You are on page 1of 11

1. A.

Eksistensis manusia dalam dunia pendidikan baik manusia sebagai sabjek maupun manusia sebagai objek

Eksistensi merupakan suatu gugatan terhadap filsafat idealisme yang cenderung mempersoalkan realitas secara universal dan

mengabaikan eksistensi individu. Hegel mereduksi personalitas atau eksistensi manusia yang konkrit ke dalam realitas yang abstrak. Padahal, menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai Aku umum tetapi sebagai aku individual dan tidak diasalkan kepada yang lain. Hanya manusia yang bereksistensi eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai individu yang konkrit, karena hanya individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, yang konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika yang konkrit ini direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka realitas yang sesungguhnya sebagai individu yang bereksistensi tercampur dengan realitas-realitas itu. Dengan demikian, individu yang konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan mewujudkan sebagaimana adanya karena tergantung kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku kepada realitas-realitas itu membuat tidak bisa untuk merealisasikan

sebagaimana aku kehendaki. Padahal menurut Kierkegaard, eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya Dengan kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebasan sebagai corak bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu

ke dalam realitas yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat mengambil keputusan atas diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk menentukan pilihanku dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang aku lakukan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena dengan mengambil keputusan atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya Tiga Tahap Eksistensi Manusia Bereksistensi dalam arti berada dalam suatu perbuatan yang wajib dilakukan setiap orang bagi dirinya sendiri. Bereksistensi bearti berani mengambil keputusan yang menentukan hidup. Maka, orang yang tidak berani mengambil keputusan, itu berarti ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Bereksistensi berarti berupaya untuk semakin mewujudkan diri, semakin menjadi individu yang otentik. Semakin otentik berarti semakin menjadi makluk rohani. Tahap Estetis Tahap Estetis, yaitu tahap dimana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikendalikan oleh naluri naluri seksual, kesenangan yang

hedonistik dan biasanya bertindak berdasarkan suasana hati. Cinta dan perkawinan hanya menjadi hambatan. Manusia estetis tidak memiliki pegangan yang pasti, karena hidup hanya berdasar pada trend yang terjadi pada masyarakat pada jamannya. dan hampir tidak dapat

menentukan pilihan, karena semakin banyak yang ditawarkan oleh masyarakat. Golongan orang yang termasuk dalam tahap ini adalah orang-orang yang hidupnya didedikasikan untuk mencari kesenangan, mencari materi tanpa memedulikan sumbernya, mencari pemuasan nafsu, dan mencari popularitas. Hanya ada dua alternatif bagi manusia estetis: bunuh diri atau masuk kedalam tingkatan manusia yang lebih tinggi, yakni etis. Tahap Etis Tahap Etis, yaitu tahap dimana individu mulai menerima kebajikan kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri. Prinsip kesenangan seksual tidak diproyeksikan langsung tetapi melalui pernikahan. Pernikahan adalah langkah awal perpindahan dari eksistensi estetis ke eksistensi etis. Hidup manusia etis memiliki pedoman hidup serta tidak lagi tergantung pada masyarakat dan jamannya. Ia akan berani mengatakan tidak pada suatu trend jika trend itu tidak sesuai dengan pedoman hidupnya. Ia adalah sosok yang sadar akan peran dan otonomi hidupnya. Pada tahap ini rasio yang lebih condong digunakan. Tahap Religius Tahap Religius, pada tahap ini manusia meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Lompatan dari tahap etis ke tahap religius lebih sulit daripada tahap estetis ke tahap etis. Ini karena pada tahap ini individu tidak lagi menggunakan akal rasional tetapi lebih kepada keyakinan subyektif. Kesulitan untuk masuk ke tahap ini adalah paradoks tentang Tuhan itu sendiri (misalnya: adakah Tuhan? Atau jika Tuhan itu Mahabaik mengapa ada kejahatan?) dan tidak mungkin ada penjelasan rasional atas paradoks itu semua, hanya berbekal keyakinan seorang individu dapat masuk ke tahap ini.

Masuk dari tahap estetis ke etis dibutuhkan sebuah komitmen untuk menjadi diri sendiri dan memiliki pedoman hidup terutama kemampuan untuk membedakan yang baik dan salah, bukan hanya sekedar pengetahuan akan tetapi juga penghayatan dan pengamalan. Sementara naik ke tahap religius sedikit sulit, karena akal rasional yang biasa dipakai pada tahap etis harus dihilangkan dan digantikan kepercayaan pada suatu hal yang bahkan belum pernah di temui. yaitu Tuhan. Pandangan Kierkegaard ini sangat berbau keagamaan karena memang beliau berasal dari teologi, Kierkegaard menganggap bahwa Tuhanlah tujuan eksistensi manusia.

