You are on page 1of 24

Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan

PUSAT HUBUNGAN MASYARAKAT

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
Indonesia dengan luas daratan sekitar 1,3 % dari seluruh permukaan bumi, kaya akan berbagai species fauna dan flora dengan beragam tipe ekosistem, yang sebagian di antaranya tidak dijumpai di belahan bumi manapun. Tidak kurang dari 27.500 species tumbuhan berbunga (10% dari seluruh species tumbuhan berbunga di dunia), 515 species hewan mamalia (12 % dari seluruh species mamalia di dunia), 511 species hewan reptilia dan 270 species hewan amphibia. Khusus untuk jenis burung Indonesia menempati posisi ke empat dalam hal keanekaragaman jenis, yaitu dari 9.052 jenis burung yang ada di dunia, 1.539 jenis atau 17 % di antaranya terdapat di Indonesia, dan 381 jenis atau 4 % merupakan jenis yang tidak terdapat ditempat lain kecuali di Indonesia (endemik). Kekayaan biodiversitas tersebut tidak menjadi milik bangsa Indonesia saja, tetapi juga milik dunia, karena itu kita mempunyai tantangan untuk memastikan dan melestarikan berbagai spesies flora dan satwa liar lainnya agar tidak punah oleh proses pembangunan yang terus berjalan. Dalam upaya penyelamatan dan pelestarian jenis fauna yang terancam punah, pemerintah telah menetapkan 14 (empat belas) spesies yang terancam punah yang dijadikan spesies prioritas utama untuk peningkatan populasi 3 % pada tahun 20102014. Keputusan tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHKA) Nomor: SK.132/IV-KKH/2011 tanggal 8 Juli 2011. Booklet ini berisi informasi mengenai 14 (empat belas) spesies satwa liar yang terancam punah. Jakarta, Nopember 2011 Kepala Pusat, Ir. Masyhud, MM NIP. 1956 1028 1983 03 1002

14 Spesies Prioritas

komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Karena habitat yang semakin sempit dan berkurang, maka harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia, dan seringkali mereka dibunuh dan ditangkap karena tersesat memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan yang tanpa sengaja dengan manusia. B. Kondisi Harimau Sumatera di Indonesia Indonesia memiliki 3 (tiga) anak jenis (sub spesies) dari 8 (delapan) anak jenis harimau yang ada di seluruh dunia. Saat ini yang tersisa hanyalah Harimau Sumatera. Harimau Bali ternyata telah punah sejak tahun 1940-an dan Harimau Jawa punah sejak tahun 1980-an. Saat ini Harimau Sumatera merupakan anak jenis yang digolongkan sebagai species terancam punah (critically endangered) oleh lembaga konservasi International Union for Conservation of Nature / IUCN). Harimau Sumatera termasuk dalam Appendix I Convention On International Trade in Endangared Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang berarti segala bentuk perdagangan termasuk produk turunannya dilarang oleh peraturan internasional. Oleh karena itu, Harimau Sumatera juga diklasifikasikan sebagai jenis satwa dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar. Populasi Harimau Sumatera saat ini mengalami penurunan, diperkirakan hanya tersisa sebanyak 400 ekor. Harimau Sumatera mempunyai beberapa keistimewaan, antara laini: 1. Spesies dengan urutan prioritas konservasi ke 5 (lima) dari 9 (sembilan) jenis taksa mamalia sesuai Permenhut No. P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategi Konservasi Spesies Nasional. 2. Top predator dalam rantai makanan suatu ekosistem di Pulau Sumatera. 3. Spesies payung (umbrella species), yang artinya jika kita melakukan konservasi terhadap harimau, maka spesies lainnya di Pulau Sumatera juga akan terjaga kelestariannya. 4. Salah satu indikator sehat / tidaknya suatu ekosistem.

I. Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae)
A. Jenis dan Penyebaran Harimau Sumatera adalah subspesies harimau terkecil dan mempunyai warna paling gelap di antara semua subspesies harimau lainnya, pola hitamnya berukuran lebar dan jaraknya rapat kadang kala dempet. Harimau Sumatera hanya ditemukan di pulau Sumatera. Kucing besar ini mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan. Hanya sekitar 400 ekor tinggal di cagar alam dan taman nasional, sisanya tersebar di daerah-daerah lain yang ditebang untuk pertanian, juga terdapat lebih kurang 250 ekor dipelihara di kebun binatang di seluruh dunia. Harimau Sumatera mengalami ancaman kehilangan habitat, karena daerah sebarannya seperti blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut dan hutan hujan pegunungan terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan

14 Spesies Priopitas

C. Konservasi Harimau Sumatera Dalam upaya konservasi Harimau Sumatera, Kementerian Kehutanan telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007-2017. Strategi Rencana Aksi tersebut tujuannya untuk memberikan arah kepada pelaku pembangunan dan pihak terkait lainnya dalam pengelolaan konservasi Harimau Sumatera, terutama pada kawasankawasan yang bersinggungan dengan bentang alam Harimau Sumatera. Sejak ditetapkannya Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera tersebut telah banyak yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan bersama-sama Pemerintah Daerah, perusahaan swasta (kehutanan, perkebunan dan pertambangan) serta Lembaga Swadaya Masyarakat terkait konservasi Harimau Sumatera beserta habitatnya di Pulau Sumatera. Pada tanggal 2 Agustus 2011, Kementerian Kehutanan menyelamatkan kehidupan seekor Harimau Sumatera yang terancam punah bernama ''Putri'' dengan melepasliarkannya ke habitat baru di TN Sembilang. ''Putri'' adalah seekor Harimau Sumatera betina berumur 5 tahun dengan berat 120 kg. Lokasi pelepasliaran Putri telah diidentifikasi sebagai area yang ideal oleh tim survey, yaitu di Pulau Betet, Taman Nasional Sembilang. Sebelum pelepasliaran, Putri dilengkapi dengan GPS collar yang membantu pemantauan pergerakannya dalam habitat baru, dan sekaligus untuk menjaga keselamatannya. Kegiatan tersebut dinilai sebagai sebuah kisah sukses yang luar biasa untuk bangsa kita dimana dengan kemitraan yang kuat kita dapat mengatasi tantangan yang kita hadapi, khususnya dalam upaya penyelamatan Harimau Sumatera. Sangat penting bahwa sebagai bangsa kita bekerja sama untuk memastikan keberlangsungan spesies ini untuk generasi mendatang

D. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Harimau Sumatera yaitu KSDA (Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung), dan Taman Nasional (Leuser, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Berbak, Way Kambas, Tesso Nilo, Bukit Tiga Puluh, Bukit Dua Belas).

