini, pemilihan cabang usahatani seringkali didasarkan atas pertimbangan faktor kebiasaan dan apa yang dapat dilakukan oleh petani dalam suatu wilayah, serta bukan didasarkan atas pertimbangan efisiensi. Dengan kondisi demikian maka alokasi sumberdaya yang dikuasai oleh petani dalam suatu wilayah seringkali belum optimal dan pengelolaan usahatani menjadi tidak efisisen dengan tingkat produktifitas relatif rendah. Implikasi selanjutnya adalah tingkat pendapatan yang dicapai oleh daerah dari sektor pertanian belum maksimal. Artinya, sumbangan sektor pertanian terhadap pendapatan daerah tersebut masih jauh dari potensi yang seharusnya dapat dicapai. Hal ini mengindikasikan perlunya dilakukan kajian menyeluruh terhadap usahatani yang dijalankan oleh petani agar sumberdaya yang dimiliki dapat dialokasikan secara optimal. Dengan demikian permasalahan yang dapat dikaji adalah menyangkut pengembangan sistem usahatani secara optimal yang mampu memanfaatkan sumberdaya yang tersedia sehingga mendatangkan pendapatan maksimum baik bagi petani maupun bagi daerah yang bersangkutan.

2. Target Produksi Pangan Nasional


Dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional, pemerintah telah menetapkan kebijakan ketahanan pangan, yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2012 Prioritas Nasional 5 : Ketahanan Pangan yang merupakan hasil kesepakatan Pra-Musrenbangnas (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional) tanggal 27 April 2011. Dimana rencana kerja ini disusun oleh lintas lembaga sektoral yang terkait seperti Kementrian Pertanian, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Perindustrian, Kementrian PU, Badan Pertanahan Nasional, LIPI, dsb. Dalam rencana kerja yang telah disusun, salah satunya menghasilkan keputusan yang mencakup target produksi pangan nasional yang hendak dicapai pada tahun 2011 dan pada tahun 2012, seperti pada tabel 1. Tabel 1. Target Produksi Pangan Nasional CAPAIAN TAHUN 2010 66,4 18,40 908,1 2,7 435,2 10,83 SASARAN 2011 70,6 22,00 1.560 3,9 439 12,26 SASARAN 2012 74,0 24,0 1.900 4,4 471,0 14,86

NO 1. 2. 3. 4. 5. 6.

KOMPONEN / INDIKATOR Produksi Padi (juta ton) Produksi Jagung (juta ton) Produksi Kedelai (ribu ton) Produksi Gula/Tebu (juta ton) Produksi Daging Sapi (ribu ton) Produksi Ikan (juta ton)

sumber : Hasil Pra-Musrenbangnas, 2011.

Dalam hasil Pra-Musrenbangnas di atas, maka dapat dilihat bahwa tanaman padi yang sudah diproduksi oleh petani dalam negeri sendiri pada tahun 2010 sebesar 66,4 juta ton dan target untuk tahun ini sebesar 70,6 juta ton sedangkan untuk tahun 2012 besok, pemerintah mentargetkan sebesar 74 juta ton. Untuk tanaman Jagung sendiri, jumlah yang diproduksi oleh petani pada tahun lalu sebesar 18,4 juta ton, sedangkan target pencapaian pada tahun 2012 sebesar 24 juta ton. Sedangkan untuk tanaman Kedelai, jumlah produksi tahun lalu sebesar 0,9 juta ton dan pemerintah mentargetkan pada tahun 2012 besok petani diharapkan dapat

memproduksi kedelai sebesar 1,9 juta ton atau tambahan produksi kedelai nasional diharapkan sebesar 1 juta ton. Target Produksi Pangan Nasional pada tahun 2012 apabila dirinci lebih lanjut dan jika dilihat dari kewilayahan nasional maka dapat dilihat dari tabel 2. Tabel 2. Target Produksi Pangan Nasional tahun 2012 per wilayah NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. WILAYAH NT, Maluku, Papua Sulawesi Kalimantan Sumatera Jawa-Bali Nasional Keseluruhan PADI juta ton (persen) 3,28 (4,4) 8,08 (10,9) 4,76 (6,4) 16,76 (22,7) 41,09 (55,5) 74 (100) JAGUNG juta ton (persen) 1,50 (6,3) 4,22 (17,6) 0,42 (1,7) 5,43 (22,7) 12,41 (51,7) 24 (100) KEDELAI juta ton (persen) 0,22 (11,7) 0,17 (9,2) 0,05 (2,6) 0,33 (17,6) 1,11 (58,9) 1,9 (100)

sumber : Hasil Pra-Musrenbangnas, 2011.

Dari gambaran tabel 2 diatas, maka dapat dilihat bahwa sebagian besar atau lebih dari 50 persen produksi ketiga komoditas tanaman pangan utama Indonesia (padi, jagung, kedelai) berada di wilayah Jawa dan Bali, yaitu sebesar 55,5 persen untuk padi, sebesar 51,7 persen untuk jagung dan sebesar 58,9 persen untuk kedelai. Daerah kedua yang menjadi sasaran produksi pangan nasional yaitu di wilayah Sumatera, dimana daerah Sumatera menyumbang pangan nasional sebesar 22,7 persen untuk padi; sebesar 22,7 persen untuk jagung dan sebesar 17,6 persen untuk kedelai. Untuk memenuhi pencapaian target produksi tanaman pangan tersebut, tentunya ada beberapa langkah yang hendaknya ditempuh oleh pemerintah. Penciptaan areal lahan penanaman baru, optimalisasi usahatani, penelitian dan pengembangan tanaman pangan baik dalam hal varietas, peralatan maupun sistem penanaman, serta penanganan pasca panen tanaman pangan dapat dijadikan sebagai langkah yang efektif demi mendukung pencapaian target produksi tanaman pangan tersebut.

