You are on page 1of 10

Tedhak siti - Ahmad Ismail-Outhman

Tedhak Siti
*Ahmad Ismail-Outhman PPs Ilmu Susastra Universitas Diponegoro Semarang

Prawacana
Banyak acara yang diselenggarakan orang Jawa yang melibatkan ritual makan-bersama. Makan- bersama, baik yang semula dengan satu wadah, maupun yang belakangan dengan wadah masing-masing; baik di ruang yang sama, di tempat acara diselenggarakan, maupun terpisah karena menjadi oleholeh berkat yang dibawa pulang, adalah kebiasaan laku-lampah masyarakat tradisional. Pada mayarakat Jawa tradisi itu sedemikian beragam sedemikian berjumlah, sama ragamnya dengan ragam peristiwa hidup umat manusia. Itulah slametan, yang sering pula disebut kenduri. Sungguhpun demikian, tampaknya tradisi slametan tidak saja ditemukan di Jawa namun juga di tengah masyarakat di semenanjung Malaysia (Wildre, 1982: 122; Scott, 1984: 187-204). Dua model praktek makan-bersama, seperti disebut baru saja, kemudian memunculkan dua model kenduri: slametan dan bancakan. Perbedaan antara keduanya terletak pada praktek makan-bersama: bancakan berarti rebutan, artinya makan bersama-sama dari satu wadah yang sama, biasanya berupa tampah berlapis daun pisang dan dilakukan tanpa menggunakan sendok. Tiap tampah disuguhkan bagi 5-8 orang. Adapun pada slametan, hidangan tidak dimaksudkan dimakan bersama-sama di ruang upacara, melainkan telah ditata sedemian rupa sehingga tiap peserta mendapatkan satu paket hidangan yang disebut berkat. Paket ini boleh dibawa pulang oleh tiap peserta.

Tedhak siti - Ahmad Ismail-Outhman

Oleh masyarakat Jawa slametan diselenggarakan untuk beberapa maksud, antara lain merayakan hari-hari besar kalender Islam, mengingat dan memperingati hari penting dalam riwayat hidup individu, merayakan ungkapan syukur individu, keluarga atau kelompok masyarakat atas suatu, bahkan pembelian sapi, rumah tinggal, mobil; bepergian jauh, anak naik kelas, dan lain-lain. Tulisan ini membahas tradisi slametan yang disebut tedhak siti, suatu upacara bagi anak balita berusia setahun kurang lebih menjelang fase berjalan. Pembahasan diarahkan pada beberapa aspek: bagaimana tradisi ini dilaksanakan; siapa saja yang terlibat; apa makna di balik perlambang dan harapan dari penyelenggaraan tradisi ini.

Tedhak siti dalam kerangka tradisi slametan di Masyarakat Jawa


Orang Jawa barangkali dapat dikatagorikan sebagai masyarakat yang cukup kuat untuk tidak meninggalkan adat-istiadat yang telah dibangun, dibentuk dan dikembangkan oleh generasi sebelumnya. Salah satu dari tradisi itu ialah slametan. Sebagai sebentuk praktek tradisi, secara garis besar slametan diselenggarakan dengan dua motif: syukuran dan harapan-permohonan. Dua ragam motif ini merupakan respon masyarakat terhadap realitas hidup dan upaya memenuhi kebutuhan realistik. Kebutuhan-kebutuhan ini bisa beragam jenisnya, seperti kebutuhan memohon perlindungan kepada Yang Mahakuasa dan pembebasan diri dari rasa takut atas suatu peristiwa atau kejadian, yang masih belum secara jelas diketahui (misteri) dan yang sudah jelas diduga kemungkinannya. Tedhak siti, dalam kupasan ini merupakan salah satu tradisi yang bermotif terakhir ini. Secara kronologis, tedhak siti merupakan satu mata rantai dari rangkaian upacara budaya Jawa yang berkaitan dengan diri dan kehidupan individual.1 Sementara siklus upacara ini bersisambung dimulai dari upacara perkawinan (penganten, temanten); hamil: ngupati, mitoni (tingkeban), nglolosi; melahirkan: puputan, ngarani, mudun lemah (tedhak siti), akekah dan

Rangkaian lainnya ialah yang berkaitan dengan lingkungan, alam; yang berkaitan dengan properti, hak milik dan kepemilikan; dan yang berkaitan dengan langkah setapak demi setapak individu menjalani kehidupannya.

