You are on page 1of 18

Konflik Dalam Naskah Drama DAG DIG DUG Karya Putu Wijaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Berbeda dengan prosa maupun puisi, naskah drama memiliki bentuk sendiri yaitu ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan dipentaskan (Waluyo, 2003: 2). Menurut Dietrich (1953:4) drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas di hadapan penonton (audience). Dalam sebuah penelitian pada tahun 1979 yang dilakukan di sekolah-sekolah oleh Dr. Yus Rusyana (dalam Waluyo, 2003:1), disimpulkan bahwa minat siswa dalam membaca karya sastra yang terbanyak adalah prosa, kemudian puisi, baru selanjutnya drama. Perbandingannya adalah: (6:3:1), terbukti bahwa naskah drama paling tidak diminati. Hal tersebut dimungkinkan karena menghayati naskah drama yang berupa dialog itu membutuhkan perhatian lebih. Menurut Tambajong (1981:23) naskah drama segi-segi yang harus diperhatikan banyak (1) sekali, mulai dari menata hubungan yang luas antara pengarang dengan kehidupan, pengarang dengan naskah, naskah dengan aktor, naskah dengan sutradara, pengarang dengan aktor, pengarang dengan sutradara, naskah dengan kemungkinan dipentaskan, aktor dengan aktor, aktor dengan penonton, naskah dengan penonton dan seterusnya. Dipilihnya penelitian tentang konflik dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya adalah karena empat hal, antara lain: Pertama, kedudukan Putu Wijaya dalam drama kontemporer Indonesia. Abdullah (1985:65) menyebutkan bahwa sejak tahun 1976 dalam hal kepeloporan drama, Arifin C. Noer menduduki posisi pertama, namun dari segi ketahanan hingga saat ini Putu Wijaya menduduki posisinya yang utama. Hal ini terbukti dari prestasi Putu Wijaya dalam dunia drama sejak tahun 1970-an hingga 2000-an masih saja ada. Pada tahun 2004 naskah Putu Wijaya yang berjudul Rat (War) di pentaskan selama 10 hari berturut-turut oleh kelompok teater dari Kota Belgrado, Yugoslavia, Putu Wijaya diundang untuk menonton langsung di gedung Ateleje 212 (Suara Merdeka, 28 Juli 2004). Di tahun yang sama Putu Wijaya mementaskan naskah Zoom berkeliling ke Tokyo, Kyoto, dan Hongkong (Suara Merdeka, 21 Mei 2004). Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri (1971-sekarang) sebagai sutradara, penulis naskah, dan pemain. Sebagai sutradara, Putu Wijaya berpendapat bahwa ia dituntut (2) untuk berekspresi, karena naskah kadang-kadang tidak menyediakan plot, tema, karakter, dan patokan-patokan yang pasti. Naskah hanyalah bahan mentah yang penuh kemungkinan, yang bisa kaya luar biasa kalau sang sutradara juga seorang yang kaya, tetapi serentak bisa menjadi miskin dan serba kurang kalau sutradara berkepala kosong (Abdullah, 1985:7). Sebagai penulis naskah, di tahun 1973-1974 Putu Wijaya pernah memenangkan berturut-

turut juara pertama dan kedua dalam Sayembara Penulisan Naskah Lakon yang diadakan oleh DKJ. Masing-masing lakon yang dimenangkan adalah Aduh, Dag Dig Dug, dan Anu. Sejak saat itu karya-karya drama Putu Wijaya seakan-akan menjadi ukuran bagi mereka yang akan menulis naskah drama kontemporer. Ciri khas karyanya yaitu cenderung menggunakan gaya atau metode obyektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya. Maksudnya, cara mendekati tokoh, Putu seperti tidak pernah menyentuhnya. Seolah-olah tokoh dibiarkan bergerak dengan tindakan dan pikiranpikirannya, tak ubahnya seperti orang yang mengamati gerak-gerik ikan di dalam akuarium (Abdullah, 1985:9). Menurut Sumardjo (dalam Atmaja, 1987:9), ide yang mendasari perubahan karya-karya Putu Wijaya adalah konsep psikoanalisis dan absurdisme. Putu Wijaya sendiri mengaku bahwa konsep kepengarangannya adalah teror mental, usaha untuk memberikan pencerahan dengan kejutan, dengan pematahan atau pembalikan yang tiba-tiba (Wijaya, 2003:213). Sebagai pemain, Putu Wijaya sejak tahun 1991 bersama Teater (3) Mandiri memainkan pertunjukkan tidak lagi menggunakan dialog tetapi gerak, bunyi dan seni rupa (Wijaya, 2003:218). Kedua, kelebihan naskah drama Dag Dig Dug dibanding dengan naskah-naskah drama Putu Wijaya yang lain. Naskah-naskah drama Putu Wijaya biasa berdurasi antara 90 sampai 120 menit. Tak pernah lebih panjang dari itu, kecuali Dag Dig Dug. Teater Mandiri sampai sekarang belum pernah memainkan naskah itu (Wijaya, 2003:218). Lakon Dag Dig Dug tidak pernah dimainkan, karena Putu Wijaya tidak punya aktor kuat di dalam kelompok teaternya (Teater Mandiri). Naskah tersebut memerlukan minimal dua pemain yang hebat, agar mampu mengangkat peristiwanya (Email: Wijaya, 2005). Ketiga, konflik sebagai dasar drama dalam naskah Dag Dig Dug memiliki peranan yang sangat kuat. Dengan asumsi bahwa naskah drama Dag Dig Dug berdurasi lebih dari 120 menit namun tokoh utama sebenarnya hanyalah terdiri dari dua tokoh (Suami dan Istri). Diperlukan jalinan antarkonflik yang jeli dan penciptaan konflik-konflik yang kuat dalam merangkai alur agar mampu membangun suasana pementasan Dag Dig Dug, agar penonton tidak merasa bosan dan meninggalkan gedung pertunjukkan, sebab dalam penulisan naskah drama diperhitungkan keterlibatan penonton dalam naskah drama tersebut, karena itu hampir (4) pada tiap adegan naskah drama Dag Dig Dug terjadi konflik berupa pertengkaran antara tokoh Suami dan tokoh Istri. Keempat, dalam penelitian-penelitian karya sastra sebelumnya, penelitian tentang naskah drama terbilang sedikit jika dibandingkan dengan penelitian tentang prosa dan puisi, khususnya penelitian yang membahas secara lebih dalam tentang konflik dalam naskah drama. Penelitian-penelitian tentang naskah drama sebelumnya antara lain adalah: potensi dramatik dalam naskah drama, ciri atavisme dalam naskah drama, dan hubungan tema dalam naskah drama. 1.2 Batasan Masalah Drama merupakan sebuah karya sastra atau sebuah komposisi yang melukiskan kehidupan dan perilaku manusia dalam bentuk dialog untuk dipentaskan. Sementara kaidah dasar drama