14 Spesies Prioritas

II. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)


A. Jenis dan Penyebaran Gajah yang ada di dunia ini terdiri dari 2 jenis, yaitu gajah Afrika (Loxodanta africana) dan gajah Asia (Elephas maximus). Sementara gajah sumatera dengan nama ilmiah Elephas maximus sumatranus adalah sub species dari gajah Asia. Klasifikasi, Kingdom : Animalia, phylum : Chordata, sub phylum : Vertebrata, classis : Mamalia, ordo : Proboscidae, familia : Elephantidae. Genus : Elephas, species : Elephas maximus, sub species : Elephas maximus sumatranus. Gajah sumatera memiliki tubuh yang gemuk dan besar tetapi ukuran tubuh lebih kecil bila dibandingkan dengan gajah Afrika. Berat gajah asia dapat mencapai 5.000 kg (Lekagul & McNeely 1977, Medway 1978), sementara menurut Nowak 1999 dalam Arief et al. 2003 bobot gajah betina rata-rata 2.720 Kg dan gajah jantan dewasa dapat mencapai 5.400 Kg. Gajah adalah termasuk satwa pemakan rumput (grazer), semak (browser), daun (folifor) dan pemakan buah (frugifor). Gajah mengambil makanan dengan cara direnggut, dipatahkan dan dirobohkan, dengan menggunakan belalainya yang merupakan alat utama untuk mengambil pakan. Disamping belalai biasanya juga dibantu oleh gading, dahi, kaki depan dan mulut. Gajah Sumatera dapat ditemukan di berbagai tipe ekosistem mulai dari pantai sampai ketinggian diatas 1.750 meter seperti di Gunung Kerinci. Habitat gajah terdiri dari beberapa tipe hutan, yaitu : hutan rawa (swamp forest), hutan gambut (peat swamp forest), hutan hujan dataran rendah (lowland forest) dan hutan hujan pegunungan rendah (lower mountain forest) (Haryanto 1984; WWF 2005). Di Pulau Sumatera terdapat 44 kelompok populasi gajah dengan total individu di duga sebanyak 2.800 4.800 ekor. Kelompok tersebut tersebar di seluruh Sumatera, yaitu 13 kelompok di Lampung, 8 kelompok di Sumatera Selatan, 5 kelompok di Jambi, 4 kelompok di Aceh, 2 kelompok di Bengkulu, 1 kelompok di Sumatera Barat.

B. Kebijakan Pengelolaan Gajah Sejak 1931, Pemerintah telah menetapkan Gajah sebagai salah satu satwa yang dilindungi melalui Ordonansi Perlindungan Binatang Liar tahun 1931, dan melindungi habitat gajah dengan menjadikannya sebagai kawasan hutan. Populasi Gajah Sumatera diperkirakan telah mengalami penurunan sekitar 35% dari tahun 1992, dan ini merupakan penurunan yang sangat besar dalam waktu yang relatif pendek. Daerah home range gajah pada hutan primer 165 km2 dan untuk hutan sekunder memiliki wilayah home range 60 km2. Dengan memiliki home range yang luas maka gajah akan dapat memenuhi kebutuhan pakan.

14 Spesies Priopitas

C. Konflik Gajah dan Manusia Konflik manusia dan gajah merupakan masalah yang signifikan dan ancaman yang serius bagi konservasi gajah. Akibat konflik dengan manusia, maka seringkali gajah diracun dan akibatnya mati. Selain itu kerusakan tanaman, terbunuhnya manusia dan kerusakan harta benda sering terjadi akibat konflik dengan gajah. Di TN Way Kambas, akhir-akhir ini frekuensi konflik Gajah liar dari Taman Nasional Way Kambas terhadap pemukiman dan lahan pertanian penduduk di sekitar kawasan Taman Nasional Way Kambas terus meningkat. Konflik ini terjadi karena adanya perubahan pola makan gajah dari jenis tumbuhan hutan ke jenis tanaman pertanian. Saat ini gajah di TN Way Kambas diperkirakan berjumlah 200 250 ekor.Gajah liar yang sering terjadi konflik sebanyak 75 ekor. Beberapa jenis tanaman yang sering mengalami gangguan gajah adalah padi, jagung, pisang, singkong dan kelapa sawit. Nilai kerusakan ekonomi yang ditimbulkan oleh gajah terlihat bervariasi disetiap daerah. Secara garis besar, kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh gajah dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kerusakan tanaman akibat gajah kebetulan menemukan lahan pertanian yang berada didalam atau berdekatan dengan daerah jelajahnya dan kerusakan tanaman akibat kerusakan habitat, fragmentasi habitat ataupun degradasi habitat yang parah. D. Penanganan konflik Kementerian Kehutanan sebagai institusi yang diberi amanat untuk melakukan pengelolaan Gajah, telah melakukan langkah-langkah dalam penanganan konflik gajah antara lain pada tahun 2011 telah dilakukan kegiatan berupa peningkatan intensitas patroli pada daerah rawan konflik di 22 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Way Kambas dengan menempatkan gajah halau dari Pusat Latihan Gajah dan penanaman pakan Gajah seluas 20 ha dari rencana 100 ha di desa Rantau Jaya Udik II, Kecamatan Sukadana STPN III Resort Susukan Baru Taman

Nasional Way Kambas, Provinsi Lampung, dengan jenis tanaman yang disukai gajah yaitu Bambu, Pisang, Rumput gajah, Selangkar dan Tebu. Sedangkan dalam jangka panjang untuk menanggulangi konflik yang lebih bersifat permanen, maka mulai tahun 2012 secara bertahap dan berkelanjutan akan dilaksanakan kegiatan antara lain : a. b. c. d. e. f. Revitalisasi atau normalisasi kanal yang sudah ada sepanjang 29 km; Pembuatan talud sepanjang 6 km; Pembuatan talud rawa dengan sistem bronjong sepanjang 2 km; Perekrutan Pam Swakarsa sebanyak 220 orang di 22 desa konflik; Pengendalian populasi Gajah yang dikategorikan sebagai Gajah liar dan pengganggu sebanyak 75 ekor dan yang harus segera direlokasi ke tempat lain sebanyak 45 ekor; Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Way Kambas melalui berbagai kegiatan baik yang terkait dengan pengelolaan satwa gajah maupun kegiatan ekowisata dan pendukungnya.

E. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Gajah Sumatera yaitu KSDA (Nangroe Aceh darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung), dan Taman Nasional (Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Tesso Nilo, Way kambas, Bukit Tiga Puluh).

14 Spesies Prioritas

III. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)


A. Jenis dan Penyebaran Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan spesies yang paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia. Badak Jawa memiliki panjang 3,13,2 m dan tinggi 1,41,7 m. Ukurannya lebih kecil daripada badak india. Badak Jawa dapat hidup selama 30-45 tahun di alam bebas dan termasuk kedalam golongan binatang berkuku ganjil atau Perissodactyla. Secara taksonomi Badak jawa diklasifikasikan kedalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Super Kelas Gnatostomata, Kelas Mammalia, Super Ordo Mesaxonia, Ordo Perissodactyla, Super Famili Rhinocerotidea, Famili Rhinocerotidae, Genus Rhinoceros dan Spesies Rhinoceros sondaicus. Badak Jawa dikategorikan sebagai endangered atau terancam dalam daftar Red List Data Book yang dikeluarkan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) tahun 1978 dan mendapat prioritas utama untuk diselamatkan dari ancaman kepunahan. Selain itu, Badak Jawa juga terdaftar dalam Apendiks I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) tahun 1978. Jenis yang termasuk kedalam appendix I adalah jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Penyebaran Badak Jawa di dunia terbatas di beberapa negara saja, yaitu di Indonesia, Vietnam dan kemungkinan terdapat juga di Laos dan Kamboja. Di Indonesia, Badak Jawa hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon. Keberadaannya Taman Nasional Ujung Kulon lebih cenderung terkonsentrasi di Semenanjung Ujung Kulon. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua bagian ruang di Taman Nasional Ujung Kulon menjadi habitat terpilih bagi Badak Jawa. Penyebaran Badak Jawa di TN Ujung Kulon pada umumnya berada di daerah bagian Selatan Semenanjung Ujung Kulon, yakni daerah Cibandawoh, Cikeusik, Citadahan dan Cibunar. Di bagian Utara penyebaran badak jawa terdapat di daerah Cigenter, Cikarang, Tanjung Balagadigi, Nyiur, Citelanca dan Citerjun.

