You are on page 1of 25

STRATEGI PENANGGULANGAN KORUPSI MELALUI PERUMUSAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Oleh : Retno Kusumaningtyas, SH A.

LATAR BELAKANG MASALAH Masalah korupsi menjadi isu yang sering dibicarakan publik di seluruh dunia. Korupsi telah menjadi suatu budaya, sehingga tidak ada suatu sistem pemerintahan di belahan dunia manapun dapat terbebas dari tindakan korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggaranya. Secara harfiah, korupsi dapat diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain.1 Korupsi, berasal dari bahasa latin, yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.2 Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (missal dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.3 Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan pembangunan nasional. Menurut teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne, korupsi dapat terjadi karena :
a. Greedy (keserakahan); b. Opportunity (celah dari sistem yang memberikan peluang korupsi); c. Needs (kebutuhan hidup yang konsumeristis) d. Exposes (bentuk penghukuman yang tidak membuat ampun)

Menurut Pramoedya Ananta Toer, salah satu persoalan yang melatarbelakangi korupsi adalah lemahnya produktifitas dan sebaliknya, nafsu untuk mengkonsumsi sangat

Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung, ctk. Kedua, Grafiti, Bandung, 2009, hlm. 1 2 Korupsi, Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, terdapat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi#cite_note-0 3 Kartono, dikutip dari Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, terdapat dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3800/1/fisip-erika1.pdf

kuat. Sehingga korupsi bukan hanya melingkupi lembaga negara tetapi masuk kedalam hampir seluruh struktur sosial masyarakat Indonesia.4 Korupsi di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Beghawan ekonomi Prof. Dr. Soemitro alm. Pada tahun 1999 telah mengingatkan bahwa angka kebocoran anggaran pembangunan kita setiap tahun tidak kurang dari 30 persen. 5 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan bahwa pada semester I tahun 2004 penympangan keuangan negara telah mencapai RP. 166,53 trilyun. Angka ini menunjukan bahwa hampir 50 persen dari APBN 2003 melayang ke kocek para koruptor.6 Pada tahun 2004. Indonesia tercatat sebagai negara ke-5 terkorup di dunia dari 146 negara. Peringkat yang baru dikeluarkan oleh Transparansi Internasional tersebut menunjukkan bahwa Indonesia satu tingkat lebih buruk dari peringkat tahun lalu.7 Data-data tersebut menunjukan bahwa persoalan korupsi di Indonesia merupakan suatu persoalan yang sangat rumit, sehingga dapat dikatakan mustahil untuk diberantas sama sekali. Hampir semua aspek kehidupan sudah terjangkit wabah korupsi. Sikap tegas dari aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi tidaklah cukup untuk menahan laju pertumbuhan korupsi. Korupsi telah manjadi suatu budaya. Hampir setiap hari berita di surat kabar ataupun televisi memuat kasus korupsi. Upaya pemerintah Indonesia dalam melakukan penanggulangan korupsi sebenarnya sudah dilakukan sejak lama. Sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno hingga saat ini, berbagai regulasi telah dibuat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Yang pertama adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, yang melatarbelakangi dibuatnya peraturan ini adalah karena tidak adanya dalam usaha memberantas perbuatanperbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara pada masa itu. Seiring dengan berjalannya waktu, peraturan mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia terus berubah, masih pada tahun 1957, diterbitkan dua peraturan lain terkait dengan upaya penanggulangan korupsi yang menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/08/1957 tentang Penilikan Harta Benda dan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum.
4

Pramoedya Ananta Toer, dikutip dari Rudi Hartono, Korupsi Produk Struktur Sosial Feodalisme, terdapat dalam http://lmnd.wordpress.com/2008/05/12/korupsi-produk-struktur-sosial-feodalisme-2/ 5 Krisna Harahap, op.cit., hlm. 27 6 Ibid 7 http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/10/25/nrs,20041025-01,id.html

Pada tahun 1958 peraturan mengenai pemberantasan korupsi kembali diubah. Diterbitkannya Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 menggantikan seluruh peraturan pemberantasan korupsi yang dikeluarkan pada tahun 1957. Kemudian pada tahun 1960 Peraturan Penguasa Perang Pusat tadi diambil-alih oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan dengan Undangundang No. 1 Tahun 1961, dan kemudian dikenal dengan Undang-undang No. 24 Tahun 1960. Pada tahun 1971 kembali diterbitkan Undang-undang yang mengatur mengenai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemberlakuan Undang-undang No. Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sekaligus mencabut Unddang-undang No. 24 Tahum 1960. Alasannya dikarenakan Undang-undang No. 24 Tahun 1960 dipandang kurang memadai dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat pada waktu itu. Disahkannya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sekaligus dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No, 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang tujuannya adalah untuk mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana korupsi secara lebih efektif. Dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tidak terdapat Ketentuan Peralihan yang mengatur mengenai tetap berlakunya Undang-undang No. 3 Tahun 1971 terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan sebelum Undang-undang No. 31 Tahun 1999 berlaku. Hal ini menimbulkan isu dan kontroversi seputar adanya konspirasi politik yang mewarnai penyusunan Undang-undang tersebut. Hal tersebut mendorong dikeluarkannya Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Disahkannya Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Telah disadari bahwa dampak dari korupsi telah meluas, bukan hanya merugikan keuangan neggara tetapi juga dianggap telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi patut digolongkan sebagau kejahatan luar biasa, yang mana pemberantasannya juga harus dilakukan secara luar biasa.

