You are on page 1of 6

Alfani Daud Dan Studi Islam Banjar

Oleh: Irfan Noor, M.Hum


Dosen IAIN Antasari Banjarmasin

Tepat tanggal 12 Januari 2006 lalu, Prof. Dr. Alfani Daud, seorang mantan Rektor
IAIN Antasari periode 1988/1994 telah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Setahun
telah berlalu dari kita. Setahun pula kita telah kehilangan seorang akademisi yang layaknya bisa
dikatakan sebagai antropolog dalam arti yang sebenar-benarnya. Salah satu karyanya yang
sangat monomental di bidang antropologi adalah Islam dan Masyarakat Banjar yang diterbitkan
oleh Rajawali Press Jakarta pada tahun 1997. Oleh karena itulah, tidak berlebihan jika sosok
beliau semasa masih hidup sangat dikenal sebagai ahli “Islam Banjar”.
Karya Alfani Daud tentang Islam dan Masyarakat Banjar tersebut mungkin bisa dikatakan
satu-satunya karya yang paling komprehensif dalam memotret secar empiris bagaimana Islam
berkembang di masyarakat Banjar hingga menjadi sebuah identitas etnik. Dalam perkembangan
tersebut, tentunya, terjadi apa yang disebut oleh para ahli sebagai akulturasi dan asimilasi
budaya antara Islam dengan masyarakat Banjar.

Alfani Daud dan Studi Islam Banjar


Selama ini, memang, sudah lazim muncul anggapan di tengah-tengah masyarakat bahwa
masyarakat Banjar itu identik Islam. Dan identitas keislaman yang melekat pada masyarakat
Banjar tersebut sering dikaitkan dengan perjalanan historis yang dialami oleh masyarakat Banjar
yang sangat terkait dengan sejarah berdirinya kerajaan Islam Banjar di kawasan ini. Oleh karena
itulah, tidak mengherankan jika banyak karya yang mengulas hubungan Islam dengan
masyarakat Banjar lebih dilihat dari perspektif historis.
Padahal, sebagaimana kata para sejarawan sendiri, salah satu kekuatan sejarah sendiri
adalah budaya. Oleh karenanya penting sekali dalam memahami progresi sejarah tanpa
meninggalkan analisis atau penglihatan atas budaya. Dari titik tolak inilah, Alfani Daud
memulai kerja akademisnya untuk merangkai penjelasan yang lebih komprehensif dan dapat
dipertanggungjawabkan tentang identitas masyarakat Banjar.
Oleh karena itu, ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar, maka penelusuran
tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud berasumsi bahwa cikal-bakal nenek
moyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seribu
tahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya.
Peristiwa perpindahan besar-besaran sukubangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti
nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya.
Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu
gelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali etnik Dayak yang
sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu
gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang
belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang
menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang
menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar.
Dengan asumsi cikal-bakal urang Banjar adalah Melayu, maka berkembang pula asumsi
selanjutnya, yakni agama mayoritas mereka adalah Islam. Mengapa Islam ? Menurut Alfani
Daud lagi, karena Melayu adalah Islam. Oleh karenanya, tidak heran jika Islam menjadi
identitas urang Banjar sejak berabad-abad. Bahkan, kasus-kasus orang-orang Dayak memeluk
agama Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar”. Memeluk Islam merupakan
kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan
masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri).
Dalam perkembangan tersebut, tentunya, terjadi apa yang disebut oleh para ahli sebagai
akulturasi dan asimilasi budaya antara Islam dengan masyarakat Banjar. Itulah sebabnya kira-
kira walaupun sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan dengan Islam, namun dalam
banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Banjar tidaklah
seluruhnya dapat dicari referensinya dalam ajaran Islam.
Studi yang dilakukan oleh Alfani Daud saat itu, tentunya, cukup membuat terobosan
baru bagi kecenderungan studi Islam Banjar selama ini. Ada kecenderungan yang berkembang
dalam ranah studi Islam Banjar selama ini yang lebih berpusat pada figur tokoh dan bersifat
historis-normatif. Hal yang paling sentral dari pergulatan beliau selama berkarir di dunia
akademis IAIN Antasari adalah upaya beliau dalam mendorong alternatif studi Islam Banjar
yang lebih berorientasi empiris. Upaya ini tentunya agar tidak ada lagi kecenderungan utama
dalam paradigma studi Islam di IAIN yang didominasi studi-studi normatif. Inilah mungkin
sekelumit sumbangan intelektual Alfani Daud bagi studi Islam Banjar.

Mau kemanakah Studi Islam Banjar ?


