You are on page 1of 8

PENDIDIKAN SPIRITUALITAS DALAM MEMBANGUN KUALITAS HIDUP MAHASISWA Oleh: Ujang Saefuddin Rosyid, S.

Ag STAI LA TANSA MASHIRO Abstrak - Spiritualisasi pendidikan Islam sebenarnya lebih diarahkan pada kepentingan yang lebih luas, dimana pribadi-pribadi dipandang sebagai bagian terpenting dari ketahanan suatu bangsa dan Negara. Arah spiritualisasi dalam pendidikan Islam bukan pada memperbanyak materi-materi pelajaran dan jam pelajaran tentang akhlak dan tasawuf, akan tetapi memandang kegiatan pendidikan sebagai satu kesatuan yang integral yang melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia yang tujuan akhirnya adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah. Sebenarnya pandangan ini berangkat dari pandangan universal tentang pembangunan manusia dan kemanusiaan seutuhnya, khususnya menghadapi fenomena peradaban baru yang dipicu percepatan perkembangan IPTEK, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Dalam keadaan yang demikian ini munculah kesadaran spiritualitas baru, dimana tradisi-tradisi ritual keagamaan konvensional sudah dianggap tidak mampu menjawab tantangan itu semua, meskipun tidak mendorong dan memaksa untuk membuat agama baru Kata Kunci : Spiritualitas, Kualitas Hidup A. Pengantar Banyak sekali di antara kita yang menganggap bahwa spiritualitas adalah agama. Padahal sesungguhnya kedua hal tersebut sangat berbeda. Ketika kita sadar siapa diri kita sebenarnya, di mana tempat kita berada di alam semesta dan kemanakah tujuan hidup kita, berarti kita telah memasuki wilayah spiritualitas. Kecerdasan spiritual memiliki kekuatan untuk mentransformasi kehidupan kita dan bahkan dapat mengubah realitas kehidupan fisik di sekitar kita. Ada sebuah kisah menarik tentang hakikat kecerdasan spiritual sebagai berikut : Pada suatu sore menjelang malam, ada tiga orang tua yang sedang berdiri di depan pintu sebuah rumah. Ketiganya kelihatan seperti sedang dalam perjalanan jauh. Namun meskipun demikian tidak tampak tanda kelelahan atau kegetiran dari raut muka mereka. Beberapa saat kemudian keluarlah seorang wanita dari dalam rumah tersebut. Melihat ketiga orang tua tersebut, wanita ini menjadi iba dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke rumah dan makan malam bersama dengan keluarga di rumah tersebut. Salah satu dari ketiga orang tua tersebut menjawab, Perkenalkan nama saya adalah WEALTH (yang berarti kekayaan), dia bernama SUCCESS (yang berarti kesuksesan), dan teman saya yang satu lagi bernama LOVE (yang artinya kasih). Kami tidak dapat masuk bersama-sama ke dalam rumah. Anda harus memilih sia 52