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 telah merumuskan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, dan bukan lagi delik materiil sehingga pengembalian uang negara oleh pelaku korupsi tidak dapat menghapuskan penuntutan terhadap terdakwa, melainkan hanya dapat meringankan pidana bagi pelaku. Dalam Undang-undang ini juga ditentukan bahwa subyek hukum menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1999 bukan hanya perorangan saja, melainkan juga korporasi. Selain itu, beban pembuktian dalam Undangundang ini menggunakan sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah serta wajib untuk memberikan keterangan mengenai seluruh harta bendanya dan harta benda keluarganya, termasuk juga harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara, disamping itu jaksa penuntut umum diwajibkan untuk tetap membuktikan dakwaannya. Yang tidak kalah penting dalam Undang-undang ini juga ditentukan bahwa penyidik, penuntut umum atau hakim diberikan hak untuk memerintahkan pembekuan rekening tersangka / terdakwa (freezing) yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan (seizure) untuk kepentingan pemeriksaan (Pasal 29). Pengaturan ini erat kaitannya dengan upaya pencucian uang hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka pelaku tindak pidana korupsi. Pada kenyataannya disahkannya Undang-undang mengenai pemberantasan korupsi belum mampu mengatasi permasalahan korupsi di negara ini. Masalahnya adalah tindak pidana korupsi yang termasuk dalam kejahatan kerah putih atau white collar crime memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Menurut Hazel Croall, karakteristik dari white collar crime adalah8 :
a. Tidak kasat mata (low visibility) b. Sangat kompleks (complexity) c. Ketidakjelasan pertanggungjawaban (diffusion of responsibility) d. Ketidakjelasan korban (diffusion of victims) e. Aturan hukum yang samar atau tidak jelas (ambiguous criminal law) f. Sulit dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution)

Ditambah lagi dengan adanya modus operandi baru dalam dunia kejahatan. yaitu upaya pelaku kejahatan untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaan yang diperolehnya dari hasil kejahatan, atau yang sering disebut sebagai pencucian uang (money laundering).
8

Hazel Croall, White Collar Crime, dikutip dari Siska, Kerahasiaan Bank Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 2

Dimasukkannya uang hasil tindak pidana korupsi ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama dalam sistem perbankan (banking system) membuat pelacakan terhadap hasil tindak pidana korupsi semakin sulit untuk dilakukan. Karena uang hasil tindak pidana korupsi yang telah masuk kedalam sistem keuangan dan melalui proses-proses tertentu akan membuatnya tampak seperti berasal dari sumber-sumber yang halal. Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai pencucian uang bukan merupakan hal yang baru. Dimulai dari dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar hitam oleh FATF (Financial Actions Task Force) sebagai NCCT (Non Cooperative Countries and Territories) dalam memberantas pencucian uang pada tahun 2001. Masuknya Indonesia dalam daftar tersebut maka Bank Indonesia mengeluarkan suatu peraturan terkait dengan pencucuian yang bersifat sementara, yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan diubah untuk yang kedua kalinya dengan Peraturan Bank Indonesia No. 5/21/PBI/2003. Ketentuan tersebut menjadi petunjuk teknis bagi bank di Indonesia untuk mencegah praktik pencucian uang. Dalam prakteknya Peraturan Bank Indonesia terkait dengan penerapan prinsip mengenal nasabah tersebut dianggap belum cukup untuk mencegah digunakannya lembaga-lembaga penyedia jasa keuangan sebagai sarana pencucian uang, khususnya uang haram yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Kemudian pada tahun 2002 pemerintah Indonesia telah berhasil merumuskan suatu peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang, yaitu Undangundang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003). Dalam perkembangannya, upaya pemerintah untuk mencegah praktik pencucian uang dengan mengesahkan suatu peraturan terkait dengan pencucian uang dianggap belum membuahkan hasil yang optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undangundang No. 15 Tahun 2002 (sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003). Maka dari itu, guna memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, penyususnan Undang-undang yang baru dianggap perlu untuk dilakukan.

Dengan alasan tersebut pada akhirnya pemberintah mengesahkan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang guna menggantikan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 (sebagaimana diubah dengan Undangundang No. 15 Tahun 2003). Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan, yaitu : Bagaimanakah perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? B. PEMBAHASAN Pada umumnya pelaku tindak pidana akan berusaha untuk menyembunyikan atau meyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasli dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta hasil kejahatan tersebut tidak mudah untuk ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga pelaku dapat dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut. Terdapat beberapa faktor penyebab maraknya praktik pencucian uang di Indonesia, diantaranya adalah :
1. Globalisasi sistem keuangan;

2. Kemajuan bidang teknologi dan informasi; 3. Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat;
4. Munculnya jenis uang baru yang disebut electronic money (e-money, yang tidak

terlepas dari maraknya electronic commerce (e-commerce) melalui internet; 5. Praktik penyimpanan dana di bank melalui kuasa atau pelaksana amanah; Praktik pencucian uang menimbulkan dampak negatif. Menurut John McDowell & Gary Novis (2001)9, kegiatan pencucian uang dapat merongrong sektor swasta yang sah. Untuk menyembunyikan dan mengaburkan hasil-hasil kejahatannya, para pencuci uang seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan tertentu untuk mencampuradukkan uang haram dengan uang yang sah. Perusahaan-perusahaan yang diciptakan untuk melakukan pencucian uang, mengelola dana dalam jumlah besar, yang digunakan untuk mensubsidi barang dan / atau jasa yang akan dijual dibawah harga pasar. Bahkan, perusahaanperusahaan tersebut dapat menawarkan barang-barang pada harga dibawah biaya produksi. Dengan demikian perusahaan-perusahaan tersebut memiliki competitive advantages
9