3. Keterbatasan Sumberdaya Usahatani a. Sumberdaya Lahan dalam Usahatani

Dalam sebuah usahatani, lahan merupakan faktor produksi yang sangat penting karena lahan merupakan tempat tumbuhnya tanaman, berkembang-biaknya ternak dan usahatani secara keseluruhan. Tentu saja, faktor lahan usahatani ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh alam sekitarnya yaitu sinar matahari, curah hujan, angin, dan sebagainya. Lahan sendiri memiliki sifat yang istimewa antara lain bukan merupakan barang produksi, tidak dapat diperbanyak dan tidak dapat dipindah-pindah. Oleh karena itu, lahan dalam usahatani memiliki nilai terbesar. Menurut Suratiyah (2006), peranan lahan sebagai faktor produksi dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut. Hubungan lahan dan manusia Hubungan lahan dan manusia dapat dibedakan dalam tiga tingkat dari yang terkuat sampai terlemah yaitu hak milik, hak sewa dan hak bagi hasil (sakap). Perbedaan hubungan tersebut akan berpengaruh pada kesediaan petani dalam meningkatkan produksi, memperbaiki kesuburan tanah dan intensifikasi. Letak lahan Letak lahan usahatani umumnya tidak mengelompok dalam satu tempat, tetapi terpencar dalam beberapa lokasi. Sebagai contoh, seorang petani dengan luas garapan 1 hektar terdiri atas 0,3 ha di sebelah barat desa, 0,4 ha di sebelah timur desa, dan 0,3 di sebelah utara desa. Keadaan seperti itu lazim disebut dengan fragmentasi. Tingkat kesuburan lahan Lahan yang subur, baik fisik maupun kimiawi, lebih menguntungkan dalam usahatani. Kesuburan lahan secara fisik dan kimiawi dapat diperbaiki melalui pengolahan yang baik, rotasi tanam yang tepat, pemupukan, dsb. Luas lahan Dipandang dari sudut efisiensi, semakin luas lahan yang diusahakan maka semakin tinggi produksi dan pendapatan per kesatuan luasnya.

Lokasi lahan

Lokasi lahan usahatani memperlancar proses pemasaran. Lokasi yang jauh dari sarana dan prasarana transportasi dapat memperburuk usahatani tersebut dari aspek ekonomi. Fasilitas-fasilitas Keberadaan fasilitas-fasilitas lain berupa pengairan dan drainase sangat membantu dalam pertumbuhan tanaman sehingga semakin mudah dalam meningkatkan produksi tanaman pangan. Pada kondisi dimana produksi usahatani harus ditingkatkan, peningkatan luas panen atau penciptaan luas lahan penanaman baru juga merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai target produksi pangan nasional pada tahun 2012 tersebut. Penciptaan areal lahan penanaman baru tentunya dapat diterapkan hanya pada wilayah yang masih memungkinkan untuk diterapkannya langkah tersebut. Untuk itu dapat dilihat pada tabel 3. Dari rencana cetak lahan baru yang dicanangkan oleh pemerintah pada hasil Pra-Musrenbangnas ini, maka dapat dilihat bahwa sebagian besar cetak lahan baru hanya bisa diterapkan di luar pulau Jawa dan Bali. Dimana pada wilayah JawaBali ini hanya mampu mencetak lahan baru sebesar 200 hektar saja, yaitu di Jawa Barat. Di wilayah Jawa-Bali ini, keterbatasan sumberdaya lahan yang ada menyebabkan upaya untuk meningkatkan produksi pangan nasional dengan cara mencetak lahan penanaman baru semakin sulit untuk diwujudkan. Bahkan, akhirakhir ini luas lahan sawah di wilayah pulau Jawa-Bali justru semakin berkurang akibat dikonversi ke penggunaan lahan non-pertanian. Dampak dari adanya konversi lahan yang cukup besar di pulau Jawa dan Bali ini bukan saja dapat mengurangi produksi pangan nasional secara temporer, seperti dampak pengurangan hasil produksi tanaman pangan yang disebabkan oleh adanya serangan hama dan terjadinya kekeringan atau banjir, namun dampak yang ditimbulkan bersifat permanen. Hal ini karena turunnya produksi pangan yang disebabkan oleh konversi lahan tidak dapat dipulihkan dengan cepat pada kondisi semula. Tabel 3. Target Cetak Lahan Baru tahun 2012 NO PROVINSI LAHAN NO PROVINSI LAHAN

SAWAH
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. N.A.D Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung SUMATERA Jawa Barat Jawa Tengah D.I.Y Jawa Timur Banten Bali DKI Jakarta JAWA - BALI 13.140 ha 3.200 ha 1.850 ha 3.500 ha 100 ha 2700 ha 3.700 ha 1500 ha 3.300 ha 1.600 ha 34.590 ha 200 ha 200 ha 28. 29 30 31. 32. 33. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 18. 19. 20. 21. Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur KALIMANTAN Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat SULAWESI NT Barat NT Timur Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat NT, MALUKU, PAPUA

SAWAH
3.750 ha 4.500 ha 3.500 ha 4.100 ha 15.850 ha 1.650 ha 3.200 ha 3.250 ha 5.610 ha 1500 ha 7.400 ha 22.610 ha 2.900 ha 4.050 ha 8.950 ha 3.400 ha 5.600 ha 1.850 ha 26.750 ha

sumber : Hasil Pra-Musrenbangnas, 2011.