pa di antara kami yang Anda undang untuk masuk ke dalam ? Kemudian si wanita masuk kembali ke dalam rumah dan menceritakan kejadian tersebut kepada suaminya. Sudah jelas bagi kita untuk mengundang WEALTH ke dalam rumah. Karena dengan kekayaan kita dapat memiliki segalanya di dunia ini, kata sang suami. Tetapi sang istri lebih memilih SUCCESS untuk dapat menikmati kehidupan di dunia ini. Tiba-tiba anak mereka yang berumur sebelas tahun menimpali, Mengapa kita tidak memilih LOVE, sehingga kita bisa saling mengasihi dan menciptakan kedamaian dalam kehidupan kita. Akhirnya mereka sepakat untuk mengundang LOVE. Ketika sang isteri menyampaikan hal tersebut kepada ketiga orang tua tadi, maka masuklah LOVE ke dalam rumah. Tetapi kemudian kedua orang tua yang lain juga mengikutinya masuk ke dalam rumah. Bertanyalah wanita itu, Kami hanya mengundang LOVE, mengapa kalian berdua juga mau masuk ke dalam rumah kami? Bukankah kalian berkata bahwa kalian tidak dapat masuk bersama-sama ke dalam rumah? Salah satu dari orang tua itu menjawab, Jika kalian mengundang saya, WEALTH atau teman saya, SUCCESS, dua orang dari kami akan tetap tinggal di luar. Tetapi karena Anda mengundang LOVE, maka kami berdua harus ikut ke dalam. Kemana pun LOVE pergi kami akan mengikutinya. Wherever there is love, there is also wealth and success. Kisah ini menunjukkan bahwa seorang anak kecil dapat memperlihatkan kecerdasan spiritual yang tinggi. Jelas bagi kita bahwa sang anak lebih cerdas secara spiritual, karena mengetahui manakah yang lebih penting antara kekayaan, kesuksesan dengan cinta kasih. Apakah Kecerdasan Spiritual itu? Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas. Selain itu kata spiritus dapat mengandung arti sebuah bentuk alkohol yang dimurnikan. Sehingga spiritual dapat diartikan sebagai sesuatu yang murni. Diri kita yang sebenarnya adalah roh kita itu. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar tubuh fisik kita, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita. Kecerdasan spiritual berarti kemampuan kita untuk dapat mengenal dan memahami diri kita sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi. Jika merujuk pada agama, pada awal penciptaan manusia, Tuhan meniupkan roh atau napas kehidupan kepada manusia. Berarti roh kita adalah sesuatu yang membuat kita hidup. Jadi Roh kita bersumber pada sumber yang sama, yaitu Tuhan yang Mahakuasa. Kita nantinya juga akan kembali menyatu dengan Sang Pemberi Kehidupan. Jadi apa pun agama kita, status sosial ekonomi, suku, ras, golongan, kebangsaan dan tingkat pendidikan kita, tidaklah menjadi yang utama. Menjadi cerdas spiritual berarti mampu melalui batasan atau sekat-sekat tersebut dan menemukan siapa diri kita yang sebenarnya serta tujuan kehidupan kita. Menjadi cerdas spiritual berarti kita lebih memahami diri kita sebagai makhluk spiritual yang murni, penuh kasih, suci, dan memiliki semua sifat-sifat ilahi. Termasuk memiliki kemampuan sebagai pencipta realitas kehidupan yang berkualitas dan berkelimpahan (menjadi co-creator) 53

Spiritualitas Adalah Kebutuhan Tertinggi Kita. Ahli jiwa termashur Abraham Maslow, dalam Makalah nya Hierarchy of Needs menggunakan istilah aktualisasi diri (self-actualization) sebagai kebutuhan dan pencapaian tertinggi seorang manusia. Maslow menemukan bahwa, tanpa memandang suku atau asal-usul seseorang, setiap manusia mengalami tahap-tahap peningkatan kebutuhan atau pencapaian dalam kehidupannya. Kebutuhan tersebut meliputi: Kebutuhan fisiologis (Physiological), meliputi kebutuhan akan pangan, pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan biologis. Kebutuhan keamanan dan keselamatan (Safety), meliputi kebutuhan akan keamanan kerja, kemerdekaan dari rasa takut ataupun tekanan, keamanan dari kejadian atau lingkungan yang mengancam, Kebutuhan rasa memiliki, sosial dan kasih sayang (Social), meliputi kebutuhan akan persahabatan, berkeluarga, berkelompok, interaksi dan kasih sayang, Kebutuhan akan penghargaan (Esteem), meliputi kebutuhan akan harga diri, status, prestise, respek dan penghargaan dari pihak lain, Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization), meliputi kebutuhan untuk memenuhi keberadaan diri (self fulfillment) melalui memaksimumkan penggunaan kemampuan dan potensi diri. Terlihat bahwa kebutuhan manusia berdasarkan pada urutan prioritas, dimulai dari kebutuhan dasar, yang banyak berkaitan dengan unsur biologis, dilanjutkan dengan kebutuhan yang lebih tinggi, yang banyak berkaitan dengan unsur kejiwaan, dan yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri tersebutlah yang dimaksud dengan kebutuhan spiritual. Hanya jika seluruh kebutuhan fisiologis dan kejiwaan seseorang tercapai, dia dapat mencapai tahap perkembangan tertinggi yaitu, aktualisasi diri. Maslow mendefinisikan aktualisasi diri sebagai sebuah tahapan spiritualitas seseorang, di mana seseorang berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendahhatian, serta memiliki tujuan hidup yang jelas, dan misi untuk membantu orang lain mencapai tahap kecerdasan spiritual ini. Menurut Maslow, pengalaman spiritual adalah peak experience, plateau the farthest reaches of human nature. Pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberadaannya sebagai makhluk spiritual. Pengalaman spiritual merupakan kebutuhan tertinggi manusia. Bahkan Maslow menyatakan bahwa pengalaman spiritual telah melewati hierarki kebutuhan manusia, going beyond humanness, identity, self-actualization, and the like. B. Spiritualitas dan Agama Setiap agama di dunia ini mengajarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik untuk mencapai kecerdasan spiritual atau aktualisasi diri. Seringkali kita justru menganggap ritual atau ibadah sebagai tujuan bukan sebagai cara. Kita melakukan ibadah sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan, karena jika tidak kita takut akan menerima hukuman dari Tuhan (azab dan neraka), dan jika kita lakukan kita akan menerima pahala dan surga. Menjalankan ibadah agama dengan motivasi karena ketakutan (fear motivation) menunjukkan kecerdasan spiritual yang paling bawah, dilanjutkan dengan motivasi karena hadiah (reward motivation) sebagai kecerdasan spiritual yang lebih baik. Tingkatan ketiga adalah motivasi karena memahami bahwa kitalah yang membutuhkan untuk menjalankan 54