B. Populasi Badak Jawa di Indonesia Di Indonesia, khususnya Taman Nasional Ujung Kulon populasi Badak Jawa relatif kecil, yakni sekitar 59-69 ekor. Di Vietnam, populasi Badak Jawa hanya terdapat di Taman Nasional Cat Tien yang diperkirakan tinggal 2-8 ekor yang bertahan hidup. Populasi kecil yang hanya terdapat di satu areal memiliki resiko kepunahan yang tinggi. Oleh karena itu, upaya untuk menjamin kelestarian populasi dalam jangka panjang merupakan salah satu prioritas program konservasi Badak Jawa di Indonesia. Pertumbuhan populasi Badak Jawa di Ujung Kulon termasuk rendah karena sejak 1980 sampai 1983 hanya dapat dijumpai satu individu muda yang tergolong bayi. Inventarisasi Badak Jawa terakhir yang dilakukan pada bulan Juli 2007 menunjukkan kisaran populasi sebesar 59-69 individu.

14 Spesies Priopitas

Hasil pemantauan populasi Badak Jawa yang dilakukan oleh TNUK dan WWF Ujung Kulon pada tahun 2001 menemukan tiga individu badak yang baru lahir di daerah Cikeusik Barat, Citadahan Timur dan Citadahan. Namun demikian, pada tahun 2003 terjadi kematian satu individu Badak Jawa yang ditemukan di padang penggembalaan Cibunar. Berdasarkan hasil otopsi oleh Dinas Peternakan Propinsi Banten diketahui bahwa kematian badak tersebut terjadi secara wajar karena usia yang sudah tua. Kelahiran Badak Jawa berikutnya diketahui terjadi pada bulan Juli 2006 yang dibuktikan dengan ditemukannya empat individu anak badak jawa melalui kamera trap. D. Upaya Penyelamatan Badak Jawa Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan usaha-usaha pelestarian Badak di habitatnya, maka Kementerian Kehutanan telah mengesahkan dan menetapkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak 2007-2017, melalui Peraturan Menteri Kehutanan No:P.43/Menhut-II/2007. Strategi ini digunakan sebagai kerangka kerja terhadap berbagai program dan kegiatan konservasi badak yang telah disahkan berdasarkan peraturan ini wajib dijadikan sebagai pegangan atau pedoman dalam melakukan konservasi badak. Dalam mengimplementasikan program dari Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak Indonesia Kementerian Kehutanan tahun 2007 -2017, pada tanggal 14 Juni 2010, Kementerian Kehutanan, Yayasan Badak Indonesia (YABI) dan Asia Pulp & Paper (APP) menandatangani perjanjian bersama untuk program kerjasama penyelamatan Badak Jawa salah satu mamalia besar yang paling terancam punah di dunia. Kolaborasi ini merupakan kerjasama yang pertama kali yang pernah ada antara YABI dan perusahaan swasta nasional di Indonesia. Kerja sama ini berfokus pada pengembangan Suaka Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon suatu kawasan konservasi seluas 76.000 hektar di Jawa Barat, Indonesia. Pengembangan suaka ini dimaksudkan tidak hanya untuk melestarikan Badak Jawa melalui penelitian intensif, namun juga untuk

memperluas habitat satwa ini dan melindunginya dari gangguan satwa lain, serta menjamin adanya peningkatan populasi badak, yang merupakan tujuan utama program bersama ini. Saat ini kegiatan pelestarian Badak sangat didukung oleh mitra Kemenhut, salah satunya adalah YABI. Yayasan Badak Indonesia (YABI) adalah satusatunya organisasi nirlaba Indonesia yang bergerak dalam usaha melestarikan dan menyelamatkan badak Indonesia yaitu badak Jawa (Rhinoceros sondaicus,) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). YABI dibentuk pada tanggal 28 Desember 2006. Misi Yayasan Badak Indonesia adalah ikut melestarikan Badak Jawa dan Badak Sumatera melalui upaya perlindungan dan pemantauan terhadap populasi dan habitat, peningkatan pengembangbiakan, riset dan pengembangan, penyadartahuan dan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan dan perlunya usaha-usaha konservasi Badak Jawa dan Badak Sumatera, menjalin kerjasama dan penggalangan dana untuk keberlanjutan program dan kegiatan konservasi badak. Visi Yayasan Badak Indonesia adalah terwujudnya kehidupan populasi Badak Jawa dan Badak Sumatera yang lestari dalam habitat yang aman secara berkelanjutan E. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Badak Jawa yaitu Taman Nasional Ujung Kulon.

14 Spesies Prioritas

IV. Banteng (Bos javanicus)


A. Jenis dan Penyebaran Banteng merupakan hewan mamalia yang berkerabat dengan sapi. Banteng Jawa (Bos javanicus) merupakan satu dari 5 (lima) spesies Banteng yang ada di dunia (satu spesies telah punah). Banteng (Bos javanicus) terdiri atas tiga subspesies (sub-jenis) yakni Bos javanicus javanicus (terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia), Bos javanicus lowi (terdapat di Kalimantan) dan Bos javanicus birmanicus (terdapat di Indocina). Banteng merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia. Popolasinya semakin mengalami penurunan. Oleh IUCN Redlist, Banteng dikategorikan dalam status konservasi Endangered atau Terancam Kepunahan. Selain Banteng Jawa (Bos javanicus) sedikitnya terdapat 4 spesies Banteng lainnya diseluruh dunia. Satu spesies telah dinyatakan punah. Kelima spesies Banteng tersebut adalah: javanicus (Banteng) Bos gaurus (Indian Bison) yang biasa diadu dengan matador di Bos Spanyol mutus (Wild Yark) Bos souveli (Grey Ox) Bos primigenius (Auroch) yang telah punah Bos B. Populasi dan Konservasi. Populasi banteng diseluruh dunia diperkirakan tidak lebih dari 8.000 ekor. Bahkan dimungkinkan kurang dari 5.000 ekor. Dalam setiap wilayah (habitat) populasinya jarang yang mampu mencapai lebih dari 500 ekor. Di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) diperkirakan terdapat 300-700 ekor Banteng (tahun 2003), 200 ekor di Taman Nasional Meru Betiri (2000), 200 ekor di Taman Nasional Baluran (2002), 80 ekor di Taman Nasional Alas Purwo (2002). Populasi-populasi yang lebih kecil juga terdapat di beberapa tempat seperti di Cagar Alam Cikepuh-Cibanteng, Pangandaran, Malang, dan Kediri. Lantaran populasinya yang semakin menurun, sejak tahun 1996, banteng dinyatakan dalam status konservasi Endangered (EN; Terancam Punah) oleh IUCN. Banteng sampai saat ini belum terdaftar dalam CITES meskipun sejak 1996 telah diusulkan untuk didaftar dalam CITES Apendiks I. Penurunan populasi dan kelangkaan Banteng lebih disebabkan oleh perburuan liar dan berkurangnya habitat akibat pembukaan lahan untuk pemukiman dan pertanian. Penurunan populasi juga disebabkan oleh persaingan dengan binatang lainnya dan pemangsaan yang berlebih oleh Ajag (Cuon alpinus). Data tentang populasi Banteng yang dapat saya hadirkan hanyalah data yang dibuat hampir sepuluh tahun yang silam. Harapan saya hanya satu, bantengbanteng ini masih mampu bertahan hingga selamanya.

