You are on page 1of 31

TUGAS PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN

Dosen Pengampu : Abdul Malik, M.Pd.

OLEH : VIRA DITRA HERDIANASARI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL WATHAN MATARAM

2012

1. Sebutkan dan jelaskan asas dan landasan filosofis pendidikan ! a) Asas Pendidikan Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusus di Indonesia, terdapat beberapa asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Diantara asas tersebut adalah Asas Tut Wuri

Handayani, Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan asas Kemandirian dalam belajar. 1) Asas Tut Wuri Handayani Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sitem Among perguruan. Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dwantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso. Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo ( jika di depan memberi contoh) Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat) Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan) 2) Asas Belajar Sepanjang Hayat Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Kurikulum yang dapat meracang dan diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horisontal. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan

kesinambungan antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Dimensi horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. 3) Asas Kemandirian dalam Belajar Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu suiap untuk ulur tangan bila diperlukan. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalamperan utama sebagai fasilitator dan motifator. Salah satu pendekatan yang memberikan 2

peluang dalam melatih kemandirian belajar peserta didik adalah sitem CBSA (Cara Belajar Siwa Aktif).

b) Landasan Filosofis Pendidikan Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandanagan dalam filsafat pendidikan, meyangkut keyakianan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal sampai saat ini adalah Idealisme, Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme dan Progresivisme dan Ekstensialisme 1. Esensialisme Esensialisme adalah mashab pendidikan yang mengutamakan pelajaran teoretik (liberal arts) atau bahan ajar esensial. 2. Perenialisme Perensialisme adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan ajaran konstan (perenial) yakni kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan universal. 3. Pragmatisme dan Progresifme Pragmatisme adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan praktis, di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan tradisional. 4. Rekonstruksionisme Rekonstruksionisme adalah mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.

2. Uraikan pendapat saudara tentang kemunduran pendidikan di Indonesia yang ilmiah dan sistematis ! Mengkaji Kembali Sistem pendidikan yang sudah ada Kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan (yang sebenarnya sudah cukup baik) di Indonesia yang disebabkan pendidikan belum menempatkan siswa sebagai pribadi yang utuh. Sebenarnya kurikulum Indonesia tidaklah kalah dari kurikulum di negara maju, tetapi pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal. Implementasi pendidikan yg kurang benar. Pendidikan di negara kita belum mampu mengembangkan intelektual serta pengetahuan secara komprehensif. Kegiatan pembelajaran semestinya tidak sekedar menekankan pada kompetisi akademik (Learning how to learn) tetapi juga kompetisi secara personal (Learning how to be), bagaimana menerapkan pengetahuan yang di dapat 3

dalam kehidupan sehari-hari (learning how to do), dan memanfaatkan pengetahuan tersebut demi kebaikan dalam kaitanya dengan kehidupan bersama (learning how to live together.) Ditambah lagi terlalu seringnya sistem pendidikan yang digonta-ganti tergantung kondisi politik, padahal itu bukanlah masalah utama, yang menjadi masalah utama adalah pelaksanaan di lapangan, kurang optimal. Penerapan Ujian nasional bukanlah standar yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan pendidikan. Dengan diterapkannya standar tersebut, siswa justru harus dibebani dengan kepadatan materi yang tidak banyak membuka ruang diskusi, perdebatan, polemik dan kebebasan berpendapat. Masih banyaknya sekolah belum melaksanakan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dengan benar. Sebagai dampak diterapkannya Ujian Nasional, banyak sekolah yang berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara akademik sehingga bahan pelajaran sudah dipecahkan dan siswa hanya tinggal menghafal saja, sehingga tidak diberi dorongan melakukan pencarian. Seringkali bahan pelajaran diajarkan secara terpisah dan tidak memiliki kaitan historis dengan kenyataan sosial yang dialami siswa. Dengan adanya Ujian Nasional juga mengakibatkan adanya dominasi peran guru yang tidak memberi hak pada siswa karena anak didik hanya dianggap layaknya bejana kosong yang harus ditumpahi informasi, pengetahuan dan keterampilan siap pakai. Akibatnya Kegiatan belajar mengajar berjalan dalam kebekuan dan teknik hafalan tejadi di hampir semua pelajaran.

Kebijakan Pendidikan yang Adil Bagi Semua Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan kita yang juga memiliki kaitan erat dengan sistem adalah kebijakan pemerintah yang banyak dianggap merugikan rakyat. Pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa belum menjadi pikiran utama para eliteelite politik pengambil kebijakan, tetapi hanya sebagai sarana perebutan proyek. Banyak RUU yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat disahkan dengan mengatasnamakan rakyat. Kurikulum pendidikan sering kali di ubah-ubah demi kepentingan politik dan proyek jual-beli buku antara penerbit dan siswa layaknya transaksi jual beli dipasar dengan alasan perbaikan mutu pendidikan. Hal tersebut saya buktikan sendiri dengan pengalaman saya dimana setiap tahunnya orang tua saya harus menyisihkan anggaran lebih untuk membeli buku-buku pelajaran adik saya yang hanya selisih dua tahun karena buku-buku saya sudah tidak dapat dipakai adik saya lantaran berbeda kurikulum. Lebih parah lagi, Pendidikan dinegeri ini sudah dimasuki intervensi asing dimana liberalisasi pendidikan sebagai sesuatu hal yang tidak perlu ditutup-tutupi. Liberalisasi (kapitalisasi) pendidikan 4

tinggi merupakan sistem kapitalisme dalam dunia pendidikan tinggi, dengan modus utamanya integrasi pendidikan tinggi dengan pasar global. Liberalisasi pendidikan tinggi berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktornya, yaitu Multi National

Corporation(MNC) yang dibantu oleh bank dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat WTO untuk terjun dalam arus globalisasi berdasarkan paham neoliberalisme. (M. Shiddiq al-jawi, 2008). Dalih dari liberalisasi ini adalah dijauhkannya peran dan tanggung jawab negara dengan istilah yang menipu yakni:Pembebasan pendidikan dari intervensi negara Sebagai contoh adalah pelepasan tanggung jawab Negara ketika UGM di ubah bentuknya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Akhirnya UGM harus mencari dana sendiri, antara lain melalui jalur khusus dalam menerima mahasiswa.