Menurut Sutomo (2004), Hasil Sensus Pertanian pada tahun 2003 saja memperlihatkan bahwa selama tahun 2000-2002, total luas lahan pertanian di Indonesia yang dikonversi ke penggunaan lain non-pertanian rata-rata 187,7 ribu hektar per tahun, sedangkan luas pencetakan lahan sawah baru hanya 46,4 ribu hektar per tahun, sehingga luas lahan sawah setiap tahunnya rata-rata berkurang sebesar 141,3 ribu hektar per tahun. Untuk mengganti semakin besarnya konversi lahan pertanian di Pulau Jawa dan Bali maka pemerintah mentargetkan cetak lahan sawah baru sebagian besar difokuskan pada wilayah Sumatera, yaitu sebesar 34.590 ha, yang diikuti di wilayah NT, Maluku dan Papua sebesar 26.750 ha, pulau Sulawesi sebesar 22.610 ha serta pulau Kalimantan yaitu sebesar 15.850 ha.

b. Sumberdaya Tenaga Kerja dalam Usahatani


Tenaga kerja juga merupakan unsur penting dan sebagai unsur penentu, terutama pada usahatani yang sangat tergantung pada musim. Kelangkaan pada sumberdaya tenaga kerja ini dapat berakibat mundurnya penanaman sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan akhirnya produksi dari tanaman pangan tersebut juga tidak dapat mencapai titik maksimal. Tenaga kerja dalam usahatani memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tenaga kerja dalam usaha bidang lain yang bukan pertanian. Karakteristik tenaga kerja bidang usahatani menurut Tohir (1983) adalah sebagai berikut : 1) Keperluan akan tenaga kerja dalam usahatani tidak kontinyu dan tidak merata. 2) Penyerapan tenaga kerja dalam usahatani sangat terbatas. 3) Tidak mudah distandarkan, dirasionalkan, dan dispesialisasikan. 4) Beraneka ragam coraknya dan terkadang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karakteristik yang dikemukakan oleh Tohir (1983) akan memerlukan sistem-sistem manajerial tertentu yang harus dipahami sebagai usaha peningkatan usahatani itu sendiri. Selama ini, khususnya di Indonesia, sistem manajerial usahatani biasanya masih sangat sederhana. Di Indonesia, tenaga kerja dalam bidang pertanian (secara luas) merupakan tenaga kerja terbesar dengan jumlahnya mencapai 42,3 juta jiwa. Jumlah ini merupakan 44,5 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya. Tenaga kerja pertanian tersebut tersebar ke dalam lima sub sektor, dimana penyerapan tenaga kerja terbesar adalah di sub sektor tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura sekitar 38,8 persen diikuti dengan sub sektor peternakan sekitar 2,5 persen. Tetapi, dengan jumlah tenaga kerja yang besar tersebut, ternyata sektor pertanian hanya mampu memberikan kontribusi PDB nasional sebesar 13,3 persen (BPS). Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pertanian masih rendah. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan adopsi teknologi. Namun demikian, dalam setahun ini dibeberapa daerah, jumlah lapangan usaha sektor pertanian mengalami penurunan. Di Jawa Barat saja, lapangan usaha sektor pertanian mengalami penurunan drastis. Dibandingkan dengan Februari 2009, penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada Februari 2010 turun 270.000 orang

menjadi 4,23 juta orang dari 4,5 juta pada periode yang sama. Alih fungsi lahan dan menurunnya minat tenaga kerja pada sektor pertanian diduga menjadi penyebab penurunan jumlah tenaga kerja di sektor ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar, beberapa indikator ketenagakerjaan Jabar pada Februari 2010 mengalami peningkatan. Sementara tingkat pengangguran terbuka di Jabar turun 226.000 atau 1,28 persen dibandingkan dengan tahun 2009. Sektor yang mengalami peningkatan tenaga kerja adalah sektor jasa kemasyarakatan dari 2,3 juta menjadi 2,79 juta, sektor konstruksi dari 0,84 juta menjadi 0,94 juta. Hanya, sektor pertanian yang dikatakan sebagai penopang sektor ketenagakerjaan Jabar justru mengalami penurunan (Bataviase.co.id). Hal ini tidak dapat dipungkiri, jika dilihat dari potret usahatani sekarang yang dipandang oleh generasi angkatan kerja saat ini menjadi sektor yang kurang menarik dan tidak memiliki prospek. Artinya, pertanian saat ini hanya digeluti oleh orang-orang yang tak lagi memiliki pilihan atau kesempatan untuk mendapatkan usaha yang lebih baik, sehingga terpaksa harus bergelut di sektor pertanian. Adanya fenomena ini tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja, apalagi jika dalam jangka panjang. Hal tersebut maka akan menghambat dari apa yang sudah direncanakan dalam target produksi pangan nasional tahun 2012. Untuk itu, perlu adanya pengkajian kembali terhadap faktor yang mempengaruhi jumlah ketersediaan tenaga kerja dari sektor pertanian ini dan dibandingkan dengan kebutuhan yang ada dalam sektor pertanian. Dengan mengetahui faktor pengaruh dari ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian ini, diharapkan hal tersebut dapat mengantisipasi terhadap permasalahan kebutuhan tenaga kerja di sektor pertanian pada periode-periode mendatang. Menurut Suratiyah (2006), kebutuhan tenaga kerja dalam sektor pertanian dapat diketahui dengan cara menghitung setiap kegiatan masing-masing komoditas yang diusahakan, kemudian dijumlah untuk seluruh usahatani. Kebutuhan tenaga kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja keluarga yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhannya. Berdasarkan penghitungan maka jika terjadi kekurangan maka untuk memenuhinya dapat berasal dari tenaga luar keluarganya. Satuan yang sering dipakai dalam perhitungan kebutuhan tenaga kerja adalah man days atau HKO (Hari Kerja Orang) dan JKO (Jam Kerja Orang).

