You are on page 1of 16

TEKNIK PENILAIAN HASIL BELAJAR SISWA-1

Diposkan oleh elfisuir di 01:56 0 komentar Label: TEKNIK PENILAIAN HASIL BELAJAR SISWA-1

TEKNIK PENILAIAN HASIL BELAJAR SISWA-2

Diposkan oleh elfisuir di 01:42 0 komentar Label: TEKNIK PENILAIAN HASIL BELAJAR SISWA-2

TEKNIK PENILAIAN HASIL BELAJAR SISWA-3

Diposkan oleh elfisuir di 01:38 0 komentar Label: TEKNIK PENILAIAN HASIL BELAJAR SISWA-3

Selasa, 01 Juni 2010


PENETAPAN AMBANG BATAS HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
PENETAPAN AMBANG BATAS HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010 Petunjuk teknis TPTI merupakan acuan kegiatan pemanenan kayu di hutan alam Indonesia. Di dalamnya berisi tahapan dan kegiatan perencanaan pemanenan yang cukup rinci dan bersifat konservatif. Oleh karena itu, sistem ini dipandang paling aman untuk mempertahankan pengelolaan kelestarian hutan (Dephutbun, 1998). Kegiatan pembalakan selain prosesnya berlangsung tidak mudah, syarat biaya serta beresiko tinggi, juga di sisi lain harus bisa mengntisipasi agar kerusakan tegakan tinggal dan lingkungan minimal. Hal ini muncul tidak lain karena pohon yang ditebang hidup di tengah tegakan yang beragam jenis, ukuran, kerapatan maupun komposisinya. Besar kecilnya kerusakan tergantung

pada bentuk dan lebar tajuk, tinggi dan kerapatan tegakan serta keterampilan penebang. Menurut Dawkin (1980) dalam Wiradinata dan Saddan (1980), dalam sekali penebangan pohon berdiameter besar di hutan tropika basah, bisa mengakibatkan kerusakan pada tegakan di sekitarnya paling sedikit seluas 0,02 ha. Kerusakan tersebut terjadi karena adanya pohon yang ikut tumbang, sehingga memperbesar tingkat kerusakan. Wiradinata dan Saddan (1980) menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi kerusakan tegakan tinggal juga diakibatkan oleh kegiatan pembuatan jaringan jalan dan tempat pengumpulan kayu (TPn). Semakin tidak terencana kedua kegiatan tersebut, maka kemungkinan terjadinya kerusakan tegakan tinggal akan semakin besar. Untuk itu proses pembalakan ramah lingkungan sangat diperlukan. Ewel dan Conde (1978) menyebutkan bahwa kerusakan pada tanah, vegetasi, sumber air dan kehidupan liar adalah pengaruh nyata sebagai akibat dilakukannya kegiatan eksploitasi hutan tropika basah. Pengaruh yang dianggap penting itu, negatip ataupun positip merupakan sesuatu ukuran ambang batas kepedulian (Threshold of Concern, TOC) yang lingkupnya mencakup bidang, ruang dan waktu (Sassaman, 1981 dalam Soemarwoto, 1997). Sheffield (1996) mengatakan bahwa penetapan standar yang baku untuk menganalisis data suatu kegiatan inventarisasi kerusakan hutan, hingga saat ini belum ada. Oleh karena itu, pengguna hendaknya mengatur kembali metode yang diambil dalam penetapan ambang batas pengaruh sesuai tujuan dan spesifikasi yang diinginkan (Sassaman, 1981 dalam Soemarwoto, 1997). Untuk pembuatan parameter ambang batas pengaruh, perlu dipahami kemampuan daya pulih ekosistem atas pengaruh itu (Malcom dan Markham, 1996). Pada ekosistem yang berdaya pulih, kondisi awal sangat berpengaruh dalam merespon kerusakan yang terjadi. Konsepsi kelenturan ekosistem (ecosystem recosilience) ini terbagi atas 2 bagian yaitu kelenturan mekanis (engineering recosilience) dan kelenturan ekologi (ecological recosilience) (Holing dalam Malcom dan Markham, 1996). Kelenturan mekanis ialah ketahanan pulih terhadap gangguan dan kecepatannya untuk kembali mencapai keadaan yang seimbang. Sedangkan kelenturan ekologi ialah pemulihan kondisi yang relatif jauh dari keadaan seimbang. Pada kejadian ini situasi awal dapat berubah ke kondisi yang lain karena pengaruh keseimbangan baru yang lebih dominan (Holing dalam Malcom dan Markham, 1996). Untuk melihat kepulihan ekosistem. Lawton dan Jones dalam Malcom dan Markhum (1996) mengatakan bahwa peranan pohon pada struktur lingkungan hutan terjadi melalui modifikasi proses hidrologi, siklus hara, kestabilan tanah, kelembaban, suhu, angin dan cahaya. Dalam hal ini, yang lebih penting dalam konservasi keragaman hayati ialah melindungi dan memelihara potensi ekosistem yang produktif. Di pihak lain, untuk penetapan ambang batas perlu diketahui proporsi bentuk dan ukuran dari kerusakan, Misal, akibat pembalakan terhadap struktur tegakan, peranan dan evolusi dari ekosistem. Karena gangguan biasanya cendrung bersifat ekstrim dan berdampak panjang, maka konsep ambang batas menjadi sulit didefenisikan secara tepat (Sousa, 1984 dalam Gardner et al., 1996). Menurut Hamilton et al., (1996) tahap dan aspek yang perlu diperhatikan dalam menilai kerusakan hutan ialah : (1) proporsi tingkat kerusakan yaitu potensi, jenis, komposisi serta potensi pertumbuhannya; (2) besar pengaruh kerusakan terhadap permudaan alam untuk mengelompokan pembinaannya lebih lanjut dan (3) pertimbangan pemanfatan atas kerusakan

yang terjadi. Menurut Hamilton et al., (1996) kriteria ambang batas dibuat sederhana dengan maksud memudahkan secara teknis penggunaannya di lapangan. Kriteria dibuat dalam 3 kelas yaitu kelas berat, sedang dan ringan seperti berikut. Dari kriteria di atas maka diusulkan untuk dapat diterapkan sebagai ambang batas adalah klasifikasi tingkat ringan. Dengan demikian kalaupun terjadi kerusakan karena kesulitan dalam pelaksanaannya di lapangan, peningkatan kerusakan yang terjadi masih berada pada tingkat sedang, yang diperkirakan masih cukup aman bagi keberlanjutan pengelolaan hutan alam rawa gambut secara lestari (Hamilton et al., 1996). Resiko (manfaat) lingkungan (juga hutan sebagai suatu ekosistem) ialah suatu faktor atau proses dalam lingkungan yang mempunyai kementakan tertentu sehingga menyebabkan konsekuensi yang merugikan (menguntungkan) kepada manusia dan lingkungannya. Brdasarkan batasan ini, baik resiko maupun mnfaat mengandung unsur ketidakpastian bahwa kementakan bisa terjadi tinggi atau rendah, tetapi tidak dapat dikatakan pasti akan terjadi atau pasti tidak akan terjadi. Oleh karena itu kegiatan melakukan pemantauan pengaruh dengan baik dan kemudian menggunakannya sebagai umpan balik untuk memperbaiki pengelolaan lingkungan, dalam hal ini pengelolaan hutan alam sangat penting artinya (Soemarwoto, 1997). Untuk membuat klasifikasi ambang batas yang diinginkan itu ditempuh dengan cara analisis data hasil pemantauan yang dilaksanakan sendiri dan orang lain sebagai pertimbangan penetapan besarannya. Misalnya, jumlah batang tegakan minimal 60 % (Nodine, 1996; Tansey dan Hutchins, 1988 dalam Sheffield, et al., 1996), sedangkan Smith (1960) menyebutkan bahwa untuk membentuk tegakan yang cukup (full stock) setiap hektar memerlukan permudaan tingkat semai sebanyak 1000 batang, pancang 300 batang dan tiang 75 batang. Sementara Landon dalam Bernard (1950) mengatakan bahwa untuk tujuan yang sama diperlukan tingkat pancang dan tiang sebanyak 300 batang/hektar dan 890 batang/hektar. Ambang batas yang lain seperti gangguan tanah hutan bisa dicerminkan antara lain dalam panjang jalan utama dan jalan sarad. Sedangkan untuk iklim mikro bisa dinyatakan dalam keterbukaan tegakan di mana semakin banyak hutan rusak semakin besar tingat keterbukaan. Beberapa cara penilaian kerusakan tegakan dapat disebutkan di antaranya : (1) Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 564/KPTS/IV-BPHH/1989 tentang TPTI menyebutkan bhwa pohon inti yang merupakan pohon harapan untuk kembali bisa dipanen pada periode 35 tahun berikutnya dikatakan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut : a.Tajuk pohon rusak lebih dari 30 % atau cabang pohon/dahan besar patah. b.Luka batang mencapai kyu berukuran lebih dari kliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 meter. c.Perakarannya terpotong atau 1/3 banir rusak. (2) Sheffield dan Michael (1996) bahwa untuk menaksir perubahan tegakan yang disebabkan oleh kerusakan dapat dikelompokan menjadi 4 kelas. Tiap kelas menggambarkan bentuk dan ukuran kerusakan, sekalipun sebenarnya sulit untuk bisa memastikan keberadaan lanjutannya untuk dapat hidup terus atau tidak. (3) Syme et al., (1996) juga membagi kerusakan tegakan dalam 4 kelas. Sama seperti Sheffield dn Michael (1996); sedang Gadrner et al., (1996) membaginya dalam 8 kelas. (4) Sheffield dan Michael (1996) menyatakan penilaian yang berkaitan dengan perubahan iklim mikro yang ditentukan melalui tingkat kerusakan tajuk yang contoh penerapannya untuk tiang dan pohon.

Menurut Sheffield dan Michael (1996) Penetapan ambang batas belumlah bersifat defenitif; melainkan bersifat pendekatan dengan pertimbangan dasar penilaian cukup logis dan bisa diterapkan di lapangan. Diposkan oleh elfisuir di 17:46 0 komentar Label: PENETAPAN AMBANG BATAS HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU

TANAH HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU


TANAH HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010 Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15 % sampai dengan 20 % dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20 % sampai dengan 25 % bahkan kadang-kadang sampai 90 % mengandung bahan organik (Buckman dan Brady, 1982). Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa gambut merupakan statu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (a) selalu tergenang air, (b) komposisi jenis pon beraneka ragam, mulai dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum Mix. Sampai tegakan campuran, (c) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, (d) mempunyai perakaran yang khas, dan (e) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam. Tanah gambut, merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama taah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1983). Tanah gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60 % bahan organik (Driessen, 1977). Tanah gambut atau tanah organik dimaksud dikenal juga sebagai tanah organosol atau histosol (Suhardjo, 1983). Menurut sistem kalsifikasi taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut termasuk kedalam ordo histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20 % tekstur pasir atau lebih dari 30 % tekstur liat. Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut sistem klasifikasi tersebut, ordo histosol berdasarkan bahan asal dan tingkat perombakannya dibedakan menjadi empat sub-ordo, yaitu folist, fibrist, hemist dan saprist. Subordo tersebut berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan penciri dan temperaturnya dibedakan menjadi beberapa kelompok besar. Untuk daerah tropika nama-nama kelompok besar antara lain : tropofolist, tropofibrist, tropohemist dan troposaprist. Kelompok besar ini secara umum mempunyai perbedaan temperatur rata-rata musim panas dan dingin kurang dari 50 C. Tanpa memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu : (1) Gambut endapan; Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat jelas di profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan tipe gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam keadaan sangat keras dan

bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman. (2) Gambut berserat; Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin terdapat dipermukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi, sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat di atas endapan. (3) Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian. Menurut Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu : (1) Gambut ombrogen; Gambut ombrogen terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0 4,5. (2) Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar dan mempunyai pH yang relatif tinggi. (3) Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk karena ketinggian tempat gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di daerah pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi utamanya Sphagnum. Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al., 1988) yaitu : (1) Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air banyak, berwarna kuning sampai pucat. (2) Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih banyak mengandung serabut, berat jenis antara 0,07 0,18, kadar air banyak, berwarna coklat muda sampai coklat tua. (3) Sapric yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak dengan warna hitam dan coklat kelam. Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar tergolong kedalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur lain dari luar yaitu yang dibawa air pasang. Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975). Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di dawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Vegetasi bahan pembentuk tanah gambut dipengaruhi oleh keadaan iklim, kualitas dan tata air tempat pembentukannya. Di daerah dataran tinggi dengan suhu yang dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus dan mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai. Vegetasi rawa atau air semula berupa rumputrumputan yang membentuk bahan organik lebih dahulu di lapisan bawah, untuk kemudian ditimbun oleh bahan vegetasi yang lebih besar di atasnya. Oleh karena itu, tanah gambut mempunyai lapisan-lapisan dengan perbedaan kualitas karena vegetasi yang memberikan bahan organik berbeda (Suhardjo, 1983). Selanjutnya Suhardjo (983) menyatakan bahwa sifat-sifat fisik tanah gambut ditentukan oleh tingkat dekomposisi atau kematangan bahan organik pembentuk gambut. Tingkat kematangan

gambut ini dicirikan oleh kandungan serat bahan organik tersebut. Yang dimaksud serat adalah potongan atau kepingan jaringan tumbuhan yang tertahan oleh jaring dengan ukuran mesh 100, tidak termasuk akar hidup dan struktur jaringannya masih dapat dikenali. Fibric adalah tingkat gambut yang dekomposisinya rendah, duapertiga volumenya terisi serat. Tingkat kematangan hemic sedang dengan kandungan seratnya sepertiga sampai duapertiga volumenya. Sapric adalah bahan organik yang paling lapuk, kurang dari sepertiga volumenya masih berupa serat. Jumlah, bentuk dan ukuran serat menentukan jumlah dan sebaran ukuran pori. Ruang pori total (RPT) ditentukan oleh bobot, isi dan bobot jenis rata-rata (average specifik density) gambut, sedang sebaran ukuran pori dipengaruhi oleh sebaran fraksi/serat dan struktur. Jumlah dan sebaran ukuran pori menentukan sifat-sifat retensi air, daya simpan air dan daya hantar hidrolik (Adhi, 1984). Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh ketebalan lapisan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral di bawah lapisan gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut dalam proses pembentukan dan pematangannya (Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, fosfor dan kalium rendah, kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986). Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut lebih kaya unsur hara dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air hujan saja. Kualitas air mempengaruhi kesuburan gambut yang terbentuk. Sedangkan tingkat kesuburan tanah gambut ditentukan oleh kandungan N, K2O, P2O5, CaO dan kadar abu. Semakin tinggi nilai-nilai tersebut semakin tinggi kesuburannya (Fleischer dalam Supraptohardjo, 1974). Menurut Hakim (1986) berdasarkan nilai-nilai tersebut menggolongkan kesuburan tanah gambut menjadi tiga yaitu : (1) Gambut eutropik yang subur (2) Gambut mesotropik dengan kesuburan sedang (3) Gambut oligotropik dengan kesuburan rendah Lokasi HPH PT. Yos Raya Timber didominasi oleh gambut ombrogen oligotropik, yaitu gambut yang miskin dengan sumber penggenangan air hujan. Pada gambut ombrogen semakin ke arah tengah lahan gambut terjadi penurunan tingkat kandungan hara. Kecendrungan semakin menurunya kesuburan tanah dicirikan oleh menurunya tinggi tajuk vegetasi hutan, menurunya bahan kering per satuan luas, menebalnya daun serta menurunnya rata-rata diameter pohon. Ketidakmampuan pohon-pohon tumbuh optimal dibagian tengah gambut karena keadaannya yang sangat ekstrim, khusunya pH dan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Anwar et al., 1984). Sebagai akibat dari keadaan di atas, formasi hutan gambut ombrogen sering memiliki variasi lokal sebagai phasic communities (Anderson, 1961). Menurut Rose dalam (Mile, 1997), hutan-hutan tropika basah yang tergolong ke dalam hutan tropika basah dataran rendah (lowland tropical rain forest) dan tinggi (higland tropical rain forest) sebagian besar tumbuh pada tanah yang tergolong marginal. Menurut Prichet (1979), hutan alam tersebut dapat tumbuh dengan baik dan lestari pada tanah yang berpelapukan lanjut karena memiliki sistem perputaran hara tertutup (closed system nutrients cycling) yang terjaga dengan baik. Jordan (1985) menyatakan, bahwa hal ini dimungkinkan karena kondisi hutan alam yang multi strata baik tajuk maupun sistem perakaran serta kondisi iklim (terutama curah hujan dan temperatur) yang dapat mendukung terjadinya pengembalian hara yang cepat serta pemanfaatannya secara efesien. Selanjutnya Prichet (1979) menyatakan bahwa kemampuan hutan tropika basah Indonesia bukan

