You are on page 1of 13

ISLAM DAN FILSAFAT PERENNIAL (Telaah Pemikiran Frithjof Schoun) Oleh: Luk-Luk Nur Mufidah Abstrak

Filsafat perennial yang dikembangkan oleh Schoun ini telah memberikan kontribusi yang berharga dalam mengatasi persoalan pluralisme agama yang tak jarang melahirkan pertentangan dan perselisihan anrata pemeluk agama. Filsafat perennial telah menyingkap tabir yang selama ini menyelubungi para penganut agama untuk saling mengenal dan berdialog, dalam rangka menemukan Kebenaran Mutlak yang universal dan transenden, sehingga ditemukan "kesatuan transenden agama-agama". Kata Kunci: Islam, Filsafat Perennial

Pendahuluan Ketika kita berbicara tentang agama, persoalan yang sering muncul ialah, jika Tuhan itu Esa dan Maha Kasih pada hamba-Nya, mengapa agama sebagai warisan para rasul-Nya selalu muncul dalam wujudnya yang plural dan cenderung mengantarkan para pemeluknya terlibat dalam pertengkaran dengan dalih membela kebenaran agamanya masing-masing, demi pengabdian pada-Nya? Jika sebuah agama diyakini sebagai benar oleh pemeluknya, apakah berarti agama yang lain salah dan terkutuk di mata Tuhan? Karena pluralitas agama merupakan kenyataan yang niscaya dan merupakan fitrah allah yang perennial (Madjid: 2004, 25), maka bagaimanakah seharusnya kita menyikapi kenyataan ini? Lebih dari itu, meskipun terdapat sekian banyak teori filsafat yang berusaha menafikan agama, mengapa selalu hadir dalam sejarah manusia dari zaman ke zaman? Dewasa ini banyak tokoh agama dan intelektual berupaya mengatasi persoalan di atas dengan mengembangkan wacana pluralisme agama. Salah satu sumber faham pluralisme agama yang kini berkembang dalam wacana pemikiran keislaman adalah gagasan Frithjof Schoun tentang titik temu agama-agama. Gagasan ini berangkat dari asumsi bahwa sekalipun dogma, hukum, moral, dan umat agama berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, masih ada apa yang ia sebut 'a common ground' atau 'kalimatun sawa' istilah Nurcholis Madjid.

Kesamaan asas ini oleh Schoun disebut dengan Religio Perennis (Agama Abadi). Untuk sampai pada kesimpulan ini Schoun menempuh perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang. Pertanyaannya adalah apakah dalam agama Islam, gagasan filsafat perennial tentang keastuan transenden agama-agama itu benar-benar ada? Atau dengan kata lain dapat ditemukan dalam inti ajaran Islam? Ataukah itu hanya merupakan imajinasi para mistikus saja? Alih-alih adanya kesatuan, justru banyak terdapat pertentangan mendasar dalam agama satu dengan yang lainnya? Di bawah ini akan dipaparkan pandangan-pandangan Schoun tentang Islam dalam perspektif filsafat perennial. Perjalanan Hidup Schoun Schoun lahir di Basel pada, Swiss pada 18 Juni 1907. Ayahnya keturunan jerman, ibunya dari ras Alsatia. Waktu Schoun kecil, ia tinggal dan sekolah di Basel. Setelah ayahnya meninggal, ibunya membawa Schoun dan saudaranya kembali ke rumah keluarganya di Mulhouse, Perancis. Selanjutnya, ia menjadi penduduk dan warga negara Perancis. Pindahnya Schoun ke Mulhouse menyebabkannya sejak dini telah menguasai dua bahasa; Jerman dan Perancis. Di Mulhouse, berbagai karya klasik dari Timur seperti Upanishad, Bhagavad-Gita, dan Seribu Satu Malam sudah menarik perhatiannya. Selain itu, gagasan Plato dan Rene Guenon ikut memberi dampak yang sangat mendalam dalam pemikiran Schoun. Setelah menjalani wajib militer di tentara Perancis selama satu setengah tahun, Schoun pergi ke Paris. Di sana selain bekerja sebagai seorang desainer tekstil, ia juga mulai belajar bahasa Arab di sebuah masjid. Pada tahun 1932, ia berkunjung ke Aljazair dan Afrika Utara untuk pertama kalinya. Kunjungan tersebut membawa kesan yang mendalam kepada dirinya, sebab disana ia mulai tertarik dengan sufisme. Ia menjadi murid seorang tokoh sufi disana yaitu syaikh al-Alawi (1869-1934). Tiga tahun kemudian, ia berkunjung lagi untuk kedua kalinya ke Negara Afrika Utara itu, yakni Aljazair dan Maroko. Pada tahun 1938, ia melakukan perjalanan ke India. Dalam perjalanan itu ia singgah di Kairo, dan disana ia bertemu dengan Guenon, yang sebelumnya ia kenal melalui korespondensi. Pada tahun 1939, ketika Schoun baru tiba di India, perang Dunia II meletus. Ini menyebabkannya harus kembali ke Perancis untuk menyertai tentara Perancis. Setelah bebrapa bulan, tentara Jerman menangkap dan memenjarakannya. Ketika ia mengetahui rencana tentara Jerman untuk merekrutnya sebagai tentara Jerman karena ras ibunya adalah Alsatia, ia mencari suaka politik di Swiss, dