You are on page 1of 14

LAPORAN INDIVIDU BIOLOGI LAUT

Hasil Observasi di Pantai Sigandu Batang


Dosen Pengampu : Fitriani Ulfatus Saadah, M.Pd. Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Biologi Laut

Di susun oleh: FERDINAND RANO PAMUNGKAS 08320160 Kelas 7D

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM IKIP PGRI SEMARANG 2012

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Biologi laut adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan biota laut dari ukuran yang paling kecil (mikroskopis) hingga ke ukuran yang paling besar. Dimana setelah mempelajari ilmu ini diharapkan mahasiswa dapat memahami aspek-aspek biologis dan ekologis perairan laut sebagai sumber daya alam yang perlu di jaga kelestariannya agar keseimbangan ekosistem yang ada didalamnya dapat terjaga dengan baik dan dapat dinikmati oleh anak atau cucu kita kelak. Di akhir perkuliahan ini setiap mahasiswa diberi penugasan untuk mengamati suatu pantai yang akan dijadikan sebagai tempat observasi biologi laut dimana hasil akhirnya yaitu berupa laporan individu yang membahas seluruh aspek atau komponen-komponen yang terdapat pada pantai yang telah dijadikan observasi. Untuk itu observer akan memilih Pantai Sigandu yang akan dijadikan sebagai tempat observasi dimana menurut observer pantai ini jarang sekali untuk di jadikan penelitian atau sekedar observasi. 2. Rumusan Masalah Bagaimana kondisi pantai Sigandu saat ini dan komponen-komponen apa sajakah yang terdapat pada pantai Sigandu, meliputi organisme yang hidup di sekitar pantai (hewan dan tumbuhan), zona pantai dan tipe pantai? 3. Tujuan 1. Untuk mengtahui tipe pantai yang ada di ekosistem pantai sigandu 2. Untuk mengetahui kondisi ekosistem pantai sigandu
3. Untuk mengetahui organisme hewan yang ada di ekosistem pantai sigandu

4. Untuk mengetahui tipe hutan mangrove di pantai sigandu

4. Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Observasi

1. Hari 2. Tanggal 3. Pukul


4. Lokasi

: Kamis : 22 Desember 2011 : 15.00 WIB : Pantai Sigandu, Desa Klidang Lor, Kecamatan Batang Jawa Tengah

BAB II PEMBAHASAN Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat di daerah pesisir laut atau bagian daratan yang terdekat dengan laut. Perbatasan daratan dengan laut seolah-olah membentuk suatu garis yang disebut garis pantai. Panjang garis pantai ini diukur mengeliling seluruh pantai yang merupakan daerah teritorial suatu Negara. Keadaan dan bentuk pantai berbeda pada setiap tempat, dan berikut beberapa jenis pantai yang sering dijumpai antara lain: 1) Pantai landai yaitu pantai yang bentuknya hampir rata dengan permukaan laut. Laut di pantai landai biasanya sangat dangkal. Pantai Sigandu termasuk jenis pantai landai yang akan observer amati dijumpai di pantai sebelah timur Pulau Sumatra, pantai sebelah utara Pulau Jawa, dan Pantai Selatan Kalimantan.
2) Pantai curam atau pantai terjal

yaitu pantai yang bentuknya curam menghadap ke laut oleh karena pegunungan yang membentang sepanjang pantai sehingga lereng yang curam langsung berbatasan dengan laut. Pada pantai ini sering terdapatgua-gua pantai akibat pukulan ombak yang berlangsung setiap saat. Pantai curam banyak ditemukan di pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa dan pantai-pantai lainnya yang lautnya berbatasan dengan daerah pegunungan. 3) Pantai karang Merupakan pantai yang mana di sepanjangnya ditemukan banyak pulau-pulau karang, misalnya di pantai timur laut Benua Australia.
4) Pantai mangrove (pantai bakau)