10

14 Spesies Priopitas

C. Ciri-ciri dan Perilaku. Banteng (Bos javanicus) mempunyai tinggi sekitar 160 cm dengan panjang antara 190-225 cm. Meskipun beberapa Banteng mampu memiliki berat hingga satu ton namun rata-rata Banteng jantan memiliki berat berkisar antara 600-800 kg. Sedangkan Banteng betina memiliki berat dan ukuran yang lebih kecil. Banteng memiliki sepasang tanduk dikepalanya yang panjangnya berkisar antara 60-75 cm. Kulit kaki bagian bawah, punuk, dan daerah sekitar mata dan mocong Banteng (Bos javanicus) berwarna putih. Pada Banteng berkelamin jantan memiliki kulit berwarna biru kehitam-hitaman atau coklat gelap dengan punuk di bagian pundak dan tanduk yang melenkung ke atas. Sedangkan pada Banteng betina memiliki kulit berwarna coklat kemerahan tanpa punuk dan tanduk yang mengarah ke dalam. Banteng mampu hidup hingga berumur 20 tahun dengan masa kedewasaan ketika berusia 2-3 tahun. Banteng betina mempunyai lama kehamilan hingga 285 hari dan umumnya hanya melahirkan satu anak saja dalam satu masa kehamilan. Bayi Banteng akan disapih ketika berusia 6-9 bulan. Banteng hidup secara berkelompok dengan jumlah kawanan antara 240 individu dengan satu Banteng jantan. Banteng-banteng jantan muda hidup sendirian atau dalam kelompok-kelompok kecil bujang. Banteng merupakan binatang herbivora yang memakan rumput, dedaunan, dan buah-buahan. Diperkirakan Banteng sangat menyukai jenis rerumputan dari spesies Ischaemum muticum, Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, dan Cynodon dactylon. Banteng umumnya aktif baik pada siang ataupun malam hari. Namun pada wilayah-wilayah yang dekat dengan pemukiman manusia Banteng cenderung untuk beradaptasi sebagai binatang nokturnal yang aktif pada malam hari. D. Habitat dan Persebaran. Banteng mempunyai habitat di daerah berhutan lebat ataupun hutan

bersemak mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 2.100 mdpl. Persebarannya mulai dari Kamboja, Indonesia (Jawa, Bali, dan Kalimantan), Laos, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Di beberapa negara seperti Brunei Darussalam, bangladesh, dan India, Banteng dinyatakan telah punah. E. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Banteng yaitu KSDA (Jawa Timur) dan Taman Nasional ( Ujung Kulon, Baluran, Alas Purwo, Meru Betiri, Kayan Mentarang, Kutai).

14 Spesies Prioritas

11

V. Orangutan (Pongo pygmaeus).


A. Jenis dan Penyebaran Orangutan (Pongo pygmaeus) adalah salah satu anggota suku Pongidae, termasuk kelompok kera besar bersama dengan Bonobo (Pan panicus), Simpanse (Pan troglodytes) dan Gorila (Pan gorilla). Orangutan merupakan satu-satunya jenis kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga kera besar kerabat lainnnya hidup di Afrika. Saat ini status konservasi orangutan berdasarkan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN, 2004) masuk dalam kategori endangered species atau jenis terancam punah, Appendix I CITES (Convention on International Trande in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa dan SK. Menhut No.301/Kpts-II/1991 tanggal 10 Juni 1991. Pada awalnya penyebaran orangutan mulai dari daratan China sampai dengan pulau Jawa, namun saat ini populasi orangutan yang tersisa hanya terdapat di Sumatera bagian Utara dan tersebar di beberapa tempat di Kalimantan. Orangutan dapat beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer dari hutan rawa, hutan dataran rendah/dipterocarpace sampai ke hutan pegunungan dengan batas ketinggian 1800 dpl. Orangutan umumnya mendiami hutan rawa gambut di Tanjung Puting. B. Kondisi Orangutan Di Indonesia Indonesia memiliki dua jenis orangutan yaitu jenis Sumatera (Pongo abelii) dan jenis Kalimantan (Pongo pygmaeus). Populasi kedua jenis orangutan tersebut diperkirakan berjumlah sekitar 61 ribu ekor. Sekitar 54 ribu ekor jenis Kalimantan, dan sekitar 6 ribu ekor jenis Sumatera. Untuk jenis Kalimantan, Indonesia memiliki tiga sub species orangutan Kalimantan, yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus di Kalimantan Barat, Pongo pygmaeus wurmbii di bagian Selatan dan Barat daya Kalimantan, dan Pongo pygmaeus morio dari Sabah menyebar ke Selatan sampai Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Populasi di alam secara keseluruhan diperkirakan lebih dari 65.000 individu. Sementara populasi orangutan di Kalimantan menyebar dalam kantong-kantong habitat hutan di bagian Tengah, Barat, Utara, dan Timur-laut dan diperkirakan populasinya mencapai lebih dari 50.000 individu yang tersebar dalam 49 habitat unit termasuk di Sabah dan Serawak. Salah satu kawasan yang merupakan habitat orangutan tersebut diantaranya adalah Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) di propinsi Kalimantan Tengah yang diyakini memiliki jumlah populasi yang cukup signifikan yaitu sekitar 5300 individu.

12

14 Spesies Priopitas

C. Keistimewaan Orangutan dianggap sebagai suatu 'flagship species' yang menjadi suatu simbol untuk meningkatkan kesadaran konservasi serta menggalang partisipasi semua pihak dalam aksi konservasi. Kelestarian orangutan juga menjamin kelestarian hutan yang menjadi habitatnya dan kelestarian makhluk hidup lainnya. Dari sisi ilmu pengetahuan, juga sangat menarik, karena mereka menghadirkan suatu cabang dari evolusi kera besar yang berbeda dengan garis turunan kera besar Afrika. Sebagai satu satunya kera besar yang hidup di Asia, orangutan dinilai memiliki potensi besar menjadi aikon pariwisata untuk wilayah ini. Dalam peraturan perundangan Indonesia, orangutan termasuk dalam status jenis satwa yang dilindungi. Dibalik kebanggaan tersebut, sebenarnya juga terkandung beban tanggung jawab yang tidak ringan, yaitu tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan kehidupan orangutan di bumi ini. Salah satu wujud tanggungjawab itu adalah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53 tahun 2007 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia tahun 2007 2017. Peraturan tersebut menjadi payung hukum yang kuat dalam upaya kita menyelamatkan dan menjamin keberlanjutan populasi orangutan dan habitatnya sehingga kondisi orangutan di alam menjadi lebih baik dalam sepuluh tahun mendatang. Aturan ini juga menjadi dasar bagi para pihak untuk turut serta berpartisipasi dan bertanggungjawab atas keberlangsungan kehidupan orangutan. Keterlibatan para pihak dalam upaya ini merupakan partisipasi dari hulu sampai hilir, mulai dari merancang aturan dan kebijakan sampai dengan implementasi dan pelaksanaan di lapangan hingga monitoring dan evaluasinya. D. Upaya Penyelamatan Orangutan Sebagai upaya untuk meningkatkan usaha-usaha pelestarian Orangutan di habitatnya, maka Kementerian Kehutanan telah mengesahkan dan menetapkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia

2007-2017. Dokumen ini digunakan sebagai panduan dalam penyelamatan Orangutan. Selain itu juga digunakan sebagai acuan berbagai pihak yang bekerja dalam konservasi Orangutan di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Dalam peraturan perundangan Indonesia, orangutan termasuk dalam status jenis satwa yang dilindungi. Pada IUCN Red List Edisi tahun 2002 Orangutan Sumatera dikategorikan Critically Endangered, artinya sudah sangat terancam kepunahan, sedangkan Orangutan Kalimantan dikategorikan Endangered atau langka. Diketahui bahwa jumlah populasi orangutan liar telah menurun secara terus menerus dalam beberapa dekade, terakhir akibat hilangnya hutan dataran rendah, namun pada beberapa tahun terakhir ini kecepatan penurunan populasi orangutan terus meningkat. Prediksi para ahli, jika kondisi ini tidak membaik, maka dalam 10 tahun terakhir kita akan kehilangan hampir 50% dari jumlah populasi yang ada saat ini. Konflik antara manusia dan orangutan sangat sering terjadi, kadangkala menimbulkan kerugian di pihak manusia, namun yang paling sering terjadi adalah berakibat fatal pada pihak orangutan. Oleh karena itu,upaya konservasi orangutan dan habitatnya harus dilakukan tidak hanya oleh orang-orang yang bekerja dalam dunia konservasi saja, akan tetapi harus dilakukan dan didukung oleh pihak lainnya. E. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Orangutan yaitu KSDA (Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur) dan Taman Nasional (Betung Kerihun, Danau Sentarum, Kutai, Sebangau, Gunung Palung, Bukit Baka Bukir Raya, Tanjung Puting).

14 Spesies Prioritas

13

berburu pada siang hingga sore hari. B. Kebijakan Pengelolaan Komodo Keberadaan Komodo atau Ora dalam bahasa lokal sudah dikenal sejak tahun 1911. Hal ini mendorong Kesultanan Manggarai mengesahkan penunjukan bagian Barat dan Selatan Pulau Rinca serta Pulau Komodo sebagai Suaka Margasatwa (SM) pada tahun 1939. Selanjutnya, Pemerintah RI melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 66/Dep.Keh/ 1965 tgl 21 Oktober 1965 menunjuk P. Komodo, P. Rinca dan P. Padar sebagai Suaka Margasatwa yang mencakup luasan 40.728 ha. Dalam perkembangannya, Menteri Kehutanan melalui Keputusan tanggal 29 Februari 1992 menunjuk Suaka Margasatwa tersebut ditambah dengan perairan laut di sekitarnya seluas 132.572 ha sebagai Taman Nasional dengan luas total sebesar 173.300 ha. Status saat ini, wilayah perairan Taman Nasional Komodo telah ditata batas dan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 172/Kpts-II/2000 tgl. 29 Juni 2000. Perhatian dunia akan pentingnya pelestarian satwa komodo beserta habitatnya terus meningkat. Pada tahun 1991 kawasan ini ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia (World Heritage Site). Tahun 1997 UNESCO menetapkan kawasan pelindungan komodo sebagai cagar biosfer. Karena status dan keunikannya, TN Komodo menjadi salah satu dari New 7 Natural Wonders. E. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Komodo yaitu KSDA Nusa Tenggara Timur dan Taman Nasional Komodo.

VI. Komodo (Varanus komodoensis)


A. Jenis dan Penyebaran Biawak Komodo (Varanus komodoensis) tersebar hidup di Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar, dan Pulau Gilimontang di Nusa Tenggara. Habitat Komodo di alam bebas telah menyusut akibat aktivitas manusia dan karenanya IUCN memasukkan Komodo sebagi spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan oleh CITES dimasukkan dalam kategori Apendiks I CITES. Jumlah Komodo di habitat aslinya tinggal 2.500 ekor. Berat tubuh Komodo dewasa di alam sekitar 70 kg, dan berat tubuh Komodo yang dipelihara di penangkaran umumnya memiliki bobot tubuh yang lebih besar. Komodo aktif pada siang hari, walaupun terkadang aktif juga pada malam hari. Komodo adalah binatang yang penyendiri, berkumpul bersama hanya pada saat makan dan berkembang biak. Untuk tempat berlindung, Komodo menggali lubang selebar 1-3 meter dengan tungkai depan dan cakarnya yang kuat. Karena besar tubuhnya dan kebiasaan tidur didalam lubang, Komodo dapat menjaga panas tubuhnya selama malam hari dan mengurangi waktu berjemur pada pagi selanjutnya. Komodo umumnya

14

14 Spesies Priopitas

VII. Owa Jawa (Hylobates moloch)


A. Jenis dan Penyebaran Owa jawa (Hylobates moloch) adalah sejenis primata anggota suku Hylobatidae. Dengan populasi tersisa antara 1.000 2.000 ekor saja, kera ini adalah spesies owa yang paling langka di dunia. Owa jawa menyebar terbatas (endemik) di Jawa bagian barat. Organisasi konservasi dunia IUCN memasukkannya ke dalam kategori terancam (kepunahan) ( endangered), dengan peluang sebesar 50% bahwa hewan ini akan dapat punah dalam satu dekade mendatang. Ancaman kepunahan terutama datang dari hilangnya habitat akibat pembukaan hutan untuk berbagai keperluan. Di samping itu, anak-anak owa kerap ditangkapi (jika perlu dengan membunuh induknya lebih dulu) untuk diperjual belikan di pasar gelap sebagai hewan timangan bergengsi. Saat ini Owa Jawa hidup sebagian besar di hutan-hutan di Jawa Barat, sebagian kecil di Jawa Tengah, Gunung Slamet, dataran tinggi Dieng dan Jawa Timur. Makanan Owa Jawa adalah buah-buahan alami, daun muda dan serangga. Owa Jawa dapat hidup sampai umur 20 tahun. Ciri khas dari hewan ini adalah teriakkan atau nyanyiannya. Teriakkan atau nyanyian Owa Jawa menandakan teritorial tempat tinggal dan area mencari makan. Saat ini berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan Owa Jawa dari kepunahan. Diantaranya kegiatan edukasi masyarakat luas, khususnya yang tinggal di daerah kawasan hutan. B. Proses Rehabilitasi Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat, tepatnya di resort Bodogol, terdapat Pusat Rehabilitasi Owa Jawa. Owa Jawa yang masuk rehabilitasi biasanya berumur tujuh tahun. Rehabilitasi Owa Jawa perlu dilakukan secara bertahap agar dapat mengembalikan kemampuan survival Owa Jawa yang telah lama dipelihara oleh masyarakat. Setelah melewati masa

karantina di Pusat Rehabilitasi Owa Jawa kurang lebih selama 11,5 bulan, Owa Jawa siap dilepaskan ke alam bebas untuk bersosialisasi dengan lingkungan aslinya. Monitoring selalu dilakukan terhadap Owa Jawa yang baru dilepaskan untuk dapat mengetahui perkembangannya. Untuk menyelamatkan Owa Jawa dari ancaman kepunahan, perlu dilakukan kerjasama semua pihak. Selain upaya penegakkan hukum yang lebih kongkret dan tegas terhadap para pemburu Owa Jawa, juga diperlukan kegiatan pendidikan dan sosialisasi informasi kepada masyarakat luas, agar lebih peduli kepada hewan primata ini yang jumlahnya makin sedikit. C. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Owa Jawa yaitu Taman Nasional Gede Pangrango, TN Halimun Salak, TN Ujung Kulon.

