You are on page 1of 17

1.

Pengertian Otonomi Daerah


Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985). Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa : 2 teng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. 3.Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat. Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsifungsi yang berbeda. Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu : 1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional. 3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri. Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong

1. 2. 3. 4. 2.

pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri. Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu : Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya. Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas. Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi. Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang. Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangankewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

a. b. c. d. e. f.

g. h.

a. b.

Atas dasar pemikiran di atas maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut : Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya. Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah : Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian

Otonomi daerah garut


REFORMASI tahun 1998 seperti membuka kotak Pandora, segala persoalan yang selama ini disimpan rapat-rapat berlompatan keluar. Salah satunya adalah semangat otonomi daerah yang diwarnai tarik-ulur hubungan agama dan negara. Tarik-ulur pengaruh inilah yang menjadi tema seminar "Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam" yang diadakan Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima di Jakarta, Senin (26/4). Ada yang mendukung penerapan syariat Islam secara formal, ada yang memandang bahwa syariat Islam lebih bersifat substansial dan kontekstual, serta ada kelompok yang bersikap tidak peduli, dan jumlah yang terakhir ini yang terbesar. Keinginan untuk formalisasi syariat Islam itu disuarakan oleh partai politik yang menggunakan agama sebagai platform mereka yang meskipun jumlah kursi di DPRD minoritas (13 kursi dari dua partai hasil Pemilu 1999), sementara partai yang sekuler atau yang beraliran nasionalis meskipun jumlah kursinya mayoritas tidak banyak bersuara. Formalisasi itu berdampak pula pada perempuan dengan keluarnya Surat Edaran Bupati Nomor 451/SE/04/SOS/2001 tentang peningkatan kualitas ketakwaan dan keimanan, yang isinya antara lain "dianjurkan kepada siswi SD, SLTP, SMU/ SMK, lembaga pendidikan kursus, dan perguruan tinggi yang beragama Islam untuk mengenakan pakaian seragam sesuai dengan ketentuan menutup aurat". Ai Sadidah yang mewakili Forum Pangirutan di Garut menjelaskan, sebelum syariat Islam diformalkan, sudah muncul Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2000 tentang

kesusilaan yang sering diprotes anggota masyarakat yang dirugikan. Pemerintah kabupaten (Pemkab) dan DPRD Garut mengakomodasi tuntutan itu dengan mengadakan Lembaga Pengkajian Penegakan dan Penerapan Syariat Islam Garut, yang menurut Ai Sadidah, yang bekerja lebih untuk menggali potensi masyarakat Islam di Garut melalui jalur budaya. KETUA Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Kamala Chandrakirana yang diminta memberi tanggapan atas hasil penelitian kelompok perempuan di keempat wilayah itu mengatakan, fenomena syariat Islam ini lebih banyak bergerak di arena kultural daripada politik sehingga peran peneliti akar rumput menjadi penting untuk memahami apa yang terjadi di masyarakatnya dengan perspektif keadilan. Kamala menekankan pentingnya memperkokoh ruang perempuan yang berangkat dari diri perempuan. Jaringan-jaringan yang mulai tumbuh, seperti yang dilakukan keempat kelompok perempuan dengan dampingan Rahima itu, menjadi penting karena di situ cara berbicara perempuan berkembang dan ini menjadi dasar bagi perempuan untuk menjadi pemimpin. Bahkan, pada tahun 1957 pernah muncul gerakan antipoligami yang dimotori Qibtiyah yang menolak dikawinkan oleh kakeknya yang berutang kepada H Adil Hakim. Begitu juga di Garut, pada tahun 1910 di sana telah berdiri sekolah untuk perempuan. Pada tahun 1931 di Garut juga berdiri cabang Pasundan Istri yang mendirikan bank serta membuat rapat umum menuntut Indonesia berparlemen. Oleh karena itu, peneliti jender Yunianti Chuzaifah MA yang diminta memberi catatan penutup melihat bahwa akan selalu terjadi resistensi di masyarakat, termasuk dari perempuan ketika terjadi tekanan terhadap mereka. KKinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah Kabupaten Garut ABSTRAKSI

Dengan munculnya UU No. 22 tahun 1999 yang mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah serta UU No. 25 tahun 1999 yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, selayaknya Kabupaten Garut mengembangkan sumber daya lokal dan mengurangi ketergantungan dari pusat. Akan tetapi, berbagai pengamatan empiris menyatakan bahwa pemberlakuan otonomi daerah menimbulkan distorsi dan high cost ekonomi. oleh karena itu, makalah ini menganalisis kinerja keuangan kota Surabaya dan merumuskan strategi kebijakan dalam meningkatkan kinerja keuangan pemerintah kota Surabaya agar tercapai pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan partisipasi aktif dan sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat Kabupaten Garut.

Dipicu dengan adanya krisis moneter dan transisi politik, sejak 1 Januari 2001, Republik Indonesia menerapkan desentralisasi (otonomi daerah) yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. UU No. 22 tahun 1999 pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi dimana kota dan kabupaten bertindak sebagai motor sedangkan pemerintah propinsi sebagai koodinator. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 mengatur desentralisasi (pelimpahan wewenang dan tanggung jawab) di bidang administrasi dan di bidang politik kepada pemerintah daerah. Dengan adanya pelimpahan wewenang kepada pemerintahan daerah dengan diikuti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan, pengelolaan dan penggunaan anggaran sesuai dengan prinsip money follows function yang diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999. Tetapi mengingat desentralisasi di bidang administrasi juga berarti transfer personal (Pegawai Negeri Sipil) yang penggajiannya menjadi tanggung jawab daerah, prinsip money follows function, atau sebut saja penggunaan anggaran sesuai fungsinya, tidak mungkin berlangsung. Menurut Lewis (2001), hal ini terjadi karena Dana Alokasi Umum (DAU) yang menjadi sumber utama pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar akan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil. Siregar (2001:298) mengemukakan bahwa bagi banyak daerah, pengeluaran untuk pembangunan tahun anggaran 2001 (setelah otonomi daerah/desentralisasi) lebih rendah dari pos pengeluaran yang sama tahun anggaran 2000 (sebelum desentralisasi). Secara umum, penerimaan pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dapat bersumber dari pajak (taxes), retribusi (user charges) dan pinjaman (Musgrave dan Musgrave, 1991: 225). Hal ini secara eksplisit diatur pada pasal 79 UU No. 22/1999. Khusus untuk pinjaman daerah, PP No. 107/2000 telah memuat ketentuan-ketentuan yang terkait dengan kapasitas keuangan daerah untuk meminjam. Semua pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus lewat (dan seijin) pemerintah pusat, baik itu pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri. Tetapi, meskipun perundang- undangan memperbolehkan daerah melakukan pinjaman, hingga beberapa tahun ke depan hal ini belum diperkenankan oleh pemerintah pusat (dan IMF). Oleh karena itu, sumber pemerintah daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari restribusi daerah dan pajak daerah maupun bagi hasil dari pajak dan bukan pajak

Kabupaten Garut sebagai adalah Kabupaten Garut adalah salah satu Kabupaten pemberi kontribusi besar yang mendukung perekonomian propinsi Jawa Barat (Dick,1993b:325-343). Menurut Tampubolon et al (2002) kota besar seperti Surabaya memiliki potensi besar dalam kemandirian finansial, akan tetapi data tahun 2000-2002 menunjukkan bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Surabaya hanya sekitar 25% dari penerimaan kota Surabaya. Hal ini menunjukkan tingginya ketergantungan fiskal pemerintah kota Surabaya terhadap Uluran tangan dari Pusat. Selayaknya pemerintah Kabupaten Garut mengembangkan sumber daya sendiri dan mengurangi ketergantungan dari Pusat (Bahl, 1999; World Bank, 2003 a; 2003 b). Akan tetapi, beberapa studi empiris yang telah dilakukan menunjukkan bahwa upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan panerimaan daerah telah menimbulkan distorsi pasar dan high cost economy (Saad, Ilyas., 2003). Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah kurang diikuti upaya untuk meningkatkan perlayanan publik (Halim dan Abdullah, 2004). Muncul suatu permasalahan, bagaimana kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Garut? Strategi kebijakan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja keuangan pemerintah kabupaten Garuta? Makalah ini bertujuan untuk mengetahui kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Garut dan merumuskan strategi kebijakan dalam meningkatkan kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Garut agar tercapai pembangunan yang berkelanjutan di Kabupaten Garut. Untuk menjawab Permasalahan, analisis penelitian ini menggunakan metode eksploratif. Metode tersebut sangat fleksibel dan tidak terstruktur sehingga memudahkan pencarian ide serta petunjuk mengenai situasi permasalahan. Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam adalah pendekatan kuantitatif yang diperkuat dengan menggunakan pendekatan kualitatif dalam analisis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari BPS serta survey literatur. Sedangkan data yang dianalisis secara kuantitatif dalam pengamatan empiris adalah data yang bersumber dari realisasi Anggaran Pendapatan Pemerintah Daerah Kota Surabaya. Selain itu penulis juga menggunakan data yang bersumber dari survey literatur dan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, data tersebut bisa berupa kalimat maupun angka yang dapat memperkuat analisis secara kualitatif. . Untuk itu makalah dari penelitian ini disusun menjadi lima bagian. Bagian pertama merupakan pendahuluan, bagian kedua menjelaskan tentang aspek ekonomi dari

keuangan daerah sebelum dan sesudah otonomi, bagian ketiga menjelaskan tentang derajat desentralisasi dan kemandirian daerah, bagian keempat merupakan pengamatan empiris dan rumusan strategi kebijakan di Kabupaten Garut sedangkan bagian kelima berisi tentang kesimpulan dan saran.

Keuangan Daerah: Sebelum dan Sesudah Otonomi. Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada masa orde baru didasarkan pada UU. No. 5/1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, Undangundang tersebut juga menjelaskan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan, dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari 3 komponen besar, yaitu: A. Pendapatan Asli Daerah, yang meliputi: . Hasil pajak daerah . Hasil restribusi daerah . Hasil perusahaan daerah (BUMD) . Lain-lain hasil usaha daerah yang sah B. Pendapatan yang berasal dari pusat, meliputi: . Sumbangan dari pemerintah . Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangundangan C. Lain-lain pendapatan daerah yang sah Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau indikator dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Disamping itu besarnya dana dari pusat tersebut juga membawa konsekuensi kepada kebijakan proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya itu berada di daerah. Sehingga ada beberapa proyek pemerintah pusat yang dilaksanakan di daerah yang dibiayai oleh pemerintah pusat melalui APBN tetapi dana itu juga masuk di dalam anggaran pemerintah daerah (APBD). Pembiayaan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pembiayaan dari pemerintah pusat diatur sebagai berikut (Kuncoro, 2004): Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN

Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan, dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau oleh pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan. Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian bagi pemerintah daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai penelitian empiris yang pernah dilakukan menyebutkan bahwa dari ketiga sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas, peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.

Ketergantungan yang sangat tinggi dari keuangan daerah terhadap pusat seperti tersebut diatas tidak lepas dari makna otonomi dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU tersebut lebih tepat disebut sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik daripada yang desentralistik. Unsur sentralistik ini sangat nyata dalam pelaksanaan dekonsentrasi. Dalam implementasinya dekonsentrasi merupakan sarana bagi perangkat birokrasi pusat untuk menjalankan praktek sentralisasi yang terselubung sehingga kemandirian daerah menjadi terhambat. Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah mengeluarkan satu paket Undang-undang otonomi daerah, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU N0. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 22 perlu dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari perintah pusat ke pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 25. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah ada otonomi bagi pemerintah daerah. Jadi kedua Undang-undang tersebut saling melengkapi (Ismail, 2002). Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU. No 25 Tahun 1999 terdiri dari (Kuncoro, 2004): (a) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (b) Dana Perimbangan,

(c) Pinjaman daerah dan (d) Lain-lain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat).

Penerimaan asli daerah (PAD) terdiri dari empat komponen besar yaitu: (a). Pajak Daerah (b) Restribusi Daerah, (c) Hasil perusahaaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya (d) Lain-lain pendapatan yang sah. Dasar hukum dari sumber-sumber PAD tersebut masih mengacu pada UU NO. 8 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebenarnya Undang-undang ini sangat membatasi kreativitas daerah dalam menggali sumber penerimaan aslinya karena hanya menetapkan 6 jenis pajak yang boleh dipungut oleh Kabupaten atau Kodya. Dalam sistem pemerintahan yang sentralistis, UU itu tidak terlalu menjadi masalah, tetapi dalam sistem disentralisasi fiskal seperti dalam UU No. 25/1999, Undang-undang tahun 1997 tersebut menjadi tidak relevan lagi, karena salah satu syarat terselenggaranya desentralisasi fiskal adalah ada kewenangan pemerintah daerah yang cukup longgar dalam memungut pajak lokal. Oleh karana itu tanpa ada revisi terhadap Undang-undang

ini, peranan PAD di masa datang tetap akan menjadi marginal seperti pada masa Orde Baru mengingat pajak-pajak potensial bagi daerah tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Pemerintah Daerah Tingkat II hanya memiliki 6 sumber pendapatan asli daerah dimana sebagian besar dari padanya dari pengalaman di masa lalu sudah terbukti hanya memiliki peranan yang relatif kecil bagi kemandirian daerah (Ismail, 2002)

Derajat Desentralisasi dan Kemandirian Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentalisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain: 1) TPDPAD 2) TPDBHPBP 3) TPDSum

Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah dapat menggunakan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah (Halim, 2001), antara lain: 4) TKDPAD 5) KRPAD 6) TKDBHPBPPAD+ 7) TKDBHPBPPAD+ Dimana: PAD = Pendapatan Asli Daerah BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak TPD = Total penerimaan Daerah TKD = Total Pengeluaran Daerah KR = Pengeluaran Rutin Sum = Sumbangan dari Pusat Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh. Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.