Mengenang kembali sumbangan intelektual Alfani Daud bukan berarti ingin
menciptakan mitos dalam studi Islam Banjar. Meninggalnya Alfani Daud justru harus kita
jadikan sebagai momentum untuk merefleksikan masa depan studi Islam Banjar.
Mengapa demikian ? Karena saat ini, menurut Marko Mahin (2004) tengah muncul
kecenderungan studi Islam Banjar yang seolah-olah menempatkan etnis Banjar sebagai suatu
yang given – sesuatu dari sananya. Akibatnya, dalam tulisan-tulisan mengenai Banjar,
kesimpulan yang sempit dan sederhana sering diderivasi dengan mengatakan “Banjar bukan
hanya konsep untuk menunjukkan perbedaan suku, tapi juga agama” atau “Banjar menjadi
identitas agama sekaligus suku”. Sehingga muncul kesan yang kuat bahwa “Banjar adalah Islam
dan Islam adalah Banjar”. Kajian mengenai Banjar telah mencapai puncak status quo ketika
adigium “Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar” dikerek tinggi kepuncak hingga
menjadi tirai suci yang memberi rasa aman. Dan status quo itu, menurut Hairus Salim (1996:
242-43), mengindikasikan suatu kemandekan serius yang muncul karena Islam Banjar hidup
sendiri tanpa dialog dengan pemikiran-pemikiran Islam di luarnya.
Di tengah-tengah status-quo tersebut, pengetahuan kita, menurut Marko Mahin (2004)
mengenai Urang Banjar pun akhirnya hanya mampu berkisar pada spekulasi-spekulasi yang
menyatakan bahwa masyarakat inti asli orang Banjar adalah Melayu atau sekurang-kurangnya
sempalan Melayu yang menurut pelbagai sumber berasal dari salah satu tempat di semenanjung
Malaka.
Di sinilah imajinasi kolonial kaum indologist terbentang bagaikan jaring laba-laba halus
yang menjerat dengan tanpa disadari. Salah satu imajinasi populer kolonial terhadap penduduk
pulau Kalimantan adalah seperti yang dikatakan oleh Niewenhuis (1894: 16) bahwa “Orang
Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang bukan orang Melayu. Orang Melayu ialah
penduduk asli pulau Borneo yang beragama Islam dan bukan orang Dayak”. Atau seperti yang
dipaparkan oleh Mallinckrodt (1928: 48) bahwa “Suku Banjar adalah suatu nama yang
diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu”. Jadi dalam imaji orang-orang Belanda, Banjar
adalah salah satu dari suku Melayu. Karena itu orang Melayu diaspora dari Sriwijaya pun
digeneralisasi sebagai Banjar atau sebagai the oldest Bandjarese (Marko Mahin: 2004).
Pendapat bahwa Banjar adalah salah satu suku Melayu juga didasarkan pada bahasa
yang dipergunakan yang menurut J.J. Ras, ahli sastra Melayu Universitas Leiden, sebagai the
Bandjarese colloquial is a dialect of Malay rather than a separate language(Ras, 1968: 8). Namun
pendapat ini disanggah oleh para ahli Melayu moderen, misalnya James T. Collins, Profesor
Alam dan Tamadun Melayu di Universiti Kebangsaan Melayu, karena kenyataannya bahasa
Melayu tidak harus dituturkan oleh orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang di kampung
Kristen di Pulau Ambon (Collins, 2003: v). Menurut Collins (2003: vii-viii), konsep Alam
Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan peranan bahasa Melayu dalam batas geografi
Asia Tenggara. Alam Melayu tidak identik dengan dunia Islam-Melayu, karena banyak penutur
bahasa Melayu tidak beragama Islam. Alam Melayu bukan konsep etnis karena banyak
pengguna bahasa Melayu bukan orang Melayu. Sesungguhnya Alam Melayu lebih luas daripada
wilayah masyarakat Melayu yang hanya sebagian dari Alam Melayu. Alam Melayu yang yang
sangat kompleks itu memperlihatkan kadar diversitas yang sangat tinggi dalam hubungan
bahasa dan masyarakat. Sayangnya, banyak ahli “Dunia Melayu” dan pakar “Nusantara”
seakan-akan tidak menyadari diversitas itu. Biasanya mereka hanya mengungkapkan observasi
dan mengulangi kesimpulan yang sempit dan sederhana. Pernah saya mendengar seorang “ahli”
sedemikian berhujah bahwa ciri-ciri asas budaya Melayu adalah sarung dan keris! Rupanya
“ahli” itu belum pernah ke Pulau Bali (Marko Mahin, 2004).

