You are on page 1of 18

MENEMUKAN MASALAH-MASALAH PETANI UNTUK DICARIKAN SOLUSINYA

SEBAGAI UPAYA MENOLONG MENINGKATKAN PENGETAHUAN


DAN KETERAMPILAN MEREKA

Oleh: I Gede Setiawan Adi Putra1), Nurahimah Mohd Yusoff2, dan Amri Jahi3

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap mahluk hidup di dunia ini membutuhkan pangan untuk menjaga kelangsungan
hidupnya. Ketahanan pangan bukan hanya masalah “cukup makan”. Lebih jauh dari itu,
pemenuhan hak atas pangan dapat dipandang sebagai salah satu pilar utama hak azasi manusia.
Dalam PP No 68 tahun 2002, tentang Ketahanan Pangan, dinyatakan bahwa ketahanan pangan
merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk
manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan
pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh
wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Tempo Interaktif 2004:1). Hal ini
menjadi renungan kita bersama bahwa bagaimana mungkin bisa mencapai prestasi jikalau
kebutuhan pangan saja belum terpenuhi?
Petani, sebagai insan yang berperan menghasilkan bahan pangan kondisinya sangat
memperihatikan. Petani menghadapi banyak permasalahan dalam perannya menghasilkan bahan
pangan. Permasalahan petani dan pertanian di Indonesia begitu kompleks baik secara makro
maupun mikro.
Secara makro masalah utama pertanian di Indonesia adalah (1) Marginalisasi pertanian,
cirinya adalah pertanian kurang memberikan harapan, masih banyak petani yang berorientasi

1
Mahasiswa Program Doktor Istitut Pertanian Bogor , Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Udayana.
2
Pembimbing Program Sandwich di Universitas Utara Malaysia, Pimpinan Pusat Pengajaran Pembelajaran
University (UTLC) Universiti Utara Malaysia.
3
Ketua Komisi Pembimbing Disertasi, Dosen Institut Pertanian Bogor.

1
pada off farm, disisi lain petani hanya memanen 0,02 ha (super gurem) sehingga pertanian
penyumbang kemiskinan terbesar di Indonesia ; dan (2) Exchange farmer, mayoritas umur petani
saat ini 70 tahun dan yang berumur dibawah 30 tahun jumlahnya sedikit, kebanyakan generasi
muda enggan menjadi petani.
Pada tingkat petani masalah petani juga semakin banyak. Masalah tersebut diantaranya:
rendahnya pengetahuan/wawasan, rendahnya tingkat keterampilan, kurangnya motivasi, tidak
memiliki kemampuan pengelolaan usaha tani, kurangnya dukungan atas modal dan sarana
produksi usahatani, kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, jarang mendapatkan bimbingan
dan conseling berupa penyuluhan dan tidak adanya wahana/tempat petani untuk belajar untuk
meningkatkan kemapuan yang dibutuhkannya.
Menemukan atau merancang berbagai solusi alternatif untuk memecahkan masalah di
atas memerlukan kemampuan, ketrampilan dan kreativitas pihak-pihak yang terlibat. Mereka
harus bisa mengatasi kompleksitas permasalahan yang dihadapi dan merancang solusi-solusi
alternatif yang berkualitas dan dapat memecahkan masalah itu. Selain itu, solusi-solusi tersebut
haruslah dapat diterima oleh berbagai pihak yang terkait.

Rumusan Masalah
Sebagai change agent, pekerja pembangunan atau profesional lainnya, kita sering
menghadapi situasi yang dihadapi petani yang membingungkan, yang menghadirkan ketidak-
pastian, dan menimbulkan kesulitan. Situasi itu membuat kita limbung, hilang keseimbangan dan
tidak berdaya.
Dalam keadaan itu, wajar bila kita ingin segera keluar dari situasi yang sulit itu. Kita
ingin segera memulihkan kembali equilibrium atau keseimbangan mental yang sempat terganggu
itu. Kita ingin kembali berdaya seperti semula. Namun demikian, tepatkah tindakan coba-coba
(trial and error), yang biasanya langsung kita lakukan?
Dewey (dalam Amri Jahi), pakar “berpikir reflektif,” yang menemukan proses
pemecahan masalah ini pada 1910, menyarankan: agar kita menunda dulu tindakan itu, apa lagi
yang sifatnya masih coba-coba. Pikirkan dulu, definisikan dulu, apa yang menimbulkan
kebingungan, ketidak pastian dan kesulitan yang merusak equilibrium kita tadi itu. Dengan kata
lain, rumuskan dulu “apa masalah yang kita hadapi!”

2
Sebagai perbandingan, di negara maju petani dengan berbagai cara membuat wadah
untuk memenuhi kepentingan bersama. Organisasi demikian memegang peranan penting dalam
pembangunan pertanian di negara industri maju. Di negara berkembang belum ada organisasi
yang dengan efektif memperjuangkan hak-hak petani. Di masa yang akan datang, para penyuluh
memegang peranan penting untuk membantu para petani menumbuhkan wadah-wadah untuk
petani kembali belajar tentang berbagai hal yang berhubungan dengan usahataninya.
Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan masalah penulisan dalam literature studi ini
sebagai berikut:
1. Apa masalah-masalah yang dihadapi petani dan level terjadinya masalah tersebut?, dan
2. Bagaimanakah cara menolong mereka agar bisa menolong dirinya keluar dari masalah yang
dihadapinya?