sebagai karya sastra sebagai berikut: (1) dasar drama adalah koflik atau pertentangan antara tokoh/unsur lain yang memiliki kekuatan, konflik tersebut akan mewarnai setiap bagian yang ada dalam sebuah cerita drama, (2) dasar dari konflik adalah motif, motif adalah alasan dan penyebab munculnya konflik terjadi, (3) apa yang menggerakkan konflik, bagaimana konflik bergerak, dan bagaimana efek-efek dari konflik bergantung pada jenis dan fungsi setiap unit motivasional, (4) Petunjuk mengenai teknik dan maksud penulis naskah dapat (5) selalu ditemukan dengan menganalisis unit motivasional, (5) setiap unit motivasional dipengaruhi oleh unit yang hadir sebelumnya dan sesudahnya, (6) menafsirkan satu unit ias mempengaruhi makna keseluruhan permainan, (7) jika sejak awal unit motivasional ditafsirkan dengan jelas, hasil dari tafsiran ini akan mempengaruhi permainan secara keseluruhan. Pembahasan mengenai konflik dalam naskah drama adalah: (1) mengidentifikasi jenis unit motivasional sebagai indikasi sebab munculnya konflik, (2) mengidentifikasi fungsi unit motivasional sebagai indikasi bergeraknya dan efek dari konflik, (3) mengidentifikasi hubungan antarunit motivasional untuk mendapatkan kandungan makna dan maksud pengarang yang mengacu pada permasalahan kemanusian yang bersumber pada tabiat kehidupan manusia (konflik). Dari beberapa uraian tersebut, peneliti akan membatasi masalah yang akan diteliti. Penelitian ini akan membahas tentang konflik sebagai dasar atau esensi dalam sebuah naskah drama, melalui analisis unit motivasional, karena motif merupakan dasar dari konflik. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut: a. Apa saja unit konflik dan unit pendukung konflik yang terdapat dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya? b. Apa saja fungsi unit konflik dan unit pendukung konflik dalam setiap adegan yang terdapat dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya? c. Bagaimana hubungan antara unit konflik dan unit pendukung konflik yang terdapat dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya dalam membangun plot? (6) 1.4 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang konflik yang terdapat dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang: a. unit konflik dan unit pendukung konflik yang terdapat dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya, b. fungsi unit konflik dan unit pendukung konflik dalam setiap adegan yang terdapat dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya, dan c. hubungan antara unit konflik dan unit pendukung konflik yang terdapat dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya dalam membangun plot. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Hasil penelitian tentang konflik dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya diharapkan bisa memperkaya dan menambah wawasan bagi pengembangan ilmu dalam bidang sastra terutama naskah drama

(7) Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi: a. Pemerhati drama Sebagai salah satu rujukan mengenai bagaimana teknik membedah naskah drama untuk menafsirkan maksud pengarang, agar menghasilkan pementasan yang maksimal. b. Pengajaran drama Penelitian ini dapat menambah wawasan dalam bidang studi bahasa dan sastra Indonesia dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pilihan tambahan dalam pengajaran drama. c. Peneliti selanjutnya Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu dasar atau pedoman untuk mengkaji lebih lanjut naskah drama yang diteliti khusunya tentang konflik. 1.6 Definisi Operasional a.Drama Drama adalah cerita tentang konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas di hadapan penonton (Dietrich,1953:3). (8) b. Konflik Konflik adalah dasar drama berupa pertentangan yang dialami tokoh sebagai respon atas timbulnya kekuatan-kekuatan dramatis (Dietrich, 1953:78) d. Adegan Adegan secara struktur adalah unit aksi atas sasaran tokoh, sebuah adegan menyatukan beberapa sasaran dalam beberapa macam serangan (attack) secara utuh (Gallaway, 1953:104). d. Unit Motivasional Bagian terkecil integral yang melengkapi adegan dalam drama (Dietrich, 1953:71). (9) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Drama 2.1.1 Pengertian Drama Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, beraksi, dan sebagainya. Drama berarti perbuatan, tindakan atau action (Harymawan, 1988:1). Menurut Aristoteles, drama adalah tiruan (imitasi) dari action (Dietrich, 1953:3). Ada beberapa pengertian yang dirumuskan oleh banyak ahli di bidang drama: Menurut Moulton, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented action). Menurut Brander Mathews, konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama. Menurut Ferdinand Brunetierre, drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action. Menurut Balthazar Verhagen, drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak. Menurut Dietrich, drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan action pada pentas di hadapan penonton (audience).

Drama adalah cerita tentang konflik manusia, kita tidak bisa memahami sampai kita tahu kapan, mengapa, dan bagaimana konflik manusia. Drama adalah cerita dalam bentuk dialog, drama tak lebih dari interpretasi kehidupan, drama adalah salah satu bentuk kesenian. Drama dirancang untuk penonton, drama bergantung pada komunikasi. Jika drama tidak komunikatif, maksud pengarang, pembangun respon emosional tidak akan sampai (Dietrich, 1953:4). Mempelajari naskah drama dapat dilakukan dengan cara mempelajari dengan seksama kata-kata, ungkapan, kalimat atau pernyataan tertentu yang dipergunakan oleh pengarang dalam naskah drama yang ditulisnya. Memang penonton mungkin tidak pernah membaca sendiri dialog dalam naskah. Mereka mendengarkan dialog diucapkan oleh aktor di panggung (Ghazali, 2001:2) Berdasarkan beberapa teori tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa drama adalah sebuah lakon atau cerita berupa kisah kehidupan dalam dialog dan lakuan tokoh berisi konflik manusia. Drama sebagai karya sastra dapat dibedakan menurut dua penggolongan mendasar yaitu drama sebagai (10) sastra lisan dan drama sebagai karya tulis. Sebagai sastra lisan drama adalah teater, sedang drama sebagai karya tulis adalah peranan naskah terhadap komunikasi drama itu sendiri. Dalam hal ini lebih ditekankan aspek pembaca drama daripada penonton, dan merubah pendekatan yang berorientasi kepada aktor ke pendekatan yang berorientasi terhadap naskah. 2.1.2 Bahan Penulisan Drama 2.1.2.1 Tokoh Drama dibangun dari konflik, karakter manusia adalah bahan dasarnya. Drama adalah cerita tentang tokoh manusia dalam konflik. Pertunjukan yang dramatis harus menggambarkan kehidupan dari tokoh-tokohnya (Dietrich, 1953:25). Tidak ada drama tanpa pelaku, bagaimanapun bentuk dan jenis drama tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa peristiwaperistiwa yang ditampilkan dalam karya sastra selalu diemban atau terjadi atas diri tokoh-tokoh tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita, sehingga peristiwa tersebut mampu menjalin suatu cerita yang padu disebut tokoh (Maryaeni, 1992:39). Inti sebuah naskah drama terletak pada hadirnya keinginan seorang tokoh dan ia berjuang keras untuk mencapainya. Hidup bagi tokoh itu akan terasa tidak bermakna jika tujuan atau cita-cita yang ingin dicapainya itu kandas di perjalanan. Berbagai cara dia lakukan untuk memperoleh keinginan atau tujuan hidupnya (Ghazali, 2001:10). Dengan demikian berdasarkan beberapa pengertian diatas, untuk menganalisis tokoh dan hadirnya pola motivasional tokoh dapat dilakukan melalui pemahaman dialog dan tingkah laku atau perbuatan tokoh yang hadir dalam drama. 2.1.2.2 Situasi/Latar Jika situasi adalah dasar dari gerak kehidupan, begitu pula dalam drama. Setiap lakon adalah (11) rentetan situasi, dimulai dari situasi yang berubah dan berkembang selama action terlaksana. Bahannya bersumber pada kehidupan, sedangkan drama adalah penggarapan bahan tersebut (Dietrich, 1953:25). Latar adalah lingkungan tempat untuk mengekspresikan diri tokoh, dan tempat terjadinya peristiwa. Latar dapat berfungsi sebagai metominia atau metafora yaitu sebagai ekspresi dari tokoh-tokoh yang ada (Wellek & Warren, 1990:291). Menurut Aminuddin (1986:136) fungsi latar adalah: (1) fungsi fisikal, memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya sehingga sebuah cerita menjadi logis, (2) fungsi psikologis, sebagai keadaan batin para tokoh atau menjadi metafor dari keadaan emosional dan spiritual tokoh, bila