ibadah agama kita (internal motivation), dan tingkatan kecerdasan spiritual tertinggi adalah ketika kita menjalankan ibadah agama karena kita mengetahui keberadaan diri kita sebagai makhluk spiritual dan kebutuhan kita untuk menyatu dengan Sang Pencipta berdasarkan kasih (love motivation). Paling tidak ada lima hal yang diajarkan oleh agama untuk membantu kita meningkatkan kecerdasan spiritual kita, yaitu: Pertama, iman atau keyakinan. Dalam Islam hal ini adalah Syahadat. Sedangkan dalam Kristen Protestan adalah Pengakuan Iman Rasuli (dalam bahasa Jawa disebut sebagai Sahadat Kalih Welas- dua belas keyakinan). Kita harus menyadari dan meyakini bahwa kita adalah ciptaan Tuhan dan memiliki potensi yang luar biasa untuk menjadi dan memiliki apa pun yang kita harapkan. Potensi dan peluang yang tidak terbatas inilah yang harus kita eksplorasi dan kembangkan dalam rangka mewujudkan impian-impian kita serta misi hidup kita bagi sesama dan dunia pada umumnya. Kedua, ketenangan dan keheningan, yaitu suatu upaya ritual untuk menurunkan frekuensi gelombang otak kita sehingga mencapai alpha (relaks) sampai tahap meditatif pada keheningan yang dalam. Semua agama mengajarkan cara untuk bersembahyang dan meditasi. Dalam Islam adalah Shalat, yang sebenarnya merupakan tahap di mana otak kita membutuhkan istirahat untuk mencapai kejernihan dan ketenangan. Sembahyang lima waktu merupakan kebutuhan kita untuk memasuki frekuensi gelombang otak yang rendah, untuk mencapai kecerdasan yang lebih tinggi, kreativitas, intuisi dan tuntunan Ilahi. Pada frekuensi rendah juga terjadi peremajaan sel-sel tubuh (rejuvenation) sehingga kita menjadi lebih sehat dan awet muda. Ketiga, pembersihan diri, berupa detoksifikasi yaitu pembuangan racun-racun. Semua agama mengenal puasa. Karena puasa merupakan sebuah proses bagi kita untuk membersihkan tubuh dari segala racun-racun dan sisa pembuangan metabolismo tubuh, serta memberi waktu bagi tubuh kita untuk beristirahat. Jadi terlihat jelas bahwa berpuasa adalah kebutuhan mutlak seseorang untuk memelihara kesehatannya, selain bahwa puasa membantu kita untuk mencapai ketenangan (frekuensi gelombang otak yang rendah) sehingga kita dapat mencapai kesadaran tertinggi (superconsciousness). Oleh karena itu dalam Islam dikenal sebagai lailatul qadar. Suatu tahapan meditatif ketika seseorang mencapai supra-sadar. Dalam Kristen juga dikenal istilah lahir kembali. Artinya seseorang telah melalui tahap pemurnian dan menemukan keberadaan spiritualitasnya. Ketika tahap pembersihan diri tercapai, maka umat Islam merayakannya sebagai Idul Fitri atau kembali ke fitrah (sebagai makhluk spiritual yang suci dan murni) Keempat, beramal dan mengucap syukur (Charity and Gratitude). Beramal bukan untuk kebutuhan orang lain semata. Justru kita butuh untuk melakukan amal karena terbukti dalam penelitian bahwa rasa iba dan kasih sayang menstimulasi pembentukan hormon yang meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan kita. Beramal dan mengucap syukur adalah sebuah pernapasan rohani, yang jika tidak kita lakukan maka kita akan mati secara spiritual dalam arti kita semakin tidak dapat mencapai tahapan aktualisasi diri atau pemenuhan diri yang sempurna, dalam Islam dikenal sebagai zakat. Sedangkan Yesus menyatakan hal ini secara tegas, bahwa barangsiapa tidak memperhatikan salah seorang dari sesamanya yang paling hina, dia tidak layak memperoleh Kerajaan Surga. Beramal atau berbuat baik pada sesama merupakan ciri kecerdasan spiritual seseorang atau 55

