You are on page 1of 14

GARAM DAPUR

Selama hidupnya, kecuali yang kemudian dilarang oleh dokter karena berbagai sebab, terutama tekanan darah tinggi yang bisa dipicu oleh tingginya kadar Natrium atau Sodium dalam darah, walau masih dipertanyakan, setiap orang akan mengkonsumsi garam secara teratur. Kalau terlalu banyak, dia tidak mau dan yang masak akan dibilang njalok rabi, sedang kalau kurang garam makanan akan menjadi tanpa rasa alias camplang. Karena itu, orang yang sudah berumur, sudah lanjut, dan banyak pengalamannya akan dikatakan sudah banyak makan garam. Orang yang seumur dengan saya yang sudah mendekati sewidak ini, tentu saja bisa menyatakan diri sebagai orang yang sudah banyak makan garam. Dan saya sendiri, bila diperlukan akan menyatakan, bukan saja saya sudah banyak makan garam, tetapi sudah lebih buanyak lagi bikin garam. Tetapi tentu masih kalah dengan para manthong dan anthek. Istilah anthek ini dulu dipopulerkan oleh Bung Karno dalam banyak pidatonya, tetapi memiliki konotasi negatif. Misalnya anthek Belanda, anthek nekolim [singkatan dari neo kolonialisme dan imperialisme]. Tetapi, di Madura dan pantai Utara Jawa, banyak kita temukan anthek. Tanpa keberadaan mereka, kita tidak akan dapat merasakan asinnya garam. Anthek sebenarnya memiliki arti sebagai asssistant. Tenaga ahli membuat garam, disebut manthong, dan si anthek ini adalah asistennya, dibawah anthek ada pekerja yang lebih mengandalkan kekuatan ototnya dari pada otaknya dalam bekerja. Tetapi karena sudah terlanjur memiliki konotasi negatif, maka orang akan marah kalau disebut anthek. Sama halnya dengan kata anasir, yang sebebanrnya adalah bentuk jamak dari kata unsur [yang berasal dari bahasa Arab], orang juga akan marah kalau disebut anasir, karena seringnya digunakan sebagai kata majemuk misalnya anasir PKI dan lain lain. Sesuatu yang bersifat netral, kadangkala akan memberikan efek lain, bila sering digunakan untuk sesuatu yang kurang netral. Pada dasarnya, garam dapur diperoleh dari upaya memisahkan zat natrium khlorida dari air laut, yang umumnya mengandung sekitar 25-30 gram NaCl per liternya. Kecuali di muara-muara sungai besar akan lebih rendah, dan akan lebih tinggi pada teluk-teluk yang bermulut sempit yang tidak ada sungai bermuara di teluk tersebut. Umumnya

pemisahannya dengan menguapkan sebagian besar air yang melarutkannya, dengan tenaga sinar matahari. Karena sinar matahari dapat diperoleh secara percuma, hanya saja gangguannya besar. Ada juga yang memperoleh garam dapur dari air laut yang sudah diuapkan beberapa juta atau milyar tahun yang lalu, dalam lapisan-lapisan di dalam tanah. Hal ini banyak dilakukan di daerah Afrika dan Eropa, mungkin juga Amerika [disana kan ada Great Salt Lake], baik yang terbuka atau yang beberapa ratus meter di dalam tanah. Tetapi di Indonesia ini kurang lazim. Kalau anda dulu mengenal buku Qiroatul Rasyidah [buku pelajaran bahasa Arab di Madrasah yang buatan Mesir], disana ada gambar orang menambang garam dari dalam tanah menggunakan terowongan, seperti menambang batu bara di Ombilin [?]. Tetapi, ada juga yang menambangnya dengan menyemprotkan [tepatnya menyuntikkan dengan pipa] air panas kedalam lapisan yang mengandung garam di bawah tanah, dan memperoleh larutan jenuh garam, yang kemudian siap dikristalkan di dalam pabrik. Konon, di Indonesia juga ada lapisan-lapisan seperti itu, yang ditemukan pada saat pengeboran minyak bumi. Tetapi data seperti itu, dikesampingkan saja oleh para geolog kita karena bukan itu tujuan mereka melakukan pengeboran eksplorasi atau ekploitasi ini. Yang kebetulan ada di dekat permukaan bumi [tetapi ya cukup dalam untuk ukuran sumur air tawar] adalah di daerah Jono [sekitar Grobogan Purwodadi], dimana masyarakat menimba air sumur yang kemudian diuapkan untuk diambil sebagai bleng atau sampai menjadi garam. Penguapannya dilakukan di bilah-bilah bambu. Juga yang di daerah Kuwu, yang diperoleh dari air yang menyertai letupan kawah di tanah datar. Memang, kadar NaClnya agak rendahan, dibanding garam dapur dari laut atau tambang. Konon ada kandungan garam lain [mungkin borat], sehingga digunakan sebagai campuran untuk membuat gendar, lempeng, atau puli. Di Gresik, air semacam itu juga ada [di daerah Giri, bahkan katanya seperti danau kecil] yang digunakan untuk membuat ketupat ketek [huruf e nya dibaca seperti membaca kata perlu] atau puli berbahan dasar beras ketan, yang rasanya sangat khas, dan dijadikan oleh-oleh setelah