Di satu sisi, hal positif yang dapat dirasakan adalah terciptanya pendidikan dengan kulaitas, efisiensi, dan profesionalisme yang bagus. Pihak penyelenggara pendidikan bisa bebas sesuai dengan kreativitasnya memajukan pendidikan yang dijalankan berdasarkan strategi yang telah dirancang. Penyelenggara pendidikan pun tidak perlu terhambat akan adanya jeratan birokrasi yang berbelit-belit seperti yang terjadi selama ini. Namun di sisi lain, Konsep BHMN secara mudah bisa diidentikkan dengan sebuah korporasi dalam dunia bisnis, yang akan menyebabkan komersialisasi pelayanan pendidikan. Adanya konsep otonomi, secara makro, mengesankan upaya terselubung pemerintah untuk menghindari tanggung jawab penyisihan dana APBN sebesar 20 persen bagi pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi. Masalahnya adalah kemandirian institusi pendidikan yang dibuat pemerintah juga sampai pada adanya kemandirian dari segi pendanaan. Walhasil, institusi pendidikan harus memutar otak untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen.

Pendidikan Untuk Semua Dampak terburuk dari Konsep BHMN adalah semakin mahalnya biaya pendidikan yang berakibat pada semakin banyaknya masyarakat yang tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya. Masih banyaknya masyarakat tidakmampu menekolahkan anaknya karena faktorkemiskinan. Sebagai contoh orang miskin tidak mampu menyekolahkan anaknya di Fakultas kedokteran, meskipun anaknya mempunyai potensi.

Beasiswa kurang tepat sasaran Program beasiswa yang diharapkan membantu masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak tidaklah tanpa kendala. Terkadang beasiswa diterima oleh orang5

orang yang tidak berhak menerimanya atau tidak tepat sasaran. Disamping itu adanya penyelewengan dana pendidikan. Akibatnya harapan sebagian masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak hanyalah menjadi hisapan jempol belaka.

Sarana dan Prasarana Tidak berhenti sampai disini, Carut-marut dunia pendidikan di negara kita ini semakin parah dengan tidak meratanya sarana dan prasarana pendidikan. Khususnya di daerah terpencil, suasana belajar dan mengajar sangat jauh dari kondusif karena banyak gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai sehingga kegiatan belajar mengajar harus dilakukan dengan segala keterbatasan yang ada Masih terbatasnya sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar, terutama di daerah terpencil seperti buku pelajaran, alat laboraturium/ praktek, ruang belajar dan lain-lain perlu menjadi bahasan khusus bagi para elite politik dinegeri ini. Sistem pendidikan yang sering berganti-ganti, bukanlah masalah utama, yang menjadi masalah utama adalah pelaksanaan di lapangan, kurang optimal. Terbatasnya fasilitas untuk pembelajaran baik bagi pengajar dan yang belajar. (Rena Istri Wangi).

Kualitas dan Kuantitas pendidik Dibeberapa daerah masih kekurangan guru, baik dari segi kualitasnya maupun jumlahnya, namun di daerah lain justru kelebihan guru. Hal ini kurangnya pemerataan di daerah. Sulitnya menyediakan guru-guru berbobot untuk mengajar di daerah-daerah tersebut disebabkan profesi guru didaerah-daerah kurang mendapat apresiasi, dimana guruguru daerah hanya digaji dengan gaji yang rendah sehingga banyak guru-guru profesional yang enggan di salurkan ke daerah. Pendidikan di Indonesia tertinggal jauh karena kurang sadarnya masyarakat mengenai betapa pentingnya pendidik dalam membentuk generasi mendatang sehingga profesi ini tidak begitu dihargai dan dipandang sebelah mata (Prof. Nelson Tansu, PhD, 2006). Banyak sekali kegiatan yang dilakukan depdiknas untuk meningkatkan kompetensi guru, tetapi tindak lanjut yang tidak membuahkan hasil dari kegiatan semacam penataran, sosialisasi. Jadi terkesan yang penting kegiatan itu terlaksana selanjutnya, tanpa memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh. Pemetaan guru yang jelas dan akurat, baik data jumlah dan data kompetensi yang dikuasai guru dalam mengajar. Dan perlu pengaturan secara propinsi terhadap penempatan guru, sehingga dengan demikian tidak akan ada suatu daerah tertentu kekurangan guru sementara daerah lain kelebihan

guru.(data Pembinaan Pendidikan Menengah no.5 program pembinaan pendidikan dan kebudayaan di Kalimantan Tengah).

Pendidikan Agama dan Kepribadian tidak Menyentuh Pola pengajaran Agama di indonesia hanya diorientasikan pada pendidikan akademis, padahal keberhasilan anak dalam hal ini tidak dapat diukur dari pencapaian nilai secara kuantitatif tetapi lebih kepada pembentukan akhlaq atau perilaku dan bukan sekedar teori-teori saja. Pendidikan sebagai praktek pengamalan ajaran agama secara maksimal dengan melalui teknik terapan ajaran-ajaran dasar agama. (kesalehan simbolik menjadi dasar pendidikan) (Eko Prasetyo, 2008). Ada kasus menarik yang pernah saya amati, dimana ada teman saya yang mencontek ketika ada ujian pendidikan agama. Hal tersebut sangat ironis, ketika perbuatan tidak agamis bahkan dilarang oleh agama tetapi dilakukan ketika pelajaran agama. Hal ini yang kini kita rasakan secara nyata. Ini masalah dan harus disadari sebagai masalah yang serius bagi perkembangan pendidikan Semestinya pelajaran keagamaan diberikan tidak sekedar teori akan tetapi praktek-praktek keseharian sehingga dapat membentuk pribadi yang mulia. kita semua harus menyadarinya sebagai tantangan hebat untuk menyambut masa depan Indonesia yang beradab.