disebabkan oleh kesuburan tanahnya, melainkan semata disebabkan oleh adanya siklus hara yang ketat dan tertutup yang mampu menyumbat peluang kebocoran unsur hara. Perjalanan suksesi hutan menuju klimaks, pada hakekatnya merupakan proses pembangunan ekosistem. Pada saat suksesi mencapai klimaks, ekosistem yang dibentuknya berada dalam keadaan kondisi yang paling baik. Tanaman yang berkembang pada kondisi ini didukung oleh lingkungan tumbuh yang paling optimal. Dehutanisasi yang diikuti oleh konversi hutan menjadi berbagai macam fungsi, betapun mulianya tujuan program ini, secara ekologi pada hakekatnya memundurkan perjalanan suksesi dari kondisi klimaksnya. Merubah watak siklus hara yang ketat dan tertutup menjadi longgar dan terbuka akan memberikan peluang lebar terhadap proses kebocoran hara mineral. Jordan (1985) menyatakan bahwa, hasil fotosintesa hutan tropis lebih banyak di simpan di daun, sedangkan tanaman hutan temperate lebih banyak disimpan di kayu. Dengan demikian, walaupun produk bersih tanaman (net primary productivity) hutan tropis lebih besar, namun lebih disebabkan oleh banyaknya produksi daun. Banyaknya produksi daun menyebabkan sebagian besar unsur hara yang ada di dalam hutan tropika basah tersimpan pada biomas tanaman dan bukan pada tanah hutan sebagaimana pada hutan temperate, dimana sebagian besar unsur haranya tersimpan di tanah dan lantai hutan. Hal ini dikarenakan adanya proses pembentukan unsur hara yang terjadi secara berkala melalui proses pengguruan daun. Oleh karena itu dehutanisasi hutan tropika basah berakibat kemerosotan hara tanah secara drastis dibandingkan dengan proses dehutanisasi daerah temperate (nontropis). Diposkan oleh elfisuir di 17:42 0 komentar Label: TANAH HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU

IKLIM HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU


IKLIM HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010 Iklim adalah sintesis hasil pengamatan cuaca untuk memperoleh deskripsi secara statistik mengenai keadaan atmosfier pada daerah yang sangat luas (Barry, 1981 dalam Wenger, 1984). Berdasarkan batasan ruang dimana nilai-nilai yang ada masih berlaku, maka iklim dibedakan kedalam iklim makro dan iklim mikro. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984) iklim makro adalah iklim yang nilai-nilainya berlaku untuk daerah yang luas, sedangkan iklim mikro hanya berlaku untuk tempat atau ruang yang terbatas. Dikemukakan lebih lanjut bahwa iklim makro dipergunakan untuk menentapkan tipe iklim, zona iklim, zona vegetasi dan sebagainya, sedangkan iklim mikro berhubungan dengan habitat atau lingkungan mikro. Menurut Kramer dan Kozlowski (1960) dalam Idris (1996), faktor-faktor iklim yang penting bagi hidup dari pertumbuhan individu dan masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban udara, gas udara dan angin. Lingkungan radiasi di dalam sebuah hutan berbeda dengan daerah tidak berhutan karena permukaan yang mengabsorbsi di dalam hutan umumnya berbeda di atas tanah dengan jarak yang terlihat nyata. Pada kebanyakan tajuk, permukaan aktif yaitu permukaan yang terbanyak menerima radiasi matahari datang adalah lapisan vegetasi yang berada di atas, yaitu lapisan dengan tingkat kerapatan daun maksimum. Lapisan ini mengintersepsi dan mengabsorbsi radiasi matahari dan gerakan angin terbanyak dari udara di atasnya. Apabila tajuk menjadi relatif lebih

