You are on page 1of 20

1

Pengertian Peradilan Koneksitas Peradilan Koneksitas adalah sistem peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan antara orang sipil dan orang militer.1) Atau dapat juga dikatakan peradilan antara mereka yang tunduk kepada yuridiski peradilan umum dan peradilan militer.perkara koneksitas sendiri menurut pasal 89 ayat (1) yaitu tindak pidana yang dilakuakan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.2) Dengan demikian, maka sudah dapat dipastikan bahwa peradilan koneksitas pasti menyangkut delik penyertaan antara yang dilakukan oleh orang sipil bersama-sama dengan orang militer yang diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Dasar hukum yang paling pokok peradilan koneksitas di dalam Pasal 22 UndangUndang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan. Pasal tersebut berbunyi. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali kalau menurut keputusan menteri pertahanan/keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.3) A. PRINSIP KONEKSITAS Sesuai dengan kelanjutan bunyi ketentuan Pasal 89 ayat (1),terdapat lagi penggarisan prinsip pemeriksaan dan peradilan perkara koneksitas. Prinsip hukum yang digariskan pada Pasal 89 ayat (1) tersebut :

Pemeriksaan dan peradilan perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan
1)

Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.,Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, halaman 210.
2)

DR. H Moh Hatta SH,MKn, Hukum Acara Pidana dalam Tanya Jawab, Liberty, Yogyakarta, halaman 35.
3)

Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.,Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, halaman 210.

peradilan umum. Berdasar prinsip ini,terdapat penggarisan ketentuan umum yang menetapkan wewenang lingkungan peradilan yang akan memeriksa dan mengadili perkara koneksitas,yakni lingkungan peradilan umum. Akan tetapi,sebagaimana lazimnya,terdapat suatu prinsip dan ketentuan

umum,selalu terdapat pengecualian.Dalam peradilan koneksitas pun terdapat pengecualian,yang memungkinkan pemeriksaan perkara koneksitas dapat diperiksa dalam lingkungan peradilan militer,dengan syarat sebagai berikut : Jika ada keputusan Menhankam yang mengharuskan perkara koneksitas tersebut diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan militer. Keputusan Menhankam dimaksud telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman bahwa perkara koneksitas itu diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan militer. Berdasar prinsip ini,terdapat penggarisan ketentuan umum yang menetapkan wewenang lingkungan peradilan yang akan memeriksa dan mengadili perkara koneksitas,yakni lingkungan peradilan umum. Akan tetapi,sebagaimana lazimnya,terdapat suatu prinsip dan ketentuan

umum,selalu terdapat pengecualian.Dalam peradilan koneksitas pun terdapat pengecualian,yang memungkinkan pemeriksaan perkara koneksitas dapat diperiksa dalam lingkungan peradilan militer,dengan syarat sebagai berikut : Jika ada keputusan Menhankam yang mengharuskan perkara koneksitas tersebut diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan militer. Keputusan Menhankam dimaksud telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman bahwa perkara koneksitas itu diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan militer.4) B. KAPAN DIPERIKSA PERADILAN MILITER Kapan perkara koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer diatur dalam Pasal 90,yang menjelaskan :
4)

M. Yahya Harahap,S.H.,Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP,Sinar Grafika,Jakarta,Halaman 29

Untuk menentukan apakah lingkungan peradilan militer yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara koneksitas,diukur dari segi kerugian yang ditimbulkan tindak pidana itu.

Apabila kerugian yang ditimbulkan tindak pidana titik beratnya merugikan kepentingan militer,sekalipun pelaku tindak pidananya banyak dari kalangan sipil,pemeriksaan perkara koneksitas akan dilakukan oleh lingkungan peradilan militer. Selama kerugian yang ditimbulkan tindak pidana tidak merugikan kepentingan militer,sekalipun pelakunya lebih banyak dari TNI/Polri,berlakulah prinsip umum,perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum.5)