John McDowell & Gary Navis, The Consequences of Money Laundering and Financial Crime, dikutip dari Muhammad Yusuf, dkk, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ctk. Pertama, PT. Gramedia, Jakarta, 2011, hlm. 12

terhadap perusahaan-perusahaan sejenis yang bekerja secara sah. Sebagai konsekwensinya bisnis yang sah kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan tersebut sehingga dapat megakibatkan perusahaan-perusahaan yang sah menjadi bangkrut atau gulung tikar. Bukan hanya itu, kegiatan pencucian uang dilakukan bukan hanya semata-mata untuk mencari keuntungan dalam bisnis saja, tetapi tujuan utamanya adalah untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan, sehingga mereka tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, mereka hanya ingin menikmati dan menggunakan hasil kejahatannya secara aman. Pada umumnya, terdapat tiga metode pencucian uang cukup dikenal oleh masyarakat internasional, yaitu buy and sell conversions, offshore conversions, dan legitimate conversions10. (1) Buy and sell conversions dilakukan dengan melalui jual-beli barang dan jasa. (2) Dalam offshore conversions dana illegal dialihkan ke wilayah yang merupakan tax heaven money laundering centers dan kemudian disimpan di bank atau lembaga keuangan yang ada di wilayah tersebut. Dana tersebut kemudian digunakan antara lain untuk membeli aset dan investasi (fund investments). Di wilayah atau negara yang merupakan tax heaven terdapat kecenderungan hukum perpajakan lebih longgar, ketentuan rahasia bank yang cukup ketat dan prosedur bisnis yang sangat mudah sehingga memungkinkan adanya perlindungan bagi kerahasiaan suatu transaksi bisnis, pembentukan usaha dan kegiatan usaha trust fund maupun badan usaha lainnya. (3) metode legitimate conversions dipraktekkan melalui bisnis atau kegiatan usaha yang sah sebagai sarana untuk memindahkan dan memanfaatkan hasil kejahatan. hasil kejahatan dikonversikan melalui transfer, cek, atau instrument pembayaran lainnya, yang kemudian disimpan di rekening bank atau ditransfer atau ditarik kembali ke rekening bank lainnya. Metode ini memungkinkan pelaku kejahatan menjalankan usaha atau bekerjasama dengan mitra bisnisnya dan menggunakan rekening perusahaan yang bersangkutan sebagai tempat penampungan untuk hasil kejahatan yang dilakukan. Dalam konsep pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidananya dapat diketahui dengan melakukan penelusuran, dan selanjutnya harta kekayaan sebagai hasil dari tindak pidana tersebut dapat dikembalikan kepada yang berhak. Apabila harta kekayaan hasil

10

Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, dikutip dari dikutip dari Muhammad Yusuf, dkk, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ctk. Pertama, PT. Gramedia, Jakarta, 2011, hlm. 12

tindak kejahatan yang dirampas adalah milik suatu organisasi kejahatan, maka dengan sendirinya tingkat kejahatan atau kriminalitas akan menurun. Penelusuran harta kekayaan yang diduga hasil dari tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui prosedur yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan diwajibkan untuk mengenali pemgguna jasanya serta melaporkan transaksi tertentu yang menurut Undang-undang dapat dianggap sebagai suatu transaksi yang mencurigakan kepada otoritas yang berwenang (financial intelligence unit), yang di Indonesia dikenal dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), untuk kemudian dianalisa dan selanjutnya disampaikan kepada penyidik. Secara umum ada tiga alasan pokok mengapa praktik pencucian uang harus diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana,11 ketiga alsan tersebut meliputi :
1. Pengaruh pencucian uang terhadap sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak

negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektivitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya praktik pencucuian uang maka sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat, disamping dana-dana yang sah kurang dipergunakan secara optimal. Pengaruh negatifnya terhadap pasar finansial menimbulkan dampak kepada berkurangnya kepercayaan publik kepada sistem keuangan intenasional, praktik pencucian uang dapat mengakibatkan ketidakstabilan terhadap perekonomian nasional. Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga mungkin juga merupakan akibat negatif dari praktik pencucian uang. Dengan berbagai dampak negatif itu diyakini bahwa praktik pencucian uang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.
2. Dengan ditetapkannya pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan

bagi aparat penegak hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang kadang sulit untuk disita, misalnya aset yang sudah dipindah-tangankan kepada pihak ketiga. Dengan pendekatan follow the money, kegiatan menyembunyikan atau menyamarkan uang hasil tindak pidana dapat dicegah dan diberantas. Orientasi pemberantasan tindak pidana sudah beralih dari menindak pelakunya kearah menyita hasil tindak pidana. Di banyak negara dengan menyatakan praktik pencucian uang sebagai tindak pidana

