You are on page 1of 14

SEJARAH SENI RUPA INDONESIA

SUKU DAYAK

Disusun oleh: Marshela 1164012

Suku Dayak
Dayak atau Daya adalah kumpulan subetnis Austronesia yang dianggap sebagai pendatang awal yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama orang Dayak mempunyai arti yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada namanama rumpun dan nama keluarga. Suku bangsa Dayak terdiri atas enam Stanmenras atau rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.

Etimologi
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli nonMuslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Hal ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.

Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya, sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah Daya ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah Dayak dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895. Arti dari kata Dayak itu sendiri masih diperdebatkan, Commans (1987), menulis bahwa menurut sebagian pengarang, Dayak berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai Dayak.

Sejarah
Didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan diduga nenek moyang orang Dayak berasal dari beberapa gelombang migrasi. Gelombang pertama terjadi kirakira 1 juta tahun yang lalu, tepatnya pada periode Interglasial-Pleistosen. Kelompok ini terdiri dari ras Australoid (ras manusia pre-historis yang berasal dari Afrika). Pada zaman Pre-neolitikum, kurang lebih 40.000-20.000 tahun lampau, datang lagi kelompok suku semi nomaden (tergolong manusia modern, Homo sapiens ras Mongoloid). Penggalian arkeologis di Niah-Serawak, Madai dan Baturong-Sabah membuktikan bahwa kelompok ini sudah menggunakan alat-alat dari batu, hidup berburu dan mengumpulkan hasil hutan dari satu tempat ke tempat lain. Mereka juga sudah mengenal teknologi api. Kelompok ketiga datang kurang lebih 5000 tahun silam. Mereka ini berasal dari daratan Asia dan tergolong dalam ras Mongoloid juga. Kelompok ini sudah hidup menetap dalam satu komunitas rumah komunal (rumah panjang) dan mengenal teknik pertanian lahan kering (berladang). Gelombang migrasi itu masih terus berlanjut hingga abad 21 ini. Teori ini sekaligus menjelaskan mengapa orang Dayak memiliki begitu banyak varian baik dalam bahasa maupun karakteristik budaya. Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur Kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah

Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Maanyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai. Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi di masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736. Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.

Dayak pada masa kini


Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Kenyah-KayanBahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-rumpun. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-rumpun, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut

menjadi faktor penentu apakah suatu sub-suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, Mandau , sumpit, beliong(kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian(sistem perladangan) dan seni tari. Perkampungan Dayak biasanya disebut: lewu/lebu, sedangkan perkampungan kelompok suku-suku Melayu disebut: benua/banua. Di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda, tetapi di daerah perkampungan sukusuku Melayu tidak ada sistem kepemimpinan adat kecuali raja-raja lokal.

Senjata Suku Dayak


1. Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang - cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan. 2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras. 3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 2 meter dengan lebar 30 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan. 4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.

5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.

Macam Suku Dayak


Menurut Prof. Lambut, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi : - Dayak [Mongoloid] - Dayak [Melayu|Malayunoid] - Dayak [Australoid|Autrolo-Melanosoid] - Dayak [Heteronoid] Macam-macam suku Dayak:

Suku Dayak Abal Suku Dayak Bakumpai Suku Dayak Bentian Suku Dayak Benuaq Suku Dayak Bidayuh Suku Dayak Bukit Suku Dayak Darat:Dayak Mali Suku Dayak Dusun Suku Dayak Dusun Deyah Suku Dayak Dusun Malang Suku Dayak Dusun Witu Suku Dayak Kadazan Suku Dayak Lawangan Suku Dayak Maanyan Suku Dayak Mali

Suku Dayak Mayau Suku Dayak Meratus Suku Dayak Mualang Suku Dayak Ngaju Suku Dayak Ot Danum Suku Dayak Samihim Suku Dayak Seberuang Suku Dayak Siang Murung Suku Dayak Tunjung

Macam-macam Kesenian Suku Dayak


Suku Dayak bermacam-macam tapi keseniannya khas dan membentuk estetika yang tercermin dalam budaya meliputi seni tari, seni musik, seni drama, seni rupa, dan sebagainya. Tidak berbeda jauh dengan kesenian yang terdapat di daerah lain, kesenian suku Dayak juga menampilkan produk-produk kreatif tersebut sebagai daya tarik utama atau identitas bagi kesenian suku Dayak tersebut. I. Seni Tari dari Kesenian Suku Dayak Banyaknya suku dan sub-suku Dayak menimbulkan beragamnya tari tradisional dalam kesenian suku Dayak. Sebagian besar tari Dayak dalam kesenian suku Dayak adalah tari ritual upacara sesuai dengan agama Kaharingan. Contohnya: 1. Tari Gantar Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.

2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.