ziarah ke makam Sunan Giri. Sangat enak bila diberi parutan kelapa yang tak terlalu tua, lalu dibubuhi gula pasir. Di dalam air laut, juga terdapat garam-garam lain selain NaCl yang memegang suara mayoritas mutlak. Antara lain, adalah CaSO4 yang dikenal sebagai gipsum, MgCl2, MgSO4 dan KCl. MgSO4 ini populer dengan sebutan garam Inggris yang digunakan untuk urus-urus. Di udara terbuka yang lembab, garam-garam magnesium itu akan membentuk kristal hidrat atau mengikat molekul air, dan kalau uap airnya kelewat banyak, maka diapun akan mencair. Sehingga garam yang kurang murni, akan terlihat lembab dan basah, bahkan cenderung lama-lama akan berair dan menjadi air tetapi tetap asin. Letak pegaraman umumnya sedikit di atas permukaan air laut rata-rata, tetapi masih lebih tinggi dari permukaan air laut pada waktu surut. Ini diperlukan agar tidak diperlukan lebih banyak tenaga untuk mensuplai kebutuhan air laut, atau membuang air hujan atau air buangan dari meja kristalisasi. Air laut dimasukkan ke peminihan [evaporating pond] dengan menggunakan pompa-pompa berkapasitas sekitar 1 m3 per detik per buahnya, tentu saja dengan head yang rendah sekitar 2 meter saja. Tergantung luasnya areal pegaraman, ada yang memiliki 3 sampai 4 pompa. Pada saat awal kampanye, semua pompa itu bekerja terus menerus selama beberapa hari, terutama pada saat air pasang, guna menenggelamkan seluruh areal pegaraman. Untuk 1000 ha pegaraman, diperlukan air minimal 2 [dua] milyar liter air laut pada awalnya. Pompa ini terus akan bekerja sampai keseluruhan areal mencapai ketinggian air yang diinginkan. Ada yang sampai 50 cm, ada pula yang hanya sampai 20 cm. Pompa ini setiap harinya masih akan terus memompa air laut, guna menggantikan air yang menguap. Dengan laju penguapan rata-rata sekitar 5 milimeter per hari, maka setiap harinya diperlukan asupan air sebanyak 50.000.000 liter. Agar menghasilkan garam dapur yang baik, maka proses kristalisasinya tidak boleh terjadi secara keseluruhan [total crystallization] seperti halnya menguapkan air laut dalam satu cawan sampai airnya habis , tetapi harus dibatasi pada zat-zat tertentu saja