aktualisasi diri menurut istilah Maslow, di mana kita memiliki misi untuk menolong sesama kita. Kelima, penyerahan diri secara total. Ini adalah tahapan tertinggi dalam perjalanan spiritualitas seseorang, yaitu ketika dia sudah tidak punya rasa kuatir akan apa yang akan terjadi. Dia memiliki rasa pasrah secara total kepada Tuhan, karena sebagai makhluk spiritual, dia telah mencapai penyatuan dengan sang Pencipta. Orang Kristen mengenal lagu yang syairnya sebagai berikut I surrender all, to thee my great savior I surrender all. Aku berserah hidupku seluruhnya. Dalam Rukun selain keempat hal di atas, hal kelima dikenal dengan ibadah Haji. Saya dulu selalu bertanya, mengapa orang naik Haji diberangkatkan dengan doa seperti orang mendoakan mereka yang meninggal. Selain mungkin bahwa ada risiko meninggal dalam menjalankan ibadah haji, hal tersebut bermakna bahwa ketika seseorang berangkat haji, berarti dia sudah menyerahkan hidupnya sepenuhnya kepada Sang Pencipta. C. Bagaimana Menjadi Cerdas secara Spiritual? Setidaknya, cerdas secara spirituaitas ada tiga bagian, yaitu Spiritual Thoughts, yang berisi renunganrenungan tentang makna dan hakikat berbagai hal yang bersifat spiritual. Kedua adalah Spiritual Workouts, yang berisi tentang kebiasaan harian yang perla kita lakukan untuk sedikit demi sedikit meningkatkan kecerdasan spiritual kita. Tujuan dari berbagai latihan (exercises) yang diuraikan dalam bab-bab di bagian kedua ini adalah untuk mencapai tahap meditatif melalui serangkaian latihan seperti: strecthing, deep breathing, detoxifying, relaxing at alpha state, dan meditasi. Ketiga Spiritual Behaviors, yang berisi mengenai perilaku spiritual yang perlu kita kembangkan dalam kehidupan kita seperti: pengendalian diri, beramal dan mengucap syukur, rela memaafkan, pasrah, rendah hati, tidak cemas, menjalin hubungan baik dan mencintai pekerjaan kita. Sekali lagi, bahwa Makalah ini bukan dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat kecerdasan spiritualitas kami. Manusia selalu berada dalam kondisi bertumbuh secara rohani dan dalam proses pertumbuhan spiritualitas tersebut, sehingga kita semua dapat bersama-sama bertumbuh menjadi makhluk spiritual yang kemudian dapat mempengaruhi keluarga kita, dan siapa tahu dapat mengubah bangsa kita yang sedang terpuruk dalam krisis multidimensi saat ini. Sebagaimana keyakinan kita bahwa untuk mengubah dunia dimulai dengan mengubah satu orang saja, yaitu diri kita sendiri. Karena jika kita menjadi lebih cerdas secara spiritual, siapa tahu kita bisa membantu orang-orang yang kita cintai untuk juga berubah menjadi lebih baik, dan pada gilirannya kita semua akhirnya dapat mengubah bangsa ini dan menjadi pemimpin dalam tataran bangsa-bangsa lain di dunia. D. Spiritualisasi dalam Proses Pembelajaran pada Proses Pendidikan Dalam khazanah Islam, kata spiritual sering diterjemahkan dengan rohaniah, yang biasanya dilawankan dengan kata jasmaniah/materiil. Tetapi dalam penggunaan istilah materiil-spiritual, dan jasmani-rohani dapat dirasakan perbedaannya. Kehidupan materiil adalah kehidupan yang bersifat kebendaan, berkenaan dengan produksi dan konsumsi atau penggunaan dan penikmatan 56 benda-benda fisik. Sedangkan kehidupan spiritual bersangkutan dengan rasa batin yang tidak bisa diukur dengan kuantitas dan kualitas benda-benda, sekaligus kualitas batin bisa diciptakan dari benda-benda.1 Jika dalam hal ini kata spiritual lebih dekat dengan kata ruh , maka maknanya lebih dekat dengan jiwa dan semangat yang menyebabkan seseorang i tu hidup. Bisa disimpulkan pula bahwa spiritual, ruhaniah, adalah jiwa, semangat, dan kesadaran yang dimiliki manusia untuk hidup dan menjalani kehidupan.2
1 Dawam

Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur an Tafsir al-Qur an berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta : Paramadina, 1996), h. 228 2 Ibid, h. 229 3 Jalaludin Rahmat, Makhluk Spiritual dan Okultisme, (Jakarta : Paramadina, 1996), h. 213 4 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan Solusi Problem Filosofis Pendidikan, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002), h. 93 5 Ibid, h. 117

Dalam pandangan para Sufi, pada diri tiap manusia dapat timbul kekutan luar biasa dengan bersandar pada kekuatan kemauan. Kekuatan ini didapat melalui latihan-latihan, olah pikir dan batin, dan pembiasaan-pembiasaan yang disertai gerak batin menuju kualitas ketenangan jiwa yang sulit digambarkan secara rasional.3 Kaitannya dengan pendidikan, spiritualisasi dimaksudkan agar nilai-nilai pengetahuan dan ajaran yang ada pada seperangkat pembelajaran dan proses pendidikan mampu menjiwai dan membentuk kesadaran pada diri peserta didik, dan tidak cukup hanya dengan pendekatan normatif dan narasi verbal yang masuk ke dalam kepala peserta didik. Spiritualisasi pendidikan Islam lebih terfokus pada strategi pendidikan yang bertujuan membentuk pribadi-pribadi siswa yang terintegrasi. Integrasi kepribadian adalah pribadi setiap individu yang mampu bersikap terbuka dan peka terhadap setiap pertumbuhan dan perkembangan dirinya seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalamannya selama mengikuti proses pendidikan.4 Untuk lebih memahami masalah di atas, Dr. Abdul Munir Mulkhan memilih pemahaman dari makna spiritualitas dan spiritualisasi sebagai Ketahanan suatu ide dan pandangan atau paham di dalam diri orang atau kelompok sosial yang dtentukan oleh posisi dan seberapa ia berakar di dalam dunia batinnya .5 Dalam hal ini perlu sejumlah konsep yang bisa dijadikan dasar pemikiran : Pertama, seluruh bidang studi pendidikan Islam merupakan kesatuan sistematis yang menempatkan bidang studi tauhid sebagai dasar pembelajaran semua bidang studi. Kedua, proses belajar mengajar suatu bidang studi ditentukan oleh tujuan dan pola pemikiran dari bahan ajar yang tersedia. Ketiga Buku ajar yang disusun dengan pendekatan normatif dan narasi verbal yang terfokus pada kognisi siswa kurang memberi peluang bagi pengayaan pengalaman dan penumbuhan kesadaran. Keempat, kecenderungan pembelajaran pada ranah kognisi bisa dikenali dari susunan kalimat buku ajar bidang studi. Kelima, jumlah pengetahuan siswa tentang ajaran tauhid dan akhlak belum menunjukkan kemampuan siswa untuk menolak perbuatan buruk dan memilih perbuatan baik. Keenam, jika siswa hanya mempunyai sejumlah pengalaman menolak kejahatan dan memilih kebaikan, mereka mudah mengulang perbuatan tersebut. Ketujuh, kemampuan berbuat baik dan menolak kejahatan lebih mungkin 57