11

Guy Stessen, Money Laundering A New International Law Inforcement Model, dikutip dari Muhammad Yusuf, dkk, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ctk. Pertama, PT. Gramedia, Jakarta, 2011, hlm. 17

merupakan dasar bagi penegak hukum untuk mempidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.
3. Dengan dinyatakannya praktik pencucian uang sebagai tindak pidana dan dengan

adanya kewajiban pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan maka hal ini akan lebih memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana pencucian uang sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini sulit dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak tampak pada pelaksanaan suatu tindak pidana, tetapi banyak menikmati hasil-hasil tindak pidana. Rezim pencucian uang di Indonesia melibabatkan berbagai komponen, yaitu : Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pihak pelapor (Penyedia Jasa Keuangan / PJK dan Pengadaan Barang dan / atau jasa); Lembaga Pengawas dan Pengatur; Penegak Hukum; Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU); Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); Presiden; Masyarakat.
1. PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan

memberantas tindak pidana pencucian uang (Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 8 Tahun 2010); 2. Pihak pelapor adalah setiap orang yang menurut Undang-undang No. 8 Tahun 2010 wajib menyampaikan laporan kepada PPATK (Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 8 Tahun 2010). Pihak pelapor meliputi (Pasal 17 ayat 1 Undang-undang No. 8 Tahun 2010) :
a. Penyedia Jasa Keuangan, adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang

keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan baik secara formal maupun nonformal. Yang termasuk dalam Penyedia Jasa Keuangan menurut Pasal 17 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 2010 meliputi Bank, Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Pialang Asuransi, Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Perusahaan Efek, Manager Investasi, Kustodian, Wali Amanat, Perposan sebagai penyedia jasa giro, Pedagang Valuta Asing, Penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu, Penyelenggara e-money dan / atau e-walet, Koperasi yang menggunakan kegiatan simpan pinjam, Pegadaian, Perusahaan yang bergerak dibidang Berjangka Komoditi, atau Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

b. Penyedia Barang dan / atau Jasa lain, termasuk didalamnya : perusahaan properti /

agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan / logam mulia, pedagang barang senidan antik, serta balai lelang (Pasal 17 ayat (2) Undang-undang No. Tahun 2010).
3. Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP), adalah lembaga yang memiliki kewenangan

pengawasan, pengaturan, dan / atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor (Pasal 1 angka 17 Undang-undang No. 8 Tahun 2010).
a. Bank Indonesia, sebagai pengawas industri perbankan (Bank Umum dan BPR),

Pedagang Valuta Asing, dan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU). Bank Indonesia memiliki kewenangan mengeluarkan ketentuan mengenai penerapan pengaturan pengguna jasa bagi industri perbankan dan melakukan audit kepatuhan terkait penerapan pengenalan pengguna jasa tersebut.12 b. Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, yang merupakan regulator / pengawas penyelenggaraan pos (Undang-undang No. 38 Tahun 2009 tentang Pos)
c. Bapebbti, sebagai regulator / pengawas perdagangan berjangka komoditi (Undang-

undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi) d. Direktorat Lelang, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementrian Keuangan RI
e. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang merupakan salah satu unit di bawah

Departemen Keuangan yang juga bagian dari rezim anti pencucian uang terkait dengan pelaporan Cross Border Cash Carrying (Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Cukai dan Undang-undnag N0. 11 Tahun 1995 tentang Kepabeanan)
4. Aparat penegak hukum, yang meliputi Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan

Korupsi, Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktorat Jenderal Pajak13, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai14, Pengadilan ;
5. Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang dan Pendanaan Terorisme (Komite TPPU). Komite TPPU dibentuk guna meningkatkan koordinasi antar lembaga terkait dalm pencegahan dan pemberantasan
12

Lihat Undang-undang No. 9 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu 13 Lihat Pasal 44 Undang-undang No, 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang berisi tentang ketentuan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan, dimana penyidikan tersebut hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. 14 Lihat Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai, yang menyebutkan bahwa penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Kepabeanan dan Cukai dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

tindak pidana pencucian uang (Pasal 92 ayat No. 8 Tahun 2010). Pembentukan Komite TPPU berdasarkan pada Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2004 (Pasal 92 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 2010), dan diketuai oleh Menko Politik, Hukum dan Keamanan dengan wakil Menko Perekonomian dan Kepala PPATK sebagai sekertaris (Pasal 94 huruf e Undang-undang No. 8 Tahun 2010) ; 6. Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR-RI), yang menerima laporan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang PPATK setiap 6 (enam) bulan sekali (Pasal 47 Undang-undang No. 8 Tahun 2010) ; 7. Presiden RI, sebagai pihak yang menerima pertanggungjawaban PPATK (Pasal 37 Undang-undang No. 8 Tahun 2010) ;
8. Masyarakat, yang melaporkanan dan / atau memeberikan informasi kepada PPATK

mengenai adanya dugaan tindak pidana pencucian uang (Pasal 44 ayat (2) Undangundang No. 8 Tahun 2010). Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 disebutkan, Tindak Pidana Pencucian Uang segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Sedangkan kriminalisasi pencucian uang dalam Undang-undang tersebut dapat dilihat dalam : 1. Pasal 3 Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah bentu, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena Tindak Pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). 2. Pasal 4 Setiap orang yang menyembunyikan atau menayamarkan asal usul, sumber, lokasi peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian

uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). 3. Pasal 5 Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Korupsi merupakan salah satu predicate crime (tindak pidana asal) dari tindak pidana pencucian uang. Yang dimaksud dengan predicate crime adalah tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya tindak pidana pencucian uang.15 Ketentuan yang menunjukan bahwa korupsi merupakan salah satu predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Undangundnag No. 8 Tahun 2010. Penempatan korupsi sebagai salah satu predicate crime dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 merupakan manifestasi dari pembentuk undang-undang yang memandang bahwa korupsi merupakan persoalan bangsa yang paling mendesak dan mendapat prioritas dalam penanganannya.16 Pada dasarnya proses pencucian uang dilakukan dalam tiga tahap, yaitu placement, layering, dan integration. Placement adalah upaya untuk menempatkan uang hasil kejahatan kedalam suatu sistem keuangan (financial system). Bentuk kegiatan ini antara lain adalah menempatkan dana pada bank, menyetorkan uang kepada PJK, menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, membiayai suatu usaha seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit / pembiayaan sehingga mengubah kas menjadi kredit / pembiayaan, membeli barang-barang berharga bernilai tinggi untuk keperluan pribadi. Sedangkan layering adalah upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan
15