C. Penyidikan Perkara Koneksitas Penyidikan merupakan langkah kedua dalam permulaan tahap pertama pelaksanaan Hukum Acara Pidana. Langkah pertama ialah mencari kebenaraan yang dalam KUHAP dipakai istilah Penyelidikan. Dalam peradilan koneksitas cara penyidikan tentulah sama menurut KUHAP namun yang berbeda ialah pejabat yang melaksanakan fungsi penyidikan tersebut yang diatur di dalam pasal 89 ayat (2) KUHAP yang menyatakan sebagai berikut. Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan Polisi Militer angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.6) Ayat (3) pasal itu menentukan cara menunjukan tim untuk menyidik perkara koneksitas. Yang berbunyi sebagai berikut.
5)

M.Yahya Harahap,S.H.,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP,Sinar Grafika,Jakarta,Halaman 29


6)

Prof.Dr.Andi Hamzah,S.H.,Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika,Jakarta,halaman 213

Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakiman yang terdiri atas berikut. a. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 KUHAP. b. Polisi Militer ABRI. c. Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi. Penyidikan ini sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku, dalam arti terhadap penyidikan anggota militer (ABRI) tetap digunakan undangundang Nomor 1/Drt/1951jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950. Selanjutnya pada tanggal 29 desember 1983 dikelurkan suatu Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakiman: NOMOR: KEP.10/M/XII/1983 NOMOR: M. 57.PR.09.03 th. 1983 Untuk Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas. Pasal 1 Menentukan sebagai berikut. Untuk penyidikan tindak pidana yang dilakuakan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, yang selanjutnya disebut perkara pidana koneksitas, dibentuk tim tetap di: a. Pusat, dan b. Daerah Tugas Tim Tetap Pusat dan Daerah berbeda. Tim Tetap Pusat bertugas melakukan penyidikan perkara koneksitas apabila perkara dan tahu tersangkanya mempunyai bobot nasional dan atau internasional, juga apabila delik yang dilakukan atau akibat yang ditimbulkan terdapat dalam lebih dari satu daerah hukum Pengadilan Negeri tetapi dalam satu daerah hukum Pengadilan Tinggi atau apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh Tim Tetap yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Negeri dan masih dalam daerah hukum pengadilan tinggi yang bersangkutan. Juga apabila delik tentang Pembentukan Tim Tetap

yang dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Kedudukan Tim Tetap Pusat adalah di ibukota Negara Republik Indonesia, sedang Tim Tetap Daerah berkedudukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Dengan dibentuknya Tim Tetap untuk penyidikan perkara koneksitas, perlu kiranya diketahui siapa-siapa sebenarnya yang bertindak selaku penyidik. Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri kehakiman ditentukan Tim Tetap terdiri atas Unsur-Unsur sebagai berikut. a. Tim Tetap Pusat 1. Penyidik dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2. Penyidik dari Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, disingkat PUSPOM ABRI. 3. Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi dari Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Disingkat OTJEN ABRI.

b. Tim Tetap Daerah 1. Dalam Daerah Hukum Pengadilan Tinggi a. Penyidik dari Markas Komando Daerah Kepolisian Republic Indonesia. b. Penyidik dari Polisi Militer ABRI pada POM ABRI Daerah. c. Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi dari Oditurat Militer Tinggi. 2. Dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri a. Penyidik pada markas komando wilayah kepolisian Republik Indonesia. Markas komando kota besar republic Indonesia, markas komando resor/resor kota kepolisian republik Indonesia dan markas komando sektor/sector kota kepolisian republik Indonesia.

b. Penyidik dari polisi militer ABRI pada detasemen POM ABRI. c. Oditur Militer dari Oditurat Militer. Dalam melaksanakan tugasnya melakukan penyidikann tim tetap tersebut dipimpin dan diawasi oleh ketua tim tetap secara bergilir dalam masa jabatan satu tahun. Jabatan tersebut untuk pertama kali diberikan kepada penyidik kepolisian kemudian polisi militer dan terakhir oleh oditur militer. Unsur-unsur tim tetap sebagai penyidik perkara koneksitas tersebut tidak menutup kemungkinan diikutsertakannya penyidik dari pegawai negeri sipil, yang disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan. Hal ini ditentukan dalam pasal 7 Surat Keputusan Bersama sebagai berikut. Ayat (1) dalam hal perkara pidana koneksitas merupakan tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang tertentu dengan ketentuan khusus secara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP. Unsure kejaksaan atau pejabat penyidik lainnya yang berwenang berdasarkan peraturan perundangundangan diikutsertakan sebagai anggota tim tetap. Wewenang yang dimiliki oleh tim tetap, pada dasarnya merupakan tugas dari tugas Tim Tetap di Pusat maupun di Daerah dalam melakukan penyidikan. Dalam surat keputusan bersama pasal 4 ditentukan bahwa: Ayat (1) Tim Tetap Pusat bertugas melakukan penyidikan terhadap perkara pidana koneksitas:
a. Apabila perkara atau tersangkanya mempunyai bobot nasional dan atau