Pemakaian HKO ada kelemahannya karena masing-masing daerah berlainan (1 HKO di daerah B belum tentu sama dengan 1 HKO di daerah A) bila dihitung jam kerjanya. Seringkali dijumpai upah borongan yang sulit dihitung, baik HKO maupun JKO-nya. Apabila dilihat dari pendistribusi tenaga kerja, menurut Suratiyah (2006), distribusi tenaga kerja per tahun dalam usahatani tidak merata karena sangat tergantung pada musim. Terutama untuk tanaman padi, pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat pengolahan tanah dan pada saat tanam, dibutuhkan tenaga yang sangat banyak sehingga seringkali tidak dapat diselesaikan sendiri oleh tenaga kerja keluarga. Sebaliknya, pada waktu pemeliharaan hanya sedikit membutuhkan tenaga kerja. Kadangkala tenaga keluarga tidak dibutuhkan lagi. Grafik distribusi tenaga kerja terhadap volume kerja (kegiatan) dapat dilihat pada gambar 1.

kekurangan volume kegiatan

II

pengangguran bulan keterangan : I dan II potensi tenaga kerja keluarga


Gambar 1. Distribusi tenaga kerja

Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa pada saat-saat tertentu jumlah tenaga kerja keluarga yang tersedia tidak dapat menyelesaikan pekerjaan. Sebaliknya, dilain waktu justru terjadi pengangguran, artinya tenaga kerja keluarga yang tersedia tidak

10

dapat dimanfaatkan sepenuhnya karena memang tidak ada pekerjaan yang sepadan dalam usahataninya sehingga timbul pengangguran musiman.

c. Sumberdaya Modal dan Anggaran Pembangunan Pertanian


Modal adalah syarat mutlak untuk berlangsungnya suatu usaha, demikian pula usahatani. Menurut Vink, benda-benda (termasuk tanah) yang dapat mendatangkan pendapatan dianggap sebagai modal. Namun, tidak demikian halnya dengan Koens yang menganggap bahwa hanya uang tunai saja yang dianggap sebagai modal usahatani. Penggolongan modal ini akan semakin rancu jika yang dibicarakan adalah usahatani keluarga. Dalam usahatani keluarga cenderung memisahkan faktor tanah dari alat-alat produksi yang lain. Hal ini dikarenakan belum adanya pemisahan yang jelas antara modal usaha dan modal pribadi. Tanah serta alam sekitarnya dan tenaga kerja adalah faktor produksi asli, sedangkan modal dan peralatan merupakan substitusi faktor produksi tanah dan tenaga kerja. Dengan modal dan peralatan, faktor produksi lahan dan tenaga kerja dapat memberikan manfaat yang jauh lebih baik bagi petani. Dengan modal dan peralatan maka penggunaan tanah dan tenaga kerja juga dapat dihemat. Oleh karena itu, modal dapat dibagi menjadi dua, yaitu land saving capital dan labour saving capital. Modal dikatakan land saving capital jika dengan modal tersebut dapat menghemat penggunaan lahan, tetapi produksi dapat dilipatgandakan tanpa harus memperluas areal. Contohnya pemakaian pupuk, bibit unggul, pestisida dan intensifikasi. Modal dikatakan labour saving capital jika dengan modal tersebut dapat menghemat penggunaan tenaga kerja. Contohnya pemakaian traktor untuk membajak, mesin penggiling padi (Rice Milling Unit/RMU) untuk memproses padi menjadi beras, pemakaian power thresher untuk penggabahan dan sebagainya. Apabila berbicara mengenai modal usahatani, maka secara makro hal itu tidak dapat terlepas dari anggaran pemerintah dalam bidang pertanian. Kebijakan anggaran untuk pertanian tahun 2011 sendiri belum menjadi sebuah prioritas pemerintah. Kebijakan pemerintah yang mengalokasikan anggaran di sektor pertanian hanya sebesar Rp16 triliun atau dua persen dari total APBN, hal ini dirasa sulit diharapkan bisa membawa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 2011. Kecilnya dukungan anggaran bidang pertanian dikhawatirkan akan membuat

