You are on page 1of 11

Kaidah,

Tidak boleh berpaling dari makna zhahir al-Quran kecuali dengan dalil yang wajib meruju (melihat)
kepadanya
Pada prinsipnya dalam memahami nash al-Quran juga as-sunnah- harus dilihat dan difahami
dengan zhahirnya, dan menafsirkannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh zhahir nashnya. Maka tidak
boleh membawa atau memalingkan dari makna zhahirnya kecuali dengan adanya dalil lain yang jelas. Inilah
prinsip kaidah yang ditetapkan oleh ahli ushul. Karena sesungguhnya kita tidak bisa memahami keinginan
dari mutakallim (orang yang berbicara) kecuali dari lafazh-lafazh yang zhahir.
Penjelasan lafazh,
- Az-zhahir, adalah apa yang terbayangkan di dalam fikiran.
Namun makna zhahir dari kaidah di atas tidaklah sesuai dengan pemahaman zhahir dalam istilah
ushul. Dalam pandangan mereka zhahir adalah apa-apa yang mengandung kemungkinan dua
perkara yang satu lebih tampak/jelas dari yang lainnya. Dan dalam nash yaitu apa yang dengan
sendirinya dapat memberikan faidah tanpa adanya kemungkinan. Sementara dalam kaidah di atas
terkadang mempunyai arti sesuai dengan istilah ushul dan terkadang juga mengandung makna nash
sebagai mana dalam istilah ushul. Maka zhahir dalam kaidah di atas adalah apa yang ditunjukkan
dan difahami dari nash sesuai tuntutan dari khitab (pembicaran) orang arab.
- Maksud dari kecuali dengan dalil yang wajib ruju kepadanya ( ) ini
adalah dalil yang membolehkan untuk memalingkan dari makna zhahirnya baik zhahir dari sisi akal
atau zhahir dari sisi pendengaran.
Jadi dari lafazh tersebut dapat diambil kesimpulan bolehnya membawa atau memalingkan makna
nash dari zhahirnya jika terdapat dalil lain baik dari al-Quran atau pun as-sunnah. Sebgaimana yang
ditegaskan imam Ibnu Taimiyah tentang bolehnya menafsirkan makna nash yakni memalingkannya
kepada makna lain dengan nash yang lainnya lagi, sedangkan yang dilarang adalah memalingkan
dari makna zhahirnya sesuai dengan hawa nafsu

Dalil-dalil tentang kaidah di atas;
1. Di antaranya adalah berita dari Allah bahwasanya al-Quran ini diturunkan dalam bahasa
arab, dan Allah telah merinci ayat-ayatnya sebgaimana dalam surat Fushilat ayat 2 oleh
karena al-Quran turun dengan lisan arab yang jelas, serta telah terperinci, maka sudah
seharusnya difahami sesuai dengan makna bahasa arab.
2. Surat Saba ayat 6, dan ar-Radu ayat 19, maka pada ayat tersebut Allah memuji para ulama
yang mengetahui kebenaran dari jalan wahyu dan bersaksi dengannya. Maka kalau
seandainya lafazh-lafzh itu tidak menunjukkan makna zhahirnya tentu mereka tidak berhak
mendapat pujian.
3. Juga firman Allah dalam surat al-Baqarah 185, al-Isra: 85, Muhammad: 24, semua ayat
tersebut menerangkan bahwa al-Quran adalah petunjuk bagi manusia dan juga perintah
untuk mentadabburi. Dan Allah berbicara kepada seluruh hamba-Nya sedang di antara
mereka ada yang cerdas ada yang lemah, ada yang faqih serta ada yang tidak faqih.
Sementera mereka semua diperintah untuk mentadabburinya, tentu hal ini dapat difahami
dari zhahir ayat sedang kalau hanya dapat difahami oleh sebagian manusia karena mencari
makna yang tersembunyi tentunya al-Quran lebih cocok disebut teka-teki dari pada sebagai
petunjuk bagi manusia.
4. Ijma bahwasanya wajib untuk membawa makna kepada zhahirnya sampai datang dalil
syari yang memalingkannya dari makna tersebut, dan memalingkan tanpa dalil adalah
suatu kebatilan.
Imam ar-Razi berkata, sesungguhnya memalingkan makna lafazh dari zhahirnya tanpa dalil
adalah batil dengan ijma kaum muslimin
As-Sinqithi berkata, dan seluruh kaum muslimin bahwasanya beramal dengan zhahir ayat
adalah wajib hingga datang dalil syari lain yang menafsirkannya .