internasional. b. Apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu daerah hukum peradilan tinggi. Ayat (2) Tim Tetap Daerah bertugas melakukan penyidikan perkara pidana koneksitas, sebagai berikut. a. Dalam daerah hukum pengadilan tinggi.

1. Apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu daerah hukum pengadilan negeri. Tetapi masih dalam satu daerah hukum pengadilan tinggi.
2. Apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh Tim

Tetap yang ada dalam daerah hukum pengadilan negeri dan masih dalam daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. b. Dalam daerah hukum pengadilan negeri: apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. D. PENAHANAN DALAM PERKARA KONEKSITAS Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman cukup banyak memberikan landasan hukum bagi perlindungan hak asasi manusia. Salah satunya adalah sebagai berikut. Pasal 7 berbunyi : tidak seorang jua pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,

penggeledahan dan penyitaan selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan pasal 7 diatas, seseorang yang memperoleh tugas khusus untuk menjalankan tugas penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan wajib membawa surat perintah tertulis dari kekuasaan yang sah, maka setiap orang diperbolehkan menolak perintah pejabat yang bersangkutan. Dalam uraian tersebut diatas akan dibahas masalah penahanan perkara koneksitas. Kita ketahui bahwa perkara koneksitas itu merupakan delik yang dilakukan oleh mereka yang termasuk anggota militer dan sipil untuk itu dalam hal-hal yang bersifat khusus diberlakuakan peraturan-peraturan yang berbeda. Antara lain dalam hal penahanan bagi golongan sipil berlaku ketentuan KUHAP sedang bagi golongan militer berlaku ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 juncto Undang-

Undang Darurat Nomor 1 tahun 1958 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan. Pasal 6 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1958 menentukan sebagai berikut: Ayat (1) Atasan yang berhak menghukum, yang membawakan langsung tersangka dalam angkatannya sendiri, kemudian memeriksa perkara itu dan menentukan apakah tersangka akan ditahan terus dengan ketentuan bahwa tahanan hanya dapat dilakukan selama-lamanya untuk dua puluh hari. Penahanan seterusnya harus dilakukan atas keputusan kepala staf/panglima angkatan atau komandan yang dimaksud dalam pasal 9 untuk selama-lamanya tiga puluh hari. Dalam hal ini harus diperhatikan Pasal 12 ayat (3). Apabila anggota angkatan bersenjata melakukan delik maka padanya dilakukan penyidikan dan penuntutan. Untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan itulah dilakukan penahanan. Perintah penahanan sejak tersangka tertangkap adalah wewenang komandan atau atasan yang berhak menghukum. Dan juga mengenai apakah tersangka akan diadakan penahanan sementara atau tidak adalah wewenang atasan atau komandan yang langsung membawahi tersangka. Penahanan sementara atasan yang berhak menghukum untuk paling lama 20 hari, jika komandan berpendapat bahwa tersangka harus masih ditahan sementara, maka komandan dari tersangka melaporkan hal ini kepada atasannya. Seperti yang ditentukian dalam pasal 9 ayat (1) berikut. Jika ia berpendapat, bahwa perkara ini diajukan ke muka pengadilan, maka ia melaporkan putusan atau pendapatnya secara hierarki kepada kepala Staf/Panglima Angkatan dan Komando yang ditunjuk oleh Kepala Staf/Panglima angkatan untuk menerima laporan dimaksud.7)

7)

Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.,Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, halaman 224.