yang akan mengkristal [fractional crystallization]. Jika kita menguapkan air laut secara perlahan-lahan, maka yang terjadi adalah mengkristalnya [memisahkan diri dalam bentuk padatan dan mengendap] zat-zat yang memiliki tingkat kelarutan paling rendah, dan disusul dengan yang memiliki kelarutan agak tinggi. Secara berurutan, akan mengkristal CaSO4, NaCl dan kemudan garam-garam magnesium dan kalium. Dengan memisahkan tempat mengkristalnya CaSO4 dan membuang larutan yang sangat kaya dengan magnesium, maka kita akan memperoleh garam dapur yang relatif murni [99+ lah]. Untuk mengendalikan proses pengkristalan ini, dilakukan dengan mengamati berat jenis air laut yang sudah pekat karena berkurangnya air, yang disebut loog [bahasa Belanda] atau brine [bahasa Inggris]. Pengukurannya dilakukan dengan Baume meter, bentuknya seperti termometer air raksa yang apabila dicelupkan akan mengambang, dan diskala dengan oBe, singkatan dari derajat Baume. Di kalangan pabrik gula, juga digunakan alat seperti ini, tetapi skala yang digunakan lain, disesuaikan dengan kadar gulanya. Secara kasar, 1 oBe nilainya 10 gram per liter. Jadi kalau air laut itu 3,0 oBe berarti kandungan garamnya 30 gram per liter. Jadi kalau anda menguapkan air laut sebanyak satu bak mandi ukuran 60 cm x 60 cm x 60 cm atau sekitar 200 liter, hanya akan memperoleh 200 liter x 30 gram/liter, atau 6 kilogram saja. Cukup untuk konsumsi anda seorang diri selama dua tahun. Setiap manthong akan membawa Baume meter tersebut, yang disimpan dalam tabung bambu, dan diselipkan atau digantung di ikat pinggangnya. Itu sebagai simbol status jabatan, walau anthek pun bisa beli, tetapi hampir tidak ada yang bawa menghormati status tersebut. Yang baik, adalah hanya mengambil garam yang mengkristal antara 25 oBe sampai 29 oBe saja. Plus 0,5 lah toleransinya. Tetapi, karena hendak kejar setoran mengingat sistem pengupahan yang didasarkan atas jumlah garam yang diperoleh, maka banyak yang mengakali dan melampaui batasan-batasan tadi, terutama pada batas akhir yang 29 oBe tadi. Ini logis, karena membuang larutan yang setiap liternya mengandung 300 gram garam [walau bukan NaCl, tetapi garam magnesium] tentu akan sangat disayangkan.

Melambatkan pembuangan loog yang sudah mencapai 29 oBe, disebut air tua atau bittern [dalam bahasa Inggris] adalah cara yang termuda untuk meningkatkan kuantitas produksi asalkan tidak diketahui pengawas tetapi akan menurunkan mutu garam yang dihasilkan. Yang lebih canggih, bila loog sudah mendekati 29 oBe, lalu secara diam-diam ditambahkan loog yang masih 25 oBe, maka konsentrasinya tentu akan menurun. Walau penunjukan oBe nya masih memenuhi syarat, tetapi komposisi larutannya sudah berbeda. Karena pengendalian yang bisa dilakukan di lapangan hanyalah pengukuran oBe, maka itulah yang diterapkan. Hampir tidak mungkin walau saat ini , untuk melakukan pengukuran kadar natrium dalam loog di lapangan, apa lagi di jaman itu. Untuk menghasilkan garam yang baik, maka seluruh permukaan kristal di meja-meja penggaraman [mengikut istilah tafel dari bahasa Balanda] harus tenggelam tidak boleh ada yang kandas [menyembul ke permukaan]. Hal ini akan sangat mempengaruhi mutu garam, karena disitu akan terjadi kristalisasi setempat dari larutan dengan cepat, sehingga akan terjadi kristalisasi total dimana ikut mengendap berbagai garam magnesium, bahkan kalium juga. Kandasan harus dihindari, dengan cara membuat tebal air sekitar 5 cm, dan tentu saja didukung oleh dasar meja yang rata [waterpass]. Membuat dasar meja, dengan luas sekitar 1000 meter persegi, dengan kerataan air seperti itu tanpa suatu alat ukur, betulbetul suatu pekerjaan yang mengagumkan, tetapi hampir tidak ada yang mengapresiet [appreciate]. Belum lagi persyaratan kekerasan permukaan dasar meja, yang ukurannya adalah bila sang beheerder [penguasa, sebutan bagi Kepala Pegaraman] berjalan di atasnya, tidak boleh ada belas telapak sepatu. Cara praktis untuk mengukur kekerasan, yang mungkin proporsional dengan porosity permukaan dasar meja, yang sangat penting dalam menghindari hilangnya loog karena rembesan [seepage] apalagi kebocoran [leakage]. Kristal yang terjadi pada kandasan, oleh mereka disebut bunga garam, karena bentuk kristalnya tidak sama dengan kristal garam dapur atau NaCl yang berbentuk kubus. Memang bunga garam tersebut, adalah kristal berbentuk jarum dari garam-