Pengamatan Empiris dan Strategi Kebijakan: Kabupaten Garut Pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana suatu masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya perencanaan meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku. Pada konteks perencanaan pembangunan ekonomi daerah, bukanlah perencanaan dari suatu daerah akan tetapi perencanaan untuk suatu daerah, yang bisa dianggap sebagai perencanaan untuk untuk mnemperbaiki berbagai sumber daya publik yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan sumber-sumber daya swasta yang bertanggung jawab. Pada era otonomi, terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya berada di tangan pemerintah kota dan kabupaten. Pergeseran baru dalam hal pertanggungjawaban masih belum sepenuhnya komplit. Desentralisasi big bang mungkin telah meninggalkan parangkat checks and balances yang belum memadai; sesuatu yang tidak mempertimbangkan kapasitas dalam berbagai hal. Dalam banyak hal, masih belum jelas apakah konstituensi lokal benar-benar telah merefleksikan keinginan publik yang sesungguhnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia, menyatakan bahwa Di dalam suatu model pertumbuhan kota yang ideal, perlu ditekankan terhadap upaya peningkatan perlayanan Publik, yang berupa: (a) Tata pemerintahan yang baik akan mendorong manajemen finansial dan penyediaan pelayanan kota yang bermutu tinggi; (b) investor yang tertarik dengan kemajuan tersebut akan merangsang pengembangan ekonomi lokal dan meningkatkan kualitas hidup bagi semua orang termasuk masyarakat miskin; (c) pengembangan ekonomi lokal akan menguatkan keuangan daerah dan membantu mengentaskan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja; dan (d) posisi fiskal yang lebih kuat akan meningkatkan layanan kota dan membuat siklus pengembangan terus bergerak maju.

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karuniaNya,penulis dapat menyusun makalah dari tugas pendidukan kewarga negaraan dengan judul Otonomi Daerahdapat terselesaikan tepat pada waktunya.Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1.Orang tua penulis yang selalu memberika n dukungan baik dala m bentuk moralmaupun moril, demi mencapai cita cita yang penulis harapkan. 2.Dos en mata kuliah Hukum Perikanan yang t elah banyak memberikan mat eri secarateoritik. 3.Tema n teman yang telah banyak memba ntu baik secara langsung maupun tida k langsung dalam penyelesaian makalah ini tepat pada waktunya.Penulis sadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kejanggalan dankekurangan baik dalam segi penulisan maupun penempatan kata-kata, untuk itu penulismohon masukan yang sifatnya membangun agar bisa memperbaiki penulisan penulisan makalah maupun laporan yang akan datang.

PENUTUP Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomidaerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan dan diterapkan dikepemerintahan daerah. Sebenarnya otonomi daerah bukanlah suatu hal yang barukarena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomidaerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan padamasa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkandalam penyelenggaraan pemerintahan.Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturanperundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganutprinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU22/1999 dianut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Sepertiyang kita ketahui Negara Indonesia memiliki daeah yang sangat luas yang terbagi dalamprovinsi-provinsi, kabupaten-kabupaten, kecamatan-kecamatan dan sebagainya. Denganadanya desentralisasi melalui penerapan otonomi daerah di harapkan dapatmengoptimalkan pengelolaan daerah dan memeratakan pembangunan di daerah

DAFTAR ISI DAFTAR ISI............................................................................i BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................ii A.Pengertian.....................................................................1 B.Prinsip dan tujuan.........................................................2 BAB II otonomi daerah garut..................................................3 A. Kinerja keuangan dan strategi pembangunan kota di era otonomi daerah kabupaten garut....................4 BABIII keuangan daerah.......................................................5 Derajat desentralisasi dan kemandirian...................6 Pengamatan empiris dan strategi kemandirian........7 BAB IV. Penutup...................................................................8 Daftar pustaka.........................................................9

DAFTAR PUSTAKA UNDANG UNDANG GOEGLE KAFE ILMU

You might also like