Muhammad Yusuf, dkk, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ctk. Pertama, PT. Gramedia, Jakarta, 2011, hlm. 97 16 Yunus Husein, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Pelaksanaan Undagundang Tindak Pidana Pencucian Uang makalah disampaikan dalam Pelatihan Korupsi Untuk Aparat Penegak Hukum dan Auditor, Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat Universitas Andalas, Padang, 22 September 2005, hlm. 4

asal usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain transfer dana dari satu bank ke bank lain antar wilayah / negara, penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah, dan memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company. Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Ketiga tahapan tersebut pada dasarnya dilakukan untuk menciptakan ketidakterkaitan antara harta hasil kejahatan dengan pelaku kejahatan, sehingga aparat penegak hukum akan mengalami kesulitan dalam melakukan pelacakan terhadap pelaku kejahatan dengan tindak pidana yang telah dilakukannya. Perumusan Undang-undang pencucian uang dianggap sebagai solusi tepat untuk memecahkan masalah ini. Dengan menciptakan kembali keterkaitan antara harta kekayaan hasil kejahatan dengan kejahatan asal, dan pada akhirnya akan mempermudah aparat penegak hukum dalam melacak pelaku kejahatan Proses pendeteksian kegiatan pencucian uang pada ketiga tahapan tersebut diatas dapat menjadi dasar untuk merekonstruksi keterkaitan antara harta kekayaan hasil kejahatan dengan pelaku kejahatan. Apabila dalam ketiga tahapan tersebut telah terdeteksi adanya indikasi bahwa harta yang dipergunakan untuk melakukan transaksi keuangan adalah harta kekayaan hasil kejahatan, maka proses hukum dapat segera dimulai, sehingga pelaku kejahatan dapat segera dituntut atas tindak pidana pencucian uang , sekaligus atas kejahatan asalnya. Hal tersebut menjadi dasar mengapa penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan / atau penyedia jasa lain diwajibkan untuk melaporkan adanya transaksi keuangan mencurigakan (Suspicious Transaction Report / STR) dan transaksi keuangan tunai (Cash Transaction Report / CTR). Dalam ketentuan Undang-undang No. 8 Tahun 2010, mengenai kewajiban pelaporan adanya STR dan CTR diatur pada : 1. Pasal 23 ayat (1) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi:

a. b.

Transaksi Keuangan Mencurigakan; Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp. 500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.
2. Pasal 25 ayat (1)

Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dilakukan sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan. 3. Pasal 25 ayat (2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan. 4. Pasal 25 ayat (3) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
5. Pasal 27 ayat (1)

Penyedia barang dan/atau jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan Transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada PPATK. 6. Pasal 27 ayat (2) Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan. Realitanya, tanpa adanya dukungan sistem informasi yang canggih, penentuan jumlah kumulatif yang disebutkan dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b menimbulkan kesulitan bagi penyedia jasa keuangan untuk melakukan pendeteksian terhadap transaksi keuangan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal tersebut.

Penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan / atau jasa lainnya merupakan counterpart utama yang berperan sebagai pendeteksi awal indikasi terjadinya pencucian uang. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 disebutkan, yang dimaksud dengan transaksi keuangan mencurigakan adalah : a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. Dalam penjelasan Pasal 23 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa pada dasarnya transaksi keuangan mencurigakan diawali dari transaksi yang antara lain :
1. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas ; 2. Menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara

berulang-ulang di luar kewajaran; atau


3. Aktivitas Transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran.

Apabila Transaksi-Transaksi yang tidak lazim tersebut memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5, maka transaksi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan yang wajib dilaporkan. Sedangkan terhadap Transaksi atau aktivitas di luar kebiasaan dan kewajaran sebagaimana tersebut di atas, penyedia jasa keuangan diminta memberikan perhatian khusus atas semua Transaksi yang kompleks, tidak biasa dalam jumlah besar, dan semua pola Transaksi tidak biasa, yang tidak memiliki alasan ekonomis yang jelas dan tidak ada tujuan yang sah. Latar belakang dan tujuan Transaksi tersebut harus, sejauh mungkin diperiksa, temuan-temuan yang didapat dibuat tertulis, dan tersedia untuk membantu pihak berwenang dan auditor. Sedangkan transaksi keuangan tunai menurut Pasal 1 angka 6 adalah Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam.