later tersebut mampu menuansakan makna tertentu. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan macamnya latar dibagi atas latar fisik dan latas sosial. Sedang secara fungsional latar dapat dibedakan menjadi latar fisik dan latar psikologis. 2.1.2.3 Tema/Topik Topik atau tema adalah ide pokok dari lakon atau drama. Tema mungkin adalah maksud dan keinginan pengarang, mungkin sebuah kisah nyata yang benar-benar terjadi, atau bisa jadi imajinasi pengarang berdasarkan latar belakang dan pengalaman hidupnya (Dietrich, 1953:25). Dalam drama istilah tema sering disebut dengan istilah premise, yang berperan sebagai landasan pengembangan pola bangun cerita (Harymawan, 1988:24). Tema merupakan pokok pikiran atau sesuatu yang melandasi suatu karya sastra diciptakan. Tema merupakan sesuatu yang paling hakiki dalam setiap karya sastra meskipun tidak meninggalkan dan mengesampingkan unsur lainnya (Maryaeni, 1992:32). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penulis mengembangkan ceritanya didasari oleh pemahaman sebuah tema. Namun sebaliknya seorang pembaca untuk memahami sebuah tema harus lebih dulu memahami unsur-unsur signifikan naskah yang menjadi media pemapar tema. (12) 2.2 Konflik 2.2.1 Pengertian Konflik Pertentangan yang menjadi esensi drama disebut dengan istilah konflik (Mark, 1985:41). Konflik adalah dasar drama berupa pertentangan yang dialami tokoh sebagai respon atas timbulnya kekuatan-kekuatan dramatis (konflik bisa berupa pertengkaran antartokoh, pertengkaran tokoh dengan dirinya sendiri, dengan ide atau dengan lingkungan) (Dietrich, 1953:78). Ferdinand Brunetieve di akhir abad ke-19 menyebutkan bahwa drama harus mewujudkan pernyataan kekuatan manusia yang saling beroposisi. Secara teknis disebut kisah dari protagonis yang menginginkan sesuatu dan antagonis yang menentang dipenuhinya keinginan tersebut. Pertentangan itu mengakibatkan apa yang disebut dramatic action (Dietrich, 1953:7). Konflik merupakan esensi drama. Dengan demikian, drama pada dasarnya merupakan pencerminan kehidupan di masyarakat yang berisi tentang pertentangan-pertentangan baik fisik maupun psikis. Pertentangan-pertentangan tersebut saling membentur sehingga membentuk rangkaian peristiwa yang menjadi padu dalam lakon tersebut. Pengarang menciptakan bermacam-macam konflik bagi tokoh ceritanya, sebab dengan konflik itu pulahlah cerita digerakkan. Konflik dapat menggerakkan cerita menuju komplikasi, dan semakin banyak dan rumit konflik disediakan oleh pengarang, tentu semakin tinggi pula ketegangan yang dihasilkan (Ghazali, 2001:13). Dengan dimulainya suatu konflik, mulai pulalah lakon tersebut (Maryaeni, 1992:46). Drama yang baik biasanya konfliknya selalu terkait dengan tema dan alur, maksudnya adalah temanya selalu terjalin di dalam alur yang kuat, dan alurnya selalu dapat menarik perhatian karena tersusun dari jalinan konflik-konflik yang matang dan terarah serta tersebar secara merata dalam setiap bagian-bagian alur tersebut (Mark, 1985:83). Pengertian konflik juga meliputi pula pertentangan-pertentangan antara unsur-unsur lain yang turut membangun alur, konflik adalah bagian alur yang mengungkapkan pertentangan antara tokoh dan unsur-unsur (Siregar, 1985:32). Dengan demikian yang dimaksud konflik dalam naskah drama, adalah satu komplikasi yang (13) bergerak pada satu klimaks atau bagian alur yang menggambarkan pertentangan-pertentangan