Pendapat para ulama dalam berpegang dengan kaidah tersebut,

1. Imam as-Syafii berkata, Setiap kalam/ucapan adalah adalah umum dan zhahir dalam sunnah nabi
maka itu tetap dalam keumuman dan zhahirnya sehingga diketahui dalil yang pasti dari Rasulullah yang
menunjukkan bahwa kalimat umum tersebut sebenarnya menghendaki sebagian dari sebgaian yang
lain(khusus).
2. ibnu jarir at-Thabari berkata sebagai bentuk pengakuan dan penguat dari kaidah ini, dan tidaklah
boleh meninggalkan makna zhahir yang mafhum dari suatu kalam/perkataan kepada makna batinnya
yang tidak ada dalil akan kebenarannya.
3. Ibnu Athiyyah dalam ungkapan bantahannya terhadap pendapat yang menginginkan selain dari
makna zhahirnya, dan ini bukanlah hal yang bagus, karena sesungguhnya hal itu mengeluarkan lafazh
yang jelas daalam bahasa dari zhahirnya yang hakiki kepada makna yang tersembunyi tanpa kebutuhan
yang mendesak, dan ini adalah cara dari teka-teki yang agam berlepas diri darinya.
4. Imam Fakhrur Razi berkata, Sesungguhnya memalingkan makna dari zhahirnya tanpa dalil adalah
batil dengan ijma kaum muslimin, dan kalau seandainya dibolehkan tentu akan terbuka pintu-pintu
penakwilan filsafat dalam masalah akhirat seperti mereka akan mengatakan sesungguhnya ayat tentang
sungai dalam surge bukanlah hal yang sesungguhnya karena hal itu hanya permisalan saja akan
gambaran kenikmatan dan kesenangan.
5. Ibnu Taimiyah berkata, Tidaklah ada di antara sahabat yang mentakwilkan sesuatu dari nash-nash
wahyu menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh zhahir ayat. Tidak pada apa yang Allah kabarkan tentang
nama dan sifat-sifat-Nya dan tidak pula tentang apa-apa setelah kematian. Juga banyak ulama-ulama
lain yang menegaskan dalam kitab-kitab mereka akan kekuatan kaidah ini seperti Imam az-Zarkasyi,
Ibnu Juzzi al-Kalbi, Ibnul Qayyim, Ibnul Wazir dll.


Kelompok-kelompok yang menyelisihi kaidah ini,
1. Murjiah, mereka berpendapat bolehnya memahami makna firman Allah menyelisihi zhahirnya
meski tanpa ada dalil. Dan perbedaan itu dalam ayat-ayat dan hadits yang berkaitan dengan
ancaman azab sesuai dengan mazhab mereka yang mengatakan bahwa maksiat tidaklah
membahayakan iman.
Imam az-Zarkasyi berkata, Perbedaan/penyelisihan dalam ayat-ayat yang berupa ancaman dan
hadits-hadits yang menunjukkan ancaman orang-orang fasik tidak tentang selain hal tersebut
berdasar atas apa yang bisa difahami dari dalil-dalil mereka. Adapun tentan perintah dan larangan
maka tidak ada perbedaan.
2. As-Shawi al-Maliki, beliau menganggap batalnya pendapat yang mengharuskan mengambil zhahir
ayat dan memandang hal itu adalah sebagai pokok-pokok dari kekafiran.