Pada tanggal 9 Mei 2003 PPATK mengeluarkan Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bagi Penyedia Jasa Keuangan. Kententuan ini berlaku bagi seluruh PJK dan tujuan dikeluarkannya pedoman umum ini adalah untuk memberikan gambaran umum mengenai rezim anti pencucian uang yang dapat digunakan sebagai acuan bagi PJK untuk membantu mendeteksi kegiatan pencucian uang. Selanjutnya guna memberikan pemahaman dan acuan kepada PJK tentang bagaimana melakukan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan dengan tepat, PPATK menerbitkan Keputusan Kepala PPATK No. 2/4/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan, pada tanggal 15 Oktober 2003. Pedoman ini berlaku bagi PJK berbentuk bank umum, BPR, perusahaan efek, pengelola reksa dana, bank kustodian, perusahaan perasuransian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan. Untuk memberikan pemahaman dan acuan kepada PJK tentang bagaimana melakukan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan dengan tepat PPATK kemudian mengeluarkan Keputusan Kepala PPATK No. 2/6/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan, pada tanggal 15 Oktober 2003. Pedoman ini berlaku bagi PJK bank umum, BPR, perusahaan efek, pengelola reksa dana, bank kustodian, perusahaan perasuransian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan. Selain itu tujuan lain dikeluarkannya pedoman ini adalah untuk memberikan pemahaman yang sama kepada setiap PJK atau pihak lain yang terkait dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Di samping itu, ketentuan-ketentuan pendukung lainnya yang telah dikeluarkan oleh PPATK, yaitu : 1. Keputusan Kepala PPATK No. 2/5/KEP.PPATK/2003 tentang Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi PJK (Pedoman III) ; 2. Keputusan Kepala PPATK No. 2/5/KEP.PPATK/2003 tentang Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi PJK (Pedoman III) ; 3. Keputusan Kepala PPATK No. 2/7/KEP.PPATK/2003 tentang Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi PVA dan UJPU (Pedoman IIIA) 4. Keputusan Kepala PPATK No. 3/1/KEP.PPATK/2004 tentang Pedoman Laporan Transaksi Tunai dan Tata Cara Pelaporannya Bagi PJK (Pedoman IV)

5. Keputusan Kepala PPATK No. 3/9/KEP.PPATK/2004 tentang Transaksi Keuangan Tunai Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Laporan. PPATK memiliki tugas untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (Pasal 39 Undang-undang No. 8 Tahun 2010), dan berdasarkan Pasal 40 Undangundang No. 8 Tahun 2010, dalam menjalankan tugasnya PPATK berfungsi diantaranya sebagai pengelola data dan informasi yang diperoleh sehubungan dengan indikasi terjadinya tindak pidana pencucian uang; pengawas kepatuhan pihak pelapor; analis atau pemeriksa laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 2010. Sedangkan dalam menjalankan fungsinya tersebut PPATK oleh Pasal 41 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 diberi kewenangan sebagai berikut : a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan / atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu ; b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan ; c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait ; d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang ;
e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional

yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang ;
f. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang ; dan g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

Pencucian Uang. Dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi sebagai predicate crime dari tindak pidana pencucian uang, PPATK sebagai badan yang diberi tugas untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, memiliki kewajiban untuk menyerahkan hasil transaksi keuangan mencurigakan kepada penyidik dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang (Pasal 64 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 2010). PPATK dapat meminta kepada pihak pelapor untuk menghentikan sebagian atau seluruh

transaksi yang telah dilaporkan oleh pihak pelapor sebagai transaksi keuangan mencurigakan (Pasal 65 ayat (1)) guna melengkapi hasil analisis yang akan disampaikan kepada penyidik. Selanjutnya sebagai tindak lanjut dari penyerahan hasil pemeriksaan tersebut, penyidik diminta untuk melakukan koordinasi dengan PPATK dalam pelaksanaan penyidikan (Pasal 64 ayat (3) Undang-undang No. 8 Tahun 2010). Meskipun tindak pidana pencucian uang merupakan tindak lanjut dari macammacam tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 2010 (dimana termasuk didalamnya adalah tindak pidana korupsi), penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap dugaan terjadinya pencucian uang hasil korupsi tersebut dapat dimulai meskipun penyidikan atas tindak pidana asalnya, dalam hal ini korupsi, belum dibuktikan (Pasal 69 Undang-undang No. 8 Tahun 2010). Dalam Pasal 74 ditentukan bahwa penyidikan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan (kecuali ditentukan lain oleh Undangundang No. 8 Tahun 2010). Dan apabila penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup mengenai terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 75 penyidik dapat menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK. Dalam hal tindak pidana asal adalah korupsi maka penyidikan tindak pidana pencucian uang yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi dilakukan oleh KPK. Ketentuan tersebut tentunya dapat membuat proses hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang sekaligus tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asalnya menjadi lebih efisien. Selain itu diberikan juga ketentuan mengenai kerja sama nasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dapat dilakukan oleh PPATK dengan pihak yang terkait dengan rezim anti pencucian uang (Pasal 88 ayat Undang-undang No. 8 Tahun 2010) serta adanya pembentukan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) agar pertukaran informasi mengenai penyelidikan, penyidikan serta penuntutan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang diantara instansi-intansi yang terkait dengan rezim pencucian uang dapat lebih mudah untuk dilakukan. Dengan adanya ketentuan tersebut maka asal usul harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari kejahatan tersebut dapat lebih mudah untuk ditelusuri, karena instansi-instansi terkait dpat

saling bertukar informasi, selain itu instansi-instansi tersebut juga dapat saling memantau perkembangan proses hukum yang dilakukan terhadap dugaan adanya tindak pidana pencucian uang. Ketentuan mengenai hukum acara tindak pidana pencucian uang sekaligus diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010, yaitu dalam Bab VII tentang Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Ketentuan tersebut sengaja dibuat secara khusus karena tindak pidana pencucian uang memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana pada umumnya. Hal dapat dilihat dari adanya ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1. Pasal 71 Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan pemblokiran Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari :
a. setiap Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik ;

b. tersangka; atau
c. terdakwa.