Tedhak siti - Ahmad Ismail-Outhman

sebagainya; dan jika anak terlahir itu laki-laki, maka berikutnya ialah sunatan. Demikianlah seterusnya siklus tradisi upacara ini berlangsung di tengah masyarakat Jawa. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengupas tiap upacara tradisional tersebut, melainkan menjadikannya sebagai semacam peta perayaan upacara tradisional di Jawa yang berkaitan dengan diri dan kehiodupan pribadional.

Tedhak siti dalam potret budaya


Secara harfiyan, tedhak siti berarti turun tanah. Upacara ini diselenggarakan untuk menyambut perkembangan anak ke fase berjalan. Biasanya diselenggarakan ketika anak melewati usia delapan bulan, dalam istilah Jawa disebut pitung lapan. Sebagai upacara tradisional, tedhak siti juga melibatkan langkah prosesi, perlambangan dan tentu saja partisipan yang secara keseluruhan merupakan satu paket terpadu. Benda-benda budaya yang disebut uba rampe dalam upacara ini terdiri dari: tangga, sesajen, tumpeng nasi, piring tanah, kurungan, buku tulis, beras, mainan, padi, kapas, uang logam, paket bunga, air, gentong, kembang dan udhik-udhik. Orang tua, biasanya ibu, bayi yang diupacarai, nenek-kakek dan segenap keluarga dekat, serta para tetangga semuanya terlibat dalam upacara ini dengan peran dan fungsi masing-masing.
1.

properti Tangga dalam upacara ini terbuat dari batang tebu jenis arjuna, terdiri dari tujuh anak tangga dan seluruh batang dan anak tangganya dibungkus dengan hiasan. Hiasan tangga bisa berupa bunga, dedaunan, akar-akaran dan sebagainya. Sesajen terdiri dari tumpeng nasi, jajan pasar dan jadah. Tumpengan terdiri dari nasi yang ditumpeng, yakni dibentuk serupa kerucut, dan dikelilingi urab-uraban. Jajan pasar terdiri dari aneka panganan jajanan sehari-hari masyarakat setempat yang biasanya dapat diperoleh semuanya di pasar. Adapun jadah ialah makanan (jajanan) yang terbuat dari ketan yang ditanak biasa seperti nasi yang ditumbuk dengan campuran parutan kelapa hingga menyerupai adonan yang amat liat. Jadah kemudian disajikan dalam piring tanah; tujuh irisan dalam setiap piring dan berupa tujuh warna berbeda. Kurungan biasanya yang digunakan ialah kurungan ayam dihias sama seperti tangga, sementara properti lain yaitu buku tulis, beras, mainan, padi, kapas, dan uang logam diletakkan di dalam kurungan. Bagi keluarga tertentu ragam properti ini bisa bertambah kian banyak. Di luar itu, ada semangkuk uang logam yang dibaurkan dengan bulir beras berwarna kuning dan aneka kembang. Gentong di sudut tak

Tedhak siti - Ahmad Ismail-Outhman

jauh dari sana dipenuhi air bertabur kembang setaman. Tak ketinggalan udhik-udhik: sewadah uang logam yang berbaur dengan kembang dan beras kuning
2.