Kesadaran Masyarakat Pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa belum menjadi kesadaran umum, tetapi hanya menjadi kesadaran pribadi-pribadi. (Benny Susetyo PR). Masih rendahnya motivasi masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Banyak orang tua yang hanya membiayai pendidikan anaknya tapi kurang mengawasi perkembangan anaknya. Kita semua harus menyadari bahwa proses perubahan harus dari diri sendiri, dari hal yang paling kecil kemudian hal-hal yang lebih besar, lingkungan dan orang lain. Jika kita ibaratkan ketika ketika menunjuk orang lain salah, sebenarnya pada saat itu ada satu jari yang mengarah pada orang lain tetapi ada tiga jari yang mengarah pada diri kita. Artinya, kesadaran masyarakat ini harus dimulai dari diri kita sendiri.

Minat Baca Rendah Kesadaran masyarakat diatas mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan suksesnya pendidikan di Indonesia, termasuk juga disini adalah kesadaran dalam hal membaca. Hidup adalah pembelajaran. Belajar dimulai dari membaca. Membaca tulisan, simbol maupun realitas empirik..... (Bambang Sudibyo,2008). Rendahnya minat baca, 7

baik siswa maupun masyarakat pada umumnya menyebabkan pengetahuan kita secara ratarata jauh dibandingkan negara negara lain.

Kedisiplinan Kedisiplinan bangsa ini perlu diperbaiki melihat banyak masyarakat kita yang tidak mau menghargai waktu. Datang kuliah terlambat, suka bermalas-malasan dalam mengerjakan tugas, adalah contoh dari kurangnya disiplin masyarakat kita. Apalagi hal tersebut terbawa ketika para siswa ini sudah bekerja sehingga etos kerja bangsa ini secara umum rendah.

Gaya Hidup dan Teknologi Semakin pesatnya tegnologi dan informasi justru menjadi masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia karena masyarakat belum mampu mem-filter hal-ha yng masuk, termasuk gaya hidup hedonis. Para pelajar banyak yang suka meniru hal-hal yang negatif

Saran Pemerintah menyediakan kebijakan yang adil bagi semua, berpihak pada kaum lemah, dan tidak menjadi agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan. Oleh karena itu kita perlu duduk bersama antara pendidik dan orang tua serta pemerintah dalam rangka merumuskan bersama kebijakan pendidikan yang berorientasi keindonesiaan. Kebijakan yang manusiawi yang bisa membuat manusia Indonesia memiliki harapan ke depan dalam konteks global Selanjutnya, memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa masyarakat selain mempunyai hak, juga mempunyai kewajiban untuk terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Tentu saja pemerintah sendiri tidak akan dapat menjalankan sistem pendidikan ini tanpa dukungan dari seluruh komponen bangsa Indonesia, Saya rasa kita masih harus banyak bekerja dan belajar segiat mungkin untuk bisa terus mewujudkan cita-cita besar bangsa ini. Hal yang tidak kalah penting adalah jangan membebani anak didik dengan kepadatan materi yang tidak banyak membuka ruang diskusi, perdebatan, polemik dan kebebasan berpendapat. Kepadatan materi hanya akan menyebabkan kegiatan belajar mengajar berjalan dalam kebekuan dan hanya mengandalkan teknik hafalan dengan mengabaikan keterampilan. Dalam hal ini, paradigma baru pendidikan Indonesia dibutuhkan. Harus dan harus, kita menggali kekayaan dan kebesaran visi misi pendidikan dari Ki Hajar

Dewantara. Mendesak dan amat urgen merumuskan visi pendidikan yang berorientasi pada 8

pendidikan seutuhnya untuk mencetak manusia Indonesia seutuhnya. (Benny Susetyo PR,2006). Pendidikan seutuhnya dalam maksud Ki Hajar adalah pendidikan yang tidak mencabut akar budaya yang membuat anak didik menjadi asing dengan realitasnya. Pendidikan harus membuat manusia Indonesia menjadi peka akan budi pekerti. Hal tersebut menjadi penegas atas uraian saya tentang pentingnya pendidikan agama yang tidak sekedar teori tetapi juga praktek Kepekaan inilah yang membuat manusia Indonesia akan terbentuk sebagai pribadi yang berkehalusan budi serta berkeheningan batin.

Referensi 1. http://www.infogue.com/viewstory/2008/10/20/masalah_pendidikan_di_indonesia/?url= http://dz4ki.blogspot.com/2008/10/masalah-pendidikan-di-indonesia.html 2. http://www.kalteng.go.id/indo/Pendidikan2003.htm 3. http://koranthecampus.wordpress.com/2007/05/03/bhp-solusi-masalah-pendidikan-kita/ 4. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0608/30/opi01.html 5. http://urip.wordpress.com/2006/10/27/masalah-pendidikan-menurut-nelson-tansu/ 6. Materi Seminar nasional masalah pendidikan, Oleh Menteri Pendidikan RI Bambang Sudibyo, 2008

7. Sejauhmana peran globalisasi terhadap pengembangan pendidikan di Indonesia ? Banyak sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah-sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup negaranegara ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi budak di negeri sendiri. Pendidikan model ini juga membuat siswa memperoleh keterampilan teknis yang komplit dan detil, mulai dari bahasa asing, komputer, internet sampai tata pergaulan dengan orang asing dan lain-lain. sisi positif lain dari liberalisasi pendidikan yaitu adanya kompetisi. Sekolah-sekolah saling berkompetisi meningkatkan kualitas pendidikannya untuk mencari peserta didik. 9

