You are on page 1of 10

1. Yang dimaksud dengan unsur unsur negara adalah bagian-bagian yang menjadikan negara itu ada.

Pada umumnya, unsur unsur terbentuknya negara harus memenuhi unsur berikut ini : A. Wilayah Pasal 25A UUD 1945, negara kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Wilayah negara Indonesia berdasarkan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949 yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda, meliputi seluruh daerah bekas jajahan Hindia Belanda. Sedang batas-batasnya ditentukan dengan perjanjian antarnegara tetangga, baik yang diadakan sebelum maupun sesudah merdeka. Derah yang merupakan tempat tinggal rakyat dan tempat pemerintah melakukan kegiatan merupakan wilayah negara dengan batas-batas tertentu. Batasbatas wilayah yang ditempati rakyat Indonesia sebagai berikut ini : Wilayah Daratan Negara satu dengan yang lain sering terjadi perang dikarenakan masalah batas wilayah. Untuk menetapkan wilayah batas daratan pada umumnya ditentukan berdasarkan perjanjian antarnegara tetangga. Perbatasan antara 2 negara dapat berupa : 1. Perbatasan alam, seperti sungai, danau, pegunungan atau lembah. 2. Perbatasan buatan, seperti pagar tembok, pagar kawat berduri, tiang-tiang tembok. 3. Perbatasan menurut ilmu pasti, yakni dengan menggunakan garis lintang atau bujur pada peta bumi. Memasuki wilayah negara bangsa lain tanpa ijin negara yang bersangkutan merupakan pelanggaran wilayah. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran, suatu negara memiliki suatu lembaga keimigrasian. Wilayah Lautan Laut yang merupakan wilayah suatu negara disebut teritorial negara itu. Laut di luar teritorial disebut laut terbuka atau bebas. Tidak semua negara mempunyai wilayah laut seperti Swiss dan Mongolia. Pada umumnya batas wilayah laut teritorial 3 mil laut yang diukur dari garis pantai wilayah daratan suatu negara pada saat pantai surut. Untuk negara Indonesia batas wilayah laut teritorial mulai 21 Maret 1980 dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah selebar 200 mil dihitung dari garis dasar laut wilayah Indonesia. Wilayah Udara Wilayah udara suatu negara ada diatas wilayah daratan dan lautan negara yang bersangkutan. Kekuasaan atas wilayah udara suatu negara diatur dalam perjanjian Paris tahun 1919.

Daerah Ekstrateritorial Berdasarkan hukum internasional, kapal-kapal laut yang berlayar di laut terbuka berbendera suatu negara tertentu juga merupakan wilayah negara yang bersangkutan. Tempat perwakilan yang disebut ekstrateritorial berarti tempat itu meskipun berada di wilayah negara lain tetapi dianggap wilayah negara yang diwakili, misalnya kantor kedutaan besar. Kedutaan adalah wakil suatu negara di negara lain yang mengurusi masalah politik, orangnya disebut duta. Konsulat adalah wakil suatu negara di negara lain yang mengurusi masalah ekonomi perdagangan, orangnya disebut konsuler. B. Rakyat Rakyat merupakan unsur terpenting dari negara. Rakyatlah yang pertamatama berkepentingan supaya organisasi negara berjalan dengan lancar dan baik serta mampu mewujudkan tujuannya. Penduduk ialah orang-orang yang bertempat tinggal dan menetap di wilayah suatu negara. Orang-orang yang berstatus penduduk dan warganegara Indonesia berhak dan berkewajiban untuk ikut serta dalam pembelaan negara sesuai dengan bidangnya. Bukan penduduk ialah orang-orang yang berada dalam suatu wilayah negara untuk sementara waktu, misalnya wisatawan asing yang sedang berlibur di suatu negara lain atau para jemaah haji yang sedang melaksanakan rukun Islam ke-5 di Mekah. Orang-orang yang berdasarkan hukum merupakan anggota dari suatu negara disebut warganegara. Sedangkan orang-orang yang tidak termasuk warganegara disebut orang asing. Pasal 26 UUD 1945 menyatakan tentang warganegara sebagai berikut ini : yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warganegara. penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Hal-hal mengenai warga negara dan mengenai penduduk diatur dengan undang-undang. Peraturan perundang-undangan yang mengatur kewarganegaraan sampai saat ini ialah Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958. jo. UU No. 3 tahun 1976. C. Pemerintah yang Berdaulat Unsur konstitutif yang ketiga dari negara ialah pemerintah yang berdaulat. Pemerintah adalah pemegang dan penentu kebijakan yang berkaitan dengan

