You are on page 1of 10

PEMBATASAN HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH

Yulianto Dwi Prasetyo, Aptnh, M.H.

Latar Belakang Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT) adalah salah satu jenis Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Dalam tata jenjang HPAT di Indonesia, posisi HMNAT berada di bawah Hak Bangsa. Terjadinya HMNAT adalah sebagai pelimpahan unsur publik dari Hak Bangsa sebagai HPAT yang tertinggi di Indonesia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pelimpahan itu dilakukan dengan maksud agar Bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat mencapai tujuan pendiriannya yakni untuk mencapai Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Fakta empiris menunjukkan bahwa pemaknaan HMNAT berkembang penuh dinamika. Menjelang jatuhnya pemerintahan Orde Baru, berbagai pihak mengusulkan agar HMN atas tanah dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) direvisi karena ditengarai telah menjadikan kewenangan di bidang pertanahan, terutama pengadaan tanah (baik dari tanah hak maupun tanah ulayat) menjadi eksesif. Bahkan, pada awal pemerintahan Orde Reformasi gagasan untuk melakukan perubahan konsep Hak Menguasai Negara (HMN) dilontarkan secara terbuka oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal 4 Nopember 1999 di Surat Kabar Harian Republika. Pada waktu itu, otoritas pertanahan meyakini bahwa berbagai ekses negatif yang timbul dalam proses pengadaan tanah, seperti mudahnya terjadi peralihan hak atas tanah dan hak ulayat kepada pihak lain bersumber pada besarnya kekuasaan negara atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan ditafsirkan secara otentik dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Muhammad Bakri menjelaskan, peraturan perundang-undangan di Indonesia memberi kekuasaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Akibatnya terjadi dominasi hak menguasai negara atas tanah (penulis buku mengistilahkan hak menguasai tanah oleh negara) terhadap hak ulayat dan

hak perorangan atas tanah sehingga memberi peluang kepada negara untuk bertindak sewenangwenang dan berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah. Oleh karena itu hak menguasai negara perlu dibatasi.[1] Merujuk uraian di atas terlihat ada perbedaan-perbedaan penafsiran atas Hak Menguasai Negara Atas Tanah; dengan menggunakan metode penelitian empiris, socio legal studies tulisan ini berupaya menelusuri, mengungkap, dan menganalis substansi hak menguasai negara atas tanah, substansi kewenangan pengadaan tanah dan substansi pembatasan hak menguasai negara. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Hak Menguasai Negara Atas Tanah 2. Kewenangan Pengadaan Tanah 3. Pembatasan Hak Menguasai Negara Analisis Hak Menguasai Negara (HMN) Atas Tanah Di dalam konstitusi negara, keberadaan hak menguasai negara disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Secara teoretis, pengaturan itu sesungguhnya bersifat deklaratif. Artinya, dengan atau tanpa ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas, negara Indonesia tetap sebagai pemegang hak menguasai negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan jalan pemikiran yang seperti itu dapat dipahami pandangan van Vollenhoven yang menyatakan: ... sebenarnya hak negara atas tanah untuk mengatur dan sebagainya itu tidak lain daripada kekuasaan negara terhadap segala sesuatu; dan tanah adalah suatu speciment, suatu hal khusus saja; jika di dalam hal ini kita perlu memberi bentuk lain, maka sudah barang tentu tidak boleh mengurangkan dan merobah kedudukan negara terhadap segala sesuatu itu.[2] Namun demikian, penyebutan secara tegas kewenangan negara atas tanah dengan hak menguasai negara tetap lebih bersifat positif, karena dengan penyebutan itu berarti dilakukan penegasan

