You are on page 1of 13

HARI KESAKTIAN PANCASILA

Oleh : Harsutejo Seperti kita ketahui pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama AD yang dilakukan oleh gerombolan militer G30S terjadi pada pagi hari 1 Oktober 1965, selanjutnya pasukan tersebut dilumpuhkan oleh RPKAD. Kejadian itu ditahbiskan sebagai Hari Kesaktian Pancasila dengan SK No.153/1967 27 September 1967, diteken oleh Pejabat Presiden Jenderal Suharto. Sebagai yang ditulis oleh wartawan senior Joesoef Isak, pentahbisan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila merupakan "suatu perzinahan politik khas gaya Suharto, menggunakan gugurnya para jenderal dan Pancasila untuk melegitimasi kepemimpinannya. Apa yang dilakukan Suharto pada 1 Oktober 1965 ketika sebelumnya Kolonel Latief memberitahukan kepadanya tentang gerakan perwira muda yang akan menangkap sejumlah jenderal sebelum Hari ABRI 5 Oktober 1965? Bukankah justru Suharto yang mengkhianati Pancasila, mengkhianati Saptamarga dan para jenderal rekan-rekannya sendiri dengan membiarkan semua gerakan itu berlangsung? Kita semua baru tahu belakangan sesudah rencana konspirasi meledak rupanya informasi Kol. Latief itu berkaitan dengan gerakan Letkol. Untung terhadap Jenderal Yani cs - tetapi apa yang dikerjakan Suharto yang sudah tahu beberapa hari sebelum kejadian berlangsung?" Jenderal Suharto justru menangguk di air keruh, dia bagian penting dari konspirasi itu dengan menempuh jalannya sendiri! Jenazah para jenderal tersebut dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di Lubang Buaya yang kemudian digali pada 4 Oktober 1965. Dalam keadaan emosional kesedihan orang banyak sejak penggalian jenazah, pemakaman di Kalibata, dimulailah kampanye hitam terhadap PKI dan ormas pendukungnya, utamanya Gerwani berupa dongeng horor fitnah tentang tindakan biadab terhadap para jenderal seiring dengan fitnah terhadap AURI dan petingginya. Setelah situasi matang, maka dilakukanlah gerakan militer untuk melakukan pembunuhan massal dengan menggunakan emosi tinggi sebagian rakyat terhadap anggota PKI dan siapa saja yang dianggap PKI serta pendukung Bung Karno yang lain di Jateng, Jatim, Bali, dan akhirnya di seluruh Indonesia. Hal ini dilanjutkan dengan pembersihan terhadap siapa saja, utamanya aparat yang mendukung BK, pertama-tama AURI selanjutnya di kalangan ABRI yang lain. Muaranya ialah menjatuhkan Presiden Sukarno. Hari Kesaktian Pancasila diabadikan dalam bentuk Monumen Pancasila Sakti yang terletak di Lubang Buaya, Pondokgede, Jakarta. Gagasan mendirikan monumen ini dituangkan dalam surat perintah Men Pangad Brigjen Hartono pada 2 Desember 1965, ketika pembantaian rakyar tak berdosa sedang berjalan. Disebutkan

monumen tersebut merekam fakta-fakta pemberontakan G30S/PKI, teror, penculikan, pembunuhan, perebutan kekuasaan hendak meruntuhkan negara Pancasila RI. Mayjen dokter Soedjono yang menulis buku Monumen Pancasila Sakti (1973) melukiskan apa yang disebutnya kebiadaban di Lubang Buaya antara lain seperti berikut. Segerombolan perempuan Gerwani berteriak melompat-lompat, menari. Dengan tiada rasa kemanusiaan mereka memainkan pisau silet ke tubuh Jenderal Prapto. "Jenderal Prapto telah meninggal dianiaya oleh gerombolan haus darah yang tak mengenal Tuhan kecuali dewa-dewa mereka Marx, Lenin dan Aidit". Betapa entengnya Pak Jenderal Dokter tersebut ikut memfitnah, yang tentunya sudah digodok dalam dinas intelijen. Kita tidak tahu apakah Pak Dokter yang tentunya orang saleh beragama ini di kemudian hari menyesal akan fitnah yang ikut disebarkannya dan menancap pada sebagian rakyat dan meracuni generasi muda Indonesia. Fitnah model itulah yang antara lain diabadikan dalam diorama pada apa yang disebut Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Meski monumen ini berisi fitnah, tapi kelak jangan sampai dihancurkan, tambahkanlah satu plakat yang mudah dibaca khalayak: "Di sini berdiri monumen kebohongan", agar kita semua belajar bahwa pernah ada masanya suatu rezim menghalalkan segala cara untuk menopang kekuasaannya, dengan fitnah paling kotor dan keji pun. (Dari naskah belum terbit).

Memaknai dan Menjaga Kesaktian Pancasila


Posted in Tajuk Rencana by Redaksi on Oktober 3rd, 2007 Pancasila mengandung makna yang amat penting bagi sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Karena itulah Pancasila dijadikan sebagai dasar negara ini. Artinya segala tindak tanduk dari orang-orang yang termaktub sebagai warga negara dari republik yang bernama Indonesia, haruslah didasarkan pada nilai-nilai dan semangat Pancasila. Apakah dia sebagai seorang politisi, birokrat, aktivis, buruh, mahasiswa dan lain sebagainya. Akan tetapi banyak kenyataan yang bisa membuktikan bahwa nilai-nilai dan semangat Pancasila sudah kurang membumi. Salah satu bukti bahwa semangat dan nilai Pancasila tidak membumi di negeri ini adalah terlihat dari kebersamaan dan persaudaraan kita yang mulai melemah. Padahal dilihat dari sejarahnya bahwa bangsa ini dari awalnya adalah bangsa yang kaya akan