Prosesi Menjelang anak melewati usia delapan sampai sembilan bulan, upacara tedhak siti dilaksanakan dengan memilih momentum hari pasaran weton bayi. Ini konsep Jawa mengenai siklus semesta yang diobjektifikasi kedalam sikilus hari. Jika pada kalender celestial siklus minggu terdiri dari tujuh hari: minggu, senin, selasa, rabu, kamis, jum at dan sabtu; maka dalam konsep Jawa siklus itu terdiri dari lihari lima hari pasar: legi, pahing, pon, wage, kliwon. Pertautan antara dua kalender penting inilah yang disebut pasaran. Jadi, weton yang berasal dari kata wetuan, /weton (:keluar, keluaran) berarti hari ketika anak terlahir, adalah merupakan gabungan ketepatan antara hari mingguan dan hari pasaran; maka muncullah Rabu-wage, Jum at-kliwon, Kamis-legi dan seterusnya. Upacara itu sendiri diselenggarakan di ruang tengah rumah, namun pada keluarga tertentu, digelar di halaman rumah. Tangga ditegakkan, posisinya ujung-berujung dengan kurungan. Sementara di tengah-tengah antara keduanya digelar piring-piring tanah berjajar. Piring-piring tanah ini berisi jadah tujuh warna, jajan-pasar dan ditutup di sebelah kanan-kiri dengan kembang setaman. Kembang setaman juga menaburi air yang memenuhi gentong yang diletakkan di luar garis bujur tangga-kurungan namun tidak jauh dari situ. Prosesi dimulai dengan lampahan. Dituntun, atau lebih tepatnya diangkat oleh ibunya, anak melakukan lampahan, berjalan melewati piring-piring tanah. Penataan letak piring tanah berisi jadah ini sedemikian rupa sehingga menuju ke tangga; anak sedapat mungkin menginjakkan kakinya ke atas jadah. Sesamapai di depan tangga, berhenti sejenak; ibu berdoa di dalam batin atau dilafalkan. Lampahan diteruskan. Anak menapaki tahapan-tahapan anak tangga dengan pelan-pelan. Setapak demi setapak. Setiap kali anak tangga ditapaki, ibu berdoa di dalam batin, atau dilafalkan. Terus demikian sampai ke ujung tangga. Demikian pula dari ujung tangga turun dan melewati jadah sampai ke kurungan. Kurungan yang telah diperlengkapi dengan berbagai benda kelengkapan hidup sehari-hari, seperti hiasan, padi, kapas, buku tulis, dan lain-lain itu diangkat untuk memasukkan anak ke dalamnya. Di dalam kurungan anak dibiarkan beberapa saat sampai ia mempertunjukkan gerakan-gerakan yang dapat dipandang sebagai upayanya memilih salah satu dari berbagai pilihan yang disediakan di dalam kurungan. Upacara pun berakhir segera seiring dengan dibacakannya doa. Mengakhiri rangkaian upacara, ibu atau nenek menebarkan udhik-udhik ke para hadirin yang ada di sekitar upacara. Banyak di antara mereka anak-anak.

Tedhak siti - Ahmad Ismail-Outhman

Tedhak siti sebagai fenomena kebudayaan


Selalu ada dan dan selalu banyak peristiwa, kejadian, atau gejala yang dapat kita temukan sehari-hari: orang naik tangga, memanjat pohon, memilih baju, memungut pensil, menimang perhiasan, dan sebagainya. Semua itu merupakan peristiwa atau kejadian yang biasa, dan karena sifatnya yang sangat biasa itulah biasanya lolos dari pengamatan. Apakah semua itu kebudayaan? Kebudayaan bukanlah orang naik tangga, memanjat pohon, memilih baju, memungut pensil, menimang perhiasan, dan sebagainya. Kebudayaankah itu atau bukan ditentukan oleh bagaimana mereka melakukan semua itu. Kebudayaan ialah manakala menyapa orang lewat dilakukan dengan cara yang kurang-lebih sama antara satu individu dan yang lain, sehingga dapat dilihat: bagaimana orang situ menyapa orang. Itulah kebudayaan. Bukan orang naik tangga, tapi bagaimana orang situ naik tangga. Peristiwa kebudayaan dengan demikian ialah apabila orang naik tangga dengan tata dan cara tertentu yang ajeg dari masa ke masa, dari individu ke individu, yang dilandasi oleh motif, maksud dan pengetahuan yang diyakini bersama, serta telah membatin (internalized) dan menjadi nilai yang dianut bersama-sama. Nilai-nilai ini menjadi jiwa bagi masyarakat dan dengan itu mereka membentuk apa yang disebut oleh Koentjaraningrat suatu sistem budaya. Kini mari kita tinjau apa yang terjadi pada tradisi tedhak siti yang berlaku di tengah masyarakat Jawa pada umumnya. Penulis menekankan ungkapan pada umumnya karena memang ada terdapat perbedaan di sana-sini dalam beberapa detail prosesi acara, antara satu masyarakat di daerah tertentu dan yang lainnya, namun secara garis besar perbedaan-perbedaan itu masih berkisar di ranah uba-rampe dan tidak mengakibatkan berbeda perlambangan atau simbolisasi yang signifilkan dan pada gilirannya berbeda pula pesan dan idenya. Dengan demikian, katakanlah, bahwa tradisi tedhak siti terdiri dari dari rangkaian simbol-simbol budaya yang sama.
1.

