You are on page 1of 2

KAJORAN, KARANGGAYAM, DESA POTENSIAL YANG TERLANTAR DI KABUPATEN KEBUMEN By: Masteguh*)1 Kita mengenal kata tumbal biasanya

berkaitan dengan kegiatan mengorbankan sesuatu atau seseorang untuk mencapai target yang diinginkan tanpa memberikan imbal balik yang memadai. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kita akan melihat betapa sebuah desa dijadikan pelengkap untuk komoditas politik, dan setelah itu diterlantarkan begitu saja. Desa Kajoran, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen boleh jadi merupakan sebuah contoh dari kenyataan semacam itu. Sebetulnya Desa Kajoran sangatlah potensial. Desa yang dikelilingi oleh alam perbukitan menjadikannya destinasi wisata yang menarik. Jika naik perbukitan, akan terhampar panorama wilayah Roma, sebutan daerah Kebumen pada zaman Belanda yang saat itu membagi wilayah Kebumen menjadi dua, yakni Urut Sewu dan Roma. Demikian indahnya panorama itu, sehingga tidak kalah dengan pemandangan yang terlihat dari Gunung Lawu ke arah kota Surakarta. Bila Anda pergi ke Kajoran terus mendaki Gunung Condong, yang merupakan dinding timur pembatas alami dengan desa Penusupan, Anda akan disuguhi panorama nan elok rancak jelita semacam itu. Dan apabila Anda melanjutkan pergi ke Gunung Butak, nama pucuk bukit yang merupakan dinding selatan desa Kajoran, Anda tidak hanya disuguhi panorama indah, tetapi juga jeritan satwa monyet yang berloncatan dari dahan ke dahan menyambut Anda demi mempersembahkan kenangan yang tak terlupakan. Tidak hanya pemandangan indah dan monyet saja, geliat masyarakatnya juga patut mendapatkan acungan jempol. Generasi angkatan kelahiran tahun 1980an di desa Kajoran menunjukkan potensi SDM yang cukup progresif di bidang pertanian dan usaha mikro. Mereka sudah berubah dari sekedar self-sustained farmer ke arah pertanian agribisnis skala mikro. Dengan menggunakan motor, mereka menjual hasil pertanian ke Karanganyar, sebuah pasar yang berada di pinggir jalan utama Yogya-Purwokerto. Pulangnya mereka membawa barang-barang dagangan dari pasar untuk dijual di warungwarung setempat. Termasuk membeli kethek (bacanya seperti kata seret) , makanan kuliner khas Karanganyar yang terbuat dari residu minyak goreng yang difermentasi sehingga baunya seperti terasi dan biasanya dimakan dengan getuk untuk sarapan pagi. Dengan mobilitas yang tinggi itulah desa Kajoran menjadi hidup dan menghidupi masyarakatnya dari hari ke hari. Akan tetapi, potensi alam dan sumberdaya masyarakat tidak diimbangi oleh perhatian pemerintah di bidang pembangunan jalan. Sewaktu penulis di sana, sarana jalan yang ada di desa Kajoran sangatlah memprihatinkan bila dibandingkan dengan potensi desa yang ada. Jalannya berantakan seperti sungai kering. Garapannya asal-asalan, Mas. Nanti dibangun, sebulan juga sudah bubar lagi aspalnya, komentar salah seorang penduduk di sana.

Masteguh adalah orang baik yang sangat mendukung pemerintah yang peduli pada pembangunan desa terpencil.

Alasannya klasik, jalan menuju dua desa Kajoran dan Karangtengah dianggap jalan buntu. Padahal tidaklah demikian, apabila diteruskan ke Watulawang di sebelah timur dan Kradenan di selatan, maka Kajoran dapat bergandengan dengan desa-desa sekitarnya untuk membangun sebuah jaringan wilayah yang mampu berkembang pesat dalam rangka meningkatkan kemakmuran desa di kawasan tersebut. Permintaannya sederhana, jalan yang sepanjang hanya dua kilometer setengah itu, yang menghubungkan Kajoran dengan ibukota kecamatannya , Karanggayam, sebaiknya dibangun dengan cor beton sehingga tidak dibangun lantas bubar lagi hanya dalam waktu sebulan. . Mohon pemerintah menyisakan dan menyisihkan perhatiannya untuk desa Kajoran yang potensial itu. Prasarana jalan yang baik, yang disediakan pemerintah tentunya tiak akan sia-sia. Karena, dengan sarana jalan yang baik, semakin sering putraputra daerah yang merantau di kota-kota besar dan negeri jiran , akan pulang kampung dan akan semakin banyak devisa yang akan diperoleh dari mereka . Semoga tulisan ini bisa dibaca dan bermakna.

You might also like