keberagaman. Kaya akan perbedaan. Singkatnya, bangsa ini adalah bangsa yang pluralistik. Keberagaman menjadi jati diri kita sebagai sebuah bangsa. Karena itu, keberagaman tidak perlu dihilangkan. Dia hanya perlu dihargai, dihormati dan diperlakukan secara adil. Akan tetapi, beberapa waktu yang lalu khususnya ketika menjelang Pilkada di beberapa daerah, keberagaman terkoyak-koyak oleh karena kepentingan politik sesaat. Keberbedaan, baik dari segi suku, agama, warna kulit bukan untuk dieksploitasi untuk kepentingan sesaat, apalagi yang sifatnya individual. Tetapi lebih dijadikan sebagai potensi untuk memperkaya khasanah demokrasi. Kemudian, bagaimana eksistensi budaya nasional yang bertumpu pada nilai-nilai budaya yang masih hidup dan dihayati oleh masyarakat dikembangkan dan dimanifestasikan dalam praxis kehidupan di masyarakat. Belakangan ini, terjadi perdebatan tentang penempatan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam pendirian partai. Sebetulnya, jika kita paham akan makna dan nilai-nilai kesaktian Pancasila, maka perdebatan itu tidak perlu lagi terjadi. Kita tidak lagi kembali ke belakang. Maka yang seharusnya diperdebatkan dengan cerdas dalam pembahasan Rancangan UndangUndang (RUU) paket politik, khususnya RUU Partai Politik (Parpol), adalah bagaimana menata agar parpol lebih aspiratif terhadap keberadaan rakyat serta peranannya dalam konsolidasi demokrasi kita. Pancasila dan UUD 1945 sudah final dan tidak boleh lagi diganggu gugat sebagai landasan dan falsafah yang mengatur dan mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila pun terbukti sangat ampuh sebagai pedoman kehidupan bersama, termasuk kehidupan dalam berpolitik. Tidak ada yang lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu lagi diperdebatkan lagi. Itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia ketika negara ini didirikan. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut adalah hasil dari penggalian karakter dan budaya masyarakat Indonesia. Kemudian, kita patut bertanya, apa gerangan yang terjadi dengan perubahan politik kita sehingga Pancasila tidak layak lagi dijadikan sebagai asas dari seluruh perikehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk kehidupan berpolitik? Adakah sesuatu yang berubah dengan sejarah kita? Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus dijadikan sebagai kesempatan untuk merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian Pancasila itu sendiri. Hal ini penting khususnya bagi generasi muda bangsa ini. Generasi baru tidak akan memiliki rasa percaya diri dan kebanggaan atas bangsa ini tanpa mengenali sesungguhnya sejarah kehidupannya. Di tengah terpaan pengaruh kekuatan global, kita seharusnya menguatkan dan memperlengkapi diri agar tidak terjerembab dalam lika-liku zaman sekarang ini. Salah satunya adalah dengan menggali kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Nilai-nilai itulah yang kemudian kita maknai sebagai energi untuk membangun kembali jati diri bangsa ini. Bangsa ini bisa berdiri tegak, hanya jika mau kembali menghidupkan dan sekaligus mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat pada Pancasila.

SAKTIKAH PANCASILA Oleh:

SAKTIKAH PANCASILA Oleh: Franz Magnis-Suseno (Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta) Selama Orde Baru, tanggal 1 Oktober dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Mengapa? Pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi-pagi Gerakan 30 September (G30S, nama yang dipilih mereka sendiri) menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat, Kapten Tendean, dan memaklumkan Dewan Revolusi sebagai penguasa tertinggi di Indonesia. Namun pada malam yang sama, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto, dengan mengabaikan perintah Presiden Soekarno (yang ditampung incommunicado oleh G30S) menumpas kekuatan G30S.Mengapa kejadian-kejadian ini dianggap membutkikan kesaktian Pancasila? Menurut Orde Baru, G30S merupakan kekuatan anti-Pancasila, dan kemenangan Soeharto dianggap membuktikan, setiap usaha untuk mendongkel Pancasila pasti gagal. Demikian menurut wacana Orde Baru. Kini orang jarang membicarakan Pancasila. Seakan-akan kita malu atau segan. Keseganan ini dapat dimengerti. Selama puluhan tahun, Pancasila disalahgunakan guna membenarkan sistem Orde Baru yang kini dicela. Secara khusus Pancasila dipakai sebagai alat untuk membungkamkan segala tuntutan demokratisasi dan celaan terhadap pemerkosaan hak-hak asasi manusia. Namun, Pancasila tidak boleh kita diamkan. Bahwa Pancasila disalahgunakan, tidak berarti nilai dan fungsinya hilang. Malah tujuh tahun sesudah Orde Baru jatuh, penegasan kembali Pancasila semakin mendesak. Perlu diingat untuk apa Pancasila dicetuskan. Pancasila dicetuskan pertama kali oleh Soekarno untuk memecahkan konflik antara anggota BPUPKI yang mau mendasarkan Republik Indonesia atas nasionalisme sekuler dan mereka yang mau mendasarkannya pada agama Islam. Hakikat Pancasila sebagai landasan persatuan bangsa Indonesia menjadi jelas pada 18 Agustus 1945. Atas desakan Hatta, demi persatuan Indonesia, PPKI, termasuk tokoh-tokoh Islamis, sepakat menghapus tujuh kata yang mewajibkan syariat Islam kepada para pemeluk agama Islam. Sejarah perumusan dan pengesahan Pancasila ini menunjukkan, Pancasila tak lain adalah kesepakatan rakyat Indonesia untuk membangun sebuah negara, di mana semua warga sama kedudukannya, sama kewajiban, dan sama haknya. Jadi, semua warga masyarakat punya kedudukan sama, tanpa diskriminasi, tanpa membedakan agama, tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas, sama-sama memiliki kewajiban-kewajiban dan hak-hak dasar sebagai warga negara dan sebagai manusia. Penegasan kembali Hanya atas dasar Pancasila yang menjamin identitas semua komponen bangsa, tanpa membedakan antara warga negara kelas satu dan kelas dua, kemajemukan masyarakat Nusantara, mau dan bisa membentuk satu bangsa Indonesia dalam satu negara Indonesia. Cabutlah Pancasila, dasar kesepakatan ratusan etnik dan suku di Nusantara untuk membentuk Indonesia, juga tercabut. Pancasila adalah jaminan atas kemungkinan balkanisasi Indonesia. Sekarang kesepakatan dasar itu perlu ditegaskan kembali, berhadapan dengan intoleransi dan