14 Spesies Prioritas

15

VIII. Bekantan (Nasalis larvatus)


A. Jenis dan Penyebaran Bekantan atau biasa disebut Monyet Belanda merupakan satwa endemik Pulau Kalimantan (Indonesia, Brunei, dan Malaysia). Bekantan merupakan sejenis kera yang mempunyai ciri khas hidung yang panjang dan besar dengan rambut berwarna coklat kemerahan. Bekantan dalam bahasa latin (ilmiah) disebut Nasalis larvatus, sedang dalam bahasa inggris disebut Long-Nosed Monkey atau Proboscis Monkey. Di negara-negara lain disebut dengan beberapa nama seperti Kera Bekantan (Malaysia), Bangkatan (Brunei), Neusaap (Belanda). Masyarakat Kalimantan sendiri memberikan beberapa nama pada spesies kera berhidung panjang ini seperti Kera Belanda, Pika, Bahara Bentangan, Raseng dan Kahau. Bekantan merupakan satu dari dua spesies anggota Genus Nasalis yang terdiri atas dua subspesies yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis larvatus orientalis. Nasalis larvatus larvatus terdapat dihampir seluruh bagian pulau Kalimantan sedangkan Nasalis larvatus orientalis terdapat di bagian timur laut dari Pulau Kalimantan. Bekantan merupakan satwa maskot (fauna identitas) Provinsi Kalimantan Selatan. B. Ciri-ciri dan Habitat Bekantan Hidung panjang dan besar pada Bekantan (Nasalis larvatus) hanya dimiliki oleh spesies jantan. Fungsi dari hidung besar pada bekantan jantan masih tidak jelas, namun ini mungkin disebabkan oleh seleksi alam. Kera betina lebih memilih jantan dengan hidung besar sebagai pasangannya Bekantan jantan berukuran lebih besar dari betina. Ukurannya dapat mencapai 75 cm dengan berat mencapai 24 kg. Bekantan betina berukuran sekitar 60 cm dengan berat 12 kg. Spesies ini juga memiliki perut yang besar (buncit). Perut buncit ini sebagai akibat dari kebiasaan mengkonsumsi makanannya berupa buah-buahan, biji-bijian dan dedaunan. Bekantan (Nasalis larvatus) hidup secara berkelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seekor Bekantan jantan yang besar dan kuat. Biasanya dalam satu kelompok berjumlah sekitar 10 sampai 30 ekor.Bekantan lebih banyak menghabiskan waktu di atas pohon. Walaupun demikian Bekantan juga mampu berenang dan menyelam dengan baik, terkadang terlihat berenang menyeberang sungai atau bahkan berenang dari satu pulau ke pulau lain.Seekor Bekantan betina mempunyai masa kehamilan sekitar166 hari atau 5-6 bulan dan hanya

16

14 Spesies Priopitas

melahirkan 1 (satu) ekor anak dalam sekali masa kehamilan. Anak Bekantan ini akan bersama induknya hingga menginjak dewasa (berumur 4-5 tahun). Habitat Bekantan (Nasalis larvatus) masih dapat dijumpai di beberapa lokasi antara lain di Suaka Margasatwa (SM) Pleihari Tanah Laut, SM Pleihari Martapura, Cagar Alam (CA) Pulau Kaget, CA Gunung Kentawan, CA Selat Sebuku dan Teluk Kelumpang. Juga terdapat di pinggiran Sungai Barito, Sungai Negara, Sungai Paminggir, Sungai Tapin, Pulau Bakut dan Pulau Kembang. C. Konservasi Bekantan. Bekantan (Nasalis larvatus) oleh IUCN Redlist sejak tahun 2000 dimasukkan dalam status konservasi kategori Endangered (Terancam Kepunahan) setelah sebelumnya masuk kategori Rentan (Vulnerable; VU). Selain itu Bekantan juga terdaftar pada CITES sebagai Apendix I (tidak boleh diperdagangkan secara internasional). Pada tahun 1987 diperkirakan terdapat sekitar 260.000 Bekantan di Pulau Kalimantan, tetapi pada tahun 2008 jumlah itu menurun drastis dan hanya tersisa sekitar 25.000. Bekantan merupakan satwa dilindungi, sebagaimana tertuang dalam Lampiran PP No. 7 Tahun 1999, dan ada kententuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990. D. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Bekantan yaitu KSDA (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan) dan Taman Nasional (Danau Sentarum, Gunung palung, Kutai, Tanjung Puting, Sebangau). A. Jenis dan Ciri Anoa adalah satwa endemik pulau Sulawesi dan menjadi fauna identitas Provinsi Sulawesi Tenggara. Anoa terdiri atas dua spesies (jenis) yaitu: Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis). Kedua satwa ini tinggal dalam hutan yang jarang dijamah manusia. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan hidup. Anoa sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan dagingnya. Baik Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) maupun Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) sejak tahun 1986 oleh IUCN Redlist dikategorikan dalam binatang dengan status konservasi Terancam Punah (Endangered; EN) atau tiga tingkat di bawah status Punah. Secara umum, anoa mempunyai warna kulit mirip kerbau, tanduknya lurus ke belakang serta meruncing dan agak memipih. Hidupnya berpindahpindah tempat dan apabila menjumpai musuhnya anoa akan mempertahankan

IX. Anoa (Bubalus quarlesi)

14 Spesies Prioritas

17

diri dengan mencebur ke rawa-rawa atau apabila terpaksa akan melawan dengan menggunakan tanduknya. 1. Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) Sering disebut sebagai Kerbau kecil, karena Anoa memang mirip kerbau, tetapi pendek serta lebih kecil ukurannya, kira-kira sebesar kambing. Spesies ini disebut sebagai Lowland Anoa, Anoa de Ilanura, atau Anoa des Plaines. Anoa jenis ini lebih sulit ditemukan dibandingkan anoa pegunungan. Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih gemuk dibandingkan saudara dekatnya anoa pegunungan (Bubalus quarlesi). Panjang tubuhnya sekitar 150 cm dengan tinggi sekitar 85 cm. Tanduk anoa dataran rendah panjangnya 40 cm. Sedangkan berat tubuh anoa dataran rendah mencapai 300 kg. Anoa dataran rendah dapat hidup hingga mencapai usia 30 tahun yang matang secara seksual pada umur 2-3 tahun. Anoa betina melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan. Masa kehamilannya sendiri sekitar 9-10 bulan. Anak anoa akan mengikuti induknya hingga berusia dewasa meskipun telah disapih saat umur 9-10 bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama dengan 2 anak anoa yang berbeda usia. Habitat Anoa dataran rendah mulai dari hutan pantai sampai dengan hutan dataran tinggi dengan ketinggian 1000 m dpl. 2. Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) Disebut juga Mountain Anoa, Anoa de montagne, Anoa de Quarle, Berganoa, dan Anoa de montaa. Anoa pegunungan mempunyai ukuran tubuh yang lebih ramping dibandingkan anoa dataran rendah. Panjang tubuhnya sekitar 122-153 cm dengan tinggi sekitar 75 cm. Panjang tanduk anoa pegunungan sekitar 27 cm dengan berat tubuh dewasa sekitar 150 kg. Anoa pegunungan berusia antara 20-25 tahun yang matang secara seksual saat berusia 2-3 tahun. Seperti anoa dataran rendah, anoa ini hanya melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan yang berkisar 9-10 bulan. Anoa pegunungan berhabitat di hutan dataran tinggi hingga mencapai ketinggian 3000 mdpl meskipun terkadang anoa jenis ini terlihat turun ke pantai untuk mencari garam mineral yang diperlukan dalam proses metabolismenya.