bahwa hak menguasai negara melekat pada seluruh tanah yang ada dalam lingkungan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA secara tegas pula dijabarkan isi kewenangan dari hak menguasai negara tersebut. Salah satu isinya adalah mengatur dan menyelenggarakan persediaan tanah. Substansi Pasal 2 ayat (2) dapat ditafsirkan termasuk persediaan tanah bagi keberlanjutan pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah bagi persediaan tanah dapat dilakukan secara sukarela (voluntary) seperti jual beli, penyerahan atau pelepasan hak; dapat pula dilakukan secara wajib (compulsory) seperti pencabutan hak dan nasionalisasi. Oleh karena pengadaan tanah secara wajib pada hakikatnya merupakan cara paksa (sepihak), maka pengaturan pengadaan tanah secara wajib harus dilakukan atas dasar undang-undang. Dalam perspektif teoretis, terjadinya hak menguasai negara yang ditegaskan dalam konstitusi negara adalah karena pelimpahan unsur publik dari hak bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam hukum tanah nasional (Pasal 1 UUPA). Karena yang dilimpahkan adalah unsur publik, maka secara otomatis isi kewenangan hak menguasai negara pun semata-mata berunsur publik sebagaimana yang secara eksplisit tampak pada Pasal 2 ayat (2) UUPA. Muhammad Bakri menyatakan bahwa kewenangan unsur publik hak menguasai oleh negara itu meliputi kewenangan negara mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelen daad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichtoudensdaad).[3] Dalam perkembangan selanjutnya, pengaturan hak menguasai negara dalam peraturan keagrariaan dan sumberdaya alam berlangsung tanpa arah yang jelas. Kalau dicermati sistem pengaturan hak penguasaan atas sumber-sumber agraria di Indonesia, seyogianya UUPA merupakan induk dari semua aturan keagrariaan dan sumberdaya alam. Sebagai contoh, hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi pun diatur di dalam Pasal 8 UUPA. Dalam Pasal 8 UUPA ditentukan: Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa. Seharusnya, undang-undang yang mengatur tentang pertambangan menjadikan Pasal 8 UUPA ini sebagai landasan penyusunannya. Namun kenyataan hukum Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua undang-undang sektoral mengenai keagrariaan dan sumberdaya alam disusun tanpa mengindahkan UUPA. UUPA memang masih berlaku, tetapi dalam praksis hukumnya hanya dipandang sebagai landasan pengelolaan pertanahan semata.

Dengan perkataan lain, UUPA dipetieskan, memang bukan dipetimatikan. UUPA secara normatif masih berlaku sebagai undang-undang bagi keagrariaan, namun dalam praktiknya tidak diacu dalam penyusunan undang-undang sektoral lainnya, seperti kehutanan, perairan, dan pertambangan. Para pendukung pemetiesan UUPA berdalih bahwa politik perundang-undangan Indonesia tidak mengenal undang-undang payung sehingga tidak ada kewajiban hukum untuk menjadikan UUPA sebagai acuan penyusunan undang-undang sektoral. Sesungguhnya, pengabaian UUPA dalam penyusunan undang-undang keagrariaan dan sumberdaya lainnya itu berakar pada perbedaan kebijakan pembangunan dalam penyelenggaraan negara. Para penyelenggara negara di masa Orde Lama konsisten pada amanat konstitusi yang ingin mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui politik agraria yang populis. Watak populisme UUPA telah teruji secara akademis, sayangnya ketika era Pemerintahan Orde Baru, populisme kebijakan keagrariaan berubah seiring dengan perubahan paradigma pembangunan yang bertumpu pada pemilik modal (betting on the strong). Karena keberpihakan kepada pemilik modal inilah, maka berbagai perundang-undangan sektoral produk Orde Baru dikondisikan untuk mendahulukan kepentingan si empunya modal daripada rakyat pada umumnya. Harapannya, keberpihakan kepada si empunya modal akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan rakyat juga (trickle down effect). Akibatnya, politik hukum perundang-undangan sektoral ini akhirnya berwatak pragmatis mendukung kepentingan si pemilik modal yang dipercaya akan menjadi pahlawan kemakmuran. Berbagai kebijakan Pemerintah Orde Baru ditujukan untuk memfasilitasi kepentingan usaha para pemilik modal. Meskipun pada akhirnya catatan sejarah menunjukkan bahwa ketika negara ini dalam keadaan sangat membutuhkan modal pembangunan, si pemilik modal tidak dapat membuktikan dirinya sebagai pahlawan kemakmuran. Kewenangan pengadaan tanah Kewenangan pengadaan tanah dalam konstitusi menimbulkan pertanyaan; sejauhmana urgensi pengaturan konstitusi terhadap pengadaan tanah untuk kepentingan umum; apakah pengaturan itu penting secara eksplisit dinyatakan dalam konstitusi negara; apakah tanpa pengaturan secara eksplisit akan mengurangi landasan konstitusional negara dalam melakukan tindakan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Di Amerika Serikat kewenangan untuk mengambil alih (secara wajib/ sepihak/paksa) tanah yang dipunyai masyarakat bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum secara tegas dicantumkan pada amandemen kelima konstitusi negara tingkat federal dan konstitusi negaranegara bagiannya. Henry Campbell Black menyatakan: In the United States, the power of eminent domein is founded in both the federal (Fifth Amend.) and state constitutions. The Constitution limits the power to taking for a public purpose and prohibits the exercise of the power of eminent domein without just compensation to the owners of the property which is taken. The process of exercising the power of eminent domain is commonly referred to as condemnation, or expropriation. [4] Selanjutnya ditegaskan: Eminent domein is the highest and most exact idea of property remaining in the government, or in the aggregate body of the people in their sovereign capacity. It gives a right to resume the possession of the property in the manner directed by the constitution and the laws of the state, whenever the public interest requires it. Bagi penulis, makna pencantuman dalam konstitusi Amerika Serikat tersebut tetap bersifat deklaratif. Sebab, sebelum amandemen kelima konstitusi negaranya, secara teori hukum negara itu tetap memiliki kewenangan untuk mengambilalih secara wajib tanah milik warganegaranya demi kepentingan umum. Konfirmasi adanya the power of eminent domein dalam konstitusi mungkin diperlukan oleh karena hakikat negara tersebut sebagai negara yang hukum tanahnya berfalsafahkan individualistik-liberal. Sehingga pada waktu tertentu ketika suasana kebatinan rakyat sangat individualis terhadap hak-hak atasnya, maka perlu ditegaskan bahwa konstitusi negaranya memiliki the power of eminent domein. Tegasnya, pencantuman kewenangan itu sangat penting oleh karena fungsi sosial setiap hak atas tanah adalah sesuatu yang timbul kemudian karena proses sosialisasi (koheren). Konsepsi/falsafah hukum tanah nasional kita yang komunalistik-religus (Pasal 1 UUPA) sesungguhnya secara tegas bermakna bahwa sejak awal, semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (inherent). Oleh karena itu, pencantuman dalam konstitusi kewenangan negara untuk mengambilalih tanah warganegaranya demi kepentingan umum secara psikologis dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan untuk dilakukan. Bahkan pada UUD 1945 hasil keempat amandemen pencantuman eksplisit itu tidak dilakukan. Apalagi, amandemen UUD 1945 berlangsung pada saat-saat diawalinya proses demokratisasi, sehingga pemikiran ke arah