garam magnesium yang tidak dikehendaki keberadaannya. Bunga garam yang dimusuhi ini, ternyata bisa menjadi bahan dagangan oleh pihak lain, setidaknya konsep terbentuknya bunga garam tersebut. Itulah yang dosebut inovasi. Ceritanya begini. Di tahun 85-an, ketika sudah tinggal di Jakarta, ketika jalan-jalan ke Pasar Raya Sarinah Jaya di Blok M, ada dijual suatu mainan do-it-yourslef berupa pohon sakura dengan bunga-bunga yang berarna putih dan merah. Ketika kubeli, yang kudapat hanyalah sebungkus cairan kental, dan dua potong kertas yang dipotong berbentuk pohon di mana diujungnya di beri pewarna merah dan sebuah cawan plastik. Dalam petunjuknya, dituliskan agar kita mendirikan kertas diatas cawan plastik, lalu menuangkan cairannya ke atas cawan, kemudian meletakkannya di tempat yang berangin, tetapi anginnya tidak keras. Dan kemudian diminta menunggu semalaman. Begitu membaca instruksinya, langsung misuh mentertawakan diri sendiri, karena apa yang dilakukan adalah membuat bunga garam secara terkendali. Walau tanpa menganilisis lebih dulu, yakinlah bahwa cairannya adalah larutan jenuh magnesium sulfat alias garam Inggris, yang secara kapiler akan naik keatas melalui kertas berbentuk pohon, dan ketika mencapai ujung-unjungnya maka akan membentuk kristal seperti pohon sakura yang sedang berbunga. Cantik sekali, tetapi hanya tahan beberapa hari saja. Dan ketika ke Genting Highland di Kuala Lumpur beberapa waktu yang lalu, saya melihat hal seperti itu dijual dengan variasi tidak saja pohon sakura, tetapi juga domba. Saya tidak membeli-nya lagi, dan saya tunjukkan pada anak temanku, ambil kuberitahu kalau esun wis weruh rusiae [rusia adalah dialek Gresik untuk rahasia dari cara kerja atau cara membuat atau proses suatu produk]. Pembuatan garam, bisa dibagi dalam dua tahap. Yaitu tahap penguapan sebagian besar air laut hingga mencapai konsentrasi yang diinginkan, dimana cairan dengan konsentrasi tinggi tersebut, yang disebut air tua, siap meng-kristal. Tempat penguapan ini disebut paminihan dan di-Indonesiakan menjadi peminihan. Berikutnya, adalah tempat dimana kristalisasi akan terjadi, yang disebut meja-kristali-sasi atau meja saja. Sesuai dengan perbandingan air yang harus diuapkannya dan laju resapan air, perbandingan bisa berkisar antara 7:1 sampai 10:1.

Untuk pengaraman yang luas seperti yang dikelola PN GARAM, jika tanahnya cukup landai, maka peminihan dijadikan satu [integrated] berupa petak-petak yang masing-masing ukurannya akan mengecil, mulai dari puluhan hektar untuk satu petak, hingga hanya beberapa hektar saja ketika sudah mendekati meja-kristalisasi. Masingmasing petak memiliki ketinggian yang berbeda, makin rendah menuju ke arah petak yang mendekati meja, sehingga air hanya mengalir karena beda tinggi dasarnya saja. Juga tebal air bervariasi, semula tebal air bisa 40-50 cm, dan menjadi hanya 15-20 cm di petak peminihan yang terakhir. Untuk yang tanahnya relatif kurang landai, maka diterapkan sistem getrapte [berpola tangga], seperti petak sawah di daerah pegunungan. Hal ini sama sekali tidak akan mempengaruhi mutu garam yang dihasilkan. Pegaraman rakyat, karena luas unitnya yang relatif kecil, umumnya menganut getrapte, begitu juga pegaraman PN GARAM, yang di Nembakor, Gersik Putih dan Gresik Manyar. Yang di Sumenep, Pamekasan dan Sampang karena tanahnya landai, mengikuti pola yang integrated. Mutu garam lebih banyak ditentukan oleh cara kristalisasi-nya, dimana partial crystallization akan jauh lebih baik dari total crystallization, yang akan menentukan tingginya kadar garam. Juga ditentukan oleh cara penumbuhan kristal dan cara memanennya kelak. Disini dikenal dua cara atau metode. Yang diterapkan di pegaraman rakyat, hampir semuanya adalah Madureese Methode [atau cara orang Madura], sedangkan yang lainnya adalah Portugeese Methode [atau cara orang Portugis]. Saya tidak tahu, mengapa Potugis yang dijadikan acuan, mungkin orang Belanda dulu belajar dari orang Portugis, tetapi entah dimana. Letaknya perbedaan adalah pada adanya alas berupa kristal garam yang tumbuh selama 30 hari pertama, yang digunakan dalam metode Potugis. Alas atau onderlaag ini seharusnya tidak ikut dipanen, kecuali pada saat terakhir ketika musim hujan akan tiba. Tetapi kenyataannya, ikut tergaruk pada setiap panenan yang dilakukan setiap sepuluh hari sekali untuk setiap petak. Dan ini baru diketahui saat akhir musim, sudah menjadi tipis atau malah tiada lagi.