Pemblokiran yang dimaksud oleh pasal ini hanyalah pemblokiran terhadap harta kekayaan dan bukan rekening tersangka pencucian uang. Dalam hal dana dalam suatu rekening jumlahnya lebih kecil dari jumlah dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang ada dalam rekening dimaksud pada saat pemblokiran. Sebaliknya, apabila dana yang ada dalam rekening lebih besar dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana. Oleh karena yang diblokir bukanlah suatu rekening, melainkan harta kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening tidak terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening tersebut tidak boleh berkurang.17 2. Pasal 72 ayat (1)

17

Yunus Husein, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Pelaksanaan Undagundang Tindak Pidana Pencucian Uang makalah disampaikan dalam Pelatihan Korupsi Untuk Aparat Penegak Hukum dan Auditor, Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat Universitas Andalas, Padang, 22 September 2005, hlm. 12

Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana Pencucian Uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari :
a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik ;

b. tersangka; atau c. terdakwa. Keterangan yang dapat diminta hanyalah keterangan mengenai harta kekayaan milik pihak-pihak yang disebutkan diatas. Selain daripada pihak-pihak tersebut, meskipun ada kaitannya dengan pihak yang diduga melakukan tindak pidana pencucian yang sedang diperiksa, keterangan mengenai harta kekayaan pihak tersebut tidak dapat diberikan oleh bank. Apabila ada dugaan pihak lain terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa, maka penyidik harus terleih dahulu memberitahukan kepada bank adanya transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan oleh pihak tersebut kepada PPATK untuk dianalisis, kemudian hasil analisa PPATK dilaporkan kepada penyidik untuk ditindak lanjuti. 3. Pasal 72 ayat (2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundangundanganyang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lain. Ketentuan mengenai kerahasiaan bank tidak berlaku selama keterangan yang diperlukan dari bank mengenai adanya dugaan tindak pidana pencucian uang. Akan tetapi dalam hal dugaan tindak pidana pencucian uang tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi sebagai predicate crime-nya, maka menurut Pasal 29 ayat (2) Undangundang No. 31 Tahun 1999, tetap harus terlebih dahulu diajukan kepada Gubenur Bank Indonesia sesuai dengan preaturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Pasal 73 Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang ialah :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau

disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen. Alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 73 huruf b ini adalah termasuk SMS, percakapan melalui telepon dan / atau ponsel yang disadap oleh penyidik yang diberi

kewenangan oleh Undang-undang untuk melakukan penyadapan, e-mail, juga rekaman gambar yang diperoleh penyidik. Sementara alat-alat bukti tersebut tidak termasuk sebagai alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana Indonesia. 5. Pasal 77 Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan atas dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang dilakukan dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik, dimana terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaan yang dituduhkan kepadanya sebagai harta yang hendak disamarkan asal usulnya tersebut bukanlah harta yang berasal dari hasil kejahatan. Selanjutnya Pasal 78 ayat (2) memberikan ketentuan bahwa tersangka / terdakwa pelaku tindak pidana pencucian harus mengajukan alat bukti yang cukup dalam upaya pembuktiannya.
6. Pasal 79 ayat (1)

Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Maksud dari dicantumkankan ketentuan ini dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 adalah agar upaya penindakan pencucian uang dalam hal pelaksanaan peradilannya dapat berjalan lancar, sehingga apabila terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tetapi dirinya tidak menghadiri siding pengadilan dengan alasan yang sah, maka perkara tersebut dapat tetap diperiksa dan bahkan diputuskan tanpa kehadiran terdakwa.
7. Pasal 79 ayat (4)

Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki harta yang diduga berasal dari hasil kejahatan. Disamping itu dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, ketentuan ini dimaksudkan agar harta kekayaan negara dapat dikembalikan kepada negara. 8. Pasal 81

Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan Harta Kekayaan tersebut. Dalam hal penyitaan sebagai tindak lanjut dari adanya dugaan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan suatu rekening, maka dana yang disita harus tetap berada dalam rekening yang bersangkutan, dengan diberi status sebagai barang sitaan atas nama penyidik atau pejabat yang berwenang. Ketentuan ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Keputusan Bersama Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI dan Gubenur Bank Indonesia No. KEP-126/JA/11/1997; No. KEP/10/XI/1997; No. 30/KEP/GBI tanggal 6 Novenber 1997 tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana di Bidang Perbankan. C. KRITISI Penanggulangan tindak pidana korupsi memang memerlukan koordinasi yang baik di antara instansi yang terkait dengan rezim anti pencucian uang dan lembaga pemberantasan korupsi. Sebab koordinasi yang baik dapat mempermudah penelusuran asal usul harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana lain, yang kemungkinan akan berujung kepada tindak pidana korupsi sebagai predicate crime dari tindak pidana pencucian uang yang terjadi. Akan tetapi hendaknya kerjasama dan koordinasi dalam upaya pengungkapan kedua kejahatan yang saling berhubungan tersebut dilakukan secara konsisten dan hingga tuntas, sehingga aktor utama dari tindak pidana korupsi tersebut dapat ditemukan dan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penanggulangan korupsi tidak hanya difokuskan kepada upaya penghukuman pelaku korupsinya saja, melainkan juga kepada upaya untuk mengembalikan aset yang diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi (asset recovery) kepada negara, untuk meminimalisir kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi yang terjadi. Kurangnya sarana yang memadai bagi penyedia jasa keuangan, khususnya bank yang memiliki skala yang besar dalam melakukan identifikasi terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan hingga saat ini masih menjadi faktor penghambat yang utama. Pasal 23 ayat (1) huruf b memberikan ketentuan mengenai jumlah kumulatif transaksi keuangan