Orang-orang yang hidup pada tahap eksistensi ini setidaknya memiliki tiga ciri 1. Mereka lebih mengutamakan kepuasan (plaisure) baik fisik maupun batin. Maka, motivasi dasar perilaku mereka adalah mencari kepuasan. 2. Mereka tidak memiliki komitmen pada realitas konkret. Artinya, mereka cenderung melihat kenyataan selalu dalam jarak dan imajinasi. Maka, tidak heran hidup mereka sarat dengan refleksi tentang tata nilai, soal nasib buruk yang menimpa umat manusia, perihal hidup bersama yang harmonis dalam keberbedaan, dan sebagainya. 3. Mereka cenderung mengelak dari antuasiasme yang lebih mendalam. Mereka takut terlibat pada sesuatu yang menuntut lebih seperti menikah atau loyalitas pada organisasi tertentu. Dengan menikah, mereka takut dituntut mengikatkan diri pada institusi perkawinan.

Dengan berorganisasi, mereka tak mau dituntut untuk mengikuti aturan main yang ada dalam organisasi bersangkutan. B. Nilai pendidikan yang akan diberi oleh manusia dan diterima oleh manusia sebagai subjek dan objek pendidikan 1. Nilai humanisasi mengandung arti memanusiakan manusia, dan

menghilangkan

kebendaan,

ketergantungan,

kekerasan,

kebencian dari manusia, dengan melawan dehumanisasi, agresivitas, dan loneliness. Nilai liberasi berarti membebaskan, yang mempunyai signifikansi sosial. Membebaskan manusia dari belenggu sistem sosial, pengetahuan, politik, dan ekonomi, yang bersifat menindas dan tidak adil. Adapun transendensi bermakna teologis, yakni ketuhanan, artinya beriman kepada Allah SWT sebagai otoritas tertinggi. 2. Nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi perspektif Kuntowijoyo, dapat dilacak akar-akar filsafat pendidikannya pada mazhab-mazhab yang telah masyhur di kalangan pengkaji filsafat pendidikan. Nilai humanisasi, mempunyai akar filsafat pendidikan Idealisme,

Pragmatisme, Eksistensialisme, Progresivisme, Esensialisme, dan Rekonstruksionisme.

C. Kerangka pemikiran Perspektif filsafat pendidikan tentang penyusunan pendidikan

TUJUAN

METODE

KURIKULUM

MATERI

EVALUASI

PROGRAM

y y y y

Program Kurikulum Program SDM Program SDA Sarana dan Prasarana

PROSES

y Metode y Materi

EVALUASI

y Penelitian

HASIL-HASIL PERUBAHAN PROGRAM

2. Pandangan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi tentang delapan standar pendidikan

a. Ontologi Ontology kadang disamakan dengan metafisika yang berati ilmu tentang hakikat. Metafisika bahasa yunani meta yang berti dibalik, di samping, disebelah dan fisika berate alam nyata atau alam dunia yang fana. Jadi metafisika berati alam di balik alam nyata. Masalah-masalah pendidikan yang menjadi perhatian ontologi adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Belajar tentang manusia dalam dunia pendidikan sama halnya dengan belajar tentang hakikat manusia itu sendiri. Konsep Islam lebih tepat dan sesuai dengan filsafat manusia itu sendiri, karena ada tiga hal yang sangat esensial dalam konsep ini: Rohani adalah sesuatu yang akan kembali ke Tuhan dan akan diminta pertanggungjawabannya kelak nanti di akhirat. Sementara Jasmani sesuatu yang berwujud fisik, itu berada dalam tanah. Sedangkan Akal ada di kepala sebagai suatu kelebihan manusia dari makhluk lain sebagai ciptaan Tuhan. Manusia sebagai wujud dari komponen Jasmani, Rohani, dan Akal merupakan makhluk yang memiliki pemikiran yang masuk akal. Oleh karena itu, manusia memiliki tiga inti yang harus dipersiapkan untuk dididik. Dalam Islam tiga hal yang esensial merupakan modal utama dalam mempersiapkan manusia yang sempurna dunia akhirat. Hal yang sangat mendasar dalam mempersiapkan manusia yang sempurna menurut konsep islam adalah Pendidikan . Dengan pendidikan, manusia menjadi sadar akan fungsi dan

tugas dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sehingga faham tentang hakikat hidup. Adanya pendidikan, mendorong manusia untuk menggunakan akal, berpikir secara logis, meyakini segala sesuatu yang berasal dari Tuhan. Dengan rohani manusia memiliki rasa peka, empati dan yakin terhadap kebenaran. Sehingga inti yang paling hakiki dari manusia sesungguhnya adalah rohani. Oleh karena itu, rohani merupakan inti yang paling tepat untuk didahulukan dalam mendapatkan pendidikan. Ketika rohani