Dalam metode Madura, onderlaag ini tidak dikenal. Dengan begitu, cara Madura akan lebih cepat memberikan hasil dibanding cara Portugis. Tetapi, garam yang dipanen, termasuk juga garam yang langsung menempel di tanah dasar dari meja kristalisasi. Di daerah yang memiliki musim kemarau panjang [artinya ada kepastian tidak akan ada hujan tiba-tiba di tengah musim kemarau], panen garam hanya dilakukan sekali atau dua kali saja setiap musimnya. Seperti halnya pegaraman di Australia dan di Irak, misalnya. Di sana ukuran meja kristalisasinya bukan lagi 1000 meter persegi setiap petaknya, tetapi sudah hektaran setiap petaknya. Dan memanen garamnya, dilakukan dengan alat berat, semacam scraper yang langsung memunggah hasil panen ke dump truck yang akan mengangkutnya ke gudang-gudang. Pembatasan luas meja kristalisasi di Indonesia ini juga terkait dengan masih dilakukannya panen secara manual dengan tenaga manusia, dengan memperhitungkan jarak efektif untuk menarik dengan sorkot [menggeser garam yang dipanen ke tepi meja dan menumpuknya], lalu memunggah ke keranjang pikul dengan kancor, dan memikulnya ke emplasemen. Di emplasemen, yang dasarnya terbuat dari batu karang yang memiliki pori-pori besar, maka cairan loog yang menempel pada garam akan dietus [berkurang kadar airnya karena mengalir karena gravitasi], garam ditumpuk dengan membentuk profil tertentu. Dengan menggunakan acuan profil berpenampang trapesium yang terbuat dari bilah-bilah bambu, dan mengukur panjangnya, maka para mandor akan dapat dengan mudah mengetahui berat garam yang dihasilkan melalui suatu tabel yang sudah disiapkan. Emplasemen ini memiliki jalur pengangkutan, baik yang menggunakan perahu maupun yang menggunakan kip wagen yang ditarik lokomotif, guna mengangkut garam ke gudang penyimpanan, yang biasanya terletak di pinggir sungai yang bisa dimasuki tongkang. Pegaraman Sumenep, Pamekasan, dan Sampang, menggunakan kip-wagen, yaitu semacam lori yang memiliki bak khusus dengan kapasitas angkut sekitar 1 ton garam. Dan juga memiliki jalur rel ke pabrik pembuatan briket garam yang ada di Krampon dan Kalianget.