Tujuan
Dalam perencanaan program, masalah sering dinyatakan sebagai kesenjangan diantara
dua situasi. Kesenjangan antara situasi saat ini, yang tidak lagi memuaskan, dan situasi baru,
yang lebih baik, dan diinginkan. Menghilangkan atau mengurangi besarnya kesenjangan inilah
yang kemudian menjadi tujuan penulisan ini yang hendak dicapai.
Selain itu penulisan ini bertujuan untuk merancang solusi terbaik yang dapat dipilih itu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Sehingga harapan penulis adalah masalah-masalah
yang dihadapi petani terpecahkan sehingga kesulitan, kebingungan dan ketidak pastian dapat
dihilangkan dan pada akhirnya equilibrium atau keseimbangan pertanian di negeri ini pulih
kembali.
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka secara spesifik tujuan penulisan literature studi
ini adalah:
1. Mengidendifikasi masalah-masalah yang dihadapi petani melalui kajian literature; dan
2. Menemukan alternative-alternatif pemecahan masalah petani terutama yang berhubungan
dengan bagaimana menolong mereka untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya.

3
LITERATURE REVIEW

Keadaan Petani yang Menghambat Pembangunan Pertanian

Kesejahteraan petani yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan
prospek ketahanan pangan. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan
keterbatasan, diantaranya yang utama menurut (Bayu Krisnamurthi 2008:1) adalah (a) Sebagian
petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya
(they are poor becouse they are poor); (b) Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk
terus terkonversi; (c) Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan; (d) Tidak
adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik; (e) Infrastruktur
produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai (f) Struktur pasar yang tidak
adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah; dan (g)
Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani sendiri.

Pengetahuan

Sebagian petani tidak mempunyai pengetahuan serta wawasan yang memadai untuk dapat
memahami permasalahan mereka, memikirkan pemecahannya, atau memilih pemecahan masalah
yang paling tepat untuk mencapai tujuan mereka. Tugas agen penyuluh adalah meniadakan
hambatan tersebut dengan cara menyediakan informasi dan memberikan pandangan mengenai
masalah yang dihadapi. Di sisi lain, petani sebenarnya memiliki pengetahuan berupa kearifan
lokal yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Agen penyuluh dapat memberikan
bantuan berupa pemberian informasi yang memadai yang bersifat teknis mengenai masalah yang
dibutuhkan petani dan menunjukkan cara penanggulanganya. Selama penyuluh belum mampu
memberikan informasi yang dibutuhkan petani tersebut, maka kegiatan penyuluhan tidak akan
berjalan dengan baik (Sabetghadam 2003:1)

Motivasi

4
Motivasi berasal dari kata motive dan action, artinya bagaimana membuat orang untuk
berusaha. Sebagian besar petani kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilaku karena
perubahan yang diharapkan berbenturan dengan motivasi yang lain. Kadang-kadang penyuluhan
dapat mengatasi hal demikian dengan membantu petani mempertimbangkan kembali motivasi
mereka. Petani kurang dimotivasi berusaha untuk merubah cara-cara tradisional kearah
modernisasi. Atau sifat pertanian yang subsisten kurang diarahkan untuk berorientasi pada
pasar. Selama petani belum dimotivasi, maka akan menjadi masalah (Heryanti Suryantini
2003:36).

Sumber daya

Beberapa organisasi penyuluhan bertanggung jawab untuk meniadakan hambatan yang


disebabkan oleh kekurangan sumber daya. Kegiatan penyuluhan di Indonesia biasanya berada di
bawah Departemen Pertanian seringkali diberikan tanggung jawab untuk mengawasi kredit dan
mendistribusikan sarana produksi seperti pupuk. Masalahnya sekarang adalah organisasi yang
menyediakan sumber daya tersebut tidak terlibat melainkan dilakukan oleh penyuluh.
Seharunsya kegiatan pelayanan dilakukan oleh lembaga service, kegiatan pengaturan dilakukan
oleh lembaga regulation dan kegiatan penyuluhan hanya dilakukan oleh lembaga penyuluhan.
Apabila ketiga lembaga ini dapat berfungsi dengan baik maka kegiatan pembangunan pertanian
juga akan berjalan dengan baik.

Wawasan

Sebagian petani kurang memiliki wawasan untuk memperoleh sumber daya yang
diperlukan. Masalah ini hampir sama dengan hambatan pengetahuan, dan peranan penyuluhan
sangat diperlukan pada keadaan seperti ini. SDM petani harus menyadari bahwa setiap anggota
masyarakat akan memiliki kesempatan yang sama untuk berprestasi, saling menghargai satu
sama lain, saling mengakui hak dan kewajiban, lebih mengedepankan prestasi ketimbang
prestige, bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya dan mementingkan aspek-aspek
kehidupan bersama (Soedijanto 2005:91). Tugas penyuluh adalah memberikan pandangan
supaya wawasan petani menjadi lebih luas.