yang dialami tokoh, maupun pertentangan-pertentangan yang terjadi di luar tokoh yang dimaksudkan sebagai penggambaran yang diberikan oleh pengarang agar pembaca mendugaduga perkembangan cerita selanjutnya. 2.2.2 Kedudukan dan Fungsi Konflik Konflik bagi drama merupakan bagian yang amat penting. Hal dasar yang harus ada dalam drama, konflik berfungsi sebagai penyebab munculnya situasi dramatik yang menggerakkan cerita. Situasi satu dengan situasi berikutnya merupakan cerita yang berkaitan, berhenti sebentar untuk pengenalan pelaku, intermeso, persiapan situasi berikutnya, demikian seterusnya, hingga terbentuk sebuah alur utama yang tidak terputus (Mark, 1985:43). Konflik diwujudkan dengan action. Drama memerlukan action terbuka karena penonton dapat menerima makna berdasarkan action yang didengar dan dilihat. Apabila terjadi pertentangan dan perjuangan batin, harus diperlihatkan dengan action (Dietrich, 1953:8). Konflik juga berfungsi sebagai penyampai tema. Ada hubungan langsung antara tema dan alur dalam drama. Alur yang digariskan haruslah menjabarkan tema. Alur terbentuk dari rangkaian situasi dramatik yang terjadi karena adanya konflik. Situasi-situasi tersebut selanjutnya akan membentuk konflik-konflik yang lebih besar. Konflik-konflik yang lebih besar itulah yang disebut tema (Mark, 1985:43). Dari beberapa penjelasan tersebut jelaslah bahwa konflik di dalam drama berkedudukan sebagai unsur dasar cerita serta berfungsi antara lain sebagai unsur yang memiliki peranan utama dalam menghidupkan peristiwa-peristiwa yang membentuk alur, serta secara umum berfungsi pula sebagai penyampai tema. (14) 2.2.3 Motif Sebagai Dasar Konflik Konflik yang berasal dari tingkah laku tokoh di dalam drama pada mulanya didorong oleh motifmotif tertentu. Motif adalah jumlah total kekuatan dinamis yang menyebabkan respon manusia. Motif adalah dasar dari action, yang penting dari action sendiri adalah alasan untuk ber-action. Penonton harus memahami mengapa? sebuah alasan atau motivasi dibalik action (Dietrich, 1953:10). Menurut Gallaway (1953:106) dengan menganalisis adegan berarti menganalisis tokoh dan motif tiap tokoh dalam adegan, karena aktor harus bergerak sesuai dengan motif. Motif bisa muncul dari beberapa sebab: dorongan dasar manusia (dorongan untuk direspon, dorongan untuk diakui, dorongan untuk berpetualang, dorongan untuk mendapatkan keamaan), situasi fisik dan situasi sosial, interaksi sosial, dan karakter kompleks (kesehatan badan, intelektual, emosional, ekspresif, budaya). Pembahasan yang mendalam mengenai motif yang mendasari tingkah laku tokoh sebenarnya berhubungan erat dengan kajian ilmu psikologi. Karena membicarakan motif yang mendorong munculnya tingkah laku tokoh berhubungan erat dengan pembahasan keadaan jiwa atau psikologi tokoh. Dengan menyadari hal itu dalam penelitian ini, pembahasan motif sebagai dasar konflik pada bagian ini lebih ditujukan untuk mengetahui sumber-sumber serta penggolongan motif yang berlaku dalam drama, daripada pembahasan keadaan kejiwaan atau psikologi. 2.3 Unit Motivasional 2.3.1 Pengertian Unit Motivasional Unit motivasional didefinisikan sebagai bagian terkecil integral yang melengkapi adegan dalam

lakon/drama, yang mana pola motivasional tetap tak berubah. Biasanya dasar komponen adegan seperti karakter, suasana, dan tema tak berubah pada satu unit (Dietrich, 1953:71). Gallaway (1953:104) mendefinisikan adegan sebagai unit dinamis artinya urutan rangkaian pokok sebuah sasaran tertentu terhadap karakter tertentu. Secara terstruktur, setiap adegan adalah (15) unit action atas sasaran tokoh. Menurut Gallaway menentukan motif bisa mengantarkan permainan dari ketegangan demi ketegangan menuju krisis utama dan klimaks. Dengan mengkarakterisasi tokoh, adegan bisa dibagi dalam unit-unit. Setiap unit mengejar objektif (sasaran) tertentu. Salah satu pembeda antara drama dengan karya sastra prosa dan puisi adalah teknik analisis unit motivasional dalam drama. Petunjuk mengenai teknik dan maksud penulis naskah dapat selalu ditemukan dengan menganalisis unit motivasional. Apa yang menggerakkan konflik, bagaimana konflik bergerak dan berkembang, dan apa efek-efek dari konflik bergantung pada jenis dan fungsi setiap unit motivasional 2.3.2 Sifat Khas Unit Motivasional 2.3.2.1 Pergantian Tokoh Biasanya penambahan atau pengurangan satu tokoh dalam adegan drama akan mengubah pola motivasional termasuk didalamnya unit. Perubahan hadirnya atau keluarnya tokoh biasanya diiringi dengan perubahan mood dan dimulainya unit yang lain (Dietrich, 1953:75). Contoh hadirnya tokoh yang merubah unit dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya terdapat pada perubahan dari unit 28 ke unit 29 (babak III, adegan II) sebagai berikut: Babak III, Adegan II, Unit 28: Waktu lewat. Masih tetap Cokro. Cokro sedang mendengarkan radio. Ada siaran dagelan dagelan ini benarbenar lucu dan jelas kedengaran Cokro tertawa terbahak-bahak mendengarkannya. Ia duduk mencangkung lututnya di lantai sambil memegang sapu, kebut dan alat pelnya. Ketawanya lepas meledak-ledak. (16) Kemudian kedengaran suara memanggil-manggil dari luar pagar. Babak III, Adegan II, Unit 29: 267 268 SUAMI ISTRI : : (berseru) Krooooo! Cokrooooooooooo!!!!! (berseru) Krooooooo! Cokrooooooooooo!!!!! Mereka berseru berganti-ganti. Cokro masih asik mendengarkan. Waktu seruan itu bertambah keras disertai dengan pukulan pada pagar, Cokro baru mendengarnya. Cepat-cepat ia mematikan radio membereskan segala sesuatu dan lari ke depan sambil membawa sapu. 269 COKRO : Yaaaaaaa!!!!! Bangsat! Paparan dialog diatas menunjukkan suasana yang santai ketika Cokro tertawa mendengarkan dagelan dari radio (unit 28), suasana tersebut berubah ketika hadir suara tokoh Suami dan Istri (unit 29). Disini hadirnya tokoh diiringi oleh perubahan pola motivasional yang membuat terbentuknya unit baru.