Bak khusus ini berpenampang segitiga terbalik, diletakkan dalam suatu tumpuan berbentuk bagian ellips. Titik tumpu, diatur sedemikian rupa berada di bawah titik berat [center of gravity] dari kip-wagen dalam keadaan terisi garam. Sebaliknya, bila kosong, titik tumpu berada di atas titik berat. Sehingga untuk mengosongkan kip-wagen, tidak dibutuhkan tenaga lagi, tinggal hanya membuka kunci pengikat, dan menggerakkannya dengan sedikit tenaga ke samping, maka tumpahlah keseluruhan garam sampai habis. Tentu saja umur kip-wagen ini tidak bisa bertahan lama, hanya dalam 2-4 tahun saja sudah mulai keropos, tidak tahan dimakan garam. Pernah dicoba melapisi dengan fiberglass, ya bisa bertahan agak sedikit lebih lama, karena ternyata fiberglass-nya tidak tahan goresan dan benturan. Sehingga melalui retakan-retakan, larutan garam masuk ke sela-sela batas permukaan plat besi, dan korosipun berjalan tanpa bisa dicegah. Sedangkan pegaraman lainnya, Nembakor, Gersik Putih dan Gresik Manyar menggunakan perahu guna mengangkutnya ke areal gudang penyimpanan. Tentu saja, perahu ini digerakkan hanya dengan galah bambu atau dayung, karena hanya akan bergerak di kanal-kanal yang menghubungkan emplasemen dengan areal gudang, sehingga tidak mungkin menggunakan layar. Pada saat musim hujan, perahu ini tidak dipakai dan diangkat ke darat disimpan dalam suatu garasi untuk perahu, agar lebih awet. Perahu-perahu garam ini, dibuat oleh masyarakat dari desa sekitar pegaraman Nembakor, yang dikenal memang memiliki keahlian membuat perahu, yaitu daerah Saroka. Salah satu nama juragan pembuat perahu, adalah Pak Marsuyan. Sedang pembuat kip-wagen, juga dilakukan di bengkel dadakan di desa sekitar Kalianget, yang dikoordinir oleh seorang yang sering dapat order, meneruskan usaha mertuanya, yaitu Harry Lomantow. Kalau rodanya dan asnya, biasanya adalah hasil pengecoran di Tegal atau Pedan [daerah Sala], Jawa Tengah. Kalau musim sangat baik, biasanya setelah usai masa pembikinan garam [yang disebut kampanye], masih banyak tertumpuk garam di emplasemen, baik dari hasil panen normal, maupun dari hasil panen pengakhiran musim atau pungutan darurat.

Sehingga tumpukan garam tersebut, karena tidak mungkin untuk ditutupi, akan terkena oleh siraman air hujan. Kalau sudah dalam tumpukan profil di emplasemen, walau ada yang hilang karena terbawa air hujan, tetapi relatif kecil bila dibandingkan masih berada di meja kristalisasi. Garam yang masih tertinggal di emplasemen pada saat kampanye sudah berakhir ini, termasuk yang hasil pungutan darurat [yang bisanya agak kurang bersih], pada saat dianalisis di laboratorium biasanya memiliki kadar NaCl [dalam dry basis] yang lebih tinggi, karena sebagian besar loog yang menempel pada waktu dipanen [yang banyak mengandung senyawa magnesium] akan terbawa oleh air hujan. Proses seperti inilah sebenarnya yang diharapkan terjadi pada garam yang sedang ditimbun, tetapi tanpa kucuran air hujan. Garam-garam magnesium sebagai sumber ketidakmurnian garam dapur, dapat perlahan tapi pasti turun keluar dari tumpukan garam. Dan dengan besarnya [tingginya] tumpukan massa dalam gudang, maka dampak dari air hujan [bila ada yang bocor-bocor sedikit], tidaklah terlalu merisaukan. Di jaman dulu, ketika antara kebutuhan dan produksi masih seimbang, katanya garam dapur tersebut dapat disimpan di gudang-gudang pegaraman sampai sekitar 10 tahunan, sekaligus sebagai buffer-stock mengingat siklus musim hujan yang kadang basah, kering atau diantaranya. Garam ditimbun dalam keadaan curah, ditumpuk sehingga berbentuk geometris yang unik dengan memperhatikan berbagai faktor spesifiknya, antara lain natural slope [sudut kemiringan yang terbentuk secara alami bila suatu bahan ditimbun] kristal garam. Yang paling penting, dasar lantai gudang garam, sekali-kali [bukan sekali-sekali] tidak boleh tergenang apalagi ada aliran air. Gudang garam seperti yang dipakai sebagai trade-mark nya rokok cap Gudang Garam, disebut gudang besi atau gudang kayu, tergantung struktur yang digunakan dalam pembangunan gudangnya. Walau ada gudang seperti itu, jumlahnya tidaklah banyak. Umumnya gudang seperti itu, berkaitan dengan adanya pabrik garam briket di dekatnya [Krampon, Kalianget].