Merupakan suatu pantai yang ditutupi olehhutan bakau, banyak terdapat di daerah tropis dan banyak lumpur,serta sering tergenang air terutama ketika pasang naik. Pantai Sigandu adalah sebuah kawasan pantai yang terletak di pesisir Pantai Utara Jawa, tepatnya pantai ini terletak di Kabupaten Batang, sebuah Kabupaten yang notabene hampir sebagaian besar daerahnya tercakup dalam area jalur Pantura, yang terkenal dengan alas robannya. Pantai ini berjarak kurang lebih 4 km dari pusat Kota Batang dengan waktu tempuh kurang lebih 10 menit apabila ditempuh dengan berkendaraan motor baik roda dua ataupun

empat. Lebih tepatnya pantai ini masuk ke dalam daerah kelurahan Klidang Lor Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah. Pantai ini merupakan salah satu asset andalan Kabupaten Batang, selain kawasan kebun teh Pagilaran yang berhawa dingin dengan suasana pegunungannya yang asri dan hamparan kebun teh sejauh mata memandang, layaknya daerah puncak Bogor. Dalam pengembangan kawasan Pantai Sigandu ini haruslah dibarengi dengan pelestarian kawasan pantai di sekitarnya. Dimana sejauh mata memandang saat memasuki kawasan pantai Sigandu memang akan kita dapati pohon bakau (mangrove). Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau. Tanaman dikotil adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Pohon mangga adalah contoh pohon dikotil dan contoh tanaman monokotil adalah pohon kelapa. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin. Ekosistem pantai ditandai dengan berkembangnya tipe hutan bakau (mangrove) sehingga ekosistem pantai dapat juga disebut ekosistem hutan bakau, khususnya di daerah tropis. Hutan bakau adalah sejenis hutan tropika yang khas tumbuh dan berkembang di kawasan pinggir pantai dan muara-muara sungai. Pohon-pohonnya mempunyai akar-akar tunjang untuk bernafas. Akarnya melengkung dan mencuat ke atas sehingga tidak selamanya terendam air. Lingkungan fisik tempat tumbuhnya hutan bakau meliputi daerah pasang surut sampai airnya asin dan tanahnya berlumpur. Hutan bakau dapat hidup dengan subur kalau wilayah pesisir tersebut memenuhi syarat-syarat seperti berikut: Terlindungi dari gempuran ombak dan arus pasang surut yang kuat. Daerahnya landai atau datar. Memiliki muara sungai yang besar dan delta. Aliran sungai banyak mengandung lumpur. Temperatur antara 20- 40 C. Kadar garam air laut antara 10 - 30 per mil Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang

kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus. Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan gambar dan klasifikasi tumbuhan Rhizophora sp (mangrove): Kingdom Super Divisi Divisi Kelas Sub Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae (Tumbuhan) : Spermatophyta (Menghasilkan biji) : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) : Rosidae : Myrtales : Rhizophoraceae : Rhizophora : Rhizophora mangle L. Rhizophora sp Sub kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Di pantai Sigandu tidak hanya ditumbuhi oleh satu jenis mangrove (Rhizophora mangle L) saja namun juga didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba yang memang sengaja ditanam, dan oleh sebab itulah pantai Sigandu memiliki hutan mangrove yang bertipe asosiasi.

Gambar Tipe asosiasi mangrove di pantai Sigandu Kondisi pantai Sigandu antara lain yaitu gerakan ombak yang tidak begitu besar karena tidak ditumbuhi oleh terumbu karang. Dimana gelombang ini bertipe spilling breaker/ gelombang tumpah. Pantai Sigandu ini memiliki tipe substrat berpasir hitam, substratnya memiliki partikel yang kurang rapat karena digunakan untuk organisme yang dapat hidup didalam pasir. Intensitas cahayanya sangatlah kurang karena dapat dilihat bahwa warna airnya keruh sehingga intensitas cahaya yang masuk adalah sedikit dan tidak mampu sampai kedasar. Pantai tipe ini umumnya berada didekat muara sungai, dimana pasir berwarna hitam

berasal dari gunung berapi yang terbawa aliran sungai, biota penyusun ekosistem ini tidak sevariatif pantai pasir putih. Pantai tipe ini umumnya tidak terdapat algae dan lamun karena subtratnya tidak cocok untuk melekat dan tumbuh. Selain itu pantai Sigandu juga memiliki formasi press-capres. Vegetasi pantai yang sedang mengalami proses peninggian. Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan pasir adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang sudah bercampur dengan tanaman rumput. Tumbuhan Ipomoea pes caprae tahan terhadap hempasan gelombang dan angin dimana tumbuhan ini menjalar disepanjang pantai Sigandu dan memiliki karakteristik daun yang tebal. Untuk lebih jelasnya berikut merupakan gambar formasi press-capres dengan tumbuhannya yaitu Ipomoea pes capraei.