Petani Adalah Orang yang Terpinggirkan (Marginal)

5
Kekuasaan petani untuk mengeluarkan pendapat belum diperhatikan. Petani adalah
orang yang memiliki status sosial yang rendah, perekonomian yang lemah dan penguasaan tanah
yang sangat sempit. Petani lemah inilah yang harus diberdayakan untuk membentuk suatu
asosiasi petani. Contoh: Asosiasi petani tebu jawa tengah, Asosiasi petani tebu Jawa timur, dan
lain-lain sehingga petani tebu tersebut menjadi kuat. Selain petani, penyuluh juga harus
membentuk asosiasi penyuluh sehingga kuat untuk mempejuangkan nasib petani. Tanpa
berkelompok petani dan penyuluh tidak ada artinya. Penyuluh pertanian akan dapat berjalan
seperti yang diharapkan apabila terdapat iklim kerja yang egaliter (Soedijanto 2005:92)

Alih Fungsi Lahan Pertanian

Laju penyusutan lahan pertanian di Indonesia kian cepat. Penyebabnya adalah


fragmentasi lahan atau penyusutan kepemilikan lahan pertanian sebagai dampak sistem bagi
waris dan alih fungsi lahan. Ini tercermin dari peningkatan jumlah rumah tangga petani kecil
alias gurem, dengan kepemilikan lahan rata-rata 0,34 hektar (Hermas 2008:1).

Bali sebagai daerah pariwisata paling menjadi contoh nyata dalam penyusutan lahan
pertanian. Adanya fenomena alih fungsi lahan sawah ke non-pertanian dan musnahnya beberapa
sistem subak di suatu daerah di Bali merupakan bagian sekaligus dampak dari modernisasi.
Fenomena lain adalah mulai berkembangnya sistem pertanian beririgasi berkelanjutan berbasis
sistem irigasi pompa air tanah. Menghadapi kedua fenomena yang bersifat substitusi tersebut,
perlu pertimbangan bahwa apabila pertanian masih diyakini sebagai salah satu leading sector
dalam perekonomian Bali dan sistem subak masih dipercaya sebagai model kelembagaannya,
maka selayaknya eksistensi subak dilestarikan dan bahkan diperkuat secara proporsional guna
mendukung pembangunan sektor pertanian yang berkelanjutan (Budiasa 2005:147)

Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, lahan merupakan sumber daya pokok


dalam usaha tani karena usaha yang dikembangkan bersifat land base agricultural. Sempitnya
lahan pertanian ini dihadapkan pada peningkatan kebutuhan pangan. Badan Ketahanan Pangan
Deptan memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286 juta orang.
Penduduk sebanyak itu mengonsumsi beras 39,8 juta ton. Dengan kata lain, dalam waktu 21

6
tahun lagi, Indonesia memerlukan tambahan produksi beras sekitar 5 juta ton atau perlu
tambahan lahan padi 3,63 juta ha (Hermas 2008:1).

Sutawan (2005:6) menyatakan di Bali telah terjadi penciutan lahan sawah akibat alih
fungsi. Kelestarian atau ketangguhan subak nampaknya mulai terancam akibat pesatnya
perkembangan pariwisata Bali yang telah banyak membawa perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Bali. Selain kurang berminatnya para pemuda pedesaan Bali untuk
bekerja sebagai petani, sumber ancaman lainnya bagi eksistensi subak adalah pesatnya alih
fungsi lahan sawah beririgasi ke arah penggunaan lain di luar pertanian.

Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat dan perkembangan


jumlah hotel dan restoran akibat pesatnya laju pembangunan sektor pariwisata, menuntut
terpenuhinya akan air yang terus meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Padahal, indeks penggunaan air (IPA) yaitu rasio persediaan air terhadap penggunaannya di Bali
tahun 2000 sudah diperkirakan mencapai 1,13 yang berarti sudah tergolong “sangat kritis”
(Sugandhi dalam Sutawan 2005:7). Karena air semakin langka maka ini berimplikasi pada
semakin tajamnya persaingan yang bisa menjurus ke arah konflik kepentingan dalam
pemanfaatan air antara berbagai pengguna, terutama antara sektor pertanian dan sektor
nonpertanian. Kasus petani-petani di Penebel Tabanan yang memprotes keras pengambilan air
di Yeh Gembrong, oleh Pemda Tabanan untuk kebutuhan air minum sekitar tahun 1990-an
adalah contoh dari akibat persaingan pemanfaatan air.

Selain itu, telah terjadi pencemaran air sungai dan air pada saluran irigasi. Di beberapa
tempat telah muncul keluhan-keluahan dari masyarakat petani tentang adanya pencemaran air
sungai dan air saluran irigasi akibat limbah dari industri garmen, sablon, hotel, dan restoran.
Pemerhati lingkungan merasa cemas dan menyarankan pihak hotel untuk melakukan program
penanggulangan limbah. Penelitian perlu dilakukan agar lebih jelas seberapa jauh tingkat
pencemaran yang terjadi dan dari mana menanggung pembiayaan pencemaran tersebut, sebab
rumah tangga juga sangat perpotensi dalam menghasilkan limbah. Selain itu, banjir dan tanah
longsonr sering terjadi karena kerusakan daerah hulu sungai (catchment area) akibat semakin
menipisnya hutan serta pembangunan rumah dan vila di lereng-lereng bukit (Sutawan 2005:7).