Gudang garam bentuknya spesifik, dan tidak ada tempat orang untuk berlalu lalang di dalam gudang. Gudang tersebut, yang disebut OLO, singkatan dari open lucht oopschuring, dan sifatnya sekali pakai. Penampang gudang adalah sebagaimana sketsa dibawah ini. Lebarnya sekitar 15-20 meter, dan panjangnya bisa mencapai 50 meter atau lebih tergantung lahan yang tersedia, sedangkan tingginya setara atap rumah atau sekitar 6-7 meter. Kalau disimpan dalam gudang kayu atau besi, bentuk penampang tumpukan garam tetap trpesiodal tetapi tanpa trapesium. Dasar gudang, umumnya sama dengan lantai emplasemen, yaitu dari batu karang yang berpori tanpa perekat [pasangan batu kosong aanstamping]. Tetapi mengingat diperlukan daya dukung tanah yang tinggi, sedangkan tanah pantai umumnya aluvial, maka agar tidak ambles dipasang cerucuk dari bongkotan [sejenis bambu yang tidak lurus tetapi memiliki dinding yang tebal]. Bambu ini sangat tahan dalam kondisi tanah yang basah dengan air laut tersebut. Bagian bawah OLO tersebut, dibuat dengan membentuk kerangka bambu dan dilapisi dengan gedeg [anyaman bilah-bilah bambu] dan ditopang pula dengan bambu bongkotan. Hal ini diperlukan guna mengurangi bersentuhan dengan cucuran air hujan yang pasti datang di musimnya. Rangka atap, tentu saja dibuat dari bambu. Tidak dperlukan kuda-kuda, hanya perlu reng dan usuk saja guna mengikat-kan atap rumbia. Atap rumbia ini, mampu mempertahankan diri dari terpaan panas matahari dan hujan selama bertahun-tahun, asalkan tidak terkena benturan benda keras [misalnya ada lemparan batu atau benda lain]. Rumbia ini rapuh. Sehingga sifatnya, hanyalah sekali pakai. Walau hanya satu tahun saja. Jadi gudang OLO ini akan menjadi sangat cost-effective bila penyimpanan garamnya cukup lama, ya diatas 5-10 tahunan. Saya tidak tahu, apakah sekarang rumbianya digantikan dengan bahan terpal plastik seperti tenda biru atau tenda oreny yang banyak dipakai mulai dari pedagang kaki lima, sampai tenda pengantin. Sebelum diangkut ke tempat tujuan, umumnya garam akan dimasukkan ke dalam karung plastik yang berwarna biru. Entah mengapa dipilih warna biru, barangkali

karena mendekati warna laut kalau dilihat dari suatu ketinggian.Pada saat yodisasi garam dilakukan kembali, tetapi dengan obyek garam curah, disinilah kegiatan itu dilakukan. Peralatan yodisasi, yang memang sengaja dirancang agar mudah dipindahkan, disisipkan dalam serangkaian kegiatan yang biasanya dilakukan dalam pengarungan garam ini. Sehingga para pekerja pengarungan garam tidak merasa ada sesuatu yang baru dalam pekerjaannya. Hal ini perlu dilakukan, untuk menghindari resistensi perilaku, karena adanya sesuatu yang baru dalam kehidupannya. Suatu sifat alamiah yang ada pada tubuh kita, seperti halnya yang terjadi pada berbagai operasi pencangkokan bagan tubuh. Kalau sebelumnya, mereka membongkar tumpukan garam dan langsung memasukkan ke karung, sekarang mereka memasukkan ke feeder bin dari suatu belt conveyor dan menampung garam di ujung conveyor langsung ke dalam karung. Setelah ditimbang, lalu dijahit dengan tali rafia alias rumput Jepang. Kemudian dilakukan modernisasi dengan menggunakan mesin jahit karung portable yang menggunakan tenaga listrik. Rangkaian tongkang dan tug-boat atau bargas, merupakan alat angkut utama antara pegaraman dengan kapal. Rangkaian ini merupakan feeder bagi kapal-kapal antar pulau yang membuang sauh di tengah laut lepas pantai Sampang atau Pamekasan, maupun yang berlabuh di Kalianget. Dahulu, menurut cerita para pelaut PN GARAM, untuk memasok kebutuhan garam di pulau-pulau, digunakan juga tongkang dan tug-boat yang melayari lautan lepas. Konon tug-boat milik PN GARAM, tergolong yang paling maju teknologinya [pada saat itu], selain memiliki tenaga yang besar, juga mampu menjelajah dengan kecepatan tinggi. Satu tug-boat bisa menarik beberapa buah tongkang sekaligus. Pernah suatu ketika, entah mengapa, salah satu tug-boat di kejar oleh kapal Angkatan Laut, tetapi tak terkejar. Karena mereka bisa mencatat identitas tug-boat tersebut, maka saat berlabuh kemudian ditilang, diminta untuk mengurangi diameter dari baling-balingnya, agar kecepatannya tidak melebihi kecepatan kapal-kapal aparat keamanan. Apakah hal seperti ini akan dilakukan oleh POLRI untuk mobil-mobil mewah seperti Ferari yang puluhan buah, agar bisa dikejar oleh aparat bila perlu. Dan