Wewenang perpanjangan penahanan yang diberikan oleh Komandan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (2) berikut. Komandan yang dapat ditunjuk oleh kepala Staf/Panglima Angkatan menurut ayat (1) itu ialah seorang komandan yang langsung dibawahkan Kepala Staf/Panglima Angkatan dan berpangkat serendah-rendahnya Mayor. Dalam hal lamanya perpanjangan diberikan untuk tiap kali perpanjangan ialah selama 30 hari. Hal itu sudah ditentukan dalam pasal 12 ayat (3) berikut. Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan nyang dimaksud dalam pasal 9 dapat memperpanjang tahanan sementara dalam ayat (1) dan dalam pasal 6 ayat (1) kalimat kedua tiap kali 30 hari. Jika komandan yang membawakan langsung tersangka berpendapat, bahwa perkara itu akan diselesaikan di muka pengadilan sesuai pasal 9 ayat (1), maka untuk pelaksanaannya atau pelimpahan perkara, pasal 13 menentukan sebagai berikut. jika telah diputuskan untuk mengajukan perkara yang bersangkutan ke pengadilan maka oleh Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan berkas perkara tersebut disertai dengan surat keputusan Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan atau Mahkamah Tentara Agung, diserahkan kepada berikut ini. a. Jaksa Tentara yang bersangkutan, apabila perkaranya termasuk kekuasaan atau pengadilan ketentaraan. b. Jaksa Sipil yang bersangkutan, apabila perkaranya termasuk kekuasaan pengadilan umum. Di dalam Pasal 13 tersebut disebutksn bahwa untuk mengajukan perkara ke pengadilan selain berkas perkara, diserahkan pula surat keputusan. Surat keputusan yang dimaksud adalah surat keputusan penyerahan perkara. Perwira Penyerah Perkara (Pepera) akan ditunjuk oleh Kepala Staf/Panglima Angkatan atau Komandan dengan surat keputusan tersendiri. Penunjukan siapa yang termasuk sebagai Perwira Penyerah Perkara dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersanjata, yakni Surat Keputusan Nomor Kep/B/554/K/1970 tentang Penunjukan Komandan (Perwira) Penyerah

10

Perkara untuk Eselon Staf Pertahanan dan Keamanan, Eselon Pelaksana Pusat Pertahanan dan Keamanan, pada Tingkat Markas Komandan dan Utama Operasional Pertahanan dan Keamanan. Ada juga Surat Keputusan Penunjukan Perwira Penyerah Perkara dari masing-masing angkatan dan kepolisian antara lain sebagai berikut. 1. Surat Keputusan Nomor Kep. 1391/11/1963 tentang penunjukan Perwira Penyerah Perkara Angkatan Darat. 2. Surat Keputusan Panglima Angkatan Udara Nomor 19 Tahun 1968 tentang Perwira Penyerah Angkatan Udara. 3. Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Laut Nomor 130194 Tahun 1966.
4. Surat

Keputusan

Kepala

Kepolisian

Republik

Indonesia

Nomor

Pol.

94/SK/Kapolri/1971 tentang Penunjukan Perwira di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia. Sebagai ukuran pengangkatan seorang komandan menjadi atau sebagai Perwira Penyerah Perkara, bukan tinggi rendahnya pangkat yang dimilikinya, tetapi jabatan tertentu yang dipergunakan sebagai ukuran sehingga kemungkinan ada yang berpangkat tinggi namun tidak berwenang untuk menyerahkan perkara ke muka pengadilan. Hal ini logis sebab yang mengetahui seluk beluk, anggota atau bawahan adalah komandannya sendiri. Mengenai penahanan terhadap perkara koneksitas dapat disimpulkan bahwa untuk penahanan terhadap golongan sipil dan anggota militer berbeda. Letak perbedaan tersebut ada pada wewenang melakukan penahanan. Penahanan terhadap golongan sipil dengan ketentuan di dalam KUHAP yakni untuk setiap tahap penyelesaian perkara (Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan di muka sidang pengadilan) diberi wewenang untuk melakukan penahanan pertama diberikan kepada komandan yang membawahi langsung. Kemudian untuk perpanjangan penahanan diberikan kepada Perwira Penyerah Perkara dan dalam waktu yang tidak terbatas. Hal ini berdasarkan ketentuan UndangUndang Darurat Nomor 1 Tahun 1958 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan. E. PENUNTUTAN PERKARA KONEKSITAS