7
Selanjutnya Sutawan (2005:8) menyatakan bahwa pencemaran lingkungan akibat
penggunaan pupuk kimia yang berlebihan oleh petani-petani di Bali juga telah terjadi di subak.
Unsur-unsur kimia yang berlebihan selain bisa merusak tanaman, juga hanyut ke sungai dan
mengalir ke laut, pantai sekitar persawahan. Revolusi hijau dengan demikian dapat dianggap
kurang mendukung keberlanjutan pertanian karena tidak ramah lingkungan. Adanya berbagai
dampak negatif dari Revolusi hijau telah mendorong ahli-ahli pertanian mengembangkan cara-
cara baru yang lebih menjamin kelestarian lingkungan seperti penggunaan pupuk organik atau
setidak-tidaknya mengurangi dosis penggunaan pupuk anorganik dan obat-obatan kimia (low
external inputs sustainable agriculture).

Teknologi Pertanian

Tenologi yang tepatguna adalah teknologi yang bermakna bagi masyarakat penggunanya.
Jadi Iptek yang bermakna adalah yang secara ekonomis menguntungkan dan dapat meningkatkan
kesejahteraann, secara teknis dapat dikerjakan dan dimanfaatkan, dan secara sosial-psikologus
dapat diterima serta sejalan dengan kebijakan pemerintah. Mungkin saja Iptek baru itu
tidak/belum dirasakan dibutuhkan masyarakat dan mungkin pula Iptek tersebut benar-benar telah
dibutuhkan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Hal ini tergantung pada “keadaan”
masyarakat sasaran (Asngari 2008:11).
Usahatani sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim, curah hujan, dan ketersediaan air
irigasi dan sifat-sifat tanah. Oleh karena itu, teknologi usahatani yang sesuai untuk suatu lokasi
belum tentu sesuai untuk lokasi lainnya. Dalam kaitan itu, untuk menetapkan anjuran teknologi
untuk suatu lokasi, harus didasarkan leh hasil percobaan/penelitian verifikasi di lokasi yang
bersangkutan (Tjitropranoto 2005:96).
Teknologi pertanian yang ada saat ini tidak selalu sesuai dengan yang dibutuhkan petani,
tetapi didominasi oleh upaya program/proyek untuk pencapaian target produksi yang telah
ditetapkan. Pada dasarnya, petani akan mencari teknologi, informasi atau materi penyuluhan
kalau dirasakannya berguna untuk kegiatan usaha pertaniannya. Teknologi, informasi ataupun
materi penyuluhan pertanian yang dibutuhkan petani adalah yang benar-benar diyakini petani
akan menguntungkannya, terjangkau oleh kemampuannya, dan memiliki pasar yang dekat
dengan usaha pertaniannya. Materi penyuluhan yang dibutuhkan petani harus didasarkan pada

8
keempatan, kemauan, dan kemampuan petani untuk menrapkan/memanfaatkannya, bukan karena
perhitungan yangsecara ilmiah akan menguntungkan (Tjitropranoto 2005:101).
Asngari (2008:11) menyebutkan bahwa pemanfaatan Iptek tergantung pada klien dan
juga tergantung pada para penyuluh. Tentu akan lebih cepat prosesnya bilamana kedua belah
pihak tersebut saling aktif dan dinamis mencari sampai menemukan teknologi tepat guna
pertanian (TTP).
Meningkatnya harga sarana produksi terutama benih, pupuk, pestisida, pakan ternak dan
ikan, menyebabkan adanya kecenderungan teknologi yang dikehendaki petani adalah teknologi
yang tidak memerlukan modal besar, lebih kearah teknologi sederhana, walaupun
produktivitasnya tidak begitu besar tetapi terjangkau oleh petani, baik dengan modal uang tunai
maupun kredit. Teknologi pertanian yang memerlukan sarana produksi yang mahal akan
diterapkan oleh pertani selama ada bantuan untuk menerapkannya, misalnya pemberian saranann
produksi oleh proyek, tetapi begitu proyek meninggalkan petani, maka mereka akan kembali ke
teknologi semula (Tjitropranoto 2005:101)..
Sumardjo (2005:162) menyatakan bahwa kajian Iptek yang disponsori oleh pemerintah di
masa lalu yang cenderung sentralistis, cenderung bias padi dan kurang kondusif dengan
perkembangan inovasi yang spesifik lokal. Hal seperti ini kurang efektif menjawab tantangan
kebutuhan inovasi bagi upaya peningkatan pendapatan petani. Meskipun kebijakan
pengembangan Balai Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP/LPTP) dinilai lebih kondusif
bagi pengembangan inovasi yang berbasis pada Iptek unggul spesifik lokal beragam komoditi
yang sesuai dengan kebutuhan petani, namun nampaknya lembaga ini kurang didukung oleh
tanga ahli baik dalam jumlah maupun kualitas, maupun pendanaan yang memadai untuk
menjangkau wilayah kerjany. Dalam hal ini tentu saja masih diperlukan energi untuk mengatasi
kelemahan tersebut, baik berupa komitmen pemerintah terhadap pengembangan SDM maupun
terhadap pengembangan Iptek dan kelembagaan petani.