Pemakaan realitas simbolik tedhak siti Jika diamati dengan seksama, beberapa hal tampak jelas dari prosesi upacara tedhak siti, yaitu: a. Kesulitan hidup Hidup yang penuh misteri adalah hidup yang mencemaskan dan menakutkan. Tak seorangpun menginginkan hidup dijalani dalam kondisi sulit seperti itu, demikian pula orang tua senantiasa

Tedhak siti - Ahmad Ismail-Outhman

mencemaskan kesulitan yang akan dihadapi anak dalam hidupnya kelak. Disinilah upacara ini mendapatkan momentumnya untuk diselenggarakan sebagai medium ekspresi meraih apa yang dibutuhkan. Dalam upacara tedhak siti kresulitan hidup tercermin dari simbolisasi jadah. Karakter adonannya yang lengket membuatnya mudah menempel di telapak kai ketika terinjak kaki kecil anak. Kondisi ini disimbolkan sebagai penanaman jiwa dan watak anak supaya dalam menapaki jalan hidupnya kelak ia senantiasa waspada dan sigap, menyadari bahwa hidup realistis berarti hidup yang tak akan terhindar dari masalah. Menghindar dan lari dari realitas hidup, jikapun bisa, bukanlah jalan yang bijaksana, maka dari itu, satu-satunya pilihan ialah menghadapinya. Dan oleh karena manusia tak sempurna daya kekuatannya, maka mereka pasti akan mencari dukungan kekuatan yang lebih hebat, hal ini diekspresikan dengan simbolisasi konsep tujuh. b. Konsep tujuh Mencoloknya konsep tujuh di setiap langkah: jumlah piring tanah wadah jadah; jumlah irisan jadah pada tiap piring tanah; jumlah anak tangga yang harus ditapaki anak, menyimpulkan suatu pemahaman yang telah membatin sebagai suatu bentuk ekspresi ketakberdayaan manusia menghadapi realitas kehidupan yang misterius dan kebutuhan mendasar manusia terhadap rasa aman dari segala ancaman yang mungkin akan ditemui di dalam kehidupan. Konsep tujuh juga muncul dalam warna jadah, ragam kembang penghias tangga, dan ragam jajanpasar yang dipilih. Jadah tidak disajikan dalam warna seragam, namun dalam tujuh warna. Ini menyiratkan perlambangan bahwa persoalan hidup itu beraneka ragam Ungkapan ketakberdayaan dan harapan memperoleh perlindungan diekspresikan secara simbolik dengan konsep tujuh. Adapun simbolisasi tujuh ini berakar dari maksud masyarakat Jawa yang menyebut bilangan tujuh dengan pitu. Pitu direpresentasikan sebagai simbol dari pitulungan (:pertolongan). Upacara ini diselenggarakan dengan maksud menyampaikan permohonan untuk memperoleh pertolongan dari Tuhan Yang Mahakuasa agar dalam menjalani kehidupan tidak menghadapi kesulitan. c. Tangga batang tebu Properti yang tak kalah mencolok dalam gelaran upacara tedhak siti ialah tangga. Properti ini melambangkan cita-cita. Setiap orang harus punya cita-cita dan tak ada cita-cita yang diraih tanpa usaha keras. Mendaki dan turun adalah perjalanan kehidupan: adakalanya orang mendapatkan kemudahan adakalanya ia menghadapi kesulitan. Tangga itu sendiri dibuat dari batang tebu arjuna. Arjuna adalah nama jenis tebu