Gambar 1.1. Pantai sigandu betipe press-caprae Pada umumnya pantai berpasir lebih banyak dikenal oleh manusia dibanding dengan jenis pantai yang lain. Hal ini dikarenakan pantai berpasir memiliki manfaat yang sangat banyak dibanding dengan pantai jenis yang lainnya. Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai berpasir termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang halus. Sama halnya pada pantai berbatu, pada pantai berpasir juga dibagi dalam beberapa zonasi, yaitu: 1. Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang purnama. Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah ini berbatasan langsung dengan daerah yang kering dan sering terekspose. 2. Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut. Zona ini merupakan daerah yang paling banyak mengalami fluktusi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem salah satunya ekosistem padang lamun.

3. Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang surut purnama. Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini fliktuasi pasang surut sangat sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga bias ditemukan ekosistem terumbu karang. Menurut Nybakken (1992) zonasi yang terbentuk pada pantai berpasir sangat dipengaruhi oleh faktor fisik perairan. Hal ini nampak dari hempasan gelombang dimana jika kecil maka ukuran partikelnya juga kecil, tetapi sebaliknya jika hempasan gelombang besar maka partikelnya juga akan besar. Pada pantai berpasir hempasan gelombangnya kecil menyebabkan butiran partikelnya kecil. Pada daerah interstitial pantai berpasir, kita mengenal beberapa macam hewan, salah satunya adalah meiofauna. Istilah interstisial secara umum adalah ruang di antara partikel sedimen. Meiofauna adalah organisme yang hidup secara interstisial, meiofauna dapat pula diartikan sebagai kelompok metazoa kecil yang berada di antara mikrofauna dan makrofauna. Meiofauna adalah kelompok hewan berukuran antara 631000 m atau hewan-hewan multiseluler yang lolos pada saringan 0.0631 mm dan merupakan organisme yang melimpah pada komunitas dasar yang bersubstrat lunak atau pada sedimen laut mulai dari zona litoral atas sampai pada zona abisal. Istilah endobentik digunakan bagi meiofauna yang berpindah dalam sedimen. Meiofauna yang hidup dan berpindah dalam ruang interstisial disebut mesobentik, sedangkan meiofauna yang hidup pada batas antara sedimen dan air (sedimentwater interface) disebut epibentik. Berdasarkan pada karakteristik hidupnya, meiofauna dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu 1. Meiofauna yang bersifat permanen Meiofauna permanen adalah meiofauna sejati yang berukuran kecil sampai dewasa menghabiskan seluruh masa hidupnya di dalam ruangan antarbutiran sedimen atau sepanjang siklus hidupnya bersifat meiobentos, contohnya Nematoda, Gastrotricha, Tardigrada, Copepoda, Mystacocarida, Ciliophora, Archiannelida, Ostracoda, Rotifera, Kinorhyncha, dan Halacarida, beberapa kelompok Turbellaria, Oligochaeta, beberapa Polychaeta.

2. Meiofauna yang bersifat temporer Meiofauna temporer atau sementara merupakan larva makrofauna dan juvenil organisme yang baru saja menetap, contohnya Bryozoa, Hydrozoa, Gastropoda, Nemertina, Brachiopoda, Amphipoda, Aplacophora, Holothuroidea, dan Tunicata. Berdasarkan pada tipe habitatnya, meiofauna dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu 1. Meiofauna yang hidup pada substrat kasar (pasir) Contoh meiofauna yang hidup di pasir adalah Copepoda, Ostracoda, Gastrotricha, Turbellaria, Oligochaeta, Tardigrada dan Archiannelida 2. Meiofauna yang hidup pada substrat lunak (lumpur) Contoh meiofauna yang hidup di lumpur adalah Nematoda, Copepoda, Foraminifera, Ostracoda dan Annelida 3. Meiofauna yang hidup di lapisan sedimen yang miskin oksigen dan/atau tanpa oksigen Cotoh meiofauna ini adalah Nematoda, Turbellaria, Ciliata, Rotifera, Gastrotricha, Gnathostomulida dan Zooflagellata Kebanyakan organisme yang hidup pada pantai berpasir di daerah intertidal lebih banyak mengubur diri saat air sedang surut. Hal ini dikarenakan daerah tersebut sangat terbuka dari sinar matahari yang menyebabkan kekeringan. Berdasarkan morfologi dan cara makannya, meiofauna dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu 1. Meiofauna pemakan deposit yang selektif (selective deposit feeders) dengan bentuk morfologi mulut yang sempit 2. Meiofauna pemakan deposit yang tidak selektif (non-selective deposit feeders) dengan bentuk morfologi mulut yang lebar 3. Meiofauna pemakan alga (herbivorous feeders) 4. Meiofauna omnivore / predator Kehidupan meiofauna sangat dipengaruhi oleh karakteristik sedimen. Berdasarkan pada hal ini, maka meiofauna dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: 1. Meiofauna penggali liang di dalam substrat lumpur. Meiofauna yang termasuk kelompok penggali liang menembus sedimen dengan memindahkan partikel dalam pergerakannya dan bentuk tubuhnya cenderung lurus memanjang (streamline) sehingga memudahkan penggalian.