yang dapat dianggap mencurigakan. Tanpa adanya sistem informasi dengan teknologi yang benar-benar mutakhir sepertinya pendeteksian terhadap transaksi yang demikian akan sulit untuk dilakukan oleh penyedia jasa keuangan khususnya bank dalam skala yang besar dan memiliki banyak cabang. Demikian juga dalam melakukan identifitkasi dan monitoring data nasabah, karena saat ini masih diupayakan adanya nomor identitas tunggal bagi penduduk, namun hingga saat ini pemberlakuan nomor identitas tunggal tersebut belum merata ke seluruh penduduk Indonesia, sehingga masih terdapat celah bagi koruptor untuk melakukan pencucian uang. Apalagi sampai saat ini jual-beli kartu identitas penduduk masih begitu mudah dilakukan, sehingga banyak orang memiliki kartu identitas lebih dari satu dengan nomor, nama dan alamat yang berbeda-beda, dan ironisnya semua kartu identitas tersebut asli dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang membuatnya. Selanjutnya kartu-kartu identitas tersebut dapat dijadikan tiket yang meloloskan koruptor dari identifikasi nasabah yang dilakukan oleh bank maupun penyedia jasa lainnya. Sebagai counterpartner terdepan dalam proses identifikasi transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasi adanya tindak pidana pencucian uang, penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan / atau penyedia jasa lainnya terkadang enggan untuk melaksanakan kewajibannya dalam hal pelaporan transaksi keuangan mencurigakan, kendatipun pihak-pihak tersebut sadar benar akan konsekwensi dari dilalaikannya kewajiban tersebut. Hal ini dikarenakan ketakutan mereka akan kehilangan nasabah sebagai sumber dana untuk menjalankan bisnis mereka. D. SARAN-SARAN

Keberhasilan pengungkapan tindak pidana pencucian uang yang berujung pada tindak pidana korupsi hingga kepada aktor utamanya hanya dapat terjadi jika para pihak yang bersangkutan melakukan kerjasamanya dengan tidak menerapkan sistem tebang pilih. Setiap kali terdapat indikasi adanya keterkaitan suatu rekening dengan kasus tindak pidana pencucian uang yang sedang diselidiki, hendaknya otoritas yang berwenang segera tanggap dan melakukan analisa serta menundaklanjutinya sesuai dengan prosedur yang berlaku meskipun apabila dalam prosesnya kemudian diketahui bahwa pemilik rekening tersebut

ternyata adalah orang-orang yang memiliki pengaruh dan kekuasaan baik dalam bidang politik maupun bisnis. Aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 dapat menjadi jembatan bagi upaya pengembalian uang negara yang dicuri oleh koruptor, sehingga dapat meminimalisir kerugian negara, upaya recovery asset tersebut sangat mungkin dilakukan jika dalam prakteknya seluruh aturan yang terkait dengan rezim anti pencucian uang dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Pemerintah harus mengupayakan pengadaan sistem informasi yang lebih mutakhir daripada yang dimiliki oleh koruptor yang juga menjadi pelaku tindak pidana pencucian uang, agar mempermudah penyedia jasa keuangan khususnya bank dalam melakukan identifikasi terhadap transaksi keuangan mencurigakan khususnya yang dilakukan bukan dengan transaksi yang sekaligus dalam jumlah besar. Usaha pengadaan teknologi guna pembuatan kartu identitas dengan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk harus segara direalisasikan dan diterapkan di seluruh wilayah RI agar koruptor tidak dapat membuka banyak rekening pribadi dengan menggunakan kartu identitas penduduk yang berbeda-beda untuk mengelabui penyedia jasa keuangan dalam melakukan identifikasi nasabah. Penyedia jasa keuangan harus menyadari bahwa dampak negative dari digunakannya perusahaan mereka sebagai sarana pencucian uang oleh koruptor bukan hanya menumbulkan akibat hukum, tetapi juga ketidakpercayaan publik terhadap perusahaan mereka. Dalam hal ini pemerintah lebih proaktif dalam melakukan kampanye mengenai rezim anti pencucian uang kepada masyarakat dan penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan / atau jasa lain tentang dampak negatif dari pencucian uang bagi sistem perekonomian negara dan dampak langsungnya kepada usaha yang mereka miliki.

DAFTAR PUSTAKA Krisna Harahap. 2009. Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung, ctk. Kedua, Bandung : Grafiti Muhammad Yusuf, dkk. 2011. Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ctk. Pertama, Jakarta : PT. Gramedia Siska. 2003. Kerahasiaan Bank Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta : Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Yunus Husein. 2005. Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Pelaksanaan Undag-undang Tindak Pidana Pencucian Uang makalah disampaikan dalam Pelatihan Korupsi Untuk Aparat Penegak Hukum dan Auditor, Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat Universitas Andalas, Padang, 22 September 2005. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, terdapat dalam http://repository.usu.ac.id/ Rudi Hartono, Korupsi Produk Struktur Sosial Feodalisme, terdapat dalam http://lmnd.wordpress.com/2008/05/12/korupsi-produk-struktur-sosial-feodalisme-2/ Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, Korupsi, terdapat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/10/25/

You might also like