Globalisasi seperti gelombang yang akan menerjang, tidak ada kompromi, kalau kita tidak siap maka kita akan diterjang, kalau kita tidak mampu maka kita akan menjadi orang tak berguna dan kita hanya akan jadi penonton saja. Akibatnya banyak Desakan dari orang tua yang menuntut sekolah menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan desakan dari siswa untuk bisa ikut ujian sertifikasi internasional. Sehingga sekolah yang masih konvensional banyak ditinggalkan siswa dan pada akhirnya banyak pula yang gulung tikar alias tutup karena tidak mendapatkan siswa. Implikasinya, muncullah : Home schooling, yang melayani siswa memenuhi harapan siswa dan orang tua karena tuntutan global. Virtual School dan Virtual University, Munculnya alternatif lain dalam memilih pendidikan. Model Cross Border Supply, yaitu pembelajaran jarak jauh (distance learning), pendidikan maya (virtual education) yang diadakan oleh Perguruan Tinggi Asing ; contohnya United Kingdom Open University dan Michigan Virtual University. Model Consumption Aboard, lembaga pendidikan suatu negara menjual jasa pendidikan dengan menghadirkan konsumen dari negara lain; contoh : yaitu hadirnya banyak para pemuda Indonesia menuntut ilmu membeli jasa pendidikan ke lembaga-lembaga pendidikan ternama yang ada di luar negeri. Model Movement of Natural Persons. Dalam hal ini lembaga pendidikan di suatu negara menjual jasa pendidikan ke konsumen di negara lain dengan cara mengirimkan personelnya ke negara konsumen. Contohnya dengan mendatangkan dosen tamu dari luar negeri bekerja sama dengan perguruan tinggi yang ada di Indonesia (tidak gratis tentunya). Model Commercial Presence, yaitu penjualan jasa pendidikan oleh lembaga di suatu negara bagi konsumen yang berada di negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara tersebut. Persaingan untuk menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi, sehingga dapat masuk dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan kombinasi antara kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya cipta yang tinggi. Salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya peningkatan kualitas pendidikan hendaknya selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat menikmati pendidikan dengan 10

kualitas yang baik tadi tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Tentu saja hal ini menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah air diperlukan dana lebih dari 50 juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain yang maju semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolahsekolah mewah di saat masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan kualitas pendidikan yang sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak sosial dalam masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan tidak diredam. Selain itu ketidaksiapan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan ketidaksiapan guru yang berkompeten dalam menyelenggarakan pendidikan tersebut merupakan perpaduan yang klop untuk menghasilkan lulusan yang tidak siap pula berkompetisi di era globalisasi ini alias lulusan yang kurang berkualitas. Seperti yang dilansir KOMPAS.com tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan bahwa tiga hasil studi internasional menyatakan, kemampuan siswa Indonesia untuk semua bidang yang diukur secara signifikan ternyata berada di bawah rata-rata skor internasional yang sebesar 500. Jika dibandingkan dengan siswa internasional, siswa Indonesia hanya mampu menjawab soal dalam kategori rendah dan sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada yang dapat menjawab soal yang menuntut pemikiran tingkat tinggi. Hasil tiga studi tersebut mengemuka dalam seminar Mutu Pendidikan dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik 2009 di Gedung Depdiknas, Jakarta, Rabu (28/10). Masih dalam Kompas.com tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan salah satu penelitian yang mengungkap lemahnya kemampuan siswa, dalam hal ini siswa kelas IV SD/MI, adalah penelitian Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), yaitu studi internasional dalam bidang membaca pada anak-anak di seluruh dunia yang disponsori oleh The International Association for the Evaluation Achievement. Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata anak Indonesia berada pada urutan keempat dari bawah dari 45 negara di dunia. Demikian hasil studi tersebut dipaparkan dalam laporan penelitian Studi Penilaian Kemampuan Guru Melalui Video dengan Memanfaatkan Data PIRLS oleh Prof Dr Suhardjono dari Pusat Penelitian Pendidikan Depdiknas di Jakarta, Rabu (28/10). Dalam laporan tersebut, Suhardjono 11

menuturkan, muara dari lemahnya pembelajaran membaca patut diduga karena kemampuan guru dan kondisi sekolah. Dalam lansiran lain di Kompas.com tanggal 19 Juni 2009 Ir Hafilia R. Ismanto MM., Direktur Bidang Akademik LBPP LIA, menyebutkan bahwa sampai saat ini masih banyak guru belum berhasil untuk dijadikan role model sebagai pengguna Bahasa Inggris yang baik, penyebab hal tersebut karena selama ini pihak sekolah dan guru belum melakukan pendekatan integrasi antara content atau mata pelajaran dan Bahasa Inggris. Tidak semua guru mata pelajaran bisa diberdayakan untuk memberikan materi berbahasa Inggris, kecuali para guru itu memang benar-benar siap. 8. Coba Rangkumkan Makalah 1 6 ! 1) Makalah 1 : Karakteristik Manusia Indonesia Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia Sebuah Pertanggung Jawaban menyebutkan beberapa ciri manusia Indonesia antara lain : 1. Hipokritis alias munafik. (halaman 23) Berpura-pura, lain di muka - lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak meraka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya. 2. Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. (halaman 26) Bukan saya, adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indonesia. Atasan menggeser tanggung jawab tentang suatu kegagalan pada bawahannya, dan bawahannya menggesernya ke yang lebih bawah lagi, dan demikian seterusnya. 3. Berjiwa feodal (halaman 28) Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah untuk juga membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentukbentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia. Sikap-sikap feodalisme ini dapat kita lihat dalam tatacara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan-hubungan organisasi kepegawaian (umpamanya jelas dicerminkan dalam susunan kepemimpinan organisasi-organisasi isteri pegawaipegawai negeri dan angkatan bersenjata), dalam pencalonan isteri pembesar negeri dalam daftar pemilihan umum. Isteri Komandan, isteri menteri otomatis jadi ketua, 12