2.3.2.2 Pergantian Suasana (Mood) Sangat jelas bahwa perubahan situasi dan pergantian ruang dan waktu, akan merubah keadaan baru dengan pola kekuatan motivasional. Misalnya suara telepon mengganggu adegan, pesan dan merubah makna, mood, tema dalam action. Dalam kasus seperti itu, unit motivasional akan terbentuk meskipun karakter dalam adegan tidak bertambah atau berkurang (Dietrich, 1953:75). pergantian suasana yang merubah unit dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya terdapat pada perubahan dari unit 21 ke unit 22 (babak I, adegan II) sebagai berikut: (17) Babak I, Adegan II, Unit 21: TAMU I : Kami gembira, dapat datang ke mari mengabarkan. SUAMI : O, kami juga gembira penguburannya sudah dengan sebaik-baiknya TAMU II : Hari itu Minggu, Chairul adalah orang yang sangat kami butuhkan Ya, ya! SUAMI : Kami baru beberapa bulan bekerja sama, tapi rasanya sudah lama sekali, karena ada kecocokan. TAMU I : Ya, ya. TAMU II : Memang. SUAMI : Ia selalu menutupi kehidupan pribadinya, bahkan sampai pondokannya tidak kami ketahui, setelah semalam suntuk mencari baru ketemu. Babak I, Adegan II, Unit 22: TAMU I : Anehnya lagi, beberapa hari setelah dia meninggal, seseorang perempuan yang tinggal di rumah sebelahnya mati menggantung diri. TAMU II : Saya kira baiknya dijelaskan kepada bapak ini bagaimana keadaannya pada saatsaat terakhir, soal perempuan itu. TAMU I : Ya, tapi kau ingat, maaf (18) SUAMI : Silahkan! (kedua tamu berbicara satu sama lain, agak rahasia) Paparan dialog diatas menunjukkan suasana yang santai ketika Suami Istri bercakap-cakap dengan Tamu yang baru datang (unit 21), suasana tersebut tiba-tiba berubah agak tegang ketika Tamu hendak bercerita tentang perempuan gantung diri (unit 22). Disini perubahan suasana diiringi oleh perubahan pola motivasional yang membuat terbentuknya unit baru. 2.3.2.3 Pergantian Topik Pergantian tema/topik, kadang segala pola motivasional bisa berubah dengan pengenalan topik baru dalam percakapan. Misalnya dalam beberapa karakter yang dicurigai ada pembunuh sedang bicara ramah tamah tak berketentuan, tiba-tiba salah satu karakter membicarakan tentang pembunuh, maka tema akan berakhir dan satu unit telah dimulai. Yang harus diperhatikan adalah unit motivasional baru tidak selalu dimulai dengan pergantian topik pembicaraan. Topik baru harus bisa merubah kekuatan motivasional (Dietrich, 1953:76). Contoh pergantian topik yang merubah unit dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya terdapat pada perubahan dari unit 29 ke unit 31 (babak I, adegan II) sebagai berikut: Babak I, Adegan II, Unit 29: TAMU : Kami semua merasa kehilangan. SUAMI : O ya, memang.

TAMU : Bakatnya besar sekali, semua orang kagum karena dia tetap diam-diam dan rendah hati. (19) SUAMI : Ya, saya maklum. TAMU II : Kami sedang merencanakan memberikan sesuatu yang khusus buatnya, karena ia kelihatan serius . SUAMI : Ya. Saya kira itu tepat untuk dia. TAMU I : Kami akan mencoba. SUAMI : O, itu baik sekali. TAMU II : Banyak pikiran-pikirannya yang cemerlang. SUAMI : O, ya? Babak I, Adegan II, Unit 30: TAMU : Apakah kawan-kawannya ada di sini? Babak I, Adegan II, Unit 31: SUAMI : Begini saudara. Kami sudah menganggapnya anak sendiri. Dia memang cerdas dan berbakat. Bapak sampai heran dalam umurnya yang sekian dahulu waktu masih di sini ia sudah terlalu serius. Kadang-kadang bapak khawatir melihat anak-anak yang terlalu serius kurang menghiraukan dia sendiri. (20) Paparan dialog diatas menunjukkan Suami tidak bisa bicara banyak ketika bercakap-cakap dengan Tamu I & Tamu II karena Suami menutupi kalau dirinya sebenarnya tidak kenal Chairul Umam (unit 29), pola motivasional tersebut berubah ketika Tamu II bertanya apakah kawankawan Chairul Umam ada di rumah indekosan milik Suami (unit 30), setelah unit tersebut Suami terpaksa mengarang cerita seolah-olah dirinya kenal dekat dengan Chairul Umam (unit 31). Disini perubahan topik diiringi oleh perubahan pola motivasional yang membuat terbentuknya unit baru. Pembagian unit motivasional tersebut selaras dengan pembagian bahan-bahan penulisan naskah drama yang telah disebutkan sebelumnya yaitu tokoh, situasi (mood), dan tema/topik. Tiga bahan ini menentukan dalam pergantian setiap unit dinamis dalam adegan. Perubahan pola motivasional keseluruhan di tiap unit adalah kesatuan interaksi antara tokoh, situasi dan tema yang memberikan petunjuk pada sutradara. Karena unit motivasional adalah unit struktural penulis naskah, sutradara harus mengetahui maksud penulis dengan menelusuri urutan unit. Sutradara harus sanggup memperkenalkan unit motivasional yang bisa menentukan hubungan antara tiap-tiap unit dengan permainan secara keseluruhan. 2.3.3 Jenis-jenis Unit Motivasional 2.3.3.1 Unit Cerita Unit cerita, jenis yang sangat umum pada unit bercerita adalah penjelasan sebagai pengantar yang biasanya ditemukan pada bagian awal permainan. Tujuan dari unit jenis ini adalah untuk memberikan informasi menarik sebagai pengantar action, tempat, waktu, dan hubungan antartokoh. Biasanya unit cerita juga bisa mempercepat plot, yang bisa ditemukan dalam permainan (Dietrich, 1953:77). Contoh unit cerita dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya terdapat pada babak I,

adegan I, unit 16 dan unit 17 sebagai berikut: (21) Babak I, Adegan I, Unit 16: SUAMI : Aneh, belum juga. ISTRI : Biar. Datang terima. Tidak, ya, barangkali ditemukan keluarganya yang betul. SUAMI : Kapan surat ini? ISTRI : Dua hari. SUAMI : Kalau begitu mereka pasti. ISTRI : Pasti? SUAMI : Ya! ISTRI : Datang ya kita terima. Babak I, Adegan I, Unit 17: SUAMI : Soalnya kalau tidak pasti, pekerjaan kita? ISTRI : Pekerjaan apa? SUAMI : ensio? Harus ngambil ension? ISTRI : Pekerjaanku? SUAMI : Kau apa? ISTRI : Kamar-kamar? Bulan ini anak-anak balik, lupa? (22) Paparan dialog diatas adalah jenis unit cerita yang menceritakan tentang Suami Istri sedang menunggu tokoh Tamu yang sudah disebutkan kedatangannya dalam surat yang mereka terima (unit 16), unit selanjutnya menceritakan tentang Suami seorang pensiunan dan Istri yang hidup dari uang indekosan (unit 17). 2.3.3.2 Unit Tokoh Meskipun seringkali karakterisasi terhadap tokoh/karakter sudah dihadirkan di hampir setiap awal adegan, namun terdapat unit yang menekankan terutama pada pembangunan dan penguatan tokoh/karakter (Dietrich, 1953:77). Contoh unit tokoh dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya terdapat pada babak III, adegan II, unit 26 sebagai berikut: Babak III, Adegan II, Unit 26: (Cokro yang tak pernah kelihatan itu sekarang membawa serbet, kebut, sapu dan sebagainya alatalat untuk membersihkan. Ia melemparkan itu ke tengah ruangan satu persatu. Kemudian ia muncul. Cokro seorang perempuan yang tua juga. Menderita tapi keras kepala. Tubuhnya masih gesit karena setiap hari bekerja berat. Ia memperhatikan batu marmar dan peti mati itu dengan mengejek tubuhnya di peti itu sehingga tak kelihatan. Hanya suaranya saja). Tak peduli sakit. Kerja-kerja ini kurang beres, itu kurang begitu. Maunya orang lain supaya mati. Hhhhh! Lebih baik mati daripada begini. Aku mau pulang saja kalau begini. Biar tahu rasa dia. Siapa kuat ngurus orang cerewet begitu! Aku (tak jelas) COKRO : (ia ngelap peti mati). Hhhh! Hhhh! Dibersihkan tiap hari barangnya, rumahnya, masih saja kurang. Ngomel-ngomel saban hari. Bertengkar dari pagi buta sampai ke tempat tidur, tidak habis-habisnya, sampai lecet kuping ini dengar. Hhhh! Aneh-aneh saja gagasannya. Sekarang mau begini, besok begini, sebentar lagi begini, sudah ini (23)