eksklusivisme yang makin tidak malu menunjukkan kepalanya. Pancasila menuntut kesediaan rakyat Indonesia untuk saling menerima dalam kekhasan masingmasing. Implikasi Pancasila adalah negara dan kehidupan bangsa Indonesia harus ditata secara inklusif. Setiap kelompok dapat hidup menurut cita-citanya, tetapi setiap usaha untuk memaksakan citacita salah satu kelompok, entah dia mayoritas atau minoritas, semuanya pasti membatalkan kesepakatan Pancasila dan tekad untuk membentuk satu negara dan satu bangsa Indonesia. Saktikah Pancasila? Tanggal 1 Oktober 1965 dan buntutnya membuktikan, Pancasila hanya sesakti tekad dan kesetiaan mereka yang komit padanya. Tanggal 1 Oktober 1965 lebih tepat disebut Hari Pengkhiatan Pancasila. Pertama oleh mereka yang melakukan makar dan secara brutal membunuh sembilan perwira tinggi Angkatan Darat. Kedua oleh mereka yang kemudian membunuh, atau membiarkan dibunuh, ratusan ribu saudara dan saudari sebangsa, yang menangkap, dan sering menyiksa jutaan orang, yang menahan puluhan ribu orang lebih dari 10 tahun lamanya, yang mencuri hak warga, dan sering juga hak miliknya, dengan dalih mereka terlibat PKI/G30S, padahal banyak yang tidak terbukti. Itu semata-mata karena orientasi politik mereka, salah satu kebiadaban terbesar di bagian kedua abad ke-20. Jelas, kesaktian Pancasila tergantung dari kita. Dan jelas juga Indonesia hanya akan menghindar dari nasib seperti Yugoslavia, apabila kita kembali secara nyata pada komitmen yang terungkap dalam Pancasila. oleh Andreas A Yewangoe Menarik juga apabila kita menyimak berbagai polemik tentang perda-perda dalam bulan-bulan terakhir ini. Dimulai dengan petisi yang disampaikan 56 anggota DPR yang meminta pemerintah mencabut perda- perda yang ditengarai bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Belum lagi petisi ini ditanggapi, telah ada lagi kontra-petisi dari 134 anggota DPR lainnya yang justru meminta supaya tidak dengan mudah mencabut perdaperda seperti itu. Adanya perda-perda itu dilihat sebagai kebutuhan dari daerah yang menetapkannya. Dalam majalah Gatra 6 Mei 2006, persoalan perda-perda ini dijadikan fokus pembahasan. Digambarkan berbagai kegairahan yang terdapat di daerah-daerah yang mau atau bahkan sudah menerapkan syariat Islam,seperti Kabupaten Bulukumba, Gowa, dan Wajo di Sulawesi Selatan. Hal serupa juga ditemukan di Banten dan Riau. Demikian juga beberapa kota seperti Cianjur, Tasikmalaya, Pamekasan, Mataram, dan Dompu. Bagi sebagian orang, keberadaan perda ini disambut gembira. Tetapi bagi yang lainnya, mencemaskan. Setidaknya di daerah-daerah yang penduduknya tidak terlalu lazim dengan halhal bernuansa Islam,seperti NTT, Sulawesi Utara, Papua, dan seterusnya. Bahkan, menurut Gatra, ada yang mengancam untuk melepaskan diri dari NKRI.Sesungguhnya persoalan syariat Islam bukanlah sesuatu yang baru di dalam sejarah republik ini. Ia sudah dimulai ketika negara ini didirikan. Rasanya kita semua tahu bagaimana mendasarnya diskusi-diskusi, bahkan perdebatan-perdebatan di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan ketika kemerdekaan negeri kita dicanangkan. Pertanyaan mendasar, di atas dasar manakah republik ini didirikan,telah dijawab dengan berbagai pandangan-pandangan. Tidak mudah memperoleh jawaban bagi sebuah negeri yang