Tari Perang

3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan

kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin. 4. Tari Kancet Lasan Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon. 5. Tari Leleng Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng. 6. Tari Hudoq Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan Tari Kancet Ledo

Tari Hudoq

daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak. 7. Tari Hudoq Kita Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah. 8. Tari Serumpai Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu). 9. Tari Belian Bawo Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian Tari Belian Bawo lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq. 10. Tari Kuyang Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang

menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut. II. Seni Musik dari Kesenian Suku Dayak Tidak jauh beda dengan seni tari, seni musik dalam kesenian suku Dayak didominasi musik-musik ritual. Musik itu merupakan alat berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada roh-roh. Beberapa contoh alat musik suku Dayak; 1. Gendang Ada beberapa jenis Gendang yang dikenal oleh suku Dayak Tunjung: -. Prahi -. Gimar -. Tuukng Tuat -. Pampong 2. Klentangan Alat musik pukul yang terdiri dari enam buah gong kecil tersusun menurut nadanada tertentu pada sebuah tempat dudukan berbentuk semacam kotak persegi panjang (rancak). Bentuk alat musik ini mirip dengan bonang di Jawa. Gong-gong kecil terbuat dari logam sedangkan tempat dudukannya terbuat dari kayu. 3. Gong Sama seperti gong di Jawa, dengan diameter 50-60 cm 4. Suliikng Alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Ada beberapa jenis suliikng: -. Bangsi / Serunai -. Suliikng Dewa -. Kelaii -. Tompong 5. Kadire

Alat musik tiup yang terbuat dari pelepah batang pisang dan memiliki 5 buah pipa bambu yang dibunyikan dengan mempermainkan udara pada rongga mulut untuk menghasilkan suara dengung. Pada umunya Suku Dayak gemar melantunkan ungkapan hati dan perasaan , kisah-kisah kehidupan dan kepahlawanan sukunya dengan kalimat berirama. Ekspresi kalimat yang dilantunkan dengan irama lagu berbeda. Contoh lagunya: 1. Mansana Kayau Kisah kepahlawanan yang dilagukan. Biasanya dinyanyikan bersaut-sautan dua sampai empat orang, baik perempuan ataupun laki-laki. 2. Mansana Kayau Pulang Kisah yang dinyanyikan pada waktu malam sebelum tidur oleh para orang tua kepada anak dan cucu dengan maksud membakar semangat anak turunannya untuk membalas dendam kepada Tambun Bupati yang telah membunuh nenek moyang mereka. 3. Karungut Sejenis pantun yang dilagukan. Dalam berbagai acara karungut sering dilatunkan, misalnya pada acara penyambutan tamu yang dihormati. Salah satu ekspresi kegembiraan dan rasa bahagia diungkapkan dalam bentuk karungut. Terkadang ditemukan perulangan kata pada akhir kalimat namun terkadang juga tidak. Untuk mengamati cara tutur orang Dayak dalam mengekspresikan perasaan mereka, maka terjemahan dalam Bahasa Indonesia dibuat dalam sebagaimana adanya kata per kata. 4. Mohing Asang Nyanyian perang. Bila panglima telah membunyikan salentak tujuh kali, kemudian terdengar nyanyian Mohing Asang, itu berarti sebuah perintah untuk menyerang dan maju.

5. Mansana Bandar Mansana artinya cerita epik yang dilagukan. Bandar ialah nama seorang tokoh yang sangat dipuja dizamannya. Bandar hidup di zaman lewu uju dan diyakini bahwa tokoh Bandar bukan hanya sekedar mitos. Hingga saat ini orang-orang tertentu yang bernazar kepada tokoh Bandar. Keharuman namanya karena pada kepribadiannya yang sangat simpatik dan menarik, disamping memiliki sifat kepahlawanan dan kesaktian yang tiada duanya. Banyak sansana tercipta untuk memuji dan mengagungkan tokoh Bandar ini, namun dengan versi yang berbedabeda. 6. Kandan Kandan ialah pantun yang dilagukan dan dilantunkan saut menyaut baik oleh lakilaki atau perempuan dalam suatu pesta perkawinan. Apabila pesta yang diadakan untuk menyambut tamu yang dihormati maka kalimat-kalimat yang dilantunkan lebih bersifat kalimat pujian, sanjungan, doa dan harapan mereka pada tamu yang dihormati tersebut. Tradisi ini biasa ditemukan pada Suku Dayak Siang atau Murung di Kecamatan Siang dan Murung, Kabupaten Barito Hulu. 7. Dedeo atau Ngaloak Dedeo atau Ngaloak sama dengan Kandan hanya istilahnya saja yang berbeda, karena Dedeo atau Ngaloak adalah tradisi Suku Dayak Dusun Tengah didaerah Barito Tengah, Kalimantan Tengah. 8. Salengot Pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta pernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adat untuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalam menceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai tersebut. III. Seni Drama dari Kesenian Suku Dayak Pada kesenian suku Dayak, masyarakatnya juga mengenal seni drama. Drama tradisional ditemukan pada masyarakat Kutai dalam bentuk kesenian Mamanda.

Drama ini memainkan lakon kerajaan dan dimainkan dalam upacara adat seperti perkawinan atau khitanan. Bentuk pementasannya menyerupai ludruk atau ketoprak. IV. Seni Rupa dari Kesenian Suku Dayak Seni rupa Dayak yang juga termasuk dalam kesenian suku Dayak terlihat pada seni pahat dan patung yang didominasi motif-motif hias setempat yang banyak mengambil ciri alam dan roh dewa-dewa dan digunakan dalam upacara adat. Ada macam-macam patung dengan ragam fungsi, di antaranya sebagai berikut: 1. Patung azimat yang dianggap berkhasiat mengobati penyakit 2. Patung kelengkapan upacara. 3. Patung blontang, semacam patung totem di masyarakat Indian. Selain itu, seni rupa Dayak terlihat pada seni kriya tradisional seperti kelembit (perisai), ulap doyo (kain adat), anjat (tas anyaman), bening aban (kain gendongan), seraong (topi), dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak http://siskauche.wordpress.com/2011/07/17/suku-dayak-pedalaman/ http://www.anneahira.com/kesenian-suku-dayak.htm http://www.kutaikartanegara.com/senibudaya/tari.html http://www.kutaikartanegara.com/senibudaya/musik.html

You might also like