2. Meiofauna penghuni ruang interstisial yang hidupnya menetap di lapisan sedimen. Umumnya, komunitas meiofauna interstisial ini cenderung lebih beragam dibandingkan dengan meiofauna penggali liang (Funch et al. 2002). Seperti hewan interstitial lainnya, meiofauna juga mengalami zonasi. Berikut zona meiofauna berdasarkan keadaan pasir 1. Zona pasir kering (dry sand zone) Yaitu zona sampai kedalaman 15 cm, temperatur pada daerah ini selalu berubah-rubah dengan kelembaban dapat kurang dari 50%, hanya terdapat sedikit nematoda dan oligochaetes hidup di zona ini. 2. Zona pasir lembab (moist sand zone) Yaitu zona yang terletak dibawah dry sand zone. Temperatur pada zona ini relatif konstan dengan kelembaban lebih dari 50%. Harpacticoid copepoda, mystacocarid, nematoda, oligochaetes dan turbelaria banyak terdapat di zona ini. 3. Zona air (water table stratum) Yaitu zona dengan kelembaban 40-70%, nematoda dan crustacea mendominasi zona ini. 4. Zona oksigen rendah (low oxygen zone) Yaitu zona dmana populasi meiofauna sangat jarang dijumpai. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya oksigen yang tersedia untuk metabolism organism. Namun bagi observer untuk mendapatkan meiofauna yang berukuran kecil bahkan hingga ukuran mikro sangatlah sukar atau susah sekali hal tersebut dikarenakan keterbatasan alat atau media dalam melakukan observasi sehingga hanya sedikit saja organisme yang dapat kami temukan yaitu kebanyakan dari Crustacea seperti undur-undur laut (Emerita sp.) dan juga Kepiting pasir (Ocypode quadrata). Kingdom Filum Subfilum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : Crustacea : Malacostraca : Decapoda : Ocypodidae : Ocypode : Ocypode quadrata Gambar : Ocypode quadrata

Kingdom Filum Subfilum Class Ordo Famili Genus Spesies

: Animalia : Arthropoda : Crustacea : Malacostraca : Decapoda : Hippidae : Emerita : Emerita talpoida Gambar : Emerita talpoida

Kedua hewan ini memiliki adaptasi tingkah laku dimana akan menggali sarangnya dengan cepat untuk menghindari gelombang air laut. Untuk perlindungan diri Ocypode quadrata memiliki 2 capit yang keras walaupun tidak besar untuk melawan musuhnya, tidak hanya itu saja pada saat terancam maka Ocypode quadrata ini akan lari dengan cepat dan akan masuk kesarang atau masuk kedalam air dan menutupi diri dengan pasir. Untuk Emerita sp memiliki mekanisme perlindungan diri berupa cangkang yang keras, hewan ini bila nyawanya terasa terancam maka akan langsung menggali pasir untuk berkamuflase atau menyembunyikan tubuhnya agar terhindar dari predator yang akan memangsanya. Pada umumnya segenap organisme laut dipengaruhi oleh sifat air laut yang ada di sekelilingnya. Keanekaragaman organisme di daerah pasang surut cukup tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman organisme yang hidup pada daerah pasang surut, terutama 1. Suhu Daerah pasang surut biasanya dipengaruhi suhu udara selama periode yang berbeda-beda, dan suhu ini mempunyai kisaran yang luas, baik secara harian maupun musiman. Kisaran ini dapat melebihi batas toleran organism laut. Jika pasang surut terjadi jika suhu udara minimum (daerah sedang, dingin, kutub) atau ketika suhu udara maksimum (tropik), batas letal dapat dipercepat dengan meningkatnya suhu (Nybakken,1992). 2. Gerakan ombak Di daerah pasang surut, gerakan ombak mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap organisne dan komunitas dibandingkan dengan daerah laut lainnya. Aktivitas ombak mempunyai kehidupan pantai yang mempunyai kehidupan pantai secara langsung. Pada meiofauna yaitu : suhu, gerakan ombak, salinitas, faktor-faktor lain (Nybakken,1992).