Contoh-contoh terapan dari kaidah di atas;
Sebagaimana yang telah berlalu dalam pembahasan penjelasan kapan terjadinya tarjih ,
bahwasanya tarjih terkadang di dalamnya terjadi penolakan atau melemahkan terhadapa sebagian
pendapat mengenai suatu ayat, dan terkadang tarjih dengan membenarkan pendapat yang sesuai
dengan kaidah dan lain-lainnya.
Dan di antara tafsir yang menyelisihi kaidah ini adalah:
- Penafsiran-penafsiran bathiniyah
- Penafsiran ahlul isyarah dan Itibar
- Penafsiran mutakallimin dan ahli takwil
- Pendapat sebagian ahli tafsir yang menyelisihi kaidah
Pertama, tafsir-tafsir bathiniyah
Adapun di antara bathiniyah yang menolak kaidah ini adalah syiah imamiyah istna asyariah. Mereka
mengatakan sesungguhnya al-Quran itu mempunyai zhahir dan bathin, bahkan mempunyai tujuh puluh
tujuh hal yang bathin/tersembunyi. Mereka mengklaim bahwa Allah menjadikan zhahir al-Quran dalam
dakwah kepada tauhid, kenabian dan risalah, dan menjadikan yang bathin untuk dalam dakwah kepada
imamah dan wilayah serta hal yang berkaitan dengannya. Maka dengan prinsip seperti ini mereka
menafsirkan ayat sesuai dengan mazhab dan hawa nafsu mereka tanpa ada kaidah tentang syarat-syarat
takwil.
Contoh-contoh penafsirannya,
L,; C@Bb L,;,
Bb
17. Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya[1442]
Mereka menafsirkan al-Masyriqaini dengan Rasulullah dan Ali ra, dan al-Maghribaini dengan
Hasan dan Husein. Tentu contoh penafsiran yang memalingkan dari zhahir lafazhnya merupakan kesesatan
dan penghancuran terhadap madlul (yang ditunjukkan) lafazh-lafazh al-Quran. Contoh lainnya,
[N Bb B,@fJ1
B[,8 [ N B,@
0 Nb, B[,N,; B@NV
N B,/8 1Bb
,C[[,Bb,
19. Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,
20. antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing [1443].
21. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
22. dari keduanya keluar mutiara dan marjan. [ar-Rahman: 19-22]

Para ahli tafsir mereka mengatakan Marajal Bahraini adalah Ali dan Fathimah ra, bainahuma
barzakhun adalah Nabi Muhammad saw, sedang ayat yang ke-22 di tafsirkan dengan al-Hasan dan al-
Husain ra.
,@ Bb dAd Cb FbAAH @0Bb q[S
@0Bb, S F
Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir[at-Tahrim: 10]

Mereka menyerupakan permisalan ini dengan Aisyah dan Hafshah ra yang menyusahkan Nabi dan
menyebarkan rahasianya. Dan mereka juga menafsirkan firman Allah wayabqa wajhu rabbika{dan
tetaplah wajah tuhanmu} dengan mengatakan kamilah yang dimaksud wajah Allah tersebut.
Ibnu Taimiyah berkata,.Dan adapun jika yang diinginkan dari ilmu bathin [yang tersembunyi] yang
tersembunyi dari kebanyakan atau sebagian manusia, maka hal ini ada dua macam; salah satunya bathi
yang menyelisihi ilmu zhahir. Dan yang kedua, yang tidak menyelisihinya. Maka yang pertama adalah batil,
maka barang siapa yang mengklaim suatu ilmu yang tersembunyi/bathin atau mengetahui yang
tersembunyi dan ternyata hal itu menyelisihi ilmu zhahir maka dia adalah orang yang salah, boleh jadi ia
seorang atheis zindik atau seorang bodoh yang sesat.
Dan adapun yang kedua, maka itu masih dalam lingkupan pembicaraan dalam ilmu zhahir, kadang
benar dan kadang batil. Maka apabila yang batin tidak menyelisihi yang zhahir dan tidak diketahui
kebatilannya dari sisi penyelisihannya terhadap yang zhahir yang sudah diketahui, maka jika diketahui benar
maka dapat diterima dan apabila salah maka harus ditolak.