juga terhadap sepeda motor Yamaha RX-King yang banyak dipakai penjambret. Atau aparatnya yang harus pakai mobil Formula 1 Alonso atau Kimi atau motornya Valentino Rossi? Ada beberapa kelas kapal yang dimiliki PN Garam pada waktu itu, ada kelas Adi yang paling besar, lalu kelas Gili yang sedang, dan kelas nama-nama pulau yang lebih kecilan. Untuk kelas Adi, ada KM Adipoday dan KM Adirasa [nama pahlawan / tokoh legenda Madura] masing-masing berbobot mati sekitar 2.400 ton, dan merupakan kapal terbaru yang dimiliki saat itu, buatan 60-an. Kelas Gili, ada KM Giliyang, KM Giligenteng, dan KM Giliraja diambil dari nama-nama pulau di sekitar pulau Madura. Kapal yang lebih kecil, dan yang paling tua, adalah KM Waru dan KM Keles. Saya sendiri sudah tidak pernah berjumpa dengan KM Giliraja yang buatan tahun 50-an. Konon pada pelayaran perdananya di Selat Makassar, dan sedang membuang sauh di pelabuhan Donggala [kota Palu masih terlalu kecil saat itu dibanding Donggala], kapal ini dibom oleh Alan Pope [penerbang berkebangsaan Amerika Serikat yang disewa oleh Permesta] dan tenggelam disana. Kapal ini tenggelam, bersama seluruh isinya. Salah satu BBK [Bapak Buah Kapal], kalau tidak salah adalah Pak Jafii yang sebagai nakhoda atau mualim, katanya tidak bisa berenang. Sehingga memilih mrosot ke badan kapal yang miring [walau penuh runti sejenis tiram yang suka menempel di badan kapal atau tiang-tiang di laut] dari pada langsung terjun ke laut. Saya masih sering berjumpa dengan pak Jafii yang saat itu sudah naik ke darat, dan menjabat sebagai Kepala Cabang Jakarta. Alan Pope sendiri, kemudian pesawatnya tertembak di Sumatera di wilayah pergolakannya PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dan terjun payung dan tertangkap oleh TNI. Kemudian diadili dan dihukum, tetapi kemudian ada pertukaran tawanan atau bagaimana. Lupa-lupa ingat. Kalau anda ke Kalianget, anda akan menemukan sebuah tugu berbentuk bom di dekat pelabuhan Kalianget, yang diberinama Tugu Giliraja terletak di ujung jalan pada KM 176 dari Kamal. Tugu ini dibangun untuk mengingat peristiwa tersebut dan

menghormati mereka yang gugur atau cedera dalam insiden tersebut. Semoga tugu ini tidak tergusur oleh kebutuhan perluasan lahan dalam memenuhi tuntutan kegiatan ekonomi atau kebutuhan lainnya. Pada saat-saat tertentu, dikala kapal milik sendiri sedang berada di dok untuk pemeliharaan rutin atau perbaikan, beberapa kali PN GARAM menyewa kapal untuk mengangkut garam. Dalam perjanjian dinyatakan waktu untuk memunggah ditetapkan misalnya dua atau tiga hari saja. Memunggah garam ke kapal hanya dapat dilakukan jika cuaca cerah, dan harus dihentikan bila hujan. Hal ini dapat membuat waktu memunggah lebih lama dari biasanya Kita sering mendengar adanya orang yang berprofesi sebagai pawang hujan, untuk memindahkan jatuhnya hujan ke daerah lain, agar tidak mengganggu kegiatan yang mereka lakukan, misalnya hajatan pernikahan, pertandingan oleh raga, festival atau apapun. Dan ilmu semacam itupun, banyak diterapkan oleh para pemimpin pegaraman agar gerimis tidak terjadi di wilayah meja-kristalisasi, dan berpindah ke areal peminihan awal, dimana konsentrasi air laut masih rendah. Tetapi yang cukup spektakuler, adalah seakan membuat large invisible umbrella yang hanya memayungi posisi kapal dan tongkang bertambat. Di sekitarnya boleh hujan, tetapi di lokasi yang harus dilindungi, tetap tak ada tetesan air.

You might also like