bukan berdasar kecakapan dan bakat leadershipnya, atau pengetahuan dan pengalamannya atau perhatian dan pengabdiannya. 4. Masih percaya takhyul (halaman 32) Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuataan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua. Kepercayaan serupa ini membawa manusia Indonesia jadi tukang bikin lambang. Kita percaya pada jimat dan jampe. Untuk mengusir hantu kita memasang sajen dan bunga di empat sudut halaman, dan untuk menghindarkan naas atau mengelakkan bala, kita membuat tujuh macam kembang di tengah simpang empat. Kita mengarang mantera. Dengan jimat dan mantera kita merasa yakin telah berbuat yang tegas untuk menjamin keselamatan dan kebahagiaan atau kesehatan kita. 5. Artistik (halaman 38) Karena sifatnya yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah dan kekuasaan pada segala benda alam di sekelilingnya, maka manusia Indonesia dekat pada alam. Dia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan perasan-perasaan sensuilnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik yang besar dalam dirinya yang dituangkan dalam segala rupa ciptaan artistik dan kerajinan yang sangat indah-indah, dan serbaneka macamnya, variasinyam warna-warninya. 6. Watak yang lemah (halaman 39), Karakter kurang kuat Manusia Indonesia kurang dapat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk survive bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektuil amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.

2) Makalah 2 : Landasan dan Asas Pendidikan A. LANDASAN PENDIDIKAN 1. Landasan Filosofis a. Pengertian Landasan Filosofis Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandanagan dalam filsafat pendidikan, meyangkut keyakianan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal sampai saat ini adalah 13

Idealisme, Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme dan Progresivisme dan Ekstensialisme 1) Esensialisme Esensialisme adalah mashab pendidikan yang pelajaran teoretik (liberal arts) atau bahan ajar esensial. 2) Perenialisme Perensialisme adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan ajaran konstan (perenial) yakni kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan universal. 3) Pragmatisme dan Progresifme Pragmatisme adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan praktis, di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan tradisional. 4) Rekonstruksionisme Rekonstruksionisme adalah mazhab filsafat pendidikan yang mengutamakan

menempatkan sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat. b. Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidkan Nasional Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945. sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia.

2.

Landasan Sosiologis a. Pengertian Landasan Sosiologis Dasar sosiolagis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan dan karakteristik masayarakat.Sosiologi pendidikan merupakan analisi ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiolagi meliputi empat bidang: 1. 2. 3. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain. Hubungan kemanusiaan. Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya. 14 pendidikan

4.

Sekolah dalam komunitas,yang mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya.

b. Masyarakat indonesia sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah

mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan komplek. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuhkembangkan KeBhineka tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah (umpamanya dengan pelajaran PPKn, Sejarah Perjuangan Bangsa, dan muatan lokal), maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran P4, pemasyarakatan P4 nonpenataran) 3. Landasan Kultural a. Pengertian Landasan Kultural Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dilestarikan/ dikembangkan dengan jalur mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baiksecara formal maupun informal. Anggota masyarakat berusaha melakukan perubahan-perubahan yang sesuai denga perkembangan zaman sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nlai-nilai, dan norma-norma baru sesuai dengan tuntutan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola-pola ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. b. Kebudayaan sebagai Landasan Sistem Pendidkan Nasional Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik di setiap daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebineka tunggal ikaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini harsulah dilaksanakan dalam kerangka pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara indonesia sebagai sisi ketunggal-ikaan.

15

4.

Landasan Psikologis a. Pengertian Landasan Filosofis Dasar psikologis berkaitan dengan prinsip-prinsip belajar dan

perkembangan anak. Pemahaman etrhadap peserta didik, utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan. Sebagai implikasinya pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik, sekalipun mereka memiliki kesamaan. Penyusunan kurikulum perlu berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman belajar yang akan dijadikan garis-garis besar pengajaran serta tingkat kerincian bahan belajar yang digariskan. b. Perkembangan Peserta Didik sebagai Landasan Psikologis Pemahaman tumbuh kembang manusia sangat penting sebagai bekal dasar untuk memahami peserta didik dan menemukan keputusan dan atau tindakan yang tepat dalam membantu proses tumbuh kembang itu secara efektif dan efisien. 5. Landasan Ilmiah dan Teknologis a. Pengertian Landasan IPTEK Kebutuhan pendidikan yang mendesak cenderung memaksa tenaga pendidik untuk mengadopsinya teknologi dari berbagai bidang teknologi ke dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang berkaitan erat dengan proses penyaluran pengetahuan haruslah mendapat perhatian yang proporsional dalam bahan ajaran, dengan demikian pendidikan bukan hanya berperan dalam pewarisan IPTEK tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar IPTEK dan calon pakar IPTEK itu. Selanjutnya pendidikan akan dapat mewujudkan fungsinya dalam pelestarian dan pengembangan iptek tersebut. b. Perkembangan IPTEK sebagai Landasan Ilmiah Iptek merupakan salah satu hasil pemikiran manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, yang dimualai pada permulaan kehidupan manusia. Lembaga pendidikan, utamanya pendidikan jalur sekolah harus mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan iptek. Bahan ajar sejogjanya hasil perkembangan iptek mutahir, baik yang berkaitan 16

dengan hasil perolehan informasi maupun cara memproleh informasi itu dan manfaatnya bagi masyarakat.

B. ASAS-ASAS POKOK PENDIDIKAN Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusu s di Indonesia, terdapat beberapa asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Diantara asas tersebut adalah Asas Tut Wuri Handayani, Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan asas Kemandirian dalam belajar. 1. Asas Tut Wuri Handayani Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sitem Among perguruan. Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dwantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso. Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo ( jika di depan memberi contoh) Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat) Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan) 2. Asas Belajar Sepanjang Hayat Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Kurikulum yang dapat meracang dan diimplementasikan dengan

memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horisontal. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Dimensi horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. 3. Asas Kemandirian dalam Belajar Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu siap untuk ulur tangan bila diperlukan. Perwujudan asas kemandirian dalam 17

belajar akan menempatkan guru dalamperan utama sebagai fasilitator dan motifator. Salah satu pendekatan yang memberikan peluang dalam melatih kemandirian belajar peserta didik adalah sitem CBSA (Cara Belajar Siwa Aktif).