Kedua, tafsir ahlul isyarah dan Itibar
Dan penafsiran mereka ini masuk dalam kategori kedua dari jenis yang Ibnu taimiyah telah sebutkan
sebelumnya, maka hal ini ada yang batil dan ada yang benar.
Ibnu Taimiyah berkata dalam tempat yang lain, Dan yang kedua, apa-apa yang pada dirinya
kebenaran, akan tetapi mereka beristidlal atasnya dengan dalil dari al-Quran dan as-Sunnah dengan lafazh-
lafazh yang tidak dimaksudkan zhahirnya, maka ini yang mereka sebut dengan isyarat

---salah satunya seperti dikatakan ini adalah maksud yang diingankan oleh lafazh, maka ini adalah suatu
yang mengada-ada terhadap Allah, maka barang siapa yang mengatakan tentang firman Allah tadbahu
baqarah (kalian menyembelih sapi betina)[al-Baqarah: 67] menafsirkannya dengan jiwa, contoh lain
pergilah kepada firaun[Tooha: 24] adalah hati, walladzina maahu(dan orang-orang yang
bersamanya) adalah Abu Bakar, Asyiddaau alal Kuffar (berlaku keras terhadap orang-orang kafir)
maksudnya Umar, Ruhamaau bainahum (berkasih saying sesame mereka) maksudnya Usman, Tarahum
rukkaan sujjada maksudnya Ali ra [al-Fath: 29]. Maka barang siapa yang menafsirkannya seperti itu maka
sungguh ia telah berbohong atas Allah baik sengaja maupun Karen salah.
Yang kedua, adalah menjadikannya sebagai itibar dan qiyas dan bukan termasuk kedalam bab dilalatul
lafazh. Dalam istilah fuqaha disebut qiyas sementara dalamn istilah sufi disebut isyarah. Dan ini terbagi
menjadi dua, ada yang benar dan juga ada yang batil.
Seperti orang yang mengatakan maksud dari tidaklah ada yang menyentuhnya kecuali yang
mensucikan diri[al-Waqiah: 79] dan ada yang berkata maksudnya yang di lauhul mahfuzh dan mushaf.
Karena huruf-huruf yang tertulis dalam lauhul mahfuzh tidaklah ada yang menyentuhnya kecuali badan
yang suci dan makna-makna al-Quran tidak dapat dirasakan kecuali oleh hati yang bersih yakni hatinya
orang yang beriman. Dan ini adalah makna yang benar dan itibar yang shahih, dan Karena itu diriwayatkan
dari para salaful ummah. Allah swt berfirman Alif Lam Mim, itulah al-kitab yang tidak ada keraguan di
dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.[al-Baqarah: 1-2], juga firman-Nya ini adalah
penjelasan bagi manusia dan sebagai petunjuk dan mauizhah bagi orang-orang yang bertakwa.[Ali Imran:
138].
Dan ayat-ayat yang semisalnya, dengan itu menjadi jelas bagi siapa saja yang menafsirkan ayat al-Quran
atau hadits dan menakwilkannya tidak sesuai dengan pemahaman sahabat dan salaf maka hal itu adalah
mengada-ada atas nama Allah dan penyimpangan terhadap kalam-kalam Allah. Dan ini adalah sesuatu yang
maklum/diketahui dengan jelas akan kebayilannya.
3. penafsiran ahli takwil dan mutakallimin
Mereka banyak memalingkan nash-nash al-Quran dan hadits dari makna zhahirnya tentang masalah sifat
Allah swt.
Imam al-Ghazali berkata, setiap khabar yang menunjukkan kepada penetapan sifat-sifat Allah secara
zhahir terasa mustahil menurut akal, maka dilihat jika mengarah kepada takwil dapat diterima dan
ditakwilkan, akan tetapi jika di dalamnya tidak mengandung kemungkinan yang jelas secara qathi maka
orang tersebut berdusta.
Namun meski begitu dalam prakteknya mereka banyak yang menyelisihinya, dan banyak yang
mentakwilkan lafazh-lafazh sesuai dengan mazhab dan keyakinan mereka. Dan ini termasuk pokok dari
kesesatan.
Seperti kelompok-kelompok ahli bidah yang mereka meyakini suatu mazhab yang menyelisihi
kebenaran yang dianut oleh umat dan salafus shalih. Mereka sengaja menakwilkan ayat-ayat al-Quran
sesuai dengan rayu/akal mereka. Terkadang mereka berdalil dengan ayat-ayat al-Quran untuk
memenangkan mazhab mereka meski sebenarnya dalil itu tidak tepat dijadikan hujjah, dan terkadang
mereka menakwilkan ayat-ayat yang menyelisihi mazhab mereka. Dan ini banyak terjadi pada firqah-firqah
Khawarij, Rafidhah, Jahmiyah, Mutazilah, Qadariyah, Murjiah dll.
Dan penyebab dari memalingkan zhahir ayat serta menakwilkannya kepada makna selain zhahirnya
adalah kesalahan mereka dalam menyerupakan Khalik (Allah) dengan makhluknya, sehingga mereka melihat