Penyuluhan Pertanian
Istilah penyuluhan pertama kali digagas oleh James Stuart dari Trinity College
(Canbridge) pada tahun 1967-68, sehingga kemudian Stuart dikenal sebagai Bapak Penyuluhan.

9
Berbagai istilah digunakan pada berbagai negara menggambarkan proses-proses belajar
penyuluhan (extention), seperti’ (1) voorichting (Bahasa Belanda) yang berarti memberi
penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, (2) beratung (Bahasa Inggris dan
Jerman) yang mengandung makna sebagai seorang pakar memberikan petunjuk kepada
seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan pilihannya, (3) erzeiehung
(mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan
untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (3) fordering
(Bahasa Austria) yang diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diinginkan Van Den
Ban, A.W. dan H.S Hawkins (1999; 23-25)

Secara harfiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk
menerangi keadaan yang gelap. Dari asal perkataan tersebut dapat diartikan bahwa penyuluhan
dimaksudkan untuk memberi penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang disukai, agar
tidak lagi berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentuVan Den Ban, A.W. dan H.S
Hawkins (1999; 25) mengartikan penyuluhan sebagai keterlibatan seseorang untuk melakukan
komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat
sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Secara sistematis pengertian penyuluhan tersebut
adalah proses yang; (1) membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan
melakukan perkiraan ke depan, (2) membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan
timbulnya masalah dari analisis tersebut, (3) Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan
wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan
yang dimikili petani, (4) membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan
dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga
mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan, (5) membantu petani memutuskan pilihan yang
tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal, (6) meningkatkan motivasi petani untuk
dapat menerapkan pilihannya, (7) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan
keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan.

Menurut Margono Slamet (2005:15-17), pengertian penyuluhan bukanlah sekedar


penerapan tentang kebijakan penguasa, bukan hanya diseminasi teknologi, bukan program
charity yang bersifat darurat, dan bukan program untuk mencapai tujuan yang tak merupakan
kepentingan pokok kelompok sasaran. Tetapi adalah program pendidikan luar sekolah yang

10
bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraaan sasaran secara mandiri dan
membangun masyarakat madani; sistem yang berfungsi secara berkelanjutlan dan tidak bersifat
adhoc, serta program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang
menguntungkan sasaran dan masyarakatnya.

Sehingga secara singkat penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu pendidikan yang
bersifat non formal yang bertujuan untuk membantu masyarakat/petani merubah perilakunya
dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mereka dapat memecahkan masalah yang
dihadapinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik.

Pada kenyataannya kegiatan penyuluhan pertanian di Indonesia banyak mengalami


masalah di dalam upaya menolong petani menolong dirinya sendiri. Diantaranya adalah: (1)
Penyuluh melupakan tugas utama; (2) Kegiatan penyuluhan kurang terorganisasi; (3) Kegiatan
penyuluhan tidak berjalan dengan baik; (4) Kelembagaan penyuluhan belum tertata dengan baik;
(5) Penyimpangan tujuan organisasi penyuluhan; (6) Perbedaan nilai yang dianut petani dan
penyuluh; (7) Pengetahuan penyuluh kurang memadai; (8) Penyuluh lebih banyak mengubah
cara bertani dibandingkan dengan mengubah petani; (8) penyuluh kurang membantu petani
mencapai tujuan; (9) Penyuluh kurang membuat wadah untuk membantu petani; (10) Penyuluh
kurang mendidik petani; dan (11) Penyuluh kurang mengubah keadaan petani.

Tugas utama penyuluhan adalah membantu petani di dalam pengambilan keputusan dari
berbagai alternatif pemecahan masalah. Tetapi masalah penyuluhan sekarang adalah kegiatan
penyuluhan lebih banyak pada proses pelayanan bukan mendidik petani agar mampu mengambil
keputusan sendiri (Soedijanto 2001:2).

Pada jaman BIMAS dikeluarkan SK Mendagri-Mentan tahun 1985 tentang pembentukan


BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) sehingga penyuluh pertanian berada di BPP. Kemudian tahun
1992 penyuluh berda di dinas-dinas sehingga BPP di bagi-bagi sesuai dengan dinas yang ada.
Tahun 1996 dikeluarkan SK Mendagri-Mentan tentang pembentukan BIPP (Balai Informasi
Penyuluhan Pertanian). Belum selesai BIPP dibentuk sudah digulirkannya UU No. 22 tahun
1999 tentang Otonomi Daerah. Kurangnya pengorganisasian kegiatan penyuluhan menyebabkan
kurangnya keberhasilan penyuluhan pertanian (Soedijanto 2001:2).