pencantuman kewenangan itu dalam amandemen UUD 1945 adalah sesuatu yang sulit terjadi karena dianggap keluar dari suasana eforia-demokrasi. Penulis bersikap bahwa rujukan konstitusional untuk mengambilalih tanah rakyat demi kepentingan umum tetap cukup memadai dengan adanya ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Terutama, jika ditinjau dari sisi sifat ketentuan konstitusi sebagai aturan dasar. Norma-norma hukum dalam hukum dasar masih merupakan norma tunggal yang masih mengatur hal-hal umum dan secara garis besar sehingga masih belum dapat langsung berlaku mengikat umum.[5] Oleh karena itu, penulis tidak sependapat dengan Muhammad Bakri yang menyatakan bahwa perundang-undangan Indonesia memberikan kewenangan yang terlalu dominan kepada negara dan bahkan kewenangan itu tidak jelas batas-batasnya. Merujuk uraian di atas, dapat dirinci bahwa urgensi pengaturan konstitusi negara terhadap kewenangan mengambilalih tanah warganegaranya demi kepentingan umum tidak merupakan kebutuhan yang krusial. Hal yang justru paling dibutuhkan saat ini adalah adanya aturan pada level undang-undang (dalam arti formal) yang memberikan kewenangan untuk mengambilalih secara wajib (compulsory) tanah warganegara demi kepentingan umum sebagai revisi UndangUndang Nomor 20 Tahun 1961. Undang-undang tersebut secara komprehensif mengatur keterkaitan teknik pengadaan tanah, baik secara sukarela (voluntary) dan wajib (compulsory). Tentu, undang-undang tersebut harus memastikan bahwa setiap pengambilalihan secara wajib itu harus dengan kompensasi yang layak yang didasarkan pada hitungan ganti kerugian yang cermat oleh suatu tim penilai tanah yang berwibawa. Kewenangan Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT) sesungguhnya merupakan kewenangan dari setiap negara terhadap tanah di wilayahnya masing-masing. Jika dalam hal ini perlu diberi bentuk lain, maka sudah tentu tidak boleh mengurangkan dan mengubah kedudukan Negara terhadap segala sesuatu.[6] Pembatasan Hak Menguasai Negara Pengaturan hak menguasai negara dalam konstitusi (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (2) UUPA sesungguhnya bersifat deklaratif, sehingga tidak cukup alasan untuk mencurigai keberadaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (2) UUPA sebagai penyebab kekuasaan negara bersifat hegemonial di zaman orde baru. Namun demikian, hak menguasai negara tetap perlu dibatasi agar pemegang hak menguasai negara terhindar dan tidak