dikembangkan melalui studi sejarah tentang akibat logis dari kedua perbuatan tersebut.6
6 Ibid, 7 Yusuf

h. 70-71 al-Qordhowi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Bana (terj.), (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), h. 48 8 Tim Redaksi Ummi, no. 02/V Zulhijjah 1413 H/Juni 1993 M, h. 30

9 Abdul

Munir Mulkhan, op. cit., h. 155, 157

Dr. Yusuf al-Qordhowi, dalam mengulas pemikiran Hasan al-Bana tentang pentingnya spiritualisasi dalam pendidikan Islam, mengajukan satu apresiasi bahwa : Krisis suatu negeri bahkan dunia ini adalah disebabkan krisis jiwa dan hati, yaitu lemahnya penjiwaan terhadap kebenaran hukum-hukum Allah. Sesungguhnya pembentukan umat, pendidikan bangsa, mewujudkan cita-cita dan memperjuangkan prinsip-prinsip menurut umat supaya mempunyai kekuatan jiwa yang besar yang tampak dalam beberapa hal : kemauan kuat yang tak tergoyahkan, kesetiaan yang tangguh tidak berubah dan tidak khianat, pengorbanan yang tak dapat dihalangi oleh nafsu tamak dan bakhil, mengetahui prinsip, meyakininya dan menghormatinya, menjauhkan diri dari kesalahan, penyimpangan dan tertipu dengan yang lainnya. Dengan prinsip-prinsip kekuatan jiwa tadi, diharapkan terdidiknya dan terbinanya bangsa yang sadar, terbentuklah umat yang tegar dan kehidupanpun mempunyai wajah baru di kalangan orang-orang yang sudah lama membenci kehidupan.7 Dalam kerangka pemikiran ini, spiritualisasi pendidikan Islam lebih diarahkan pada kepentingan yang lebih luas, dimana pribadi-pribadi dipandang sebagai bagian terpenting dari ketahanan suatu bangsa dan Negara. Arah spiritualisasi dalam pendidikan Islam bukan pada memperbanyak materimateri pelajaran dan jam pelajaran tentang akhlak dan tasawuf, akan tetapi memandang kegiatan pendidikan sebagai satu kesatuan yang integral yang melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia yang tujuan akhirnya adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah.8 Sebenarnya pandangan ini berangkat dari pandangan universal tentang pembangunan manusia dan kemanusiaan seutuhnya, khususnya menghadapi fenomena peradaban baru yang dipicu percepatan perkembangan IPTEK, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Dalam keadaan yang demikian ini munculah kesadaran spiritualitas baru, dimana tradisi-tradisi ritual keagamaan konvensional sudah dianggap tidak mampu menjawab tantangan itu semua, meskipun tidak mendorong dan memaksa untuk membuat agama baru. Spiritualisasi peradaban global dan iptek, bukan terletak di dalam format nilai, sistem dan struktur tradisional atau pun rasionalitas moderenisme dan pasca modernisme Namun agenda mendesak bersama itu ialah pengembangan praktek keagamaan yang benar-benar fungsional bagi pemecahan berbagai permasalahan kemanusiaan. Jika demikian bukan agama baru yang akan lahir, tetapi kehadiran Tuhan (Agama, pen.) dalam wajah baru yaitu dengan tafsir ajaran-Nya yang lebih objektif bagi kemanusiaan.9 DAFTAR PUSTAKA Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan Solusi Problem Filosofis Pendidikan, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002).

You might also like