masyarakatnya sangat majemuk ditinjau dari berbagai segi: suku, agama, ras, etnis, dan golongan. Dua aliran besar pada waktu itu, untuk mudahnya sebut saja "Islam" dan "kebangsaan" masing- masing mempunyai cita-cita mendirikan negara ini di atas dasar yang menurut mereka sangat pas dengan kenyata- an bangsa kita pada waktu itu. Solusi Bung Karno Tetapi Bung Karno, melalui pidatonya yang terkenal, "Lahirnya Pancasila" memberikan solusi. Pandangan beliau diambil-alih oleh "Panitia Sembilan" dengan "modifikasi" seperlunya. Panitia merumuskan naskah yang terkenal sebagai "Piagam Djakarta". Piagam itulah, di mana dirumuskan secara jelas "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" diharapkan menjadi Muka- dimah UUD dari negara yang bakal didirikan. Tetapi, justru anak kalimat itulah yang dicoret pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah adanya keberatan dari wakil-wakil Indonesia Timur. Mereka mencium adanya perlakuan "diskriminatif" kepada sebagian bangsa Indonesia dengan menerapkan hukum secara khusus itu. Para pendiri negara pada waktu itu sungguh-sungguh berjiwa negarawan dan mempunyai visi jauh ke depan tentang persatuan dan kesatuan bangsa. Maka terwujudlah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bhinneka tunggal ika, berbeda tetapi satu jua adanya. Rupanya dalam perjalanan sejarah bersama itu, pergumulan kita belum selesai dengan perumusan yang ada. Dinamika sejarah kita begitu bergeloranya, sehingga dasar negara tetap menjadi persoalan. Sidang Konstituante, yang merupakan hasil pilihan rakyat dalam Pemilu 1955 tidak berhasil merumuskan dasar negara. Hal itu membuka peluang bagi Bung Karno sebagai Kepala Negara mengeluarkan Dekrit Presiden yang terkenal itu. Sekali lagi, sifat negara kebangsaan di- tegaskan. Tetapi bersama dengan itu diperkenalkan pula sistem "Demokrasi Terpimpin" yang membuka jalan bagi kecenderungan kediktatoran Bung Karno. Orde Baru muncul sebagai "koreksi" terhadap Orde Lama. Trauma terhadap kemungkinan keterjebakan dalam diskusi tentang ideologi yang tidak habis-habisnya, maka Pancasila diproklamasikan sebagai asas tunggal. Penataran P4 digiatkan. Pancasila telah menjadi alat kekuasaan dari sebuah rezim, ketimbang sebuah Weltanschauung yang mengayomi. Ketika era reformasi tiba meruntuhkan Orde Baru, Pancasila pun ikut terdorong ke belakang. Pancasila dianggap tidak bisa lagi dipergunakan di dalam mengelola negara dan bangsa. Bahkan untuk menyebutkannya saja orang menjadi segan. Termasuk pejabat-pejabat pemerintah. Sementara itu, UU Otonomi Daerah ikut mendorong timbulnya perda-perda yang dinilai tidak selalu sejalan dengan Pancasila dan Konstitusi. Di beberapa daerah, perda-perda itu dinilai sebagai solusi menyelesaikan berbagai kemelut bangsa. Kendati penyusunanperda-perda itu terkesan praktis, yaitu untuk menjawab kepentingan-kepentingan tertentu di daerah, namun di belakangnya terkandung hal-hal yang bersifat ideologis. Persoalan Konkret Perkembangan-perkembangan ini membawa kita kepada pertanyaan lanjutan, apakah memang perlu kita mempertanyakan hal-hal yang bersifat ideologis pada saat ini? Atau, tidakkah lebih produktif apabila kita mengarahkan seluruh perhatian kita kepada penyelesaian persoalanpersoalan konkret bangsa seperti kemiskinan,ketidaksejahteraan dan ketidakadilan yang meluas di tengah-tengah masyarakat kita?

Berbagai ormas Islam, seperti NU misalnya telah menegaskan bahwa bagi mereka Pancasila telah definitif. Ini berarti, tidak perlu lagi kita mempersoalkannya. Tetapi kita didorong untuk mengisinya dengan berbagai kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Maka, kerja keras dari semua anak bangsa diminta sebagai wujud nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari. Nilai agama pun sesungguhnya tercermin di dalam Pancasila. Beberapa waktu lalu kita merayakan Hari Lahir Pancasila. Dalam rangka perayaan itu istilah revitalisasi Pancasila dipakai secara luas. Pilihan kata ini secara implisit mengindikasikan bahwa selama ini memang Pancasila telah mati suri. Tetapi revitalisasi dengan hanya mengucapkannya saja tidak cukup. Kita mesti sungguh-sungguh mengonkretkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga di dalam menghasilkan berbagai produk hukum. Pada waktu lalu Pancasila sudah dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kalau kita benar-benar mau merevitalisasikannya, kita mesti konsisten melaksanakan prinsip ini. Hidayat Nur Wahid benar ketika ia mengatakan bahwa sebelum Indonesia menjadi republik, negeri-negeri ini terdiri dari kerajaan- kerajaan Islam. Tetapi kerajaan- kerajaan Islam itu bukan Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Indonesia adalah sebuah novum di dalam sejarah. Ia terdiri dari sekumpulan orang dengan derajat kemajemukan yang tinggi, namun ingin bersatu menyelesaikan berbagai persoalan bersama. Inilah keindonesiaan itu. Inilah yang mesti terus-menerus dibina. Keindonesiaan mesti tertanam di dalam hati sanubari setiap anak bangsa yang berbeda-beda ini sebagai miliknya sendiri. Hanya dengan demikianlah kita bisa maju terus ke depan. Kalau tidak, kita akan gagal menjadi bangsa. Penulis adalah Ketua Umum PGI DICARI BUKU PANCASILA YANG BENER ADA ungkapan, sejarah adalah milik para pemenang. Begitu pula terhadap lahirnya Pancasila, ada tudingan masuk kategori sebagai manipulasi penguasa. Namun, buku-buku sejarah yang berbeda dengan versi pemerintah, ternyata sudah ada juga di pasaran. Bahkan, pelurusan sejarah pun menyelip lewat buku sastra. Keberadaan Pancasila pernah menjadi polemik, terkait soal klaim bahwa yang pertama kali mengusulkannya adalah Muhammad Yamin, bukan Soekarno. Menurut Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, rekayasa sejarah lahirnya Pancasila, berlangsung sejak awal Orde Baru untuk mengecilkan jasa Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto. Selain memberi legitimasi historis kepada Soeharto, itu dilakukan untuk menghilangkan peluang bagi pendukung Soekarno tampil di kancah politik nasional. >Pada 1 Juni 1945, Soekarno berkesempatan menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato tersebut disampaikan di depan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI-Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Sembilan, yang diketuai Soekarno, untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang Soekarno, pada 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Lalu, setiap tanggal 1 Juni pun diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Namun, sejak 1 Juni 1970, Kopkamtib melarang peringatan lahirnya Pancasila. Kontroversi lahirnya Pancasila pun dimulai dengan terbitnya buku Nugroho Notosusanto berjudul "Naskah

Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pantjasila jang otentik" (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971). Dalam buku itu, Nugroho mengatakan bahwa ada empat rumusan Pancasila. Yaitu, yang disampaikan Muh. Yamin (29 Mei 1945), Soekarno (1 Juni 1945), berdasarkan hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945), dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945). Menurut Nugroho, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945, karena Pancasila yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah, yakni berlandaskan proklamasi, pada 18 Agustus 1945. Dijelaskan Asvi, Muh. Yamin sendiri dalam bukunya mengakui, Soekarno sebagai penggali Pancasila. Panitia Lima yang diketuai Hatta juga mengakui Soekarno yang pertama berpidato tentang Pancasila. "Itu kan membodohi bangsa. Sejarah tidak ditulis dengan benar dan itu berlangsung selama puluhan tahun," kata Asvi. Asvi, yang banyak menulis tentang pelurusan sejarah ini, mengatakan bahwa hal tersebut bukan dimaksudkan untuk pengultusan seseorang. "Kalau memang jasa itu benar, silahkan ditulis. Kalau tidak, ya jangan. Mengecilkan jasa seseorang, tentu tidak fair," katanya. Masalahnya kemudian, kata Asvi, yang diajarkan di sekolah adalah versi pemerintah. Sekarang ini standar buku pun belum berubah. Maka, kata Asvi, guru dan murid jadi bingung. "Tapi, saat ini sudah ada juga buku-buku yang berbeda dengan versi pemerintah," kata Asvi. Asvi pun menyoroti upaya-upaya pelurusan sejarah melalui buku sastra, seperti berbagai novel yang kini mulai banyak beredar. "Itu sangat menarik," katanya. Tentang Kelahiran Pancasila Sakti [Rakyat Merdeka, 2 Juni 1999] Suku-suku primitif dimana-mana di permukaan planet, menurut antropolog tenar Margaret Mead, memiliki pandangan hidup masing-masing, sesuai dengan tingkat peradaban mereka, kultur mereka, cara hidup dan cara mereka survive, dan tanggapan mereka terhadap "dunia" bangsa-bangsa asing yang berpapasan dengan mereka dalam lalu-lintas pergaulan internasional, tidak terkecuali suku-suku yang hidup di wilayah Nusantara. Hal ini diketahui dengan jelas oleh tidak saja para founding fathers Republik 17 Agustus 1945 yang telah tiada, akan tetapi juga para pakar antropologi budaya yang tidak segan-segan mendalami disiplin mereka dan tidak menolak premis-premis dan spekulasi pakar-pakar lain. Ketika oleh bangsa Indonesia disadari bahwa penjajahan kolonial tidak lagi cocok dengan rasa peri-keadilan dan peri-kemanusiaan, dan oleh tuntutan sejarah harus dibuang ke keranjang sampah, maka bagi suku-suku di Nusantara secara mutlak diperlukan suatu Weltanschauung, dalam bahasa Inggris juga disebut sebagai worldview, yang mampu mempersatukan semua suku dengan sub-kultur masing-masing, yang tidak kalah mutunya dengan bangsa-bangsa maju, seperti katakan saja Declaration of Independence atau "Manifesto Komunis" sekali pun. Maka pada 1 Juni 1945, "lahirlah" apa yang kemudian disebut "Pancasila" sebagai manifesti hak keberadaan, yaitu raison d'etre suatu bangsa yang ratusan tahun dijajah, yang tidak memiliki Weltanschauung dan dengan demikian juga tidak memiliki jati diri. Beberapa saat setelah "Pancasila" pada 1 Juni 1945, oleh para hadirin dalam apa yang disebut sebagai "Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (Dokuritsu Zunbi Chasakai), diterima secara aklamasi sebagai dasar falsafah negara, maka

tidak kurang dari enamratus suku di Nusantara mulai sadar bahwa mereka dipersatukan dalam kesamaan nasib, penderitaan serta "kodrat" bahwa mau tidak mau mereka harus bersatu dan menjadikan bangsa Indonesia suatu nasion yang homogen, jika mereka di kemudian hari tidak mau berkeping-keping dan musnah oleh benturan-benturan yang dihadirkan sejarah. Pada hari ini, yaitu 54 tahun setelah Pancasila lahir, oleh perumusan Ir. Soekarno (yang sehari sebelumnya disinggung pula oleh Mr. Moh Yamin) maka kita boleh mempertanyakan kepada diri kita sendiri, apa kira-kira jadinya Republik kita ini, seandainya tidak ada Pancasila dan tidak ada UUD 1945, ketika itu. Sudah jelas bahwa suatu negara federal semacam buatan JH van Mook dengan Luitenat Generaal Simon H Spoor atau penggantinya Luitenant Generaal Buurman van Vreeden yang menjadi panglima Tentara Federal Republik Indonesia Serikat, dan bangsa Indonesia akan tetap menjadi bangsa "inlander" yang harus takluk kepada "Mahkota Kerajaan Belanda". etapi, semangat kolonial Belanda dibantu oleh kekuatan-kekuatan reaksioner dari kapitalisme internasional berhasil gemilang untuk menyingkirkan Soekarno dari gelanggang politik di Indonesia; serta-merta mendudukkan Jenderal TNI Soeharto sebagai pengganti Soekarno, untuk tidak saja melakukan de-soekarnoisasi serta membasmi semangat kebangsaan dan patriotik dari bumi Nusantara, dengan dalih "komunis, Islam fundamentalis, dan subversi lain-lain", termasuk membalikkan arah perjalanan sejarah bangsa. Kini, setelah Soeharto lengser keprabon, dan semua masalah yang tempo hari gelap gulita sudah mulai mmenunjukkan tanda-tanda terang, kita dihadapkan kepada persoalan baru sejarah, yakni mengikuti gagasan Letnan Gubernur Jenderal JH van Mook untuk menjadi negara federal, mengganti Pancasila dengan Weltanschauung lain, menggantikan UUD 1945 (atau memulai babak baru sejarah, dengan melenyapkan Soehartoisme - sebab searah dengan neo-kolonialisme dan tidak sesuai dengan peri-keadilan dan peri-kemanusiaan?. Kesemuanya terserah kepada rakyat Indonesia. Sebab apa? Rakyatlah pemilik sah bumi Nusantara, dan yang berhak penuh untuk menentukan nasib bangsa Indonesia di kemudian hari.