terjerumus dalam kewenangan yang mencelakakan dirinya. Tegasnya, pembatasan hak menguasai negara tentulah dibutuhkan sebab setiap wewenang berpotensi untuk diselewengkan. Namun, pembatasan itu seyogianya tidak dimaksudkan untuk mengkerdilkan kekuasaan negara itu sendiri. Sudah seharusnya negara mempunyai kekuasaan yang besar untuk menata wilayahnya termasuk menata tugas-tugas pemerintahan di bidang pertanahan. Yang penting kiranya Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT) dipastikan untuk diarahkan sungguhsungguh bagi terwujudnya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam kondisi transisional sekarang ini, kekuasaan yang besar itu justru sangat penting di bidang pertanahan agar memadai untuk mengendalikan negara dari rongrongan yang mungkin terjadi termasuk rongrongan eksternal. Saat ini kita semakin jelas merasakan betapa kekuatan asing bekerja terus dalam berbagai cara, antara lain melalui wacana globalisasi dan diskursus mengenai kewenangan negara yang borderless yang terus beresonansi di negara kita termasuk di bidang pertanahan. Tuntutan untuk memperpanjang masa berlaku HGU dan HGB sampai 80 atau 90 tahun dan usulan agar orang asing dapat mempunyai hubungan hukum yang terkuat di Indonesia misalnya, tidak bisa dipungkiri merupakan indikasi dari adanya desakan eksternal tersebut. Kekuasaan negara yang kuat dibutuhkan untuk dapat mengatasi dan mengendalikan intervensi itu. Seyogianya, UUPA sudah melakukan pembatasan secara umum. Penjelasan Umum UUPA memuat pembatasan-pembatasan sebagai berikut: (a) tujuan dari hak menguasai negara itu sendiri; (b) hak atas tanah seseorang dan badan hukum; dan (c) Hak-hak Ulayat masyarakat hukum adat yang secara faktual masih eksis. Tujuan dari hak menguasai negara adalah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur (Pasal 2 ayat (2) UUPA). Hak menguasai negara tidak diperbolehkan digunakan untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu, seperti penguasa sebagaimana Domein Negara di zaman Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, yang dimaksud dengan rakyat Indonesia dalam hal ini meliputi yang ada sekarang dan yang akan datang. Dalam pada itu, pelaksanaan hak menguasai negara harus dalam perspektif

transgenerasi. Pendayagunaan hak menguasai negara yang bersifat populis sekarang ini tidak boleh mengurangi kemampuan rakyat Indonesia di masa mendatang untuk menikmati tujuan dari hak menguasai negara. Jika selama pemerintahan Orde Baru (terutama sekitar 10 tahun menjelang berakhirnya) tampak hak menguasai negara dimanfaatkan untuk memacu

pertumbuhan ekonomi sehingga terkesan lebih berpihak kepada para pengusaha yang sesungguhnya merupakan penyimpangan dari tujuan hak menguasai negara itu sendiri. Tekad pemerintahan reformasi untuk melakukan pemberdayaan ekonomi justru sikap yang kembali kepada tujuan pembentukan UUPA yang sarat dengan semangat kerakyatan. Tujuan hak menguasai negara yang bersifat populistik itu menjadi pembatas bagi tindakan penyelenggara negara dalam mengambil kebijakan dan pembangunan pertanahan. Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT) juga dibatasi oleh hak-hak atas tanah seseorang dan badan hukum. Penjelasan UUPA menyatakan bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak, kekuasaan negara atas tanah lebih luas dan penuh daripada tanah-tanah yang sudah dilekati hak oleh seseorang atau badan hukum. Dengan perkataan lain, negara lebih leluasa menjalankan kekuasaannya atas tanah yang masih berstatus tanah negara, sedangkan bagi tanah-tanah yang sudah dilekati hak, kekuasaan negara atas tanah itu menjadi terbatas, misalnya: dalam keadaan biasa tidak boleh mengambil tanah tersebut tanpa persetujuan dari si empunya dan dalam keadaan memaksa pencabutan hak atas tanah harus dengan gantikerugian yang layak. Oleh karena itu hak-hak atas tanah seseorang atau badan hukum menjadi pembatas kewenangan hak menguasai negara. Penjelasan UUPA juga secara tegas menyatakan bahwa Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT) dibatasi oleh keberadaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat yang secara faktual masih ada. Sekiranya kepentingan umum menginginkan hak ulayat, maka perolehan tanahnya hanya dapat dilakukan setelah masyarakat hukum adat pemegang hak tersebut didengar pendapatnya dalam arti diajak bermusyawarah dan diberikan recognitie. Tegasnya, dalam keadaan biasa, tidak bisa memperoleh tanah ulayat tanpa adanya persetujuan dari masyarakat hukum adat pemegang Hak Ulayat tersebut. Dengan demikian saran Muhammad Bakri untuk melekatkan fungsi sosial[7] terhadap Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT) adalah rekomendasi yang rancu karena ketentuan Pasal 6 UUPA telah menentukan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial; yang lahir dari konsep bahwa semua hak atas tanah yang mempunyai kewenangan privat berasal dari hak bangsa sebagai Hak Bersama Bangsa Indonesia. Penulis menduga bahwa rekomendasi itu juga lahir dari semangat untuk membatasi Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT). Oleh karena lahir dari Hak Bersama, maka logislah kepada semua hak atas tanah yang bersifat pribadi itu dilekatkan fungsi sosial. Sedangkan Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT) adalah