11

Setelah penyidik selesai melakukan penyidikan, penyidik menyertakan berkas perkara kepada penuntut umum juga tersangka beserta barang buktinya. Dengan demikian, tanggung jawab tersangka dan barang bukti beralih dari penyidik ke penuntut umum. Penuntut umum mempelajari dan meneliti apakah hasil penyidikan sudah lengkap ataukah belum. Apakah berkas perkara sudah memenuhi syatar. Maka penuntut umum melimpahkan ke pengadilan untuk diadakan penuntutan. Dalam hal perkara koneksitas tersebut diadili oleh pengadilan negeri. Maka Pasal 92 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan, sebagai berikut. apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagimana dimaksud dalam pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang mengajukan perkara. Bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.

Untuk perkara koneksitas yang diadili pada lingkungan peradilan umum, yang bertindak sebagai penuntut umum adalah jaksa pada kejaksaan yang delik koneksitas itu dilakukan di derah hukumnya. Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik atau tim tetap harus ditambah catatan telah diambil alih oleh jaksa yang bertindak sebagai penuntut umum tersebut. Ketentuan seperti pasal 92 ayat (1) tersebut berlaku juga dalam hal perkara koneksitas yang diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer. Pasal 92 ayat (2) KUHAP berbunyi sebagai berikut. Ketentuan sebagimana dimaksud dalam ayat 1 berlaku juga bagi oditur militer atau oditur militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Untuk selanujtnya mengenai wewenang dan tanggung jawab Jaksa Penunut Umum dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi. Pada dasarnya wewenang dan tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum dan Oditur Militer Tinggi adalah sama. Pasal 137 KUHAP berbunyi sebagai berikut.

12

Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.

F. SUSUNAN MAJELIS KONEKSITAS Susunan majelis hakim dalam pemeriksaan sidang koneksitas dikaitkan dengan lingkungan peradilan yang bersangkutan mengadili perkara koneksitas.Dengan demikian terdapat 2 jenis susunan majelis : Apabila perkara koneksitas diperiksa oleh lingkungan peradilan umum,susunan majelis hakim terdiri dari : Sekurang-kurangnya terdiri dari 3 hakim Hakim ketua majelis diambil dari peradilan umum (Pengadilan Negeri ) Hakim anggota diambil secara berimbang dari lingkungan peradilan umum dan peradilan militer. Apabila perkaranya diadili oleh lingkungan peradilan militer , susunan majelisnya: Hakim ketua dari lingkungan peradilan militer, Hakim anggota diambil secara berimbang dari lingkungan peradilan umum dan peradilan militer Hakim anggota yang yang berasal dari peradilan umum diberi pangkat militer tituler Yang mengusulkan hakim anggota adalah Menteri Kehakiman dan menhankam secara timbal balik.

Susunan pada angka 1 & 2,berlaku untuk susunan majelis hakim pada tingkat banding.8)

8)

M.Yahya Harahap,S.H.,Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP,Sinar Grafika,Jakarta,Halaman 32

13

G. PRAPERADILAN PERKARA KONEKSITAS Jika delik yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan peradilan, maka timbul masalah hukum mengenai apakah seorang militer dapat diperiksa di muka sidang Pra Peradilan yang dilakukan oleh pengadilan negeri (bukan pengadilan militer). Pasal 16 Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kirab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan sebagai berikut. Praperadilan dalam tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 KUHAP didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi masing-masing peradilan. Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tersebut menentukan pada perkara koneksitas didasarkan pada masing-masing peraturan perundangundangan peradilan baik peraturan perundang-undangan peradilan umum maupun peradilan militer. Pada tanggal 8 desember 1983 Mahkamah Agung RI mengeluatkan SE MA/15 tahun 1983 tentang wewenang pengadilan negeri unutk melaksanakn sidang praperadilan terhadap seseorang yang berstatus militer. SE MA/15 Tahun 1983 tersebut menyebutkan bahwa: Yang menjadi dasar atau patokan untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang melaksanakan sidang praperadilan adalah status si pelaku tindak pidana dan bukan status pejabat yang melakukan penangkapan/penahanan. Jadi, apabila status si pelaku kejahatan adalah sipil, maka pengadilan yang berwenang melaksanakan sidang praperadilan adalah pengadilan negeri, meskipun yang didakwa melakukan penangkapan/penahanan secara tidak sah statusnya adalah militer. H. PERADILAN PERKARA KONEKSITAS