"BHINNEKA TUNGGAL IKA" KITA MENGHADAPI BAHAYA !


(Oleh : A. Umar Said) Tulisan ini adalah sekedar _urun rembug_ dan sekaligus juga merupakan ajakan, untuk bersamasama, mencoba merenungkan gejala-gejala berbahaya yang akhir-akhir ini muncul di tanah-air kita. Bangsa kita sedang melalui masa transisi, dengan berusaha meninggalkan masa panjang yang kelam selama lebih dari tiga puluh tahun, menuju ke arah yang menjadi idaman kita bersama, yaitu kehidupan demokratik bagi rakyat, kemajuan ekonomi yang bisa dinikmati oleh sebagian terbesar bangsa kita, kestabilan keamanan yang bisa mengayomi seluruh warganegara republik kita.

Tetapi, dengan amat sedih _ dan perasaan was-was _ banyak di antara kita dewasa ini menyaksikan bahwa harapan akan datangnya perbaikan di berbagai bidang itu masih jauh, di ufuk sana! Ternyata, (dan ini kelihatan jelas sekali di banyak bidang), bahwa kekuatan Orde Baru masih cukup kuat. Dan, mereka tidak diam. Karena itu, tidak boleh diremehkan atau dianggap enteng saja. Seperti yang bisa kita baca dalam media pers setiap hari, banyak orang mendapat kesan bahwa reformasi, yang menjadi tuntutan angkatan muda sebelum dan sesudah jatuhnya Suharto dalam tahun 1998, berjalan lambat, pincang, bahkan sudah macet. Kekuatan Orde Baru ini bukan hanya terdapat di kalangan militer (terutama TNI-AD), tetapi juga di kalangan birokrasi (pemerintahan), dan bukan hanya di Jakarta saja, tetapi juga (dan bahkan, terutama !) di tingkat propinsi, kabupaten, bahkan kecamatan. Dan gejalanya bukan hanya tercermin pada masih megahnya kantor-kantor Golkar, dan bukan pula pada masih banyaknya papan-papan nama Korpri, Darmawanita dll, yang sampai sekarang masih_ bersemarak_ di seluruh Indonesia. Gejala yang paling menyolok adalah yang berikut ini : _kultur_ Orde Baru_ yang masih berakar kuat dalam fikiran banyak orang, terutama di kalangan _elite_. Ini bisa kita saksikan dalam ucapan dan tingkah laku politik sebagian besar anggota DPR, MPR, tokoh-tokoh berbagai partai politik dan kalangan agama, dalam menghadapi berbagai masalah gawat dan pelik yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini.. Ketika berseliweran berbagai perbenturan kepentingan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, atas nama agama atau Tuhan, atas nama bangsa, atas nama tegaknya hukum atau keadilan, maka penting sekali bagi kita semua untuk tidak kesasar dalam membaca situasi yang semrawut seperti sekarang ini. Pada intinya, sekarang ini, sedang berkecamuk _ baik secara terbuka maupun tertutup, dan, dalam berbagai bentuk pula - perjuangan yang sengit antara kekuatan pro-rakyat atau pro-reformasi berhadapan dengan sisa-sisa kekuasaan politik Orde Baru. Artinya, antara berbagai golongan dalam masyarakat (mohon catat : jadi, bukan hanya mereka yang pro-PKI atau pro-Bung Karno saja, yang anggota keluarga mereka dibunuhi, atau dikucilkan, dipersekusi, selama puluhan tahun) menghadapi kekuatan laten pendukungpendukung Suharto dkk. Kita menyaksikan bahwa mereka yang tadinya pernah tertipu oleh indoktrinasi rezim militer, sekarang juga ikut dalam perjuangan, karena menyadari betapa jahatnya sistem politik yang lama. Dan, jumlah mereka yang begitu itu cukup banyak. PERJUANGAN INI AKAN PANJANG Mengingat itu semua, seyogyanyalah kita menanamkan persiapan mental : perjuangan ini akan makan waktu panjang! Sebab, dari pengamatan perkembangan situasi akhir-akhir ini, jelaslah bahwa kita harus mencampakkan ilusi bahwa sesudah Suharto dkk tumbang, maka tugas kita bersama untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan besar yang telah dibuat rezim Orde Baru akan bisa berjalan mulus dan cepat. Nalarnya begini: Suharto dkk (sekali lagi baca : pimpinan TNIAD, Golkar, dan sebagian kalangan Islam) telah mengangkangi sambil sekaligus mengobrakabrik tatanan negara kita selama lebih dari 32 tahun, artinya, lebih dari separoh umur republik kita! Hiruk-pikuk akrobasi politik yang sedang digelar oleh para reformis gadungan dan pendukungpendukung gelap Orde Baru di DPR, MPR dan oleh berbagai tokoh masyarakat dewasa ini, kiranya dapat dilihat dengan kaca-mata yang demikian itu. Artinya, bahwa sisa-sisa kekuatan