Tedhak siti - Ahmad Ismail-Outhman

yang dikenal di masyarakat Jawa. Tangga yang terbuat dari batang tebu menyimpan makna keteguhan hati. Makna ini ditangkap dari simbol tebu tang dalam ungkapan Jawa diarahkan pada ungkapan akronim dari antebing kalbu (mantapnya hati). Menapaki anak tangga sampai ke ujung tinggi mengekspresikan sebuah pendakian cita-cita yang tinggi, dan pendakian terjal seperti itu tak akan dapat tercapai tanpa keteguhan hati yang penuh dan tekad yang bulat. Inilah makna di balik tebu sebagai tangga. Adapun jenis tebu yang dipilih ialah tebu jenis arjuna. Dalam dunia mitos Jawa, nama arjuna merupakan nama yang tak asing, ia merepresentasikan seorang tokoh dari dunia perwayangan yang sakti mandraguna namun tetap memiliki kelembutan hati di balik kekerasan jiwa dan tekad yang pantang mundur membela kebenaran. Arjuna adalah karakter putih dari keluarga besar Astinapura, kelompok para ksatria pembela kebenaran. d. Aneka jajan-pasar Ada simbol pula yang terepresentasi dalam aneka jajan-pasar, yaitu sebuah ungkapan pengharapan yang sangat atas limpahan kemakmuran yang semoga diterima anak kelak. Permohonan kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar kiranya anak mendapatkan limpahan rejeki yang banyak, beraneka ragam, semuanya serba ada dan serba berkecukupan. Sebuah pengharapan yang dimiliki oleh setiap orang tua bagi anaknya. e. Kurungan ayam Semula agak sulit menggali makna di balik simbol kurungan ayam. Namun setelah berbagi cerita berbagi tanya dari satu informan ke yang lain, didapatlah pula. Kurungan merupakan simbol dari dunia panggung kehidupan. Manusia hidup di dunia bukannya dunia yang tanpa batas. Jikapun di luar sana dunia begitu luas, akan tetapi dunia tiap orang adalah dunia yang berbatas. Hidup juga harus dijalani dengan batasanbatasan justru karena kita adalah manusia. Kemuliaan mahluk manusia daripada yang lain ialah karena mereka memiliki kompetensi menentukan batasan-batasan bagi mereka sendiri yang disepakati dan diberlakukan sebagai pedoman. Ayam sendiri dipilih karena asosiasinya yang amat kental di kalangan masyarakat Jawa. Penting ditekankan terlebih dahulu disini, orang Jawa memiliki pemahaman konseptual yang lekat terhadap sosok binatang yang satu ini. Presis sebagaimana yang dilihat oleh Foss, bahwa thing is a

Tedhak siti - Ahmad Ismail-Outhman

coscept2, di lingkungan masyarakat Jawa, kata ayam hampir selalu merupakan sebuah konsep alih-alih sebuah reference atau sebuah citra. Begitu banyaknya kata /ayam/ digunakan untuk menun jukkan sebuah konsep: ternak ayam, ayam ternak, ayam goreng, pedagang ayam, ayam pedaging, ayam broiler, ayam kampus, maling ayam, dan tentu saja, kurungan ayam. Setiap kata, demikian menurut Foss, memiliki feature yang khas. Feature ini bisa berupa censory properties atau class member. Dan ayam, sedikitnya menunjukkan referensi pada konsep tentang kebanalan, kebinalan, ketangguhan kebandelan, kemandirian, kebergunaan dan sebagainya. Demikian kaya asosiasi yang dapat ditampilkan oleh konsep ayam ini. Itulah mengapa barangkali ayam dipilih pula menjadi salah satu realitas simbolik bagi ritual tedhak siti. Dengan mengambil simbolisasi ayam: kurugan ayam, ada ide yang menampak secara tegas, bahwa jadilah seperti ayam, yang tangguh dan bandel menghadapi hidup dan persainmgan hidup, yang banyak gunanya, dan cepat adaptasi, cepat belajar dan cepat mandiri. Adapun properti lain yang terserak di dalam kurungan ayam yang akan dimasuki oleh anak menyimpan ungkapan simbolik bagi pilihan cara, jalan, profesi dan cita-cita anak kelak. Buku tulis melambangkan intelektualitas dan profesi yang berkaitan dengan itu; padi dan kapas adalah dunia petani dan kesejahteraan; demikian seterusnya simbol di balik perhiasan, beras, mainan dan sebagainya. f. Udhik-udhik Digunakan menjelang akhir prosesi, udhik-udhik, yang berupa campuran uang logam, butir-butir beras kuning dan aneka kembang, di sebarkan ke seantero halaman rumah, dimana upacara tedhak siti digelar. Ini satu bentuk simbol menebarkan harta benda kepada orang sekitar terdekat, kaum kerabat dan lain-lain. Apa yang melatarbelakangi simbol ini ialah satu ide bahwa apalah gunanya orang memohon pertolongan kepada Yang Mahkuasa untuk dapat mampu menapaki hidup, mengatasi segala persoalannya dan berlimpah rejeki, jika tidak mau berbagi dengan sesama. Berbagi adalah suatu cara orang beriman mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas ketaatan yang diamalkannya sehingga Tuhan dengan rahmat dan KehendakNya

Foss, Donal J. dan Hakes, David T., Psycholinguistics: An Introduction to the Psychology of Langage, iii Prentice Hall Inc., 1978 : 48-9.