terbuka maka radiasi matahari dan angin akan masuk lebih dalam ke dalam tajuk Nguyen and Sist. 1998; Noor dan Smith, 1987; Sukadaryati et al., 2002). Pada daerah terbuka permukaan aktif adalah bagian atas dari lapisan serasah/humus, atau apabila tidak ada serasah maka permukaan aktif adalah permukaan tanah. Pada daerah bekas pembalakan, permukaan itu adalah permukaan tanah dan vegetasi yang tersisa. Kerapatan batang dan penutupan tajuk menentukan bagian dari radiasi yang dapat mencapai lantai hutan (Grates, 1980 dalam Wenger, 1984). Jumlah cahaya yang mencapai lantai hutan mengendalikan suhu tanah yang akan berpengaruh terhadap reproduksi dan vegetasi bawah. Energi pancaran (radiasi) adalah energi yang berpindah dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Dengan dimensi energi, satuan yang digunakan adalah kalori (kal.), erg atau joule (J). Jumlah energi yang diterima atau dipancarkan per satuan luas dinamakan limpahan pancaran (radiant flux) disingkat limpahan, dengan satuan k al./detik atau J/detik = Watt (W). Sedangkan limpahan pancaran yang diterima atau dipancarkan per satuan luas dinamakan kerapatan limpahan pancaran (radiant flux density) disingkat kerapatan limpahan dengan satuan kal./cm2/detik ( de Rozari, 1987). Menurut de Rozari (1987) suhu udara di dekat permukaan mempunyai arti penting bagi kehidupan oleh karena selain kebanyakan bentuk kehidupan terdapat di permukaan, juga ada kaitan erat antara beberapa proses kehidupan dengan suhu. Dari segi biologi, profil suhu udara penting untuk diketahui karena adanya perbedaan yang tajam antara suhu permukaan dengan udara di atasnya, menyebabkan sebagaian organisme hidup berada seketika pada dua rejim suhu yang sangat berlainan. Sebuah kecambah yang baru muncul, memperoleh cekaman bahang luar biasa dibandingkan dengan cekaman yang akan dialaminya kemudian. Sedangkan dari segi fisika, lebih lanjut dikemukakan bahwa profil suhu menentukan laju pemindahan momentum, bahang serta bahan. Di sisi lain, keadaan dimana suhu udara berkurang menurut ketinggian akan mendukung pemindahan golak, sehingga profil suhu cendrung menunjukan penurunan secara adabiatik kering (dry adabiatic lapse rate). Sedangkan keadaan dimana suhu udara bertambah menurut ketinggian condong menekan pemindahan golak dan dengan demikian mempertajam gradien suhu ( de Rozari, 1987). Dalam sebuah hutan, suhu udara maksimum biasanya lebih rendah dan suhu minimum lebih tinggi daripada di daerah yang terbuka. Selama siang hari, daun-daun dalam tajuk menghalanghalangi masuknya radiasi matahari ke lantai hutan. Suhu di dalam tajuk dipertahankan melalui transpirasi dari daun-daun. Pengaruh ini mencegah suhu pada siang hari meningkat secara cepat; dengan demikian ruangan di bawah tajuk lebih dingin daripada daerah terbuka selama siang hari. Pada malam hari tajuk pohon mencegah kehilangan panas yang cepat dari lapisan batang melalui radiasi ke angkasa. Oleh karena itu, suhu udara tetap lebih tinggi dibadingkan dengan di luar hutan (Gates, 1980 dalam Wenger, 1984). Menurut Wenger (1984) dan Sukadaryati et al., (2002) suhu maksimum di dalam hutan adalah berada di bagian atas tajuk. Di bawah lapisan ini, suhu biasanya tetap sampai ke lantai hutan, bahkan sedikit berkurang jika tajuknya rapat. Apabila tajuk hutan jarang, suhu udara dekat lantai hutan dapat menjadi lebih panas ketimbang suhu udara di dalam tajuk. Pada malam hari puncak tajuk menjadi lebih dingin, yang mengakibatkan inversi sehingga dapat menjerat debu, asap dan CO2 di dalam dan di bawah tajuk. Pada tajuk yang jarang, udara yang dingin dapat turun dan berkumpul di atas permukaan lantai hutan. Jumlah air atau uap air di udara berpengaruh secara langsung terhadap tumbuhan sebagai cekaman lingkungan. Udara kering yang menyebabkan pengeringan tanah yang sangat cepat dan