Anoa pegunungan cenderung lebih aktif pada pagi hari, dan beristirahat saat tengah hari. Anoa sering berlindung di bawah pohon-pohon besar, di bawah batu menjorok, dan dalam ruang di bawah akar pohon atau berkubang di lumpur dan kolam. Tanduk anoa digunakan untuk menyibak semak-semak atau menggali tanah Benjolan permukaan depan tanduk digunakan untuk menunjukkan dominasi, sedangkan pada saat perkelahian, bagian ujung yang tajam menusuk ke atas digunakan dalam upaya untuk melukai lawan. Ketika bersemangat, anoa pegunungan mengeluarkan suara moo. B. Populasi dan Konservasi. Anoa semakin hari semakin langka dan sulit ditemukan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) yang menjadi maskot provinsi Sulawesi Tenggara tidak pernah terlihat lagi. Karena itu sejak tahun 1986, IUCN Redlist memasukkan kedua jenis anoa ini dalam status konservasi endangered (Terancam Punah).Selain itu CITES juga memasukkan kedua satwa langka ini dalam Apendiks I yang berarti tidak boleh diperjual belikan. Pemerintah Indonesia juga memasukkan anoa sebagai salah satu satwa yang dilindungi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. C. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Anoa yaitu KSDA (Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara) dan Taman Nasional (Bogani Nani Wartabone, Lore Lindu, Rawa Aopa Watumohai).

18

14 Spesies Priopitas

X. Babi Rusa (Babyrousa babirussa)


A. Jenis dan Penyebaran Babirusa (Babyrousa babirussa) hanya terdapat di sekitar Sulawesi, Pulau Togian, Malenge, Sula, Buru dan Maluku. Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini gemar melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur dan dedaunan. Mereka hanya berburu makanan pada malam hari untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering menyerang. Panjang tubuh babirusa sekitar 87 sampai 106 sentimeter. Tinggi babirusa berkisar pada 65-80 sentimeter dan berat tubuhnya bisa mencapai 90 kilogram. Meskipun bersifat penyendiri, pada umumnya mereka hidup berkelompok dengan seekor pejantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya. Binatang yang pemalu ini bisa menjadi buas jika diganggu. Taringnya panjang mencuat ke atas, berguna melindungi matanya dari duri rotan. Babirusa betina melahirkan satu sampai dua ekor satu kali melahirkan. Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Bayi babirusa itu akan disusui selama satu bulan, setelah itu akan mencari makanan sendiri di hutan bebas. Selama setahun babirusa betina hanya melahirkan satu kali. Usia dewasa seekor babirusa lima hingga 10 bulan, dan dapat bertahan hingga usia 24 tahun. Mereka sering diburu penduduk setempat untuk dimangsa atau sengaja dibunuh karena merusak lahan pertanian dan perkebunan. Populasi hewan yang juga memangsa larva ini kian sedikit hingga termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi. Jumlah mereka diperkirakan tinggal 4000 ekor dan hanya terdapat di Indonesia.Sejak tahun 1996 hewan ini telah masuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh IUCN dan CITES. Namun masih sering dijumpai perdagangan daging babirusa di daerah Sulawesi Utara. Karena itu, pusat penelitian dan pengembangan biologi LIPI bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat beserta Departemen Kehutanan dan Universitas Sam Ratulangi mengadakan program perlindungan terhadap hewan langka ini. Perlindungan tersebut meliputi pengawasan habitat babirusa dan membuat taman perlindungan babirusa di atas tanah seluas 800 hektar. B. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Babi rusa yaitu KSDA (Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku) dan Taman Nasional (Bogani Nani Wartabone, Lore Lindu, Kep. Togean).

14 Spesies Prioritas

19

XI. Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)


A. Jenis dan Penyebaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah sejenis burung pengicau berukuran sedang, dengan panjang lebih kurang 25cm, dari suku Sturnidae. Jalak Bali memiliki ciri-ciri khusus, di antaranya memiliki bulu yang putih di seluruh tubuhnya kecuali pada ujung ekor dan sayapnya yang berwarna hitam. Bagian pipi yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru cerah dan kaki yang berwarna keabu-abuan. Burung jantan dan betina serupa. Burung Jalak Bali merupakan satu-satunya spesies endemik Bali dan pada tahun 1991 dinobatkan sebagai lambang fauna Provinsi Bali. Keberadaan hewan endemik ini dilindungi undang-undang.Jalak Bali ditemukan pertama kali pada tahun 1910. Nama ilmiah Jalak Bali dinamakan menurut pakar hewan berkebangsaan Inggris, Walter Rothschild, sebagai orang pertama yang mendeskripsikan spesies ini ke dunia pengetahuan pada tahun 1912.Jalak Bali dinilai statusnya sebagai kritis di dalam IUCN Red List serta didaftarkan dalam CITES Appendix I. Karena penampilannya yang indah dan elok, jalak Bali menjadi salah satu burung yang paling diminati oleh para kolektor dan pemelihara burung. Penangkapan liar, hilangnya habitat hutan, menyebabkan populasi burung ini cepat menyusut dan terancam punah dalam waktu singkat. Untuk mencegah hal ini sampai terjadi, sebagian besar kebun binatang di seluruh dunia menjalankan program penangkaran jalak Bali. B. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Jalak Bali yaitu KSDA (Bali) dan Taman Nasional (Bali Barat).

20

14 Spesies Priopitas

XII. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)


Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu spesies elang berukuran sedang yang endemik (spesies asli) di Pulau Jawa. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda. Dan sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia. Secara fisik, Elang Jawa memiliki jambul menonjol sebanyak 2-4 helai dengan panjang mencapai 12 cm, karena itu Elang Jawa disebut juga Elang Kuncung. Ukuran tubuh dewasa (dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 6070 sentimeter, berbulu coklat gelap pada punggung dan sayap. Bercoretan coklat gelap pada dada dan bergaris tebal coklat gelap di perut. Ekornya coklat bergaris-garis hitam. Ketika terbang, Elang Jawa hampir serupa dengan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil. Bunyi nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara Elang Brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.Gambaran lainnya, sorot mata dan penglihatannya sangat tajam, berparuh kokoh, kepakan sayapnya kuat, berdaya jelajah tinggi, dan ketika berdiam diri sosoknya gagah dan berwibawa. B. Populasi dan Konservasi Populasi burung Elang Jawa di alam bebas diperkirakan tinggal 600 ekor. Badan Konservasi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikannya terancam punah. Konvensi Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna yang Terancam Punah memasukkannya dalam Apendiks 1 yang berarti mengatur perdagangannya ekstra ketat. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan dalam kategori Endangered atau Genting (Collar et al., 1994, Shannaz et al., 1995). Melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, Pemerintah RI mengukuhkan Elang Jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara.

Habitat burung Elang Jawa hanya terbatas di Pulau Jawa, terutama di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Bahkan saat ini, habitat burung ini semakin menyempit akibat minimnya ekosistem hutan akibat perusakan oleh manusia, dampak pemanasan global, dan dampak pestisida. Di Jawa Barat, Elang Jawa hanya terdapat di Gunung Pancar, Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, Papandayan, Patuha dan Gunung Halimun. Di Jawa Tengah Elang Jawa terdapat di Gunung Slamet, Gunung Ungaran, Gunung Muria, Gunung Lawu, dan Gunung Merapi, sedangkan di Jawa Timur terdapat di Merubetiri, Baluran, Alas Purwo, Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, dan Wilis. C. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Elang Jawa yaitu KSDA (Jawa barat, Jawa Tengah, jawa Timur) dan Taman Nasional (Gunung Gede pangrangao, Gunung Ciremai, Gunung Halimun Salak, Alas Purwo, Merapi, Merbabu, Baluran, Meru betiri, Bromo Tengger Semeru).