Orde Baru masih kuat, dan juga mampu membikin onar politik, dan makin menambah banyaknya kekisruhan yang sudah bertumpuk-tumpuk sebagai warisan zaman gelap itu. Itu semua dengan tujuan untuk menggulingkan Gus Dur, dan merebut kembali kekuasaan politik. Jadi, bahaya restorasi Orde Baru (dalam kemasan baru tetapi dengan isi yang itu-itu juga) adalah nyata. Karena itu, adalah kewajiban kita bersama untuk waspada dan siap-siap untuk menghadapi adanya _arus balik _. Demi kelanjutan reformasi, seluruh kekuatan pro-rakyat dan pro-demokrasi perlu memobilisasi diri untuk mencegah kelahiran Orde Baru edisi kedua. Tantangannya berat, dan risikonya juga besar. Sedikit kemajuan kehidupan demokrasi (kemerdekaan pers dan kebebasan berpolitik), yang sudah direbut oleh rakyat akhir-akhir ini, akan bisa lepas, kalau bahaya restorasi Orde Baru ini tidak kita cegah bersama-sama. Edisi kedua Orde Baru, dalam bentuknya yang bagaimanapun, berarti kemunduran ke belakang yang panjang bagi rakyat yang mendambakan perobahan-perobahan mendasar. Penderitaan yang berkepanjangan akan bisa terulang lagi. Cukuplah sudah kiranya bangsa kita mengalami malapetaka yang bernama Orde Baru!. Terulangnya, sekali lagi, walaupun dengan bentuk baru, akan makin membikin negara lebih porak-poranda lagi. Pedoman besar bangsa kita Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika akan, seperti yang sudah-sudah selama kekuasaan rezim militer Suharto dkk, akan dikentuti saja oleh para penguasa baru. Pengalaman di masa-gelap yang lalu membuktikan bahwa pembodohan politik (dan perusakan moral!) yang dijalankan secara besar-besaran oleh kekuasaan yang lama itu telah membikin banyak orang lupa - atau bahkan tidak mengerti - tentang kebesaran arti kedua pedoman besar kita itu. Memang, seperti kita saksikan di mana-mana, lambang Bhineka Tunggal Ika banyak dipasang di kantor-kantor atau gedung-gedung, baik yang pemerintah atau pun swasta. Tetapi, kita juga bisa mengamati bahwa lambang negara dan bangsa yang agung itu hanyalah dijadikan pajangan saja, yang tidak mempunyai arti apa-apa. Kenyataan ini bukan saja memprihatinkan, tetapi juga menyakitkan hati. Sebab, justru begitu banyak politik atau _kebijakan_ Orde Baru telah terang-terangan di bikin dalam ruanganruangan yang dihiasi oleh Bhineka Tunggal Ika. Seolah-olah, segala kejahatan Orde Baru telah di buat dengan _kesaksian_, atau _pengayoman_ atau _restu_ sang Bhineka Tunggal Ika. Dan ini merupakan kejahatan ganda. Sebab, begitu banyak politik Orba yang ternyata terang-terangan bertentangan dengan jiwa atau isi yang dikandung dalam Bhineka Tunggal Ika. Dalam bahasa yang polos, Orde Baru telah mengkhianati, atau melecehkan, atau merusak jiwa besar yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika. PERSATUAN DALAM KERAGAMAN Seperti yang kita fahami atau hayati, Bhineka Tunggal Ika mengandung pesan : berbeda-beda tetapi satu, bersatu dalam perbedaan, kesatuan dalam keragaman. Wawasan agung inilah yang telah ditegakkan oleh para pejuang kemerdekaan dan para pembangun bangsa Indonesia dalam tahun 20-an. Dengan menyimak lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengan lambang negara kita itu, maka makin jelas pulalah keagungannya. Penjelasannya adalah, antara lain, yang berikut :