14

Dalam memeriksa perkara pidana dengan acara biasa, terhadap perkaraperkara yang dilimpahkan berdasarkan Pasal 143 KUHAP, yang menurut Jaksa Penuntut Umum termsuk kekuasaan atau wewenang Pengadilan Negeri untuk diperiksa dan diadili maka ketua Pengadilan Negeri berdarkan Pasal 147 KUHAP mempelajari perkara tersebut apakah perkara itu termasuk kekuasaan atau wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Mengenai pemeriksaan perkara koneksitas, KUHAP mengatur mengenai wewenang mengadili dan susunan hakim pengadilan. Kewenangan mengadili perkara koneksitas, berdasarkan pasal 91 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut. Ayat (1) jika menurut pendapat sebagimana dimaksud dalam pasal 90 ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Maka perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang. Ayat (2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak kepada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebagimana dimaksud dalam pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Ayat (3) Surat keputusan pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah perkara dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada Mahkamah Militer atau Mahkamah Militer Tinggi.

15

Penentuan Kekuasaan mengadili yang realtif dalam perkara koneksitas, jika yang berhak adalah pengadilan negeri maka perlu diperhatikan Pasal 84 KUHAP yang berbunyi: Ayat (1) Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Ayat (2) Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakawa bertempat tinggal , berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri daripada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang didalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Lingkungan peradilan militer menentukan kompetensi relatif terhadap mahkamah militer yang akan mengadili perkara koneksitas. Selain ketentuan di muka juga dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Pasal 10 yang menentukan bahwa: Ayat (1) Pengadilan Tentara mengadili dalam tingkat pertama perkara-perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat yang berpangkat kapten ke bawah: a. Dan termasuk suatu pasukan yang ada di dalam daerah hukumnya; b. Di dalam daerah hukumnya. Ayat (2) Apabila lebih dari satu pengadilan tentara berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, maka pengadilan yang menerima perkara itu lebih dahulu dari kejaksaan tentarab harus mengadili perkara tersebut. Pemberian wewenang kepada mahkamah militer untuk mengadili didasarkan pada terjadinya delik yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata di dalam daerah hukumnya dan suatu pasukan yang ada di dalam daerah hukum tersebut.

16

Apabila antara keduanya timbul pertentangan kewenangan, Mahkamah Militer dalam mengadili perkara, maka jalan keluar yaitu yang ditentukan dalam pasal 10 ayat (3) berbunyi sebagai berikut. dari syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) maka syarat b adalah lebih kuat daripada syarat a. Jika sama-sama mempunyai syarat yang kuat, maka mahkamah militer yang lebih dahulu menerima perkara dari oditur militer berwenang yang mengadili. Dalam KUHAP pasal 94 ditentukan sebagai berikut. Ayat (1) dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat 1 diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim. Ayat (2) dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang. Ayat (3) dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana tersebut pada pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan peradilan militer dari peradilan umum yang diberi pangkat militer titular. Ayat (4) ketentuan tersebut pada ayat (2) dan (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat banding. Ayat (5) Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),(3) dan (4) dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (4). Singkatnya:

17 a. Jika perkara koneksitas diadili oleh pengadilan negeri susunan majelis terdiri dari

hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang (pasal 94 ayat 1,2) 9)
b. Jika perkara koneksitas diadili oleh peradilan militer susunan majelis terdiri atas:

hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan militer dan peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler ( pasal 94 ayat 1,3)10)
c. Penuntut umum pada tingkat peradilan umum dilakukan oleh jaksa dan pada

tingkat peradilan militer dilakukan oleh jaksa militer.11) Pada dasarnya pelaksanaan sidang pengadilan perkara koneksitas dilakukan oleh hakim majelis, karena menyangkut dua kepentingan lingkungan peradilan yaitu peradilan umum dan peradilan militer. Sehingga untuk majelis hakimnya pun terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan yang berwenang dan hakim anggota berimbang antara kedua lingkungan peradilan umum dan peradilan militer. Jadi, apabila diterapkan bahwa perkara koneksitas itu diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Maka susunan majelis hakim adalah ketua majelis hakim dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing dari lingkungan peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang. Apabila perkara tersebut diadili dalam lingkungan peradilan militer dan hakim anggota dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota dari lingkungan peradilan militer dan peradilan umum diberi pangkat militer tituler sesuai dengan hakim perwira yang lain. Pemberian pangkat tituler ini tidak perlu, karena sama sekali tidak berpengaruh. Kalau alasan untuk menyesuaikan hakim sipil dan hakim militer. Tidak logis, keduanya sama-sama berstatus hakim. Pelaku koneksitas ini terdiri dari 2 golongan

9)

Martiman Prodjoharmidjo, S.H.,Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,Pragnya Paramita,Jakarta, halaman 78
10)

Martiman Prodjoharmidjo, S.H.,Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,Pragnya Paramita,Jakarta, halaman 78-79
11)

Martiman Prodjoharmidjo, S.H.,Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,Pragnya Paramita,Jakarta, halaman 79

18

yaitu sipil dan militer, dengan diberinya pangkat tituler ini seakan-akan dititikberatkan pada pihak militer. Bismar Siregar, S.H (Hakim Agung) menyatakan sebagai berikut. Tidak perlu hakim sipil diberi pangkat militer selama dalam persidangan, bila perlu memakai tanda cakra yang dipergunakan hakim sehari-hari. Susunan majelis hakim seperti tersebut berlaku berlaku juga pada pemeriksaan perkara koneksitas di Pengadilan Tinggi atau Mahkmah Militer tinggi dalam tingkat banding. Adapun untuk hakim perkara koneksitas secara timbal balik antara Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan mengusulkan pengangkatan hakim anggota, begitu juga hakim perwira.

PENUTUP

A. Kesimpulan Peradilan Koneksitas adalah sistem peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan antara orang sipil dan orang militer. Atau dapat juga dikatakan peradilan antara mereka yang tunduk kepada yuridiski peradilan umum dan peradilan militer. Dengan demikian, maka sudah dapat dipastikan bahwa peradilan koneksitas pasti menyangkut delik penyertaan antara yang dilakukan oleh orang sipil bersamasama dengan orang militer. pelaksanaan sidang pengadilan perkara koneksitas dilakukan oleh hakim majelis, karena menyangkut dua kepentingan lingkungan peradilan yaitu peradilan umum dan peradilan militer. Sehingga untuk majelis hakimnya pun terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan yang berwenang dan

19

hakim anggota berimbang antara kedua lingkungan peradilan umum dan peradilan militer B. Saran Penegakan hukum merupakan salah satu pilar utama dalam pembentukan suatu Negara dalam usaha pencapaian kesejahteraan dalam kehidupan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara, maka dari itu perlulah sebuah loyalitas dan komitmen dalam memerangi dan mengadili pelanggar hukum dengan secara adil tanpa diskriminasi termasuk kepada golongan militer dan tebang pilah, niat dan kesungguhan perlu tertanan dalam sanubari penegak hukum agar peduli bahwa keadilan merupakan tonggak keberhasilan suatu penegak hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi.2005.Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta;Sinar Grafika. Prodjoharmidjo Martiman.Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam teori dan Praktek,Jakata:Pragnya Paramita Hatta Moh, Hukum Acara Pidana dalam Tanya Jawab,Yogyakarta:Liberty Harahap, M. Yahya.2000.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta:Sinar Grafika

20

You might also like