begini, ini itu, ini itu. Anu-anu-anu-anu-kurang anu kurang anu. Terlalu anu. Semua serba salah. Hhhh! Lecet, lecet kuping ini dengar. Aneh-aneh saja gagasannya. Orang normal mana ada punya peti mati di rumah. Belum mati sudah bikin kuburan. Semua tetangga cekakak-cekikik dengar. Untungnya Ibrahim dapat duit borongan, langsung menikahkan cucunya. Anaknya atau cucunya. Hhhh! Untungnya Tobing. Sudah mencari duit sekarang bakal dapat rumah. Aku dapat apa yang jujur bodo diperas tiap hari. Tanah kuburan saja tidak mau dibelikan. Apalagi mau dikasih peti mati, rumah Sawahnya dulu-dulu sudah dijual takut aku nagih janji! Hhhh! (ia membuka tutup peti mati dan masuk kedalamnya membersihkan) diladeni baik-baik, dihormati, masih saja ini-itu ini-itu. Anu-anu-anu. Semuanya salah. Semuanya dia yang benar! Sudah tua bangka, masih saja kenes. Dua-duanya. Yang laki baikan sedikit! Hhhhhhh! (ia merebahkan tubuhnya di peti itu sehingga tak kelihatan. Hanya suaranya saja). Tak peduli sakit. Kerja-kerja ini kurang beres, itu kurang begitu. Maunya orang lain supaya mati. Hhhhh! Lebih baik mati daripada begini. Aku mau pulang saja kalau begini. Biar tahu rasa dia. Siapa kuat ngurus orang cerewet begitu! Aku (tak jelas) (Cokro menangis di peti mati itu. Sambil bicara tak jelas) Paparan monolog diatas adalah jenis unit tokoh yang menggambarkan tentang tokoh Cokro seorang perempuan tua, tubuhnya masih gesit karena setiap hari bekerja berat membantu Suami Istri dan menderita karena perlakuan mereka. Cokro memiliki sifat yang keras kepala seperti tampak ketika dia berbicara dengan dirinya sendiri. (24) 2.3.3.3 Unit Konflik Unit konflik, unit konflik tidak selalu berupa pertentangan atau pertempuran fisik antartokoh, unit konflik bisa berupa pertempuran seseorang dengan dirinya sendiri, dengan ide, atau dengan lingkungannya (Dietrich, 1953:76). Contoh unit konflik (eksternal) dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya terdapat pada babak III, adegan III, unit 40 sebagai berikut: Babak III, Adegan III, Unit 40: SUAMI : Apa? ISTRI : Apa! SUAMI : Laki Cokro? Hmm! ISTRI : Laki Cokro? Hm! Ya! SUAMI : Hhhh! Sejak kapan kau curiga! ISTRI : Sejak kapan kau curiga! SUAMI : Hhhh! Suami Cokro! Cccchhh! (meludah) ISTRI : Hhhh! Suami Cokro Ccch! SUAMI : Cokro! ISTRI: Cokro! SUAMI : Kalau aku laki Cokro kuberi dia sawah bukan peti besi kosong! (25) ISTRI : Kalau laki Cokro kuberi dia sawah bukan peti besi kosong! SUAMI : Peti besi kosong, kau sudah cemburu! ISTRI : Aku tidak cemburu!

SUAMI : Apa? ISTRI : Apa! SUAMI : Kepala batu! Paparan dialog diatas menunjukkan bentuk konflik yang dialami Suami Istri berupa pertengkaran antartokoh disebabkan karena istri cemburu pada Cokro. Contoh unit konflik (internal) dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya terdapat pada babak I, adegan IV, unit 76 sebagai berikut: Babak I, Adegan IV, Unit 76: ISTRI : Semalam kupikir pak, berat tanggungannya kalau kita uang itu. Kita tidak tahu siapa Chairul Umam. Bagaimana kalau belakangan diketahui keluarganya yang benar? Buruh uang, tapi SUAMI : Ya, ya. Aku juga begitu. Itu sebab kupikir dikembalikan. Tapi rela tidak? ISTRI : Yaaah. Menjaga nama baik kita. SUAMI : (berpikir) Yahhh! ISTRI : (mengeluarkan dari lepitan bajunya segenggam uang dan meletakkan di atas meja) Ini semua simpanan kita, sudah kuhitung tadi, cukup. (26) SUAMI : (memperhatikan uang itu) Sudah kau niatkan semalam? ISTRI : (mengalihkan pembicaraan dari uang itu, tak menjawab). (keduanya berpikir) Paparan dialog diatas menunjukkan bentuk konflik yang dialami Suami Istri tidak berupa pertengkaran namun konflik batin tokoh ketika memutuskan mengambil uang tabungan mereka untuk mengganti uang Chairul Umam yang ternyata kurang. 2.3.3.4 Unit Mood Seringkali unit motivasional tidak jelas tujuannya dalam pembentukan suasana dan peristiwaperistiwa yang menyentuh gejala emosi penonton. Unit mood atau efek emosional tidak melukiskan karakter, bercerita, atau menaikkan konflik, penulis memasukkan unit ini untuk menaikkan efek dramatik saja (Dietrich, 1953:78). Contoh unit yang menaikkan mood dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya terdapat pada babak I, adegan IV, unit 76 sebagai berikut: Babak I, Adegan IV, Unit 76: SUAMI : ni kok ada surat belum dibuka? Kepada yang terhormat saudara. Dari, dari siapa ini, aku tak kenal orang ini. (membuka). Kalau saudara tak meneruskan surat ini, seorang sahabat yang dicintai akan meninggal karena kecelakaan, akan ada bencana hebat di Jawa Timur, Presiden akan terbunuh ini orang gila! (27) Paparan dialog diatas menjadi unit yang sangat kuat untuk menaikkan ketegangan, di tengahtengah kebingungan Suami Istri ketika membongkar surat-surat mencari petunjuk mengenai Chairul Umam. Contoh unit yang menurunkan mood dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya terdapat pada babak I, adegan III, unit 61 sebagai berikut: Babak I, Adegan III, Unit 61:

ISTRI : Siapa yang mendongeng sampai keluar telek mata, seperti ketoprak . Siapa yang mengaku kenal Chairul, anakkah, orang baikkah, pintar otaknyakah, berbakatkah, selalu berbicara sopanlah, sampai-sampai ha-ha-ha (ketawa terbahak-bahak) SUAMI : (ikut geli mengingat tingkah lakunya di depan tamu) habis-habis kukira kau benarbenar kenal dia .. ISTRI : Sampai-sampai, radio transistor hadiah lotre kampung itu, dikatakan hadiah. Sampai menangis ha-haha! (ketawa cekakakan) SUAMI : Habis diam saja. Tak tahu cerita apa ha-ha-ha (ikut tertawa cekakan) Paparan dialog diatas menjadi unit yang menurunkan ketegangan setelah Suami Istri bertengkar masalah mengembalikan uang Chairul Umam yang mereka terima dari tamu. Pembagian jenis unit tersebut sangat bergantung pada struktur permainan, seringkali ditemui satu unit motivasional yang menyediakan lebih dari satu tujuan. Meskipun unit motivasional berdiri sendiri, unit juga dipengaruhi oleh unit yang hadir sebelumnya atau sesudahnya, sutradara harus mengkaji hubungan antarunit. Menafsirkan satu unit ias mempengaruhi makna keseluruhan permainan, jika sejak awal unit motivasional ditafsirkan dengan cara yang jelas, hasil dari tafsiran ini akan mempengaruhi permainan secara keseluruhan. (28) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Drama sebagai karya sastra adalah suatu karya yang terjalin bersama unsur-unsurnya. Unsurunsur tersebut saling menjalin dan saling mengait secara bersama-sama membentuk totalitas drama secara utuh. Salah satu unsur drama di dalamnya adalah alur, alur merupakan urutan konflik yang terjalin dari rangkaian peristiwa dan kemudian tersusun sebuah alur. Dalam penelitian ini pendekatan yang dimaksud adalah suatu cara yang digunakan untuk memahami dan menangkap drama sebagai karya sastra. Pedekatan yang digunakan adalah pendekatan yang bersifat intertekstual karena dalam penelitian ini objek yang digunakan berupa naskah drama. Pendekatan intertekstual dalam penelitian ini digunakan untuk memahami naskah drama yang memperlihatkan sejauh mana seorang pengarang mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi bentuk kepada suatu tujuan atau visi tertentu (Luxemburg, 1989:60). Naskah drama sebagai karya sastra di dalam penelitian ini dipandang sebagai dunia otonom yang mendapatkan perannya dalam jaringan perhubungan antara penulis naskah (teks) dan pembaca, serta faktor-faktor relevan yang mengikat hubungan tersebut. Sebagai sebuah dunia otonom, naskah drama merupakan sebuah sistem yang terbangun atas jalinan unsur-unsurnya. Secara internal unsur-unsur itu saling mengikat, berjalan saling menunjang keberadaan masing-masing serta secara bersama-sama unsur-unsur tersebut membentuk totalitas naskah drama secara utuh. Dengan demikian pembahasan tentang konflik dalam naskah drama yang pembahasannya difokuskan pada setiap konflik yang membentuk alur naskah drama juga tidak dapat dilepaskan dari pemahaman terhadap totalitas unsur pembangunnya, karena konflik merupakan bagian integral dari keseluruhan naskah, maka konflik harus dipahami melalui unit-unit motivasional yang mendasarinya. (29) 3.2 Metode Penelitian

Metode adalah cara yang digunakan untuk memahami sebuah objek sebagai bahan ilmu yang bersangkutan. Metode penelitian merupakan cara utama yang digunakan peneliti untuk mencapai tujuan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan. Menurut Nasir (1988:51) metode penelitian membantu peneliti tentang urut-urutan bagaimana penelitian dilakukan. Penggunaan metode dalam penelitian ini bertolak dengan pendekatan yang telah dijelaskan sebelumnya. Drama sebagai karya sastra pada prinsipnya bertujuan untuk dipentaskan, naskah drama yang kemudian akan diadaptasi oleh seorang sutradara dan menjadi karya pentas dalam sebuah panggung di hadapan penonton. Dalam drama tersebut akan terlihat permainan para aktor atau tokoh yang melakukan adegan dramatik. Peneliti akan meneliti unit motivasional yang terdapat dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya untuk mengetahui bobot suatu naskah bila ditinjau dari konfliknya. Untuk itu penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan rancangan penelitian deskriptif yaitu suatu cara yang digunakan untuk meneliti kajian terhadap karya sastra yang hasilnya berupa deskripsi atau paparan. Metode kualitatif dalam penelitian ini adalah metode yang digunakan untuk menentukan unit motivasional dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya. Unit motivasional tersebut termuat dalam paparan bahasa yang berupa dialog-dialog yang memuat pesan, ucapan, pikiran tokoh, respon terhadap tokoh, konflik, tema, suasana, mood (gejala emosional). 3.3 Data dan Sumber Data 3.3.1 Data Data dapat diartikan sebagai bahan mentah yang didapatkan peneliti dari penelitiannya, bisa berupa fakta maupun keterangan yang dapat digunakan sebagai dasar analisis. Data dapat berfungsi sebagai bukti dan petunjuk tentang adanya sesuatu. Dalam penelitian ini data yang (30) digunakan adalah berupa dialog-dialog sebagai unit motivasional pada setiap satuan peristiwa dalam adegan dan masing-masing babak dalam naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya. Contoh data dalam penelitian Konflik dalam Naskah Drama Dag Dig Dug Karya Putu Wijaya adalah sebagai berikut: Babak I, Adegan I, Unit 1: SUAMI : Siapa? ISTRI: Lupa lagi? SUAMI : Tadi malam hapal. Siapa? ISTRI: Ingat-ingat dulu! SUAMI : Lupa, bagaimana ingat? ISTRI: Coba, coba! Nanti diberi tahu lupa lagi. Jangan biasakan otak manja. SUAMI : Chai chai chairul ka, ka ah sedikit lagi (berusaha mengingat-ingat) (tak sabar) Kairul Umam! ISTRI: Ah? Kairul umam? Ka? Bukan Cha? Kok lain? SUAMI : Kairul Umam! Kairul Umam! Kairul Umam! Ingat baik-baik! ISTRI: Semalam lain SUAMI : Kok ngotot! ISTRI: Semalam enak diucapkan, cha, cha begitu. Sekarang kok, Ka, Ka siapa? SUAMI : KAIRUL UMAM! ISTRI: Kok Kairul, Cha! SUAMI : Chairul Umam!