pembelaan negara. Pemerintah yang berdaulat mempunyai kekuasaan ke dalam dan ke luar. Kekuasaan ke dalam berarti bahwa kekuasaan pemerintah itu dihormati dan ditaati oleh seluruh rakyat dalam negara itu. Kekuasaan ke luar berarti bahwa kekuasaan pemerintahan itu dihormati dan diakui oleh negara-negara lain. Masalah kedaulatan merupakan masalah yang sangat penting dalam suatu negara, karena kedaulatan merupakan sesuatu yang membedakan antara negara yang satu dengan yang lain. Kedaulatan artinya kekuasaan tertinggi. Di negara diktaktor, kedaulatan didasarkan atas kekuatan. Di negara-negara demokrasi kedaulatan didasarkan atas persetujuan. D. Pengakuan Negara Lain Selain rakyat, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat, masih ada satu unsur lagi bagi negara, yaitu pengakuan dari negara-negara lain. Pengakuan dari negara-negara lain bukanlah merupakan unsur pembentuk negara, tetapi sifatnya hanya menerangkan saja tentang adanya negara. Dengan kata lain pengakuan dari negara lain hanya bersifat deklaratif saja. Pengakuan negara lain ada dua macam, yaitu : a. Pengakuan de facto Adalah pengakuan secara kenyataan, berdasar fakta bahwa negara itu ada. b. Pengakuan de jure Adalah pengakuan secara resmi sesuai dangan hukum internasional. Adanya pengakuan dari negara-negara lain merupakan tanda bahwa negara baru itu telah diterima sebagai anggota baru dalam pergaulan antarnegara. Walaupun tanpa pengakuan negara lain, suatu negara tetap berdiri asalkan memenuhi tiga unsur pokok, yaitu: 1. Rakyat yang mendiami wilayah negara. 2. Wilayah negara dengan batas-batas tertentu. 3. Pemerintah yang berdaulat. Ketiga unsur tersebut diatas disebut juga unsur konstitutif sedang unsur pengakuan negara lain disebut unsur deklaratif maksudnya agar negara itu dapat mengadakan hubungan internasional harus mendapat pengakuan dari negara lain. 7. Peranan Komisi Pemberantas Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang dalam melaksakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 [41]). Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena institusi

(Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Partai Politik dan Parlemen) yang seharusnya mencegah korupsi tidak berjalan bahkan larut dan terbuai dalam korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan. Karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Begitu parahnya maka korupsi di Indonesia sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime). Cara penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK yang mempunya wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super body). Awal pembentukan KPK dengan semangat yang tinggi untuk memberantas korupsi, namun beberapa bulan terbentuk nampaknya KPK dibiarkan untuk mati suri. Hal tersebut terjadi karena kesalahan pemerintah dan DPR pada waktu itu yang tidak serius memfasillitasi KPK untuk membangun infra struktur yang kuat. Hal ini terbukti dengan KPK tidak punya penyidik sendiri, tidak punya pegawai, tidak punya gedung yang representatif dan tidak punya peralatan serta infra struktur untuk bergerak cepat. Dalam tahun pertama menjalankan peranannya sebagai ujung tombak memerangi korupsi, KPK menghadapi beberapa kendala yang klasik antara lain keterlambatan pencairan dana dari pemerintah. Hal ini mengundang kritik miring dari berbagai pihak seperti Munarman, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahwa KPK hanya mencari-cari alasan apabila ditagih tentang kinerja pimpinan KPK. Dia juga menambahkan bahwa sulitnya memberantas korupsi karena pemerintah khususnya pejabat-pejabat yang berwenang dalam memberantas korupsi sama sekali tidak memiliki kemauan politik (political will). Selanjutnya Satya Arinanto, dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia mengatakan tidak ada upaya KPK dalam menjalankan peranannya memberantas korupsi bukan karena faktor keterlambatan dana, karena KPK juga dapat dana dari luar negeri maupun bantuan asistensi dari partnership. Tidak ada kinerja KPK karena sematamata pemimpin KPK bukan orang yang terbaik [11]. Faktor lain yang menghambat adalah kosongnya posisi Sekretaris Jendera KPK hampir delapan bulan setelah dibentuk, sehingga mengganggu jalannya roda administrasi. Sebenarnya hal ini bisa ditanggulangi dengan mengangkat Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal. Karena hampir setengah setahun tidak menunjukkan kinerjanya maka KPK menuai keritik tajam dari pakar hukum Prof Dr. Achmad Ali, yang juga anggota Komisi Nasional HAM dan praktisi hukum Bambang Widjayanto mengatakan bahwa KPK lebih menempatkan diri seperti akademisi, dan