sifat-sifat Allah juga seperti sifat-sifat makhluknya. Untuk itu mereka ingin mensucikan Allah dri sifat-sifat
yang serupa dengan makhluk-Nya dengan cara menakwilkan ayat-ayat sifat tersebut dari makna zhahirnya.
Sebagai contoh mereka menakwilkan firman Allah Dan orang-orang Yahudi berkata bahwa tangan
Allah terbelenggu, akan tetapi tangan merekalah yang terbelenggu dan mereka dilaknat dengan apa yang
mereka katakana, akan tetapi kedua tangan-Nya terbuka
Al-Qadhi Abdul Jabbar al-Hamdani, berkata maksud dari ayat tersebut adalah bahwa dua nikmat
Allah terbuka atas semua hamba-Nya yakni nikmat dunia dan agama, nikmat zhahir dan bathin. Begitu juga
az-Zamakhsari dalam al-Kassyaf menafikkan sifat tangan bagi Allah dan menjadikannya sebgai majaz dan ini
tidak terlepas dari pokok mazhabnya yakni mutazilah.
Dan banyak lagi ahli tafsir yang cenderung menakwilkan ayat tersebut dari makna zhahirnya. Ada
pun yang benar adalah tidak boleh berpaling dari makna zhahirnya, akan tetapi menetapkan sifat-sifat Allah
sebagaimana Dia menetapkan bagi diri-Nya dan ditetapkan oleh Rasulullah saw yang diketahui secara
makna namun tidak dapat diketahui secara kaifiyatnya (tata-caranya).
Namun imam at-Thabari menolak takwil yang menyebutkan tangan Allah dengan nikmat, beliau
menafsirkan bahwa tangan dalam ayat ini adalah sifat bagi-Nya sebagai mana sifat penglihatan, mendengar
dll, begitu juga pendapat al-Baghawi.
Dan di antara kaidah yang menguatkan pendapat terakhir adalah wajib membawa makna nash-
nash wahyu kepada hakikatnya (makna yang sebenarnya).
Abu Amr Abdul Barr berkata, Ahlus sunnah bersepakat dalam pengakuan akan sifat-sifat Allah yang
terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah dan mengimaninya dan mereeka membawanya kepada makna
hakiki bukan makna majazi, namun mereka tidak mempertanyakan kaifiyahnya.
4. pendapat sebagian ahli tafsir yang menyelisihi kaidah
Contohnya surat al-Isra :44 sebagian ahli tafsir mengatakan setiap sesuatu yang ada ruhnya pasti bertasbih
kepada Allah, maka yang tidak mempunyai ruh tidaklah bertasbih, ini adalah pendapat al-Hasan, ad-
Dhahhak dan selain keduanya.
Dikatakan: sesungguhnya debu/tanah tetap bertasbih selama tidak terpisah, apabila terpisah (mungkin jadi
butiran debu yang berterbangan) ia akan meninggalkan tasbih, juga daun akan tetap bertasbih apabila
masih ada di pohon namun apabila terlepas dari pohonya maka terputuslah tasbihnya.
Maka semua perkataan di atas tidaklah benar karena menyelisihi zhahir ayat, sedangkan ayat di atas telah
menetapkan bahwa semua makhluk bertasbih tidak ada perbedaan antara yang dapat berbicara dengan
yang tidak baik hewan, benda-benda dan yang lainnya. Dan inilah yang telah tampak dari zhahir ayat maka
tidaklah boleh berpaling dari zhahir ayat kecuali dengan dalil yang shahih dan jelas.
Imam as-Sinqithi berkata, Pada kenyataanya bahwa tasbihnya gunung-gunung dan burung bersama nabi
Dawud as adalah tasbih yang sebenarnya. Karena Allah telah menjadikan indera-indera baginya yang dapat
bertabih kepada-Nya.
Dan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama adalah Tidak boleh memalingkan dari makna zhahirnya
kecuali dengan dalil yang wajib meruju kepadanya.
Dan juga syahid lain yaitu kaidah Apabila telah tetap suatu hadits sementara hadits itu berkenaan dengan
salah satu pendapat maka dia menjadi penguat (murajjih) dari pada pendapat yang menyelisihinya.
Dan telah banyak terdapat hadits shahih yang menyebutkan tasbihnya benda-benda adalah kenyataan yang
hakiki dengan ucapan. Sebagaimana riwayat dari ibnu Masud ..sungguh kami dahulu pernah mendengar
tasbihnya makanan ketika dimakan.
Juga hadits dari Jabir bin samurah bahwa nabi saw bersabda sesungguhnya aku benar-benar mengetahui
sebuah batu di makkah dahul pernah mengucapkan slam kepadaku sebelum aku diutus menjadi Nabi, dn
sekarang aku benar-benar menetahuinya.
Kurang contoh dari beberapa ayat yang dipalingkan dari makna zhahirnya berdasar dengan dalil
yang benar dari al-Quran dan sunnah
Nyampe hal. 166