11
Kegiatan penyuluhan akan berjalan dengan baik bila: pasar, teknologi, input, intensitas
produksi (harga yang layak) dan transportasi desa mencapai keadaan maksimum. Bagaimana
membangun pertanian yang baik bila 80 % masalah berada di luar petani. Kegiatan penyuluhan
tidak efektif apabila kelima masalah diatas tidak diatasi. Selama ini kegiatan penyuluhan lebih
dilaksanakan oleh lembaga penerangan yang bertanggung jawab untuk menjembatani kebijakan
pemerintah agar sampai kepada rakyat. Seharusnya penyuluhan lebih mendidik petani agar
dapat memecahkan masalahnya sendiri. Organisasi penyuluhan yang sekarang ini ingin
menyampaikan kebijakan yang sebenarnya dilakukan oleh lembaga penerangan Van Den Ban,
A.W. dan H.S Hawkins (1999:35-36).

Organisasi penyuluhan bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi petani.


Penyuluh harus memainkan peranan bagaimana petani terlibat dalam kegiatan penyuluhan.
Tujuan kegiatan yang terjadi sekarang ini sangat jauh dari harapan. Tujuan tersebut dapat dilihat
pada Tabe 1. .

Tabel 1. Sikap-sikap yang berbeda dari berbagai organisasi penyuluhan

Kenyataan Harapan
• Bertujuan meningkatkan • Bertujuan memecahkan masalah
produktivitas • Holistik
• Parsial • Pelayanan terpadu
• Semata-mata penyuluhan • Bantuan sendiri berdasarkan organisasi swasta
• Agen pemerintah • Tidak terpusat, partisipatif
• Terpusat • Bekerja dalam wilayah kecil
• Bekerja dalam skala nasional • Juga menghasilkan pengetahuan
• Semata-mata alih pengetahuan • Tidak diarahkan
• Diarahkan
Sumber: Van Den Ban, A.W. dan H.S Hawkins (1999)

Nilai-nilai yang dianut petani kemungkinan berbeda dari nilai-nilai agen penyuluhan
yang “berbau perkotaan”, tetapi tidak beralasan jika beranggapan bahwa nilai-nilai agen
penyuluhan dan atasannya lebih baik dibandingkan nilai-nilai petani dan keluarganya. Upaya
pemberdayaan petani miskin melalui pengembangan kelembagaan, harus didasarkan kepada
pemahaman yang utuh terhadap ragam dan sifat modal sosial yang mereka miliki, sehingga
rancangan kelembagaan akan menjadi lebih tepat (BPPP DEPTAN 2006:2). Selama penyuluh
belum bisa menyamakan nilai-nilai yang dianut ini maka akan timbul masalah.

12
Agen penyuluh hanya memiliki setengah dari pengetahuan yang diperlukan untuk
mengambil keputusan, sedangkan petani dan keluarganya melengkapi kekurangannya. Mereka
akan mengetahui tujuan-tujuan mereka, jumlah modal yang dimiliki, persyaratan tenaga kerja
pertanian mereka selama bulan-bulan yang berbeda, hubungan dengan petani lain, kualitas lahan
serta kesempatan-kesempatan menghasilkan uang diluar sektor pertanian. Agen penyuluhan
mungkin memiliki sebagian dari pengetahuan tersebut, tetapi biasanya tidak sebanyak
pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga petani sendiri. Oleh sebab itu, Puspadi (2005:121)
menyatakan bahwa penyuluh dituntut memiliki kompetensi sebagai berikut: (1) system social
setempat; (2) perilaku petani; (3) analisis system; (4) analisis data; (5) merancang pendekatan
penyuluhan; (6) perencanaan usaha pertanian; (7) mamajemen teknologi; (8) ekonomi rumah
tangga; (9) mengembangkan teknologi local spesifik; (10) memahami caa petani belajar;m; (11)
pengembangan kelompok dan organisasi; (12) perilaku pasar; (13) peta kognitif petani; (14)
teknologi produksi; (15) teknologi pasca panen, (16) usahatani sebagai bisnis, (17) proses
pengembangan pertanian; dan (18) berkepribadian sesuai dengan profesinya sebagai penyuluh.

Dewasa ini agen penyuluhan lebih mengarahkan langkahnya pada sistem pertanian yang
berkelanjutan dan kurang memperhatikan input pertanian yang tinggi dibandingkan tahun-tahun
yang lalu. Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input)
Sistem pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan
menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal (Drommond et. al 2008:1). Pengetahuan khas
setempat dari petani sangatlah penting untuk mengembangkan pertanian yang berkelanjutan
karena cara ini harus disesuaikan dengan situasi setempat yang biasanya petani tahu lebih banyak
dibandingkan peneliti atau agen penyuluhan

Kebanyakan agen penyuluhan petanian memperoleh pendidikan formal tentang cara-cara


mengubah atau memperbaiki cara bertani. Mereka belajar tentang varietas tanaman, pupuk,
makanan ternak, dan sebagainya, tetapi di dalam tugasnya diminta untuk “mengubah petani”
yang kemudian dapat membuat keputusan untuk mengubah “usaha taninya”. Banyak agen
penyuluh belum terlatih dalam proses mengubah sikap, yaitu dalam hal pendidikan orang dewasa
dan komunikasi. Mereka diajar mengenai “apa yang harus dilakukan” kepada petani, tetapi tidak
tentang “bagaimana” mengatakannya agar petani mampu menjadi manajer yang baik dalam

13
usaha taninya. Perubahan yang demikian merupakan salah satu tujuan penting dari pendidikan
penyuluhan.