3) Makalah 3 : Pendidikan Dalam Menghadapi Globalisasi Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan global, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun nonakademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Anak usia tujuh sampai lima belas tahun seharusnya mendapatkan pendidikan dasar secara gratis, karena pasal 11 ayat 2 UU Sisdiknas menyatakan "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun". Upaya memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia sebenarnya juga telah ditempuh dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang menyatakan bahwa wewenang terbesar bidang pendidikan ada di tangan pemerintah daerah, baik yang menyangkut budget maupun kebijakan yang bersifat strategis di bidang kurikulum. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata di beberapa daerah mendapat kendala, karena kurangnya ketersediaan anggaran pendidikan, padahal berdasarkan pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU Sisdiknas, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD. Kendala lain yang dihadapi sebagian pemerintah daerah adalah karena tidak tercukupinya kebutuhan tenaga pendidik dan untuk mengangkat PNS baru membutuhkan anggaran yang cukup besar pula. Selain pemerintah, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia juga menjadi tanggung jawab dari masyarakat, untuk itu Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan surat keputusan Nomor: 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

18

Dalam kompetisi menghadapi globalisasi Sumber Daya Manusia memegang peranan yang sangat penting. Bila tidak siap maka manusia Indonesia akan tergilas oleh globalisasi. Akan tetapi bila siap, maka kita akan menjadi sang pemenang. Secara sederhana kita dapat mendefisikan sikap pemenang (winner) yaitu: Adalah mereka yang berada didepan perubahan, terus-menerus meredifinisi bidang kegiatannya, menciptakan pasar baru, membuat trobosan baru, menemukan kembali cara-cara berkompetisi, menantang status quo. Pimpinan yg mau mendesentralisasi kekuasaannya dan mendemokratisasikan strateginya dengan melibatkan berbagai orang baik yg ada di dalam maupun di luar organisasinya dalam proses menemukan kiat utk menghadapi masa depan Untuk tingkat perusahaan telah terjadinya pergeseran paradigma antara model konvensional dengan model yang terjadi di era globalisasi (abad 21) yang secara umum dapat dijelaskan pada tabel 2. Berikut : No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Current Model Hierarchy Self-sufficient Security Homogeneous By individuals Domestic Cost Profits Capital Board of directors Whats affordable Autocratic Item ORGANIZATION STRUCTURE WORKER EXPECTN WORKFORCE WORK MARKETS ADVANTAGE FOCUS RESOURCES GOVERNANCE QUALITY LEADERSHIP 21st Century Network Interdependent Personal growth Culturally diverse By teams Global Time Customers Information Varied constituents No compromises Inspirational

Tabel 2. Perubahan Paradigma Abad 21

Untuk menghadapi globalisasi kita dapat menerapkan kiat 3C yaitu: Competence, Concept and

19

Connection Dengan mengembangkan 3C diatas maka diharapkan akan terjadi peningkatan

sumber daya manusia Indonesia menghadapi globalisasi. Selain hal tersebut, alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam pendidikan anak dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari pendidikan formal anak di sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak akan membuat kita lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan `kesalahan' dunia pendidikan nasional kepada otoritas dan sektorsektor lain dalam masyarakat, karena mendidik itu ternyata tidak mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar kuantitas individu dan keluarga yang menyadari urgensi peranan keluarga ini, kemudian mereka membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi, maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran kompetitif di tengahtengah bangsa kita sehingga mampu bersaing di atas gelombang globalisasi ini. Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.

4) Makalah 4 : Pendidikan Sebagai Sistem Pembentukan Budaya Lembaga Pendidikan (baik formal, non formal atau informal) adalah tempat transfer ilmu pengetahuan dan budaya (peradaban). Melalui praktik pendidikan, peserta didik diajak untuk memahami bagaimana sejarah atau pengalaman budaya dapat ditransformasi dalam zaman kehidupan yang akan mereka alami serta mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan dan tuntutan yang ada di dalamnya. Dengan demikian, makna pengetahuan dan kebudayaan sering kali dipaksakan untuk dikombinasikan karena adanya pengaruh zaman terhadap pengetahuan jika ditransformasikan. Oleh karena itu pendidikan nasional bertujuan mempersiapkan masyarakat baru yang lebih ideal, yaitu masyarakat yang mengerti hak dan kewajiban dan berperan aktif dalam proses pembangunan bangsa. Esensi dari tujuan pendidikan nasional adalah proses menumbuhkan bentuk budaya keilmuan, sosial, ekonomi, dan politik yang lebih baik dalam perspektif tertentu harus mengacu pada masa depan yang jelas (pembukaan 20

UUD 1945 alenia 4). Melalui kegiatan pendidikans, gambaran tentang masyarakat yang ideal itu dituangkan dalam alam pikiran peserta didik sehingga terjadi proses pembentukan dan perpindahan budaya. Pemikiran ini mengandung makna bahwa lembaga pendidikan sebagai tempat pembelajaran manusia memiliki fungsi sosial (agen perubahan di masyarakat) Sebagai sistem sosial, lembaga pendidikan harus memiliki fungsi dan peran dalam perubahan masyarakat menuju ke arah perbaikan dalam segala lini. Dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki dua karakter secara umum. Pertama, melaksanakan peranan fungsi dan harapan untuk mencapai tujuan dari sebuah sitem. Kedua mengenali individu yang berbeda-beda dalam peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan. Kemudian sebagai agen perubahan lembaga pendidikan berfungsi sebagai alat: 1) Pengembangan pribadi 2) Pengembangan warga 3) Pengembangan Budaya 4) Pengembangan bangsa Perubahan sosial budaya masyarakat sebagaimana yang kita bicarakan di atas tikan akan pernah bisa kita hindari, sehinga akan menuntut lembaga pendidikan sebagai agen perubahan untuk menjawab segala permasalahan yang ada. Dalam permasalahan ini lembaga pendidikan haruslah memiliki konsep dan prinsip yang jelas, baik dari lembaga formal ataupun yang lainya, demi terwujudnya cita-cita tersebut, kiranya maka perlulah diadakanya pembentukan kurikulum yang telah disesuaikan. Prinsib dasar pembentukan tersebut adalah meliputi: 1) Tujuan Institusional yang meliputi: Orientasi pada pendidikan nasional Kebutuhan dan perubahan masyarakat Kebutuhan lembaga. 2) Menetapkan Isi dan Struktur Progam 3) Penyusunan Strategi Penyusunan dan Pelaksanaan Kurikulum 4) Pengembangan Progam Diharapkan nanti dengan persiapan dan orientasi yang jelas sebagaimana di atas, diharapkan lembaga-lembaga pendidikan akan mampu mencetak kader-kader perubahan ke arah perbaikan di masyarakat. Selanjutnya mengenai pengembangan kurikulum ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh lembaga pendidikan, yaitu: 21

1) Relevansi dengan dengan pendidikan lingkungan hidup masyarakat 2) Sesuai dengan perkembangan kehidupan masa sekarang dan akan datang 3) Efektifitas waktu pengajar dan peserta didik 4) Efisien, dengan usaha dan hasilnya sesuai 5) Kesinambungan antara jenis, progam, dan tingkat pendidikan 6) Fleksibelitas atau adanya kebebasan bertindak dalam memilih progam, pengembangan progam, dan kurikulum pendidikan.

5) Makalah 5 : Sejarah Pendidikan di Indonesia A. Pendidikan Masa Hindu-Buddha Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Abad 5 pendeta Budha memperkenalkan ajarannya (tentunya mengandung unsur pendidikan. Berdirinya Borobudur boleh di anggap sebagai parameter tingginya ilmu arsitektur (diabad 8) oleh Raja Sailendra Samaratungga. Dicatat pula Candi Prambanan (Hindu) yang elok itu dibangun di abad 9 jamannya raja Sanjaya. Raja agung Airlangga (1019) boleh dianggap raja paling toleran dan melindungi umat berbeda agama (hal ini tentunya tidak terjadi sebelumnya). Tidak kurang di Indonesia juga ada ahli filosuf atau mungkin sebagai nabinya wong jowo yaitu Raja Joyoboyo (1157), siapa yang tak kenal dengan primbonnya Joyo boyo. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14-15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala. Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para

22

wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru. B. Pendidikan Masa Islam Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 4845; Munandar 1990: 310311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap). Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria, Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang bernama Giri, dekat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984187). Pemilihan lokasi tersebut telah mencontoh gunung keramat sebagai tempat didirikannya karsyan dan mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187). Seperti halnya mandala, pada masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan depok, istilah tersebut menjadi nama sebuah kawasan yang khas di kotakota Islam, seperti Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang sama, yaitu tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya. C. Pendidikan di Masa Penjajahan Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi 23

golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat. Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas nama Raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-ciri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia. Belanda memperkenalkan sistem pendidikan formal bagi penduduk HindiaBelanda (cikal bakal Indonesia), meskipun terbatas bagi kalangan tertentu yang terbatas. Sistem yang mereka perkenalkan secara kasar sama saja dengan struktur yang ada sekarang, dengan tingkatan sebagai berikut :

Europeesche Lagere School (ELS), Sekolah Dasar bagi orang Eropa Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Sekolah Dasar bagi Pribumi Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Sekolah Menengah Pertama Algemeene Middelbare School (AMS), Sekolah Menengah Atas

Sejak tahun 1930-an, Belanda memperkenalkan pendidikan formal terbatas bagi hampir semua provinsi di Hindia Belanda. Untuk Perguruan tinggi dimulai dengan berdirinya sekolah-sekolah kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang kemudia berubah jadi NIAS(1913) dan GHS adalah cikal bakal dari fakultas kedokterannya UI. Lalu juga Rechts School (1922) dan Rechthoogen School (1924) kemudian melebur jadi fakultas hukumnya UI. Di Bandung dimana bung Karno sekolah juga berasal dari sekolah teknik THS (1920) dan di Bogor dibuat juga sekolah perkebunan (1941) adalah cikal bakal IPB sekarang. Bila kemudian didirikan UI (1950) atau UGM (1945) adalah leburan dari yang sudah ada dan kemudian ditambahkan fakultas lainnya. Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang. Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat 24

menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.

D. Pendidikan di Masa Kemerdekaan Sekarang


Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti caracara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas. Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Pendidikan abad 21 diwarnai dengan pengaruh globalisasi. Berbagai sistem pendidikan berlomba-lomba diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan. Institusiinstitusi pendidikan mulai menjamur. Namun muncul kritik dari beberapa orang seperti Ivan Illich, yang menganggap sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan industri semata. Pendidikan kehilangan maknanya sebagai sarana pembelajaran. Kemudian muncul sebuah ide Home Schooling, yaitu pendidikan yang tidak mengandalkan institusi formal, tapi tetap bisa dilakukan di rumah sesuai kurikulum. Home Schooling adalah pola pendidikan yang dilatarbelakangi adanya

ketidakpercayaan terhadap fenomena negatif yang umum terdapat pada institusi formal: adanya bullying, serta metode yang didaktis dan seragam. Namun bukan berarti institusi pendidikan formal tidak menyesuaikan diri. Kini, timbul kesadaran bahwa prestasi bukanlah angka-angka yang didapat di ujian, atau merah-birunya rapor. Melainkan adanya kesadaran akan pentingnya sebuah kurikulum berdasarkan kompetensi.

