You are on page 1of 27

DI SUSUN OLEH : KELOMPOK : 5 ( LIMA ) ANGGOTA : 1. 2. 3. 4.

ANITA DIAN ANGGRAINI DOVIANDA ROBIAH

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIK BINA HUSADA PALEMBANG 2012

KATA PENGHANTAR

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh Alhamdulillah, segala puji kehadirat Allah SWT, pencipta alam semesta, tidak lupa selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw.,karena atas rahmat dan karunia Allah makalah ini dapat kami selesaikan. Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen, teman teman dan semua yang telah berpartisipasi dalam pembuatan Asuhan Keperawatan ini. Sehingga ASKEP yang berjudul BELLS PALSY diselesaikan dengan lancar. Demikianlah Asuhan keperawatan ini kami susun. Dengan harapan asuhan keperawatan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Kami menyadari bahwa askep ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, semua krtik dan saran senantiasa kami harapkan untuk kesempurnaan agar menjadi lebih baik, jelas dan lebih sempurna. Kepada Allah SWT.,kami mohon rahmat dan hidayah-Nya. Semoga usaha yang dilakukan ini dalam keridaan-Nya selalu. Wassalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Palembang , Mei 2011

Penyusun ( Kelompok Lima )

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN a. Latar belakang ................................................................................... b. Rumusan masalah .............................................................................. c. Tujuan ................................................................................................ Bab II TINJAUAN TEORI a. Definisi .............................................................................................. b. Epidemiologi ..................................................................................... c. Etiologi .............................................................................................. d. Anatomi bells palsy .......................................................................... e. Patofisiologi ....................................................................................... f. Patoflow............................................................................................. g. Gejala klinik ...................................................................................... h. Pemeriksaan penunjang ..................................................................... i. j. Diagnosis ........................................................................................... Pencegahan ....................................................................................... 4 4 5 6 7 9 9 11 11 13 14 15 1 2 3

k. Pengobatan ........................................................................................ l. Penatalaksanaan .................................................................................

BAB III TINJAUAN KASUS a. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan ................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi saat ini, diharapkan dapat menuwujudkan pembangunan kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi penduduk agar terwujud kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya pelayanan kesehatan masyarkat semula hanya berupa penyembuhan saja, secara berangsurangsur berkembang sehingga mencakup upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif), yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan peran serta masyarakat (Paradigma Sehat, 2000). Menyikapi tentang hal ini pemerintah membuat program yang bertujuan meningkatkan pelayanan prima guna menyongsong Indonesia Sehat 2010. Untuk menindak lanjuti hal tersebut, perlu adanya perhatian yang serius mengenai empat aspek dalam meningkatkan kesehatan yaitu : promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Keempat aspek tersebut merupakan tanggung jawab dan tugas dari para pelayan kesehatan yang salah satunya keperawatan. 1. LATAR BELAKANG Bells palsy merupakan lesi pada nervus VII (n.fasialis) perifer, yang mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat akut, dimana penyebabnya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik) (Thamrinsyam,1991). Bells palsy sering terjadi dibandingkan dengan kelumpuhan saraf kranialis yang lain. Kelumpuhan ini ditandai dengan mulut tertarik pada salah satu sisi. Penderita tidak dapat mengangkat alis atau mengkerutkan dahi. Pada saat menutup mata, mengangkat sudut mulut, menggembungkan pipi, bersiul dan mencibirkan bibir akan terjadi deviasi kearah yang sehat. Sehingga menimbulkan kelainan bentuk-bentuk wajah yang menyebabkan penderita sangat terganggu baik fungsional, kosmetik maupun psikologis (Widowati, 1993). Keadaan ini tidak memiliki penyebab yang jelas, tapi dapat disebabkan oleh karena kedinginan pada muka, infeksi telinga tengah, tumor pada intrakranial, fraktur pada os temporal, meningitis, hemorhage, penyakit-penyakit infeksi dan gangguan lainnya yang jarang dijumpai. Bells palsy biasa terjadi pada segala usia, sering dijumpai pada usia 20 50 tahun, dan angka kejadian meningkat dengan