Selama ini kegiatan penyuluhan kurang membantu petani mencapai tujuan. Agen
penyuluhan dapat memanfaatkan berbagai cara untuk membantu kliennya untuk mencapai
tujuannya, yaitu: (1) Memberi nasihat secara tepat waktu guna menyadarkannya tentang suatu
masalah; (2) Menambahkan kisaran alternatif yang dapat menjadi pilihannya; (3) Memberi
informasi mengenai konsekuensi yang dapat diharapkan dari masing-masing alternatif; (4)
membantunya dalam memutusakan tujuan mana yang paling penting; (5) Membantunya dalam
mengambil keputusan secara sistematis baik secara perorangan maupun berkelompok; (6)
Membantunnya belajar dari pengalaman dan dari pengujicobaan; dan (7) Mendorongnya untuk
tukar-menukar informasi dengan petani lainnya.

Di negara industri maju petani dengan berbagai cara membuat wadah untuk memenuhi
kepentingan bersama mereka. Organisasi demikian memegang peranan penting dalam
pembangunan pertanian di negara industri maju. Di negara berkembang belum ada organisasi
demikian, atau kalaupun ada cenderung belum efektif. Adanya organisasi pertanian yang efektif
sama pentingnya dengan penerapan teknologi di banyak negara. Petani kecil jarang membentuk
kelompok tani formal, kemungkinan disebabkan oleh adanya koordinasi informal di antara
petani-petani yang berdekatan, efisiensi sistem pengumpulan di mana meningkatnya petani yang
memasuki pasar mendorong harga-harga bersaing dan lokasi lebih menyenangkan untuk
pelayanan petani pengumpul (Bank Dunia, 2001:9). Organisasi penyuluhan memegang peranan
penting dalam membimbing petani mengorganisasikan diri secara efektif. Walaupun demikian
diperlukan dukungan politik untuk dapat berperan tanpa membahayakan jabatan mereka.

Tugas mendidik dan pendidikan penyuluhan merupakan cabang dari pendidikan orang
dewasa. Agen penyuluhan di banyak negara Eropa lebih merupakan seseorang yang menolong
petani untuk memecahkan masalah mereka. Agen penyuluhan sudah merasa puas jika pertanian
menjadi lebih efisien, dan kurang berminat untuk mengubah petani. Tugas utama penyuluhan di
banyak negara berkembang adalah menganjurkan penggunaan teknologi modern, seperti
pemakaian pupuk. Kenaikan hasil merupakan tujuan utama di negara-negara berkembang karena
cepatnya pertumbuhan penduduk, disamping adanya anggapan bahwa petani terbelakang dan
tradisional.

14
Petani dapat dididik dengan dua cara yang berbeda: 1) mengajari mereka bagaimana cara
memecahkan masalah spesifik, atau 2) mengajari mereka proses pemecahan masalah. Cara kedua
memerlukan banyak waktu dan upaya dari kedua pihak, tetapi untuk jangka panjang menghemat
waktu dan menambah kemungkinan dikenalinya gejala hama dan penyakit secara tepat waktu
dan segera dapat ditanggulangi. Cara demikianlah yang terbaik, tetapi perlu disadari bahwa
seseorang yang diberi pendidikan sepotong-sepotong lebih berbahaya dari orang buta huruf.
Petani wajib diberi pengertian tentang masalah mana yang dapat mereka pecahkan sendiri dan
manakah yang tidak (Soedijanto 2005:89).

Petani di negara berkembang juga ingin memperbaiki cara bertani mereka, dan kewajiban
agen penyuluhan adalah mendukung dan menciptakan proses demikian melalui belajar yang
disebut “belajar mandiri” atau self-directed learning

Selama bertahun-tahun konservatisme petani dianggap sebagai penyebab kegagalan


adopsi teknologi yang dikembangkan penelitian. Hal demikian ternyata tidak selalu benar,
karena cara bertani yang tidak menguntungkanlah yang membuat mereka tidak menggunakan
teknologi tersebut.

15
DAFTAR PUSTAKA

Amri Jahi. 2006. “Penyelesaian Masalah dalam Penyuluhan Sosial”. Makalah presentasi dalam
bentuk powerpoint disampaikan dalam Perkuliahan Aksi Sosial pada PS Ilmu
Penyuluhan Pembangunan. 25 Juli 2006., Institut Pertanian Bogor (file elektronik).
Asngari, Pang S. 2008. ”Pemanfaatan dan Penggunaan Teknologi Tepat Guna Bidang
Pertanian.” Dalam: Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Diedit
oleh: Ida Yustina dan Adjat Sudrajat. Bogor: IPB Press.
Bayu Krisnamurti. 2008. “Agenda Pemberdayaan Petani dalam Rangka Pemantapan Ketahanan
Pangan Nasional”. Jurnal Ekonomi Rakyat Th. 11 No. 7 [Jurnal On-Line]; Diperoleh
dari: http://www.ekonomirakyat.org/edisi19/artikel 3.htm; Internet; Diakses pada 6
Oktober 2008.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2006. “Pengembangan
Modal Sosial Masyarakat dalam Upaya Membangun Kelembagaan dan Pemberdayaan
Petani Miskin” [Article On-Line]; diperoleh dari: www.geocities.com/syahyuti/
2006socialcapital_proposal.pd; Internet; Diakses pada 22 Oktober 2008.