11

pembangunan sektor pertanian berjalan lamban, dan target produksi pangan nasional pun akan tidak tercapai. Untuk itu, perlu adanya kemauan dari pemerintah dan DPR dalam rangka menata kembali posisi dukungan anggaran sektor pertanian dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

d. Pengelolaan Tanaman & Sumberdaya Terpadu (PTT) sebagai Sumberdaya yang Intangible
Pengelolaan yang melekat pada tenaga kerja akan sangat menentukan bagaimana kinerjanya dalam menjalankan usahatani. Dengan pengelolaan yang berbeda, meskipun segala input sama maka akan diperoleh hasil yang berbeda pula. Dengan kata lain, keberhasilan usahatani salahsatunya tergantung pada upaya dan kemampuan dari petani itu sendiri, sebagai pengelola. Oleh karena pengelolaan adalah suatu seni (art) maka sulit untuk mengkuantifikasikan atau mengukurnya. Pengelolaan sebagai sumberdaya sangat dipentingkan karena sangat menentukan suatu keberhasilan usahatani. Sebagai contoh, dua orang petani dengan luas lahan dan kondisi yang sama, pada saat yang sama dapat diperoleh hasil yang berbeda. Pengelolaan yang baik dan benar akan memberikan hasil yang lebih baik pula. Dengan demikian, pengelolaan dapat dikatakan sebagai faktor produksi yang tidak kentara atau tidak dapat diperhitungkan dengan pasti (Suratiyah, 2006). Jumlah produksi dan keberhasilan suatu usahatani tergantung pada siapa pengelolanya. Seseorang dengan kreativitas tinggi akan mampu mengelola usahatani dengan lebih baik, Dengan kata lain, Pengelolaan sebagai sumberdaya sangat dipengaruhi oleh human capital pengelola usahatani tersebut yang pada akhirnya akan menentukan keberhasilan suatu usahatani. Dalam rangka mendukung peningkatan kemampuan pengelolaan usahatani tanaman pangan ini, Departemen Pertanian jauh-jauh waktu juga telah mengeluarkan paket program Sekolah Lapangan atau yang disebut dengan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Nomor 01/Kpts/HK.310/C/I/2008 tentang Peningkatan Produksi dan Produktivitas pangan melalui Pelaksanaan SLPTT, Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu merupakan salah satu wujud kepedulian pemerintah dalam mendorong program pembangunan pertanian yang ditujukan untuk

12

meningkatkan produksi tanaman pangan nasional dan sebagai tempat belajar petani atau kelompok tani dalam penerapan budidaya sesuai spesifik lokalitas. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan pengelolaan lahan, air, tanaman dan organisme pengganggu (OPT) secara terpadu dan berkelanjutan, dimana melalui usaha ini diharapkan (1) kebutuhan pangan nasional dapat dipenuhi, (2) pendapatan petani tanaman pangan dapat ditingkatkan, dan (3) usaha pertanian tanaman pangan dapat terlanjutkan. Budidaya tanaman pangan model PTT pada prinsipnya memadukan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang (sinergis) guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi usahatani. Kemajuan teknologi seperti perakitan varietas baru, Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL), peningkatan monitoring hama atau penyakit, dan penggunaan bahan organik yang disertai dengan penerapan beberapa komponen teknologi yang saling menunjang (Anonim, 2004). PTT bukan merupakan paket teknologi namun adalah pendekatan atau cara untuk mempertahankan atau meningkatkan produktifitas tanaman secara berkelanjutan (sustainable) dengan memperhatikan sumberdaya, kemampuan dan kemauan petani. Konsep PTT dikembangkan dari pengalaman pelaksanaan sistem intensifikasi padi yang pernah dilakukan dan hasil penelitian karakteristik tanah yang menemukan bahwa tanah sawah pada umumnya telah mengalami degradasi kesuburan dan adopsi filosofi dari System of Rice Intensification (SRI) yang berkembang awalnya di Madagaskar. Prinsip PTT menurut Syam, dkk (2004) 1. Integrasi PTT mengupayakan integrasi sumber daya tanaman, lahan, air, dan organisme pengganggu tanaman (OPT) dikelola agar mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya serta dapat menunjang peningkatan produktivitas lahan dan tanaman. 2. Interaksi PTT berlandaskan pada hubungan sinergis dari interaksi antara dua atau lebih komponen teknologi produksi. 3. Dinamis

13

PTT dinamis, yaitu selalu mengikuti perkembangan teknologi menyesuaikan dengan pilihan petani. Oleh karena itu, model pengembangan PTT selalu bercirikan spesifik lokasi. Rakitan teknologi dalam PTT yang spesifik lokasi untuk setiap daerah telah mempertimbangkan lingkungan fisik, biofisik dan iklim, serta kondisi sosial ekonomi petani setempat. 4. Partisipatif. PTT bersifat partisipatif yang membuka ruang lebar bagi petani untuk bisa memilih, mempraktekkan, bahkan memberikan saran penyempurnaan pengelolaan tanaman kepada penyuluh dan peneliti serta dapat menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya kepada petani lain. Komponen Teknologi dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (misalkan pada budidaya tanaman padi) : 1. Komponen Teknologi Dasar Komponen teknologi dasar (compulsory) yaitu komponen teknologi yang relatif dapat berlaku umum untuk wilayah yang luas. Komponen teknologi tersebut antara lain: Varietas moderen (VUB, VUH, VUTB), Bibit bermutu dan sehat (perlakuan benih), Pemupukan efisien menggunakan BWD dan PUTS/petak omisi/Permentan No.40/OT.140/4/2007. Pemberian pupuk organik minimal 2,0 ton/ha dan PHT sesuai OPT sasaran dan pengendalian gulma terpadu. 2. Komponen Teknologi Pilihan Komponen teknologi pilihan, yaitu komponen teknologi yang bersifat lebih spesifik lokasi. Komponen teknologi pilihan adalah: Pengelolaan tanaman meliputi populasi dan cara tanam (legowo, larikan, dll), Umur bibit (bibit muda umur 15 hari setelah sebar (HSS) atau kurang 21 HSS), Bahan organik/pupuk kandang/kompos, Perbaikan aerasi tanah (irigasi berselang), Pupuk cair (PPC, pupuk organik, pupuk bio-hayati)/ZPT, pupuk mikro), dan Penanganan panen dan pasca panen.