mendapatkan porsi pendidikan yang baik dan lebih dahulu maka jasmani dan akal dapat mengikuti sesuai dengan porsinya. Kinerja rohani dalam tubuh sangat vital, segala ide dan perbuatan tergantung kepada kinerja rohani. b. Epistemologi Istilah epistemology pertama kali digunakan Oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854 dalam bukunya yang berjudul institute of metaphysics. Menurut sarjana ini ada dua cabang dalam filsafat : epistemology dan

ontology.epistemologi berasal dari bahasa yunani episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Jadi epistemology adalah penyelidikan asal mula pengetahuan atau strukturnya, metodenya dan validitasnya. Kajian epistemologis tentang pendidikan berhubungan aspek

metodologi dalam pendidikan. Pendidikan dapat diartikan dengan kegiatan mengubah manusia sehingga mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan dari oleh dan untuk manusia yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan. Langeveld (seorang Paedagog Belanda) mengemukakan hasil analisis epistemologis dengan metode fenomenologis bahwa manusia adalah animal educandum, educabile dan educans. Analisis fenomenologis tentang manusia sebagai sasaran tindak

mendidik ini menegakkan paedagogik (ilmu pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang bermanfaat untuk melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah Pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup (lifelong) sejak lahir (bahkan sejak awal hidup dalam kandungan) sampai mati. Selain itu, tempat berlangsungnya pendidikan tidak terbatas dalam satu jenis lingkungan hidup tertentu dalam bentuk sekolah, tetapi berlangsung dalam segala bentuk lingkungan hidup manusia. Pendidikan sebagai pengalaman belajar berlangsung baik dalam lingkungan budaya dalam masyarakat hasil rekayasa manusia, maupun dalam lingkungan alam yang terjadi dengan sendirinya tanpa rekayasa manusia. Pendidikan dapat terjadi dalam bentuk-bentuk yang terjadi dengan sendirinya dalam hidup sampai dengan bentuk-bentuk yang direkayasa secara terprogram, baik secara individu maupun kelompok. Sehingga pendidikan tidak terbatas dalam waktu, tempat dan bentuk, namun terjadi kapanpun selama hidup, di manapun dalam lingkungan hidup serta siapapun dari umat manusia. Pendidikan sebagai sebuah sistem menjembatani antara kondisikondisi actual dengan kondisi-kondisi ideal. Kegiatan pendidikan berlangsung dalam satuan waktu tertentu dan berbentuk dalam berbagai proses pendidikan, yang merupakan serangkaian kegiatan atau langkah-langkah yang digunakan untuk mengubah kondisi awal peserta didik sebagai masukan menjadi kondisi ideal sebagai hasilnya. Proses tersebut berlangsung dalam bentuk-bentuk pendidikan yang berupa bimbingan, pengajaran dan/latihan. Bimbingan bertujuan membantu menumbuhkan kebebasan dan kemampuan untuk dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

Pengajaran bertujuan agar murid memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kecerdasan mereka sendiri. Latihan bertujuan membentuk kebiasaan bertingkah laku dan lebih berhubungan dengan penggunaan pengetahuan dari pada penguasaan pengetahuan. Sehingga pengajaran berorientasi pada pengetahuan/kecerdasan, bimbingan menumbuhkan kepribadian. Sedangkan latihan berorientasi pada bentuk mencapai kinerja yang standar

c. Aksiologi Aksiologi berasal dari bahsa yunani axios berarti memiliki harga , mempunyai nilai dan logos yang bermakna teori atau :penalaran , sebagai suatu istilah. Aksiologi mempunyai arti sebagai teori tentang nilai yang diinginkan atau teori tentang nilai yang baik da dipilih. Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat prinsip dalam pendidikan. Hal ini terjadi karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan. Menurut Drost (2005), pendidikan bukan hanya soal kemajuan otak ataupun pengetahuan kognitif. Pendidikan juga bertujuan juga mengembangkan pribadi anak didik agar menjadi manusia yang utuh dengan segala nilai dan seginya. Oleh karena itu, pendidikan juga dapat mengajari nilai-nilai kehidupan manusia yang dianggap perlu seperti nilai sosialitas, nilai demokrasi, nilai kesamaan, persaudaraan dan lain sebagainy Di samping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai. Dalam masalah etika dan estetika yang mempelajari tentang hakekat keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan, karena keindahan merupakan kebutuhan

manusia dan melekat pada setiap makhluk. Di samping itu pendidikan tidak dapat lepas dari sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat dalam pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah (Huda, 2008). Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada intinya pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari kebodohan untuk mewujudkan nilai peradaban manusiawi.

You might also like