14 Spesies Prioritas

21

XIII. Maleo (Macrocephalon maleo)


A. Jenis dan ciri-ciri Maleo yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah sejenis burung gosong berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm, dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon. Yang unik dari maleo adalah, saat baru menetas anak burung maleo sudah bisa terbang. Ukuran telur burung maleo beratnya 240 gram hingga 270 gram per butirnya, ukuran rata-rata 11 cm, dan perbandingannya sekitar 5 hingga 8 kali lipat dari ukuran telur ayam. Namun saat ini mulai terancam punah karena habitat yang semakin sempit dan telur-telurnya yang diambil oleh manusia. Diperkirakan jumlahnya kurang dari 10.000 ekor saat ini. Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan. B. Populasi dan Habitat Tidak semua tempat di Sulawesi bisa ditemukan maleo. Sejauh ini, ladang peneluran hanya ditemukan di daerah yang memliki sejarah geologi yang berhubungan dengan lempeng pasifik atau Australasia. Populasi hewan endemik Indonesia ini hanya ditemukan di hutan tropis dataran rendah pulau Sulawesi khususnya daerah Sulawesi Tengah, yakni di daerah Kabupaten Sigi (Desa Pakuli dan sekitarnya) dan Kabupaten Banggai. Populasi maleo di Sulawesi mengalami penurunan sebesar 90% semenjak tahun 1950-an. Berdasarkan pantauan di Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah, jumlah populasi dari maleo terus berkurang dari tahun ke tahun karena dikonsumsi dan juga telur-telur yang terus diburu oleh warga. Maleo bersarang di daerah pasir yang terbuka, daerah sekitar pantai gunung berapi dan daerah-daerah yang hangat dari panas bumi untuk menetaskan telurnya yang berukuran besar, mencapai lima kali lebih besar dari telur ayam. Setelah menetas, anak Maleo menggali jalan keluar dari dalam tanah dan bersembunyi ke dalam hutan. Berbeda dengan anak unggas pada

umumnya yang pada sayapnya masih berupa bulu-bulu halus, kemampuan sayap pada anak maleo sudah seperti unggas dewasa, sehingga ia bisa terbang, hal ini dikarenakan nutrisi yang terkandung di dalam telur maleo lima kali lipat dari telur biasa, anak maleo harus mencari makan sendiri dan menghindari hewan pemangsa, seperti ular, kadal, kucing, babi hutan dan burung elang. C. UPT Penanggung jawab Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi Burung Maleo yaitu KSDA (Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,) dan Taman Nasional (Lore Lindu, Bogani Nani Wartabone, Rawa Aopa Watumohai).

22

14 Spesies Priopitas

XIV. Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea)


A. Jenis dan ciri-ciri Fisik Kakatua Kecil Jambul Kuning merupakan satu dari enam spesies kakatua yang terdapat di Indonesia. Burung berparuh bengkok ini mempunyai ciri khas bulu putih yang menutupi hampir seluruh tubuhnya dan jambul yang berwarna kuning. Kakatua Kecil Jambul Kuning dalam bahasa latin disebut Cacatua sulphurea (Gmelin, 1788). Sedang dalam bahasa Inggris burung yang nyaris punah ini disebut Yellow-crested Cockatoo atau Lesser Sulphur-crested Cockatoo.Burung kakatua kecil jambul kuning ini menjadi salah satu 18 spesies burung yang berstatus Critically Endangered (Kritis) atau satu tingkat di bawah status Punah. Salah satu spesies kakatua ini mempunyai ukuran sedang dengan panjang sekitar 35 cm. Semua bulunya berwarna putih. Di kepalanya terdapat jambul berwarna kuning yang dapat ditegakkan. Kakatua-kecil jambul-kuning memiliki paruh berwarna hitam serta kulit di sekitar matanya berwarna kebiruan dan kakinya berwarna abu-abu. Bulu-bulu terbang dan ekor burung langka ini berwarna kuning. Burung berparuh bengkok ini mendiami daerah hutan, pingiran hutan, semak hingga daerah pertanian dengan ketinggian mencapai 800 meter dpl. Jenis kakatua ini membuat sarang pada batang-batang pohon tertentu. Makanan burung ini adalah biji-bijian, kacang, dan aneka buah-buahan. B. Anak jenis dan Persebaran Kakatua Kecil Jambul Kuning Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) merupakan burung endemik Indonesia dan Timor Leste. Burung yang nyaris punah ini tersebar di seluruh Nusa Tenggara (termasuk Bali dan Timor), Sulawesi dan pulau sekitarnya, serta di kepulauan Masalembu. Kakatuan Kecil Jambul Kuning terdiri atas 4 subspesies (anak jenis), yaitu: Cacatua sulphurea sulphurea; Anak jenis ini tersebar mulai dari pulau Sulawesi, Muna, Buton, Tanahjampea, Kayuadi, Kalao, Madu, Kalaotoa, dan Kepulauan Tukangbesi. Cacatua sulphurea parvula; Anak jenis ini tersebar di Nusa Tenggara, kecuali Pulau Sumba (Lombok, Sumbawa, Moyo, Padar, Rinca, Komodo, Flores, Pantar, Alor, Semau, dan Pulau Timor). Selain itu terdapat juga di Nusa Penida dan Bali. Cacatua sulphurea citrinocristata; merupakan anak jenis endemik Pulau Sumba. Anak jenis ini mempunyai jambul berwarna orange. Cacatua sulphurea abbotti; Anak jenis ini merupakan endemik Kepulauan Masalembu. terdiri tiga pulau (Masalembu, Masakambing, dan Keramaian). Kepulaun ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

C. Populasi dan Konservasi Populasi Kakatua Kecil Jambul Kuning semakin terancam punah. Menurut data IUCN Redlist (2007), populasi burung ini di alam bebas diperkirakan tidak lebih dari 7.000 ekor. Sekitar 3.200-5.000 ekor terdapat di pulau Sumba, 500 ekor di pulau Komodo, 200-300 ekor di Timor Leste, 200-300 ekor di Sulawesi, 20-50 di Timor Barat, 40-70 di Flores, 50-100 di Sumbawa, 100 di Pulau Rinca dan sekitar 700 burung di berbagai pulau lainnya. Menurut survei Bird Life Internasional, populasi burung berjambul kuning ini jauh lebih sedikit. Seperti populasi anak jenis C. s. abbotti yang endemik Masalembu (2008) tinggal 10 ekor dan C. s. sulphurea diperkirakan hanya tinggal 24 ekor saja.Sedangkan dua anak jenis lainnya (C.s.citrino cristata dan C.s.parvula) diperkirakan populasi masing-masing masih di atas 500-an ekor. Populasinya yang semakin menurun dan nyaris terancam punah membuat membuat IUCN Redlist memasukkan burung ini dalam status konservasi Critically Endangered sejak 2000. CITES juga telah memasukkan burung ini dalam daftar Apendik I sejak 2005. Burung Kakatua Kecil Jambuil Kuning (Cacatua sulphurea) termasuk binatang yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. E. UPT Penanggung jawab

Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yang diberi tanggungjawab terkait konservasi kakatua kecil jambul kuning yaitu KSDA (Jawa
Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi tenggara, Sulawesi Tengah) dan Taman Nasional (Komodo, Manupeu Tanadaru, Laiwangi Wanggameti, Lore Lindu, Rawa Aopa Watumohai).

14 Spesies Prioritas

23

Lay Out & Desain Booklet : Undang Darmatin

You might also like