menjadi institusi wacana yang terlalu mengada-ada [13]. Prof Dr. Andi Hamzah menekankan bahwa dalam enam bulan pertama KPK baru mau mencari apa yang harus dikerjakan [10]. Sebenarnya untuk melakukan peranannya KPK diberikan kewenangan yang luar biasa seperti yang diatur dalam Pasal 6 butir b, c, d dan e UU. No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [41] bahwa lembaga ini dapat bertindak mulai dari: 1. mensupervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi; 2. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi 3. melakukan tindakan pencegahan korupsi 4. memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam menangani kasus KPK diberi kewenangan memperpendek jalur birokrasi dan proses dalam penuntutan. Jadi KPK mengambil sekaligus dua peranan yaitu tugas Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini tidak berdaya dalam memerangi korupsi. Disamping itu KPK diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik (Pasal 8 Ayat (1) [41]). Selanjutnya KPK mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan apabila: 1. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditinjaklanjuti; 2. proses penanganan tindak pidana korupsi tidak ada kemajuan/berlarutlarut/ tetunda tanpa alasan yang bisa dipertanggung jawabkan; 3. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya; 4. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; 5. Adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif; atau 6. keadaan lain yang menurut pertimbangnan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggung jawabkan. KPK juga diberi kerwenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (Pasal 11 [41]): 1. melibatkan aparat pengak hukum, penyelengara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat

pengak hukum dan penyelengara negara; 2. mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau 3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Untuk memerangi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana luara biasa (extra ordinary crime), maka KPK diberi tambahan kewenangan yang tidak dimiliki instititusi lain yaitu: 1. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; 2. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian keluar negeri; 3. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; 4. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; 5. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait; 6. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; 7. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negeri; 8. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Melihat kewenangan KPK, maka tidak heran kalau kalangan hukum menyebutnya sebagai lembaga super (superbody). Disamping itu, peranan KPK melebihi dari Kepolisian dan Kejaksaan dimana Kepolisian dan Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SPPP) dalam perkara tindak pidana korupsi, sebaliknya berdasarkan Pasal 40 UU No 30/2002, KPK tidak berwenang mengeluarkan SPP untuk menghindari adanya main mata antara tersangka dan aparat KPK. Dengan kewenangan yang super tersebut KPK mampu mengeliminasi korupsi secara konseptual dan sistematis. Masyarakat tidak mau tahu akan keluh kesah KPK bekait dengan kurangya personil maupun kesendirian KPK dalam menangani tindak

pidana korupsi. Komisi Pemberantas Korupsi mulai memainkan perannya dengan membawa mantan Abdullah Puteh, mantan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam menjadi tersangka korupsi pengadaan helikopter. Tahun 2005 merupakan kejutan dari pelaksanaan peran KPK dalam memerangi korupsi yaitu berhasil menangkap Mulyana Wira Kusuma, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mencoba menyuap salah seorang auditor BPK. Kasus ini sekaligus mengungkap praktik korupsi di tubuh KPU yang menyeret Nazarudin Syamsudin, Ketua, Rusadi Kantaprawira anggota KPU dan Pejabat Sekreris Jenderal KPU serta stafnya. Dalam waktu tidak beberapa lama KPK menangkap pengacara Abdulah Puteh dan panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dilanjutkan dengan tindakan KPK menangkap pengacara Probosutejo dan lima pegawai MA yang terlibat transaksi penerimaan uang suap sebanyak 6 miliar. Hal ini menyebabkan KPK menggeledah dan memeriksa tiga hakim agung, termasuk ketuanya Bagir Manan. Kemudian Suratno, direktur Administrasi dan Keuangan RRI dibawa kepengadilan begitu juga dengan rekanan RRI, Fahrani Husaini. Lagi-lagi masyarakat dikejutkan dengan perlakuan diskriminasi KPK sewaktu memeriksa Bagir Manan karena tidak memanggil Bagir Manan di kantor KPK tapi malah datang kekantor dan diruangan Bagir Manan di MA. Hingga kini kasusnya tidak jelas dan terkesan menguap ditelan awan. Ketua KPK mengakui dalam kata sambutannya memperingati dua tahun berdirinya lembaga tersebut bahwa perang terhadap korupsi yang dilakukannya bagaikan ??esunyian dan kesendirian??karena tidak ada kemauan yang serius ditingkat kekuasaan, kecuali kepura-puraan belaka. Bahkan beberapa kasus di atas tanpa rasa malu tak jarang koruptor dilindungi dengan kekuasaan dan cara-cara invisible hand. Dia menegaskan bahwa ditengah upaya semu perang terhadap korupsi yang dilakukan KPK, semua jadi penonton baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tetap diam terpaku mesti satu persatu fakta dipertontonkan. Tidak ada satupun instansi yang mencoba memperbaiki sistemnya [37]. KPK tidak akan bisa melaksanakan perannya secara optimal bilamana tidak didukung oleh keinginan dan tindakan nyata pemerintah dalam penegakan hukum, terutama perang terhadap korupsi. Hal ini terlihat bahwa perombakan kabinet yang baru-baru ini dilakukan oleh presiden sama sekali tidak menyentuh sekali bidang penegakan hukum. Bukankah untuk sudah disindir oleh Prof Dr. Azyumardi Azra bahwa ikan membusuk dari kepala, jadi untuk memerangi korupsi mulailah dari pimpinan tertinggi di lembaga atau departemen tersebut. Selama itu tidak dilakukan maka perang terhadap korupsi tak ubahnya dengan berperang melawan angin dan hanya retorika