Masa Depan Studi Islam Banjar Multikulturalistik


Oleh karena itu, sudah saatnya kita keluar dari kerangkeng emas yang membuat kita
semua terlena selama ini. Studi Islam Banjar yang cenderung bersifat monolitik di atas tanpa
kita sadari telah membuat / menciptakan sikap keberagamaan dan sosial kita menjadi gamang
dengan perubahan tatanan sosial yang cenderung sangat terbuka. Dalam keterbukaan tatanan
sosial saat ini seharusnya yang justru kita kembangkan adalah bagaimana membangun sikap
mental yang multikulturalistik. Hiruk pikuk fenomena formalisme keagamaan yang mewarnai
beberapa daerah kita di tahun-tahun belakang ini adalah contoh yang paling kasat mata dari
kegamangan kita dalam melihat perubahan tatanan sosial yang kian amat terbuka yang direspon
dengan sikap-sikap tertutup. Ketertutupan sikap mental kita ini dalam melihat perubahan yang
ada justru mendorong kita untuk membangun “pagar-pagar formalisme”, dan bukan mencari
solusi konkret atas persoalan yang sedang dihadapi.
Bagi masyarakat tradisional, pola keberagamaan yang bersifat homogen sangat besar
fungsinya dalam memelihara kohesi, integritas, dan sumber makna hidup di tengah-tengah
nilai-nilai yang asing, yang secara ekspansif siap merembes ke dunia kognitif mereka. Hal yang
demikian bisa dipahami karena setiap agama memulai titik awal eksistensinya pada suatu
momen tertentu dalam sejarah umat manusia.
Pola keberagamaan dan strata masyarakat tradisional yang demikian ini
memanifestasikan adanya struktur agama yang bersifat eksklusif yang penuh dengan muatan-
muatan “klaim kebenaran” (truth claim). Sistem teologi yang bersifat eksklusif ini menempati
fungsinya sebagai pelindung eksistensial bagi masyarakat agama awal.
Bila saja pola keberagamaan yang demikian ini tetap dipertahankan dalam strata
masyarakat yang berada pada peradaban mondial – seperti yang tengah berlangsung sekarang,
maka sudah bisa dipastikan bahwa multikulturalitas yang berkembang justru akan membawa
agenda masalah “klasik” yang serius bagi kaum beragama itu sendiri. Kecenderungan
bangkitnya kembali agama-agama dari proses marginalisasi dalam realitas modern, akan
berdampak memperkuat akar konflik dan keterpisahan masyarakat agama yang satu dengan
masyarakat agama yang lain.
Padahal, peta dunia sekarang ini masih ditandai konflik-konflik dengan warna agama.
Meskipun agama bukan satu-satu faktor, namun jelas bahwa pertimbangan keagamaan dalam
konflik-konflik itu dan dalam akselerasinya sangat banyak memainkan peran. Untuk itu, satu
titik sederhana yang ingin penulis garisbawahi di sini adalah bagaimana membangun upaya
untuk memecahkan problem realitas multikulturalisme agama dan budaya yang cukup pelik
dalam era globalisasi sekarang ini.
Studi agama yang bersifat terbuka sangat dibutuhkan dalam era kehidupan masyarakat
beragama yang bersifat multikulturalistik ini. Dengan studi agama yang bernuansa demikian
diharapkan bisa mengurangi – tanpa berpretensi lebih jauh – ketegangan yang diakibatkan oleh
klaim kebenaran (truth claim) dari masing-masing pemeluk agama.
Tentunya, usaha membangun sikap mental multikulturalistik ini haruslah dimulai dari
bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Ketika studi Islam Banjar masih berkisar dalam
kesimpulan: “Banjar adalah Islam dan Melayu adalah Islam, sehingga urang Banjar adalah
Melayu yang sudah pasti Islam”, maka kesimpulan itu sama dengan mengarahkan pandangan
urang Banjar atas dirinya secara monolitik. Akibat yang lebih jauh, kita justru secara sadar
membangun sikap tidak peduli dengan adanya kekayaan khazanah lokal daerah kita di luar
ranah “Banjar adalah Islam”. Seharusnya pengabaian seperti ini tidak perlu terjadi, karena
makin multikulturalistik sikap kita terhadap diri sendiri justru akan banyak membantu kita
untuk lebih mengenal kekayaan khazanah lokal masyarakat Banjar secara umum. Tentunya,
dengan banyaknya didapatkan kekayaan khazanah lokal, akan dimungkinkan pengembangan
potensi-potensi lokal untuk mendorong pengembangan masyarakat di daerah ini secara lebih
terbuka sesuai dengan kondisi zaman ini.
Oleh karena itu, dengan berjalannya waktu setahun meninggalnya Alfani Daud ini
adalah momentum yang baik bagi kita semua untuk memikirkan kembali bagaimana
membangun dan mengembangkan Pusat Studi Islam Banjar yang mampu relevan dengan
perubahan sosial yang ada. Semoga jasa-jasa Alfani Daud bisa dikenang dan ditindaklanjuti oleh
generasi muda Banjar, amin []

You might also like