Tedhak siti - Ahmad Ismail-Outhman

berkenan memelihara, melindungi dan menambah limpahan anugerah rejeki. g. Tumpeng nasi Selepas menyelesaikan rangkaian upacara terakhir, masih ada perlengkapan upacara yang menunggu gilirannya, yaitu tumpeng nasi. Para pelaku dan peserta lain yang ada di sekitar arena mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengambil bagian dari tumpeng nasi yang menggunung beserta lauk-pauknya. Orang Jawa menyebut ini bancakan, makan bersama. Pada masa lalu, bancakan memang dilakukan benarbenar bersama-sama, semua orang menjulurkan tangan kanannya dan membuat batas imajiner dari lingkaran tampah, tempat dimana tumpeng disajikan. Namun pada beberapa kondisi, acara makan bersama ini mengalami modifikasi: tiap orang mengambil satu wadah, bisa daun pisang, daun jati, atau (sekarang) piring, dan mengambil sejumput nasi serta lauk kelengkapannya. Makan abersama namun dari wadah masing-masing. Mata acara terakhir ini diikuti oleh hampir semua orang yang ada di sekitar arena, namun anak pengantin upacara itu mengambil tempat di samping arena menuju gentong berisi air dan kembang setaman. Anak dimandikan oleh ibunya dengan air kembang ini dan diikuti dengan memakaikannya baju baru yang terbaik yang dimiliki. Secara umum, dalam memandang tindakan budaya masyarakat Jawa dalam kaitan dengan upacara tradisi tedhak siti, penulis membayangkan teori empat unsur Herbert Mead, yakni impuls, persepsi, manipulasi dan kansumasi (Mead, 1988: 54-7). Rangkaian upacara tedhak siti, dengan kerangka ini menjadi sesuatu yang jelas menampilkan empat unsur tindakan manusia: ada impuls, upaya menangkap fenomena luar diri, lalu upaya memilah-memilih situasi dan kondisi yang hidup di sekitarnyam sehingga ia kemudian bisa bertanya pada diri sendiri, apa yang harus kita perbuat. Dan akhirnya, oleh karena manusia memiliki kemampuan hidup dan kemampuan mengatasi persoalan hidupnya, ia akan mencari makna dan berusaha memahami dunia dengan cara dan dari sudut pandang yang mereka pilih. Pilihan konsumasi ini pastilah senantiasa bersifat selaras dengan posisi dan peran sosial yang dimainkannya.

Pascawacana
Demikianlah, betapa misteriusnya kehidupan. Dan oleh karena mistirius itulah orang meraba-raba dan akhirnya sampai pada suatu kondisi dimana ia menyadari adanya ancaman yang menghadang. Ancaman ini ada karena orang tidak tahu apa yang akan terjadi dan apa yang akan dihadapi. Ketakutan

Tedhak siti - Ahmad Ismail-Outhman

muncul secara pasti dan merespon realitas seperti ini pilihannya ialah mencari pertolongan kepada pihak yang diyakini lebih kuat dari ancaman, lebih kuasa dari misteri itu sendiri. Bersyukur adalah satu-satunya kawajiban konsekuensial bilamana orang merasa bahwa ia telah mendapatkan apa yang dimintanya dari Yang Mahakuasa. Keyakinan yang telah tertanam dan menjadi kebenaran bersama dari upacara tedhak siti ialah pertama, bahwa manusia adalah tidak sempurna dan masih berlumur kelemahan untuk menaklukkan hidupnya sendiri, memohon pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa adalah jalan terbaik. Kedua, hidup yang penuh misteri memaksa orang menyiapkan segala bekal yang dibutuhkan, dan menyadari bahwa perjuangan dan kebulatan tekad adalah modal besar yang harus dimiliki tiap individu, atau ia akan kalah. Ketiga, sebagai mahluk sosial, tujuan hidup ialah meraih keutamaan (virtue) dan itu berujung kebahagiaan.

You might also like