14

Pada saat pemilihan rakitan teknologi ini sendiri, agar pilihan komponen teknologi dapat sesuai dengan kebutuhan untuk memecahkan permasalan setempat, maka proses pemilihannya (perakitannya) didasarkan pada hasil analisis tentang Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP) atau yang lebih dikenal dengan nama PRA (Participatory Rural Appraisal). Dari hasil PRA teridentifikasi masalah yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi. Untuk memecahkan masalah yang ada, dipilih teknologi yang diintroduksikan baik itu dari komponen teknologi dasar maupun pilihan. Perlu diketahui bahwa, komponen teknologi pilihan dapat menjadi compulsory apabila hasil PRA memprioritaskan komponen teknologi yang dimaksud menjadi keharusan untuk memecahkan masalah utama suatu wilayah.

15

4. Konsep Optimalisasi Usahatani


Pada situasi dimana produksi pangan nasional semakin sulit ditingkatkan akibat meningkatnya kendala perluasan lahan sawah, sedikitnya sumberdaya tenaga kerja dan terbatasnya anggaran pembangunan pertanian, maka mengoptimalkan segala keterbatasan sumberdaya yang ada tersebut merupakan langkah yang paling bijak demi tercapainya target produksi pangan nasional pada tahun 2012 mendatang. Pada dasarnya optimalisasi dalam sebuah proses produksi di dalam bidang pertanian adalah menyangkut alokasi sumberdaya-sumberdaya pertanian. Sementara itu, pendekatan alokasi sumberdaya sangat terkait dengan konsep efisiensi. Semaoen (1992) menjelaskan bahwa alokasi sumberdaya dikatakan efisien apabila tidak ada potensi perubahan yang lebih yang akan memperbesar efisisensi. Apabila diinterpretasikan dengan bahasa yang lebih sederhana maka dapat dikatakan bahwa alokasi sumberdaya yang dilakukan oleh seorang petani lebih efisien dibandingkan dengan petani lain apabila untuk menghasilkan suatu tingkat output tanaman pangan tertentu, petani tersebut menggunakan sumberdaya yang lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan sumberdaya oleh petani lain. Secara grafis dapat ditunjukkan dalam gambar 2.

tena ga kerj a
IB IA modal
Gambar 2. Isokuan petani A dan petani B 16

Gambar 2 adalah unit isokuan, dengan menggunakan masukan modal dan tenaga kerja. Setiap titik didalam bidang sumberdaya modal dan tenaga kerja, juga disepanjang isokuan itu menunjukkan jumlah produksi tanaman pangan tertentu. Jumlah produksi tanaman pangan tertentu pada isokuan petani A (IA) sama besar dengan jumlah produksi tanaman pangan tertentu pada isokuan petani B (IB). Namun demikian, pada isokuan IA jumlah sumberdaya modal dan tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit daripada isokuan IB. Oleh karena itu secara teknis, alokasi pada isokuan IA lebih efisien daripada IB. Dalam usahatani terpadu beberapa cabang usaha dijalankan secara bersamaan dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia. Dalam kaitan ini, hubungan antar cabang usahatani dan antar produksi tanaman pangan yang dihasilkan menjadi penentu dari optimalisasi dalam alokasi sumberdaya. Langham (1979) menyebutkan bahwa hubungan produk dengan produk merupakan prinsip yang mendasari teori maksimisasi keuntungan. Terdapat empat kemungkinan hubungan antar produk, yaitu : (1) produk bersama, (2) produk komplemen, (3) produk suplemen, (4) produk bersaing. Perbedaan keempat hubungan produk tersebut didasarkan atas daya substitusi (daya desak) suatu produk terhadap produk lainnya. Pada penggunaan sumberdaya yang sama dari dua produk atau lebih dalam sebuah kawasan misalkan kabupaten, maka kenaikan produksi tanaman pangan tertentu, akan dapat menurunkan produksi tanaman pangan yang lainnya. Misalkan pada sebuah kawasan dimana penggunaan sumberdaya lahan yang sama dapat digunakan untuk memproduksi dua komoditas produk pertanian, katakanlah padi dan jagung. Dengan hal seperti ini, maka kawasan tersebut tidak dapat menaikkan jumlah produksi komoditas padi tanpa mengurangi jumlah produksi komoditas jagung yang ada pada penggunaan sumberdaya lahan yang optimal. Artinya dalam sebuah kawasan lahan yang sama, ada sebuah pertukaran (trade off) antara jumlah komoditas padi dengan jumlah komoditas jagung yang dihasilkan. Secara grafis hubungan bersaing jumlah komoditas padi dengan komoditas jagung yang dihasilkan dapat ditunjukkan dalam gambar 3.