Penduduk Republik Indonesia berjumlah sekitar 210 juta orang, yang terdiri dari sekitar 300 suku, dan yang menggunakan sekitar 580 bahasa dan dialek. Mereka menghuni 6000 pulau dari seluruh jumlah kepulauan sebesar 17 508 pulau. Di antara penduduk yang begitu besar itu (ke-4 di dunia) kira-kira 87% memeluk agama Islam, 6% agama Protestan, 3% agama Katolik, 2% agama Hindu, 1% agama Budha, dan selebihnya memeluk berbagai kepercayaan.. Luas wilayahnya (darat dan laut) dari Sabang ke Merauke bisa menutupi seluruh Eropa, dari London sampai pegunungan Ural. Kalau melihat angka-angka tersebut di atas maka nyatalah bahwa bangsa Indonesia memang terdiri dari beraneka ragam suku, agama (atau kepercayaan), adat-istiadat, kebiasaan hidup sehari-hari, dan berbagai aspek lainnya. Dari sejarah kita mengetahui bahwa gerakan politik rakyat untuk melawan kolonialisme Belanda, telah mempersatukan atau menyatukan berbagai golongan, suku dan agama, dan aliran politik dalam semangat Sumpah Pemuda dalam tahun 1928, yang mengikrarkan : _satu bangsa, satu tanah-air dan satu bahasa_. Dari sudut pandang inilah kiranya kita bisa menilai betapa besarnya arti lambang Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan produk perjuangan yang begitu panjang oleh para perintis kemerdekaan dan pejuang pembebasan nasional. Dan dari sudut pandang itu pulalah kita bisa mengukur betapa besar kerusakan yang telah disebabkan oleh rezim militer Orde Baru. Akibat kesalahan-kesalahan politik itulah yang sekarang sedang kita warisi dewasa ini, umpamanya : berbagai gejolak di daerah-daerah yang menginginkan kemerdekaan, tuntutan otonomi yang lebih luas (catatan : tuntutan ini adil!), ketidak-percayaan kepada Pemerintah Pusat, pertentangan antar-suku dan antar-agama. Ketika membaca bagian di atas, mungkiin ada orang yang menyeletuk bahwa Orde Baru telah bisa berhasil mempersatukan bangsa atau menjaga kesatuan negara kita selama 32 tahun. Terhadap ungkapan orang yang semacam ini patutlah kiranya dijawab bahwa persatuan bangsa atau kesatuan negara selama itu adalah sebenarnya semu, dan di dasarkan pada ancaman ujung bayonet. Persatuan yang sungguh-sungguh (artinya, bukan semu) tidak mungkin dibangun oleh suatu diktatur militer. Jadi, singkatnya, dan pada intinya, kekuasaan militerlah (dalam hal ini, sekali lagi, TNI-AD) yang merusak Bhineka Tunggal Ika. Dan sekarang ini, kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru beserta reformis gadungan sedang berusaha untuk tampil lagi di panggung kekuasaan politik. Mereka sedang melakukan berbagai kegiatan (baik terbuka maupun tertutup) untuk menimbulkan berbagai keruwetan politik dan keonaran, untuk menggulingkan Gus Dur. Menghadapi bahaya ini, seluruh kekuatan proreformasi dan pro-demokrasi perlu mengatur barisan dan mempersatuan kekuatan untuk melawannya. Sebab, betapapun merdunya nyanyian yang mereka dendangkan, adalah omong kosong besar kalau para reformis gadungan akan bisa, atau akan mau, melaksanakan reformasi secara tuntas dan sungguh-sungguh. Reformasi berarti talak-tiga dengan fikiran, praktek, mental atau _kultur_ Orde Baru. Reformasi yang sungguh-sungguh tidak mungkin dilakukan oleh para reformis gadungan yang bersekongkol dengan kekuatan-keuatan gelap Orde Baru. Karenanya, reformis gadungan ini

harus tetap terus dijadikan sasaran serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh kekuatan demokrasi dan pro-reformasi. Sebab, mereka ini sama berbahayanya dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang masih bersembunyi di mana-mana. Bahkan mungkin lebih berbahaya, sebab mereka bisa menipu dengan topeng yang molek. Dengan menggelar berbagai kegiatan - dan keonaran _ untuk menggulingkan Gus Dur, pada hakekatnya kaum reformis gadungan ini sedang menyatukan diri dengan kepentingan Suharto dkk. Sebab, kalau seandainya Gus Dur bisa digulingkan, maka kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru akan mendapat peluang yang besar untuk melanjutkan kejahatan mereka terhadap rakyat dan negara. Dengan kalimat lain, kalau Gus Dur bisa digulingkan, maka bahaya restorasi Orde Baru mungkin akan bisa menjadi kenyataan. DENGAN ATAU TANPA GUS DUR, BERJUANG TERUS Tetapi, apakah Gus Dur akan bisa mereka gusur? Berbagai faktor, termasuk yang tidak bisa disangka-sangka terlebih dulu (unexpeted factors, yang sering terjadi dalam sejarah) akan menentukannya. Namun, berbagai hal sudah bisalah kiranya kita jadikan bahan pertimbangan. Faktor dalam negeri memang merupakan faktor penting, tetapi dalam situasi yang sedang dihadapi negeri kita dewasa ini, faktor luarnegeri juga tidak kalah pentingnya. Imbangan kekuatan dalamnegeri (termasuk opini umum) masih akan naik turun, dalam kaitan dengan gencarnya serangan-serangan dari kubu anti-Gus Dur (yang pada dasarnya anti-reformasi ), dengan menggunakan berbagai isyu (Buloggate, Brunaigate, kasus penggantian Kapolri dll dll). Namun, yang jelas adalah bahwa Gus Dur mendapat simpati yang luas, dan dukungan yang solid, dari dunia internasional. Banyak negeri di dunia melihat pada sosok Gus Dur sebagai seoarang demokrat, yang menghargai hak asasi manusia, yang punya toleransi besar antar-agama dan antar-suku. Di dalamnegeri sendiri, tidak kecil jumlah orang yang menganggap Gus Dur sebagai pemersatu bangsa, yang mengayomi minoritas agama atau suku. Pada diri Gus Dur orang bisa melihat cemerlangnya lambang Bhineka Tunggal Ika yang sudah dicoreng-moreng oleh Orde Baru. Dalam hal-hal itu semua, Gus Dur berada di posisi yang jauh di depan Amien Rais dan sebangsanya, yang sekarang berusaha, dengan segala cara, untuk mendongkelnya. Peta situasi politik di Indonesia masih dinaungi oleh kabut gelap, dan kita tidak bisa meramalkan kapan dan bagaimana prahara akan terjadi. Apapun yang akan terjadi, satu hal sudah jelas : kekuatan pro-reformasi harus menggunakan ruang demokrasi yang terbuka sekarang ini untuk terus mengembangkan kekuatannya. Segala fihak, tanpa pandang bulu tentang suku, agama, ras, aliran politik, perlu menyadari bahwa reformasi harus jalan terus, baik dengan atau tanpa Gus Dur. Untuk itu, berbagai bentuk kegiatan aksi aksi untuk membela kepentingan rakyat perlu digelar terus, sebagai persiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam masa datang.

You might also like