25

6) Makalah 6 : Aliran-Aliran Pendidikan di Indonesia A. ALIRAN KLASIK 1. Aliran Empirisme (aliran optimisme) Aliran ini dimotori oleh John Locke. Aliran empirisme mengutamakan perkembangan manusia dari segi empirik yang secara eksternal dapat diamati dan mengabaikan pembawaan sebagai sisi internal manusia. Dengan kata lain pengalaman adalah sumber pengetahuan, sedangkan pembawaaan yang berupa bakat tidak diakui. Manusia dilahirkan dalam keadaan kosong, sehingga pendidikan memiliki peran penting yang dapat menentukan keberadaan anak. Aliran ini melihat keberhasilan seseorang hanya dari pengalaman (pendidikan) yang diperolehnya, bukan dari kemampuan dasar yang merupakan pembawaan lahir. 2. Aliran Nativisme (aliran pesimistik) Tokoh aliran ini adalah Arthur Schoupenhauer. Aliran nativisme menyatakan bahwa perkembangan seseorang merupakan produk dari pembawaan yang berupa bakat. Bakat yang merupakan pembawaan seseorang akan menentukan nasibnya. Aliran ini merupakan kebalikan dari aliran empirisme. Orang yang berbakat tidak baik akan tetap tidak baik, sehingga tidak perlu dididik untuk menjadi baik. Orang yang berbakat baik akan tetap baik dan tidak perlu dididik, karena ia tidak mungkin akan terjerumus menjadi tidak baik. 3. Aliran Naturalisme Aliran ini dipelopori oleh J.J. Rousseau. Aliran naturalisme menyatakan bahwa semua anak yang dilahirkan pada dasarnya dalam keadaan baik. Anak menjadi rusak atau tidak baik karena campur tangan manusia (masyarakat). Pendidikan hanya memiliki kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk tumbuh dengan sendirinya. Pendidikan hendaknya diserahkan kepada alam. Dalam mendidik seorang anak hendaknya dikembalikan kepada alam agar pembawaan yang baik tersebut tidak dirusak oleh pendidik. 4. Aliran Konvergensi Aliran ini dipelopori oleh William Stern. Aliran ini menyatakan bahwa bakat, pembawaan dan lingkungan atau pengalamanlah yang menentukan

26

pembentukan pribadi seseorang. Pendidikan dijadikan sebagai penolong kepada anak untuk mengembangkan potensinya. Yang membatasi hasil pendidikan anak adalah pembawan dan lingkungannya. Aliran ini lebih realitis, sehingga banyak diikuti oleh pakar pendidikan.

B. GERAKAN-GERAKAN BARU DALAM PENDIDIKAN 1. Pembelajaran alam sekitar Dalam pendidikan alam sekitar ditanamkan pemahaman, apresiasi, pemanfaatan lingkungan alami dan sumber-sumber pengetahuan di luar sekolah yang semuanya penting bagi perkembangan peserta didik sehingga peserta didik akan mendapatkan kecakapan dan kesanggupan baru dalam menghadapi dunia nyata. Melali penjelajahan alam yang dlakukan, maka peserta didik akan menghayati secara langsung tentang keadaan alam sekitar, belajar sambil mengerjakan sesuatu dengan serta merta memanfaatkan waktu senggangnya. 2. Pengajaran pusat perhatian (Centres Dinteret) Ditemukan oleh Ovide Decroly. Pengajaran disusun menurut pusat perhatian anak. Dari pusat perhatian ini kemudian diambil pelajaran-pelajaran lain. Dalam pengajaran ini anak selalu bekerja sendiri tanpa ditolong dan dilayani. 3. Sekolah kerja Dikembangkan oleh George Kerschenteiner. Menurut dia, bentuk sekolah untuk menjadi warga negara yang baik yaitu mendidik anak agar pekerjaannya tidak merugikan masyarakat dan justru memajukannya. Oleh karena itu sekolah wajib menyiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan. Pekerjaan tersebut hendaknya juga untuk kepentingan negara. Jadi yang menjadi pusat tujuan pengajaran adalah kerja untuk menatap masa depan. 4. Pengajaran proyek Dikembangkan oleh W.H. Kilpatrick. Ia menanamkan pengajaran proyek sebagai satu kesatuan tugas yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan dikerjakan bersama-sama dengan kawan-kawannya. Menurut Kilpatrick, dengan tetap duduk di bangku masing-masing, maka pembentukan watak para peserta didik tidak dapat terlaksana.

C. ALIRAN POKOK PENDIDIKAN DI INDONESIA 1. Taman Siswa 27

Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara. Taman Siswa memiliki asas-asas sebagai berikut: Asas merdeka untuk mengatur dirinya sendiri Asas kebudayaan (kebudayaan Indonesia) Asas kerakyatan Asas kekuatan sendiri (berdikari) Asas berhamba kepada anak Taman Siswa memiliki dasar-dasar pendidikan yang disebut Panca Dharma, yaitu: 1) Kemanusiaan, berupa cinta kasih terhada sesama manusia dan semua mahkluk ciptaan Tuhan. 2) Kodrat hidup, untuk pemeliharaan dan kemajuan hidup sehingga manusia hidup selamat dan bahagia. 3) Kebangsaan, yaitu tidak boleh menyombongkan bangsa sendiri, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. 4) Kebudayaan, dimana kebudayaan nasional harus tetap dipelihara. 5) Kemerdekaan/kebebasan, yaitu apabila anak tidak diberikan kemerdekaan maka akan menghambat kemajuannya. Ki Hadjar Dewantara juga mengajarkan semboyan kepada pendidik yaitu : Ing ngarsa sung tuladha, berarti memberikan teladan kepada peserta didik ketika berada di depan. Ing madya mangun karsa, berarti membangun semangat kepada peserta didik ketika berada di tengah. Tut wuri handayani, berarti mengarahkan peserta didik agar tidak salah bertindak ketika berada di belakang.

2.

INS (Indonesiche Nederlansce School) Merupakan sekolah yang didirikan oleh Mohammad Syafei di Kayutanam (Padang Panjang, Sumbar). Sekolah ini mempunyai rencana pelajaran dan metode sendiri yang hampir mirip dengan Sekolah Kerjanya Kershensteiner. Syafei berpendapat bahwa dengan belajar sendiri watak peserta didik akan terbentuk dan di kemudian hari dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang merdeka, tidak hanya dengan jalan menghafal saja di sekolah.

28

29

30

31

You might also like