semata-mata 5. Kesimpulan Dari uraian di atas nampak jelas bahwa sistem peradilan pidana Indonesia dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan gagal total memerangi korupsi dan tidak dapat diharapkan untuk memerangi korupsi. Karena mereka justru terlibat dan terbuai oleh korupsi. Korupsi sudah merupakan penyakit yang kronis hampir di setiap institusi pemerintah hingga disebut dengan extra ordinary crime. Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang super body memerangi korupsi di Indonesia. Namun, sayangnya lembaga super body yang ada seperti KPK tidak didukung oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif sehinga kesendirian dan kesepian. Instansi yang seharusnya memerangi korupsi hanya jadi penonton belaka dan tidak berusaha memperbaiki diri. Sedangka lembaga negara lainnya masih terus terbuai dengan korupsi. Dalam melaksanakan perannya memerangi korupsi, KPK masih diskriminatif karena tidak adanya kemauan di tingkat kekuasaan, kecuali kepura-puraan. Bahkan tanpa rasa malu tak jarang koruptor dilindungi dengan kekuasaan dengan cara-cara invisible hand. Di samping, tidak adanya keinginan untuk memanfaatkan momen untuk memperbaiki sistem masing-masing instansi walaupun sudah dipertontonkan fakta demi fakta oleh KPK. Hal ini terbukti tidak dilakukannya pergantian pimpinan institusi di bidang penegakan hukum. Bukankah kita dapat melihat pergantian pucuk pimpinan Kepolisian berhasil memperbaiki kinerja, citra, pengayoman, perlindungan dan pelayanan masyarakat. Dari beberapa fakta sejarah kejatuhan beberapa presiden terdahulu karena masyarakat melihat bahwa perang melawan korupsi yang dicanangkan hanya retorika belaka/angin surga sehingga hilangnya simpati masyarakat yang mengimpikan negara yang bersih, pelayan umum yang baik dan terbebas dari praktek korupsi. Hal ini mengakibatkan pil pahit dan terasa sakit bagi presiden terdahulu. Akan kah pisang berbuah dua kali?, akan kah keledai akan terperosok pada lobang yang sama untuk kedua kali ? Jawabannya dapat kita lihat langkah nyata yang akan dilakukan oleh pucuk pimpinan negara tercinta ini.

13. Periode berlakunya UUD 1945 18 Agustus 1945- 27 Desember 1949


Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945

dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.

[sunting] Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. bentuk pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya.

[sunting] Periode UUDS 1950 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959


Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950

[sunting] Periode kembalinya ke UUD 1945 5 Juli 1959-1966

Perangko "Kembali ke UUD 1945" dengan nominal 50 sen Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu. Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, di antaranya: Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup

Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia

[sunting] Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei 1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan:

Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

[sunting] Periode 21 Mei 1998- 19 Oktober 1999


Pada masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.

[sunting] Periode UUD 1945 Amandemen


Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil. Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:

Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 Perubahan Pertama UUD 1945 Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 Perubahan Kedua UUD 1945 Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 Perubahan Ketiga UUD 1945 Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 Perubahan Keempat UUD 1945

You might also like