17

Gambar 3. Penentuan kombinasi optimum dari dua komoditas (padi dan jagung)

padi dengan produksi jagung pada sumberdaya lahan tertentu. Kurva iso-revenue merupakan titik-titik kombinasi produksi padi dan produksi jagung yang menghasilkan penerimaan yang sama bagi petani. Dengan demikian titik A merupakan titik kombinasi optimum produksi padi dan jagung. Pada tingkat optimum tersebut tercapai efisiensi pemakaian faktor produksi tertinggi dan menghasilkan pendapatan bagi petani yang maksimal. Sebuah alat analisis yang dapat digunakan untuk menghasilkan kombinasi produk-produk untuk memperoleh penerimaan tertinggi pada kurva kemungkinan produksi adalah menggunakan metode pemrograman linear. Agrawal dan Heady (1972) menjelaskan bahwa program linear merupakan suatu metode yang sistematis dan teliti secara matematis dalam menentuan kombinasi optimum cabangcabang usaha atau korbanan-korbanan seperti maksimisasi pendapatan atau minimisasi biaya sesuai denga batasan sumberdaya yang ada. Berkaitan dengan bidang pertanian, perencanaan yang disusun untuk pengembangan pertanian di suatu wilayah akan memberikan suatu model optimasi yang penting bagi para perencana dalam hal penggunaan sumberdaya yang ada di

Jagu ng
O

kurva iso-revenue

Kurva Kemungkinan Produksi

Padi

Kurva kemungkinan produksi menunjukkan hubungan antara produksi

18

wilayah tersebut. Model perencanaan linear merupakan suatu metode yang ampuh bagi para pembuat keputusan untuk membahas persoalan optimasi dalam melakukan perencanaan (Asmara, 2002). Dalam operasionalnya, perencanaan pertanian berhubungan dengan penentuan pola usahatani yang seharusnya dikembangkan baik pada tingkat petani maupun pada tingkat wilayah yang mampu meningkatkan produktivitas usaha sehingga dapat memaksimumkan pendapatan petani dan sumbangan sektor pertanian di daerah yang bersangkutan dengan mempertimbangkan batasan-batasan sumberdaya yang ada. Masalah optimalisasi usahatani tersebut dapat dirumuskan dalam model perencanaan linear. Agrawal dan Heady (1972) menjelaskan bahwa model perencanaan linear mempunyai tiga komponen kuantitatif, yaitu : (1) suatu fungsi tujuan untuk mengukur hasil balik dari aktivitas yang dilakukan, (2) suatu matriks teknologi, dan (3) suatu struktur pembatas. Dengan ketiga komponen tersebut maka model dasar program linear dapat dirumuskan sebagai berikut : Maksimumkan fungsi tujuan : Dengan syarat dimana : C = vektor harga atau koefisien fungsi tujuan A = matriks koefisien input-output C = vektor aktifitas b = vektor pembatas Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi agar perencanaan linear dapat berlaku adalah : 1. Aktivitas dan input (sumberdaya) bersifat aditif, artinya jumlah hasil yang diperoleh dari masing-masing aktivitas dan jumlah suatu input yang digunakan harus sama dengan jumlah input yang digunakan oleh tiap-tap aktifitas.
2. Fungsi tujuan bersifat linear, artinya tidak ada pengaruh skala operasi atau

Z=CX

: A X b dan X0

produksi pada saat constant return to scale. 3. Besarnya suatu aktifitas yang diusahakan tidak boleh negatif.

19

4. Besarnya input dan aktifitas dapat dipecah-pecah dan kontinyu.

5. Banyaknya aktifitas dan pembatas terhingga. 6. Hubungan aktifitas dan input yang digunakan merupakan hubungan yang linear.
7. Koefisien input-output, harga-harga input dan output serta besarnya faktor

pembatas telah diketahui dan tertentu atau deterministik. Berkaitan dengan pemecahan masalah, Heady dan Candler (1969) menjelaskan bahwa pemecahan optimal dengan program linear menggunakan tiga persamaan yaitu : (1) persamaan production possibility, (2) profit equation, dan (3) criterion equation. Persamaan umum dari perencanaan usahatani adalah memaksimumkan fungsi tujuan (Z). Z = c1 X1 + c2 X2 ......... (1) Kendala : a11 X1 + a12 X2 b1 .............. (2) a21 X1 + a22 X2 b2 ........................................................... Xl, X2 0 .................................................................................. dimana : Z = keuntungan cj = harga produk ke-j Xj = produk ke-j aij = banyaknya input ke-i yang dibutuhkan untuk satu unit output ke-j bi = banyaknya input ke-i yang tersedia i = 1,2 dan j = 1,2 Dalam upaya menyederhanakan persoalan maka output yang dihasilkan dan input yang digunakan hanya terdiri dari dua jenis. Berdasarkan jenis input pertama, persamaan (2), banyaknya X1 yang dapat dihasilkan adalah : X1 = bl/a11 (a12/a11).X2 .......................................................... (5) (3) (4)

Persamaan (5) adalah persamaan production possibility di mana a12/a11 merupakan marginal rate of substitution (MRS) X2 terhadap X1 artinya banyaknya X1 yang harus dikorbankan untuk mendapatkan satu unit X2.

20

Persamaan (5) jika disubstitusikan terhadap persamaan (1) sehingga diperoleh persamaan keuntungan sebagai berikut : Z = c1 ( b1/a11 a12/a11.X2 ) + c2 X2 ......................................... Z = c1 b1/a11 + ( c2 c1.a12/a11 ) X2 .......................................... (6) (7)

Persamaan (7) menunjukan bahwa laba merupakan fungsi linear dari X2. Berdasarkan persamaan (7) dapat diperoleh criterion equation yaitu : Z / X2 = c2 c1.a12/a11 ...................................................... atau Z = ( c2 c1.a12/a11 ) X2 .......................................... (8) (9)