kewenangan yang bersifat publik yang hakikatnya memang ditujukan untuk mewujudkan fungsi kebersamaan dari seluruh rakyat Indonesia. Jelas kiranya, melekatkan fungsi sosial pada Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT) adalah sesuatu yang berlebihan dan bertentangan dengan logika serta rasionalitas hukum tanah nasional. Kesimpulan 1. Hak menguasai negara atas tanah yang ditegaskan dalam konstitusi negara adalah pelimpahan unsur publik dari hak bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam hukum tanah nasional 2. Kewenangan pengadaan tanah dan atau mengambilalih tanah warganegara demi kepentingan umum untuk diatur melalui pengaturan konstitusi negara bukan merupakan kebutuhan yang krusial. 3. Pembatasan hak menguasai negara tetap perlu dibatasi dalam artian agar pemegang hak menguasai negara terhindar dan tidak terjerumus dalam kewenangan yang mencelakakan dirinya. Saran 1. Meskipun Pasal 2 ayat (2) UUPA tidak menyebutkan rincian kewenangan Hak Menguasai Negara tidak seperti ketentuan Pasal 2 ayat (2) itu. Seyogianya hal tersebut dipandang sebagai tafsir otentik dari pengertian Hak Menguasai Negara sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan untuk meruntutkan sistem Hak Penguasaan atas tanah yang konsisten di ambil dari hukum adat. 2. Hal yang paling dibutuhkan saat ini adalah adanya aturan pada level undang-undang (dalam arti formal) yang memberikan kewenangan untuk mengambilalih secara wajib (compulsory) tanah warganegara demi kepentingan umum. 3. Pembatasan hak menguasai negara seyogianya tidak dimaksudkan untuk mengkerdilkan kekuasaan negara itu sendiri. Sudah seharusnya negara mempunyai kekuasaan yang besar untuk menata wilayahnya termasuk menata tugas-tugas pemerintahan di bidang pertanahan. Hal penting adalah Hak Menguasai Negara Atas Tanah (HMNAT) dipastikan untuk diarahkan sungguh-sungguh bagi terwujudnya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam kondisi transisional sekarang ini kekuasaan yang besar itu justru sangat penting di

bidang pertanahan untuk mengendalikan negara dari rongrongan yang mungkin terjadi termasuk rongrongan eksternal. DAFTAR PUSTAKA Buku Bakri, Muhammad, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Penerbit Citra Media, Yogyakarta. Black, Henry Campbell, 1990, Blacks Law Dictionary Definition of the Terms and Pharases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, Edisi Keenam, Penerbit West Publishing Co, St. Paul, Minn., United States of America. Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Penerbit Fakultas Hukum Program Pascasarjana UII Yogyakarta bekerjasama dengan Total Media Yogyakarta. Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Penerbit Djambatan, Jakarta. Soeprapto, Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Sumardjono, Maria Sriwulani, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka Universitas Gadjah Mada pada tanggal 14 Februari 1998.
[1] Muhammad Bakri, Hak Menguasai Atas Tanah (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), 2007, h. 78). [2] dalam, Abdurrahman, 1985: 45. [3] Muhammad Bakri (2007: 247) [4] Henry Campbell Black,1990, h. 523 [5] Maria F.I. Soeprapto, 1998, h. 46 [6] Notonagoro, 1984, h.118

[7] Muhammad Bakri, 2007, h. 260.

You might also like