ISTRI: Semalam rasanya. Jangan-jangan keliru. Coba lihat surat lagi. (31) SUAMI : Kok ngotot. Ni lihat (menyerahkan surat) 3.3.2 Sumber Data Sumber data adalah sesuatu yang menjadi sumber untuk memperoleh sebuah data. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber data berupa naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya pada bagian-bagian khusus yang memuat unit-unit konflik dan unit-unit pendukung konflik. 3.4 Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul dan pengolah data secara penuh. Instrumen lain berupa tabel unit-unit motivasional dan grafik tensi permainan berfungsi sebagai instrumen pendukung yang digunakan peneliti untuk menafsirkan dan menggali konflik. Peneliti sebagai instrumen mengadakan perencanaan, pelaksana pengumpulan data, analisis, dan penafsiran data (Moleong, 1989:131). Peran peneliti sebagai human instrument (manusia sebagai instrumen) maksudnya peneliti mengadakan pengamatan secara mendalam dengan objek penelitian yaitu naskah drama. 3.5 Teknik Penentuan Data Drama sebagai karya sastra memiliki kekuatan di dalam unsur dramatiknya yang terdapat dalam paparan dialog berupa konflik-konfliknya yang muncul dalam naskah drama. Dalam pementasan, dialog-dialog tersebut akan diucapkan oleh para aktor berupa lakuan yang selanjutnya akan membentuk satu kesatuan peristiwa yang terjalin menjadi cerita yang utuh. (32) Dalam penelitian ini teknik penentuan data yang digunakan adalah berupa teknik observasi atau pengamatan, dalam rangka mengumpulkan data dalam suatu penelitian, dan merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan atau studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan atau fenomena dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan menilai. Dalam melakukan pengamatan, peneliti mengamati gejala-gejala dramatik dalam kategori yang tepat, peneliti mengamati berkali-kali dan mencatat segera dengan memakai alat bantu berupa tabel dan grafik. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini lebih difokuskan kepada teknik observasi deskriptif. Teknik observasi deskriptif adalah teknik yang digunakan oleh peneliti dalam pemahaman naskah yang kemudian menentukan pokok atau inti masalah berupa dialog dalam setiap unit motivasional yang memuat pesan, ucapan, pikiran tokoh, respon terhadap tokoh, konflik, tema, suasana, mood (gejala emosional). Cara memperoleh informasi melalui teknik observasi dapat digunakan dengan cara sebagai berikut: 1) membaca berulang-ulang naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya, 2) memberi tanda dalam setiap pergantian adegan, 3) memberi nomor pada setiap dialog, 4) memberi tanda yang menunjukkan setiap pergantian unit motivasional pada dialog-dialog dalam naskah, 5) mengidentifikasi unsur-unsur pada setiap unit yaitu: tokoh, jenis unit, action, fungsi unit, konflik, mood, perubahan unit 6) semua data dimasukkan dalam tabel yang sudah disiapkan sesuai dengan klasifikasinya, 7) mencari hubungan antarunit motivasional secara keseluruhan dan menandai nomor dialognya dalam tabel.

3.6 Teknik Analisis Data Berdasarkan paparan sebelumnya analisis data yang digunakan adalah analisis unit motivasional. Analisis unit motivasional adalah teknik yang digunakan peneliti untuk membagi sebuah naskah menjadi unit-unit terkecil berdasarkan pergantian tokoh, pergantian suasana, dan pergantian topik/tema untuk mengetahui gejala dramatik yang terdapat dalam naskah drama tersebut. Tidak semua unit memuat konflik yang sama sehingga setiap unit berbeda karena unsur (33) penggeraknya berbeda dan kedudukannya pun berbeda. Analisis unit motivasional dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian, menggunakan format tabel sebagai berikut: Satuan Peristiwa No. Unit No. Dialog Tokoh Action Perubahan Unit Jenis Unit Fungsi Unit Mood Konflik 3.7 Prosedur penelitian Untuk mempermudah dalam penelitian, maka peneliti membagi cara kerja menjadi tiga tahap yaitu: a. Tahap Persiapan Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi: 1. memilih masalah dan judul penelitian, 2. konsultasi masalah dan judul penelitian, 3. studi pustaka. b. Tahap Perencanaan (34) Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi: 1. mengumpulkan data berdasarkan pembagian jenis data, 2. mengolah dan menganalisis data, 3. menyeleksi dan memasukkan data yang terkumpul dalam tabel, 4. menafsirkan dan mendeskripsikan data berdasarkan kerangka teori, 5. menarik kesimpulan. c. Tahap Penyelesaian Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi: 1. menyusun konsep laporan, 2. merevisi konsep laporan, 3. menggandakan laporan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Imran (Ed.). 1985. Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh. Jakarta:Pusat Pengembangan Bahasa Dekdipbud Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: YA3 bekerjasama dengan CV. Sinar Baru Bandung Atmaja, Jiwa. 1993. Novel Eksperimental Putu Wijaya. Bandung: Angkasa Dietrich, E. John. 1953. Play Direction. Amerika: Englewood Cliff NJ. Gallaway, Marian. 1953. The Director in the Theatre. Englewood Cliff NJ.

Ghazali, A. Syukur. 2001. Mempersiapkan Pementasan Drama: Analisis Naskah Drama. Malang: Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Negeri Malang, Fakultas Sastra Harymawan, RMA. 1998. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda Kresna, Sigit B. (Ed.). 2001. Mengenal Lebih Dekat: Putu Wijaya Sang Teroris Mental dan Pertanggungjawaban Proses Kreatifnya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Luxemburg, Van J. 1985. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Mark, Milton. 1985. The Enjoyment of Drama, Terjemaham Abd. Syukur G. Malang: Pelaksana Kegiatan Penulisan Buku/Diktat Kuliah Sub Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Proyek Peningkatan/Pengembangan perguruan Tinggi IKIP Malang Maryaeni, 1992. Teori Drama. Malang: Proyek OPF IKIP Malang Moleong, Lexy J. Dr. M.A. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Semi, M. Atar, Prof. Drs., 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung Sitorus, Eka D.. 2002. The Art of Acting; Seni Peran untuk Teater, Film & TV. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Tambajong, Japi. 1981. Dasar-dasar Dramaturgi. Bandung: CV Pustaka Prima Universitas Negeri Malang. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi,Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian, Edisi Keempat. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. (36) Waluyo, Herman J. Prof. Dr. 2003. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia Wellek, Waren. 1990. Teori Sastra. Bandung: Angkasa Wijaya, Putu. 1994. Dag Dig Dug (Sandiwara Tiga Babak). Jakarta: Balai Pustaka Wijaya, Putu. 1999. Bor (Esai-esai Budaya). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Wijaya, Putu. 1999. Uap. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Wijaya, Putu. 2004. Bali. Jakarta: Penerbit Buku Kompas (37)

You might also like