bertambahnya usia setelah 60 tahun. Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral dan dapat berulang. Angka kejadian Bells palsy 20 25 per 100.000 populasi. Lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki, terutama pada wanita hamil dan penderita diabetes (Widowati,1993). Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Serta participation restriction yang berupa kurang percaya diri. Untuk dapat menyelesaikan berbagai macam problematik yang muncul pada kondisi Bells palsy. Usaha yang dilakukan untuk penyembuhan Bells Palsy selain oleh dokter dengan pemberian medikamentosa, dapat pula ditambah dengan pemberian terapi oleh Fisioterapis. Fisioterapis memiliki peran dalam memperbaiki bentuk wajah yang mengalami kelemahan dengan meningkatkan kemampuan kontraksi otot wajah, mencegah atropi dan kontraktur pada otot wajah sehingga aktifitas fungsional pasien dapat kembali normal.

2.

RUMUSAN MASALAH a. Apa pengertian dari Bells Palsy ? b. menjelaskan Epideminologi dari Bells Palsy ? c. menjelaskan Etiologi dari Bells Palsy ? d. jelaskan Antaomi dari Bells Palsy ? e. menperjelaskan patofisiologi dari Bells Palsy ? f. sebutkan Gejala klinik dari Bells Palsy ? g. menyebutkan dari Pemeriksaan penunjang Bells Palsy ? h. diagnosis dari Bells Palsy ? i. j. memperjelaskan pengobatan dari Bells palsy ? penatalaksanaan dari Bells Palsy ?

3. TUJUAN a. mengetahui pengertian dari Bells Palsy b. mengetahui tentang Epideminologi dari Bells Palsy c. mengerti tentang bahasan Etiologi dari Bells Palsy d. dapat mengetahui anatomi dari Bells Palsy e. untuk mengetahui patofisiologi dari Bells Palsy f. mempelajari gejala klinis dari Bells Palsy g. mempelajari pemeriksaan penunjang dari Bells Palsy h. mengertahui diagnosis dari Bells Palsy i. j. mengerti tentang pengobatan dari Bells Palsy mempelajari penatalaksanaan dari Bells Palsy

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 DEFINISI Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Paralisis fasial idiopatik atau Bells palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain dari Bells palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes simpleks atau paralisis fasial herpetik. Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bells palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi

pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat

2.3 ETIOLOGI

Diperkirakan, penyebab Bells palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus Bells palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bells palsy. Dulu, masuk angin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bells palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bells palsy. Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien Bells palsy. Murakami at.all melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bells palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Varicella Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bells palsy tetapi ditemukan pada penderita Ramsay Hunt syndrome.

2.4 ANATOMI BELLS PALSY

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : a) Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah. b) Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis. c) Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah. d) Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar

lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani. Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior. Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).

2.5 PATOFISIOLOGI

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan

peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelopontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.

PATOFLOW

2.6 GEJALA KLINIK

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin. Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila

berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi. Lesi di luar foramen stilomastoideusMulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius) Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina. Lesi di daerah meatus akustikus interna Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), (4), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus. Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bells palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi salah jurusan menuju ke glandula lakrimalis.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Fisis Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua pertiga di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas normal.

Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells palsy.

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

2.8 DIAGNOSIS

Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bells palsy lesinya bersifat LMN.  Komplikasi

Kira-ki ra 30% pasien Bells palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik. Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea  Prognosis Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki prognosis yang baik.Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bells palsy, 85% memperlihatkan tandatanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Sepertiga dari penderita Bells palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.4 Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah: (1) Usia di atas 60 tahun (2) Paralisis komplit (3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh, (4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan (5) Berkurangnya air mata.

Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain. Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan,

maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial. Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis

2.9 PENCEGAHAN Seperti disarankan oleh Dokter Syaraf agar Bells Palsy tidak mengenai Anda, cara-cara yang bisa ditempuh adalah: 1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah. 2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langitlangit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas. 3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf. 4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah/masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan Anda menderita Bells Palsy. 5. Setelah berolah raga berat, JANGAN LANGSUNG mandi atau mencuci wajah dengan air dingin. 6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup. Takut dibilang orang aneh? Pertimbangkan dengan biaya yang Anda keluarkan untuk pengobatan. Sebagai catatan:

1. Wanita hamil berpotensi 3X lebih mudah terkena Bells Palsy daripada wanita yang tidak hamil. 2. Penderita diabetes, perokok, dan pengguna obat-obatan sejenis steroid berpotensi 4X lebih mudah terserang Bells Palsy daripada orang lain. 3. Rata-rata 40.000 orang Amerika setiap tahun menderita Bells Palsy. Terakhir, ini adalah catatan beberapa orang terkenal yang pernah menderita Bells Palsy. Beberapa di antaranya sembuh total, namun tidak sedikit yang tidak sembuh sehingga hingga kini, wajah mereka masih tampak mencong akibat penyakit itu. Pengobatan yang disarankan dokter adalah fisiotherapy, di mana wajah penderita akan dikompres dengan lampu sinar dan diberi kejutan listrik di sekitar wajah. Namun Anda bisa juga menggunakan alternatif pengobatan lain, seperti akupuntur. Jangan mencampur pengobatan fisioterapi dan akupuntur di waktu bersamaan. 2.9.1 PENGOBATAN

Melindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata metilselulosa, memijat otototot yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot di bagian bawah wajah merupakan kondisi yang dapat dikelola secara umum Belum ada bukti yang mendukung bahwa tindakan pembedahan efektif terhadap nervus fasialis, bahkan kemungkinan besar dapat membahayakan. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison.

Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.

2.9.2 PENATALAKSANAAN Kortikosteroid. Prednison, dimulai dengan 60mg/hari, diturunkan dosisnya (tappering) dalam 10 hari. Antivirus. Asiklovir 400mg lima kali sehari selama 7 hari atau valasiklovir 1 g/hari selama 7 hari. Tetapi, terapi ini tidak berguna jika diberikan setelah onset penyakit lebih dari 4 har

BAB III TINJAUAN KASUS

3.1 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN a. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian keperawatan klien dengan Bellls palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.
 Anamnesis

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
 Riwayat penyakit saat ini

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.
 Riwayat penyakti dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian obatobatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

 Pengkajian psiko-sosio-spiritual Pengkajian psikologis klien Bells palsy meliputi beberapa penilaian yang

memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kogniti dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres. Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu. b. Pemeriksaan fisik Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bells palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.


B1 (breathing) Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak

batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam

batas normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi napas tambahan.


B2 (Blood) Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan

irama yang normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.


B3 (Brain) Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan

pengkajian pada sistem lainnya. Tingkat kesadaran Pada Bells palsy biasanya kesadaran klien compos mentis. Fungsi serebri Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien Bells palsy biasanya statul mental klien mengalami perubahan.
 Pemeriksaan saraf kranial 1) Saraf I

: biasanya pada klien bells palsy tidak ada kelainan dan fungsi

penciuman tidak ada kelainan.


2) Saraf II

: tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal

3) Saraf III, IV, VI : penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit

(lagoftalmos).
4) Saraf V

: kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada

sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.


5) Saraf VII

: berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema

nervus fasialis ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
6) Saraf VIII 7) Saraf IX & X

: tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi : paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan

menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.

8) Saraf XI

: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

Kemampuan mobilisasi leher baik.


9) Saraf XII

: lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada

fasikulasi. Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam. Sistem motorik Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bells palsy tidak ada kelainan.
 Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal. Gerakan involunter Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis. Sistem sensorik Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan.


B4 (Blader) Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume

haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.


B5 (bowel) Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.

Pemenuhan nutrisi pada klien bells palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.


B6 (Bone)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
c. Penatalaksaan medis

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang tejadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien. Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semain berat, mengurangi nyeri dan membantu mencegah atau meminimalkan denervasi. Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampai ke otot tersebut. Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah. Pendidikan klien, Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna dan refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena karatitis yang disebabkan oleh kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Potongan mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini juga disebabkan beberapa kerusakan dalam memperthankan mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yang dapat digunbakan pada mata pada saat tidur dapat diletakkan diatas mata agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap menutup selama tidur.

Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitf, wajah dapat di masase beberapa kali sehari untuk mempertahankaan tonus otot.tekhnikj untuk masae wajah adalah dengan gerakan lembut keatas. Latihan wajah seperti mengherutkan dahi, mengembungkan pipi keluar, dan bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atropi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.
d. Diagnosa keperawatan

Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yang tidak edekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
e. Intervensi dan rasional

1.gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah. Data penunjang ; - Ds: merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi lain -Do: dahi di kerutkan,lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Tujuan : konsep diri klein meningkat kriteria hasil : klien mampu menggunakan koping yang positif Intervensi : Kaji dan jelaskan kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya. Rasional : intervensi awal bisa mencegah disstres psikologi pada klien
i.

Bantu klien menggunakan mekanisme koping yang positif.

Rasional : mekanisme koping yang positif dapat membantu klien lebih percaya diri, lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan dan mencegah tetjadinya kecemasan tambahan.
ii.

Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan. Rasional : orientasi dapat menurunkan kecemasan.

iii.

libatkan system pendukung dalam perawatan klien Rasional : kehadiran system pendukung meningkatkan citra diri klien.

2.cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan. Tujuan : kecemasan hilang atau berkurang kriteria hasil : mengenal perasaannnya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya dan menyatakan ansietas berkurang/hilang. ntervensi : i. kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingin klien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak. Rasional : reaksi verbal/non verbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah. ii. Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat. Rasional : mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
iii.

iv.

v.

Tingkatkan control sensasi klien Rasional : kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respons balik yang positif. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kecemasannya. Rasional : dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak dieksperesikan. Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat Rasional : memberi waktu untuk mengeksperesikan perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan tewman-teman yang dipilih klien yang melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.

3.Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yasng tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan. Tujuan : dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihatkan kemampuan pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan pengobatannya. kriteria hasil : klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadap apa yang telah didiskusikan. Intervensi : i. Kaji kemampuan belajar, tingkatkan kecemasan, partisipasi, media yang sesuai untuk belajar. Rasional : indikasi progresif atau reaktivasi penyakit atau efek samping pengobatan serta untuk evaluasi lebih lanjut.
ii.

Identifikasi tanda dan gejala yang perlu dilaporkan keperawat Rasional : meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang perawatan diri untuk meminimalkan kelemahan.

iii.

Jelaskan instruksi dan informasi misalnya penjadwalan pengobatan. Rasional : meningkatkan kerja sama/ partisipasi terapeutik dan mencegah putus obat.

iv.

Kaji ulang resiko efek samping pengobatan Rasional : dapat mengurangi rasa kurang nyaman dari pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.

v.

Dorong klien mengeksperesikan ketidaktahuan/kecemasan dan beri informasi yang dibutuhkan. Rasional : memberikan kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah dan mengurangi kecemasan. f. Implementasi 1) Melakukan komunikasi verbal untuk mengingatkan bahwa pasien tidak sendiri 2) Mengkaji tingkat cemesan 3) Menberikan pengetahuan tentang penyakit g. Evaluasi Hilangnya gangguan konsep diri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2003. 2. Doengues.1999.rencana asuhan keperawatan pasien,edisi 3;EGC.jakarta

3. Muttaqin ,arif .2008.buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan system persarafan.salemba medika:jakarta 4. http://www.irwanashari.com/2009/04/bells-palsy.html.(DI AKSES TANGGAL 28 -112010) 5. http://blog.ilmukeperawatan.com/bells-palsy.html 6. http://kamikazeners.blogspot.com/2009/06/askep-bells-palsy.html 7. http://id.wikipedia.org/wiki/Bell%27s_palsy 8. http://www.doktersahabatkita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=28 6:bells-palsy--lumpuh-otot-wajah-sebelah-sisi&catid=45:penyakit-kelamin&Itemid=67

You might also like