Dari persamaan (8) dan (9) dapat diketahui bahwa besarnya tambahan laba dengan menghasilkan tambahan satu unit X2 atau marginal profit dari X2 adalah c2 c1.a12/a11. Jika marginal profit positif maka tambahan menghasilkan satu unit X2 akan meningkatkan laba, jika nilai tersebut sama dengan nol maka laba yang diperoleh telah optimal dan jika nilai tersebut negatif maka tambahan menghasilkan satu unit X2 akan mengurangi laba sebesar nilai tersebut. Jadi pada saat marginal profit sama dengan nol maka laba maksimal telah dapat dicapai dari aktivitas yang dilakukan. Demikian pula kombinasi aktivitas X1 dan X2 serta alokasi sumberdaya b1 dan b2 yang menghasilkan laba maksimal atau yang terbaik telah dapat diketahui. Penggunaan program linier dalam penelitian tidak terlepas dari keunggulan yang ada dalam alat analisis tersebut. Soekartawi (1992) menyatakan bahwa penggunaan model analisa program linier mempunyai keunggulan dalam memberikan tambahan informasi ekonomi yang berguna mengenai pemecahan optimal, seperti: (1) model program linier dapat dibuat seluas mungkin tanpa khawatir terhadap beban perhitungan yang ditimbulkan, (2) model program tinier memberi informasi mengenai nilai produk marjinal dari masing-masing sumberdaya yang digunakan, (3) model program linier memberi informasi perubahan biaya yang diluangkan per unit, dan (4) model program linier memberikan informasi batas pendapatan pada tiap kegiatan, hal ini sangat penting untuk menilai stabilitas hasil perhitungan dikaitkan dengan kemungkinan perubahan harga atau biaya.

21

Pendapatan (Rp)

PTT & PTT pengelolaan

Sumberdaya Modal (Rp)


Gambar 4. Perbedaan produksi akibat dari adanya PTT dan optimasi

Gambaran hasil perbedaan produksi antara pertanian yang dikelola secara biasa dengan pertanian yang menerapkan konsep Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) serta dengan adanya optimasi usahatani dapat dilihat pada gambar 4. Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak sumberdaya modal yang dicurahkan, hal ini juga akan berdampak positif dengan semakin banyaknya produksi yang dihasilkan. Selain itu, dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada saat faktor produksi lain yang sama (ceteris paribus), maka penggunaan konsep PTT pada usahatani akan lebih meningkatkan produktifitas usahatani yang dihasilkan. Dengan modal produksi yang sama, maka konsep Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) akan menghasilkan jumlah produksi yang lebih besar, bila dibandingkan dengan ushatani yang dikelola secara biasa. Penyertaan optimasi dalam perencanaan juga akan menimbulkan dampak yang nyata terhadap produksi yang dihasilkan, dan produksi akan jauh lebih meningkat.

22

5. Kesimpulan
Upaya untuk meningkatkan hasil produksi tanaman pangan telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. Akan tetapi didalam pelaksanaannya diperoleh fakta bahwa hasil potensial produksi tanaman pangan berbeda dengan hasil nyata (riil) yang diperoleh petani. Usahatani yang dikelola oleh para petani seringkali menghadapi berbagai kendala pengembangan. Keterbatasan sumberdaya yang dikuasai menjadi salah satu faktor penyebab yang masih sering diketemukan. Keterbatasan dalam penguasaan lahan, modal dan input produksi lainnya serta rendahnya kemampuan dalam aspek pengelolaan merupakan kondisi yang membawa implikasi pada masih kurangnya produksi pangan secara nasional dalam memenuhi kebutuhan yang ada. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) diharapkan dapat membantu mengatasi keterbatasan sumberdaya usahatani, dimana hal ini merupakan paket program yang disesuaikan dengan spesifik lokalitas petani. Diharapkan dengan adanya PTT ini, target produksi pangan nasional pada tahun 2012 akan semakin mudah untuk direalisir. Selain itu, dengan adanya optimalisasi usahatani pada keterbatasan sumberdaya yang ada, diharapkan program PTT tidak hanya meningkatkan jumlah produksi tanaman pangan nasional, namun dapat memberikan efek yang positif terhadap pendapatan petani dan daerah. Sehingga hal ini secara tidak langsung akan dapat meningkatkan pendapatan nasional dari sektor pertanian.

23

Daftar Pustaka
Agrawal, R.G. and E.O. Heady. 1972. Operations Research for Agricultural Decision. The Iowa State University Press, Iowa. Anonim. 2004. Petunjuk Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Departemen Pertanian. Jakarta. Asmara, Alla. 2002. Optimalisasi Pola Usahatani Tanaman Pangan pada Lahan Sawah dan Ternak Domba di Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Langham, M.R. 1979. An Introduction to Economic Principles of Production. Singapore University Press, Singapore. Semaoen, I. 1992. Ekonomi Produksi Pertanian: Teori dan Aplikasi. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta. Soekartawi. 1992. Linear Programming: Teori dan Aplikasinya Khususnya dalam Bidang Pertanian. Rajawali Pres, Jakarta. Suratiyah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Sutomo, S. 2004. Analisa Data Konversi dan Prediksi Kebutuhan Lahan. Makalah disampaikan pada Pertemuan Round Table II Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan Pertanian. Jakarta, 14 Desember 2004. Syam, dkk. 2004. Petunjuk Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Tohir, K.A. 1983. Seuntai Pengetahuan tentang Usahatani Indonesia. Bagian Dua. PT. Bina Aksara. Jakarta.

Refrensi Internet Bataviase.co.id. diakses pada tanggal 5 Juni 2011, artikel berjudul Tenaga Kerja Pertanian Menurun, tertanggal 17 Mei 2010.

24

You might also like