pantai terdiri dari pasir atau kerikil, kegiatan ombak dapat membongkar subtract di sekitar sehingga mempengaruhi bentuk zona (Nybakken,1992). 3. Salinitas Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di daerah pasang surut melalui dua cara. Pertama, karena di daerah pasang surut dan kemudian digenangi air atau aliran akibat hujan lebat, akibatnya salinitas akan turun. Kenaikan salinitas terjadi jika penguapan sangat tinggi pada siang hari (Nybakken,1992). Oleh karena itu, spesies yang hidup harus mampu bertahan pada kondisi dengan tingkat salinitas yang berubahubah.Hasil praktikum menunjukkan bahwa nematoda ditemukan hampir setiap plot sehingga meiofauna jenis ini mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap perubahan sehu dan juga salinitas. 4. Faktor-faktor lain Faktor lainnya yang berpengaruh bermacam-macam, meliputi pH, persaingan antar organisme dan pemangsaan. Persaingan terjadi karena masing-masing individu berusaha untuk mendapatkan nutrisi, sehingga mempengaruhi pola penyebaran individu, demikian pula pemangsaan oleh organisme lain berpengaruh terhadap penyebaran organisme di daerah pasang surut. Daerah pasang surut biasanya dipengaruhi suhu udara selama periode yang berbeda-beda, dan suhu ini mempunyai kisaran yang luas, baik secara harian maupun musiman. Kisaran ini dapat melebihi batas toleran organisme laut. Jika suhu udara minimum (daerah sedang, dingin, kutub) atau ketika suhu udara maksimum (tropik), batas letal dapat dipercepat dengan meningkatnya suhu (Nybakken,1992)

BAB III

KESIMPULAN Dari hasil pengamatan lapangan yang dilakukan oleh observer di pantai Sigandu, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pantai Sigandu memiliki hutan mangrove yang bertipe asosiasi, hal ini dikarenakan

mangrove yang tumbuh di daerah tersebut tidak hanya 1 jenis saja melainkan beberapa jenis tanaman mangrove lainnya, selain itu di pantai Sigandu juga terdapat tanaman lainnya yang biasa kita jumpai didarat dan semua tumbuhan tersebut tercampur menjadi satu hingga terbentuk hutan mangrove yang bertipe asosiasi.
2. Pantai Sigandu ini memiliki tipe substrat berpasir hitam, substratnya memiliki partikel

yang kurang rapat karena digunakan untuk organisme yang dapat hidup didalam pasir. Intensitas cahayanya sangatlah kurang karena dapat dilihat bahwa warna airnya keruh sehingga intensitas cahaya yang masuk adalah sedikit dan tidak mampu sampai kedasar. Pantai tipe ini umumnya tidak terdapat algae dan lamun karena subtratnya tidak cocok untuk melekat dan tumbuh.
3. Pantai Sigandu memiliki formasi press-capres. Vegetasi pantai yang sedang mengalami

proses peninggian. Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan pasir adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang sudah bercampur dengan tanaman rumput. Tumbuhan Ipomoea pes caprae tahan terhadap hempasan gelombang dan angin dimana tumbuhan ini menjalar disepanjang pantai Sigandu serta memiliki karakteristik daun yang tebal.
4. Organisme hewan yang terdapat di pantai Sigandu kebanyakan adalah meiofauna.

Meiofauna adalah organisme yang masa hidupnya di dalam ruangan antar butiran sedimen atau sepanjang siklus hidupnya bersifat meiobentos. Salah satu dari organisme meiofauna adalah dari subfillum Crustacea yaitu Ocypode quadrata (kepiting pasir) dan Emerita talpoida (undur-undur laut)

DAFTAR PUSTAKA

Funch, P. dan R. M. Kristensen. (2002). Coda: The micrognathoz a new class or phylum of fresh water meiofauna?. Freshwater meiofauna: Biology and ecology, 337 348. Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT.Gramedia: Jakarta. http://www.scribd.com/doc/53406445/Tugas-Individu-Ibu-Kuko/meiofauna (Diakses tanggal 20 Januari 2012 pukul 22.17 WIB)

You might also like