Bank Dunia, 2001. “Produsen Hortikultura dan Pengembangan Pasar Swalayan di Indonesia”.
[Article on-line]; Diperoleh dari: http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/
Resources/Publication/280016- 1168483675167/holtikultura_sum_bh.pdf; Internet;
Diakses pada 22 Oktober 2008.
Budiasa, I.W. 2005. ”Subak dan Keberlanjutan Pengelolaan Sistem Pertanian Beririgasi di Bali.”
Dalam: Revitalisasi Subak dalam Memasuki Era Globalisasi. Diedit oleh: I Gde Pitana
dan I Gede Setiawan Adi Putra. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Drommond T.J, Stacy Dysart, dan Andy Olson 2008. “Pertanian Berkelanjutan” [Article On-
Line]; Diperoleh dari: http://www.lablink.or.id/Agro/agr-sust.htm; Internet; Diakses pada
22 Oktober 2008.

16
Hermas E Prabowo. 2008. “Penyusutan Lahan Isu Utama Ketahanan Pangan”. [Article on-line];
Diperoleh dari: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/04/0145356/penyusutan.
lahan.isu.utama. ketahanan.pangan; Internet; Diakses pada 6 Oktober 2008.
Heryanti Suryantini. 2003. “Kebutuhan Inforamsi dan Motivasi Kognitif Penyuluh Pertanian
serta Hubungannya dengan Penggunaan Informasi (Kasus di Kabupaten Bogor Jawa
Barat)” Jurnal Perpustakaan Pertanian, Vol 12, No. 2, Tahun 2003; [Jurnal On-Line];
Diperoleh dari: http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/pp122031.pdf; Internet;
Diakses pada 22 Oktober 2008.

Margono Slamet. 2000. “Pemantapan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan Pembangunan
dalam Pembangunan”. Dalam: Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju
Terwujudnya Masyarakat Madani. Diedit oleh: Pambudy R dan Kardi A.K. Proseding
Seminar Nasional. September 2000. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor.
Puspadi, Ketut. 2005. ”Kualitas SDM Penyuluhan Pertanian dan Pertanian Masa Depan di
Indonesia.” Dalam: Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh: Ida
Yustina dan Adjat Sudrajat. Bogor: IPB Press.

Sabetghadam, Ahmad. 2003. ”Indigenous knowledge: Implications for the theory and practice of
agricultural education and extension” Agricultural Education Journal No. AAT
NQ88041; [Jurnal On-Line]; Diperoleh dari: http://proquest.umi.com.eserv.uum.edu.my/
pqdweb?did=765280381&sid=3& Fmt=2&clientId=28929&RQT=309&VName=PQD;
Internet; Diakses pada 6 Oktober 2008.

Soedijanto Padmowihardjo. 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan


Sistem dan Usaha Agribisnis. Departemen Pertanian. Jakarta.
Soedijanto Padmowihardjo. 2005. ” Penyuluhan sebagai Pilar Akselerasi Pembangunan
Pertanian di Indonesia pada Masa Mendatang”. Dalam: Membentuk Pola Perilaku
Manusia Pembangunan. Diedit oleh: Ida Yustina dan Adjat Sudrajat. Bogor: IPB Press.
Sutawan, N. 2005. ”Subak Menghadapi Tantantan Globalisasi. Perlu Upaya Pelestarian dan
Pemberdayaan Secara Lebih Serius.” Dalam: Revitalisasi Subak dalam Memasuki Era
Globalisasi. Diedit oleh: I Gde Pitana dan I Gede Setiawan Adi Putra. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Sumardjo. 2005. ”Kepemimpinan dan Pengembangan Kelembagaan Perdesaan: Kasus
Kelembagaan Ketahanan Pangan.” Dalam: Membentuk Pola Perilaku Manusia
Pembangunan. Diedit oleh: Ida Yustina dan Adjat Sudrajat. Bogor: IPB Press.
Tempo Interaktif. 2004. “PP RI No.68 Thn 2002 Tentang Ketahanan Pangan” [Article on-line];
Diperoleh dari:http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/03/29/prn,20040329-
07,id.html; Diakses pada 6 Oktober 2008.
Tjitropranoto, P. 2005. ”Penyuluhan Pertanian: Masa Kini dan Masa Depan.” Dalam:
Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh: Ida Yustina dan Adjat
Sudrajat. Bogor: IPB Press.

17
Van Den Ban dan Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Agnes Dwina Herdiastuti, penerjemah.
Terjemahan dari Agricultural Extention (Second Edition). Kanisius. Jakarta

18

You might also like