transpirasi tanaman yang luar biasa berpengaruh buruk terhadap tanaman itu sendiri. Kandungan air yang terlalu banyak diudara menghalang-halangi pendinginan daun melalui evaporasi dan dapat mengakibatkan cekaman suhu (thermal stress) (Gates, 1980 dalam Wenger, 1984). Kelembaban relatif sangat dipengaruhi oleh suhu. Perubahan suhu harian mengakibatkan adanya variasi harian dari kelembaban nisbi. Jika suhu meningkat selama jam-jam siang hari, maka kelembaban nisbi akan berkurang sampai mencapai nilai terendah dekat tengah sore hari. Bilamana kelembaban nisbi meningkat sampai mencapai nilai terttingginya sesaat sebelum matahari terbut, maka pada saat itu suhu mencapai nilai terendah. Umumnya kelembaban di dalam sebuah hutan adalah lebih tinggi daripada tempat terbuka dikarenakan adanya transpirasi dari daun-daun dan suhu yang rendah. Selama siang hari, tanah lantai hutan dan tajuk merupakan sumber kandungan air. Oleh karena itu kelembaban nisbi selama siang hari adalah tertinggi di dekat tanah lantai hutan, lebih rendah pada lapisan batang dan lebih tinggi dari daerah tajuk. Fenomena ini disajikan Gates, (1980 dalam Wenger, 1984). Kelembaban relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni berkisar 90 % - 96 %, baik dalam hutan alami maupun hutan gundul atau lahan kosong. Pada musim kemarau, kelembaban menurun menjadi 80 %, dan pada bulan-bulan kering berkisar 0 % - 84 % Pada siang hari di muism kemarau, kelembaban dapat mencapai 67 % - 69 %. Tetapi pada pai hari, kelembaban pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan, yaitu dapat mencapai 90 % - 96 % (Rieley, et al., 1996). Penelitian menunjukan, bahwa unsur tertentu yang terkandung di udara diperlukan untuk pertumbuhan normal bagi tumbuhan. Unsur penting ini harus berada dalam bentuk yang dapat digunakan tumbuhan dan dalam kosentrasi yang optimum untuk pertumbuhan suatu tanaman (Rieley, et al., 1996).. Tanaman tingkat tinggi mendapatkan sebagian besar karbon (C) dan oksigen (O) langsung dari udara karena fotosintesis. Sedangkan hidrogen (Hukum) diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari air dalam tanah. Nitrogen diperoleh tumbuhan dari udara tanah secara tidak langsung oleh leguminose. Unsur esensial lainnya diperoleh dari bagian tanah yang padat (Buckman dan Bardy, 1982). Penjelasan di atas tidak boleh diartikan bahwa jaringan tumbuhan dibangun dari unsur hara tanah, yang benar adalah kebalikannya yaitu bahwa besarnya 94 sampai 99,5 % jaringan tumbuhan yang segar terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen dan hanya 0,5 sampai 5 atau 6 % berasal dari tanah (Daubenmire, 1974). Wenger (1984) menyatakan bahwa aliran panas dan uap dari daun-daun, pengangkutan karbon dioksida ke daun, penyebaran penyakit, pengakutan aerosol dan unsur-unsur kimia penting serta pemencaran api seluruhnya dikendalikan oleh angin setempat di dalam dan di dekat tajuk serta kecepatan angin dan sifat golak galik udara di luar tajuk. Secara umum, semakin tinggi kecepatan angin dan aliran golak galik udara di luar tajuk, maka semakin efesien diffusi dan ekspresi gas, cairan atau material padat yang melayang diudara. Tajuk-tajuk hutan memiliki tahanan (drag) di bagian atasnya yang menghambat aliran angin sehingga kecepatan angin di dekat tajuk menjadi lambat. Perubahan kecepatan angin menurut ketinggian ini disebut profil angin (wind profile).Di atas tajuk yang kasar dan luas, profil angin dapat diduga dengan menggunakan rumus berikut (Grace, 1977 dalam Wenger, 1984). Selanjutnya Wenger (1984) menyatakan bahwa kebanyakan tajuk-tajuk hutan memang ada sedikit peningkatan kecepatan angin yang relatif di lapisan batang pohon. Akan tetapi untuk kebanyakan tujuan praktis kecepatan angin di lapisan tersebut, yaitu di bawah bagian paling rapat dari tajuk dianggap konstan menurut ketinggian.