Beberapa gambaran yang keluar dari kaidah,
Ibnu Taimiyah berkata, sesuai dengan kesepakatan umat muslim bahwa boleh menafsirkan salah
satu dari dua ayat dengan zhahir ayat yang lain dan memalingkannya dari makna zhahirnya. Apabila tidak
ada bahaya dengan hal itu. Meskipun dinamakan dengan takwil asalkan sesuai dengan dalil Quran yang lain
serta hadits-hadits dan salaful ummah. Karena menafsirkan al-Quran dengan al-Quran bukanlah termasuk
rayun, karena yang dilarang adalah menafsirkan al-Quran yang tidak ada dalilnya dari al-Quran maupun
sunnah nabi.
Contoh, memalingkan makna dari zhahirnya dengan dalil dari Quran
Seperti firman Allah at-thalaqu marratan(talak itu hanya dua kali) [albaqarah: 229] maka zhahir ayat ini
menunjukkan bahwa talak terbatas hanya dua kali, tetapi ini hanya berlaku untuk talak raji sebagaimana di
jelaskan dalam surat al-Baqarah :230
T B[If1 A ;V 0 H
) P/[O [ANqV C[ ,@A N
.......
" kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
Dia kawin dengan suami yang lain
Contoh memalingkan zhahir ayat dengan sunnah
Tentang surat an-nisa ayat 24, setelah Allah menyebut wanita-wanita yang haram dinikahi, kemudian
ditutup dengan firman-Nya
VO0, N B ,b,;, P[ 0
FbSJPV N,S0 q[
,@A @ P
dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina.
Bahwasanya Allah menghalalkan selain yang disebut dalam ayat tersebut dan zhahir nashnya adalah
umum. Makna zhahirnya dari ayat tersebut berarti boleh menikahi bibi istri, namun di bawah lafazh umum
itu ada penjelasan dari Nabi bahwa makna zhahir ayat tersebut tidak dimaksudkan untuk menikahi bibi istri
dengan sabdanya tidak boleh mengumpulkan antara perempuan dengan bibinya (hadits)

You might also like