Buckman dan Brady (1982) mengemukakan, bahwa perubahan kimia dan terutama biologi di dalam tanah, tidak akan berlangsung dengan cukup intensif jika suhu tertentu tidak dipertahankan. Oleh karena itu, suhu tanah merupakan faktor yang sangat penting. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa efek suhu juga bertanggung jawab terhadap pelapukan fisik yang terjadi di dalam tanah. Pendinginan dan pemanasan yang berganti-ganti menimbulkan tekanan pada agregat dan bongkah tanah yang akibatnya mengubah keadaan fisik tanah. Suhu tanah yang sangat mempengaruhi aktivitas biotis awal dan pertumbuhan pohon paling sedikit tergantung kepada tiga faktor, yaitu (1) jumlah bersih panas yang diadsorbsi, (2) energi panas yang diperlukan yang membawa perubahan pada suhu tanah dan (3) energi panas yang dibutuhkan untuk perubahan lain seperti evaporasi (Buckman dan Bardy, 1982). Menurut Gates (1980) dalam Wanger (1984), jumlah panas yang diadsorbsi oleh tanah ditentukan oleh banyaknya radiasi matahari efektif yang mencapai bumi dan faktor-faktor setempat seperti warna tanah, kemiringan dan vegetasi penutup yang mengubah jumlah bersih panas yang masuk. Dubenmire (1974) menyatakan bawa warna permukaan tanah mempengaruhi jumlah radiasi yang dapat diadsorbsi dan mengatur jumlah panas yang disimpan dan diradiasikan kembali ke atmosfir. Di sisi lain di kemukakan, bahwa pada pegunungan-pegunungan yang tinggi di daerah lintang tengah belahan bumi utara, pengaruh kemiringan pada lapangan yang terbuka dapat menjadi sangat ekstrim, di mana suhu minimum dari tanah pada kemiringan ke selatan lebih tinggi ketimbang suhu maksimum tanah pada kemiringan ke utara. Adanya naungan juga sangat mempengaruhi pemanasan tanah oleh radiasi matahari, dan di bawah naungan yang lebat suhu permukaan tanah lebih dingin dari pada suhu udara di atasnya selama waktu terpanas dari siang hari. Akan tetapi menurut de Rozari (1987), hubungan di atas belum tentu berlaku umum dan perlu dipelajari untuk setiap macam tanah yang ada. Menurut Noor (2001) suhu gambut sendiri lebih besar daripada suhu udara antara hutan dan lahan kosong. Suhu permukaan gambut hampir tetap. Jika keadaan tertutup hutan, suhu gambut berkisar 25,5 0C 29,0 0C dan jika keadaan terbuka berkisar 40,0 0C 42,5 0C. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktivitas mikro organisme sehingga perombakan gambut lebih dipercepat dan intensif, sehingga mempercepat terjadinya degradasi gambut, Oleh karena ruang gerak kehidupan tumbuh-tumbuhan dan mahkluk lainnya terdapat di lapisan terbawah atmosfir, di dekat tanah, maka apabila perhatian difokuskan iklim sebagai salah satu unsur ekosistem sumber daya hutan, yang lebih sangat berkaitan untuk dikaji dalam konteks ini adalah iklim mikro. de Rozari (1987) menyatakan, iklim mikro sebagai keadaan udara dalam zona yang dibatasi di bagian atas oleh arus yang dicapai tanaman tertinggi dan di bagian bawah oleh tanah atau bagian terbawah dari tanah yang masih bisa dicapai oleh infiltrasi udara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa lapisan terbawah dari atmosfir ini penting karena pada lapisan inilah kebanyakan parameter cuaca mengalami perubahan yang mencolok dalam satu kurun waktu. Penelitian mengenai perubahan iklim mikro hutan akibat kegiatan penebangan dan penyaradan di Indonesia bisa dikatakan hampir belum dilakukan. Dengan demikian sangat sulit kiranya memperoleh gambaran keadaan iklim mikro setelah penebangan atau penyaradan secara kuantitatif. Menurut Marsono dan Sastrosumarto (1981) dengan terbukanya tajuk dan terjadinya kerusakan mekanis pada tumbuhan dan tanah hutan akibat kegiatan penebangan dan penyaradan maka berubah pula iklim mikro hutan. Intensitas cahaya, kelembaban, suhu, angin dan parameter iklim mikro lainnya adalah faktor-faktor yang berubah akibat penebangan dan penyaradan. Perubahan

iklim mikro ini penting untuk dipantau karena akan mempengaruhi sebaran jenis lokal. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kendatipun begitu banyak faktor lingkungan yang berubah akibat penebangan dan penyaradan, namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan kelembaban sajalah yang sangat nyata menentukan pertumbuhan tingkat semai. Tingkat semai adalah yang pertama kali yang menderita dengan adanya perubahan iklim mikro akibat pembukaan hutan. Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan adanya pembukaan hutan intensitas cahaya yang mencapai lantai hutan akan meningkat, suhu udara dan tanah meningkat dan kelembaban udara berkurang. Peranan suhu yang penting dalam pertumbuhan pohon atau vegetasi adalah suhu udara dan suhu tanah. Suhu pada tajuk pohon akan mempengaruhi pertumbuhan karena suhu mempengaruhi kecepatan respirasi dan transpirasi. Sedangkan meningkatnya suhu tanah dapat mematikan aktifitas metabolisme (Spurr dan Barnes, 1980). Menurut Smith (1983) pada hutan tropis suhu permukaan C karena sinar matahari tertahan olehrtanah hampir tetap yaitu 27 vegetasi, sehingga hampir sama dengan suhu udara. Sanchez dalam Bismark (1990) mengatakan bahwa bila pohon di hutan banyak ditebang, C. Karena radiasi yangrmaka suhu permukaan tanah dapat meningkat 7 - 11 diberikan pada permukaan lebih tinggi. Secara tioritis suhu yang meningkat di bawah tegakan akibat penebangan dan penyaradan memberi petunjuk bahwa kelembabannya menurun. Kemungkinannya adalah vegetasi sebagai salah satu sumber kandungan air sebagian telah hilang karena penebangan dan penyaradan. Akan tetapi dugaan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut melalui penelitian di lapangan. Diposkan oleh elfisuir di 17:41 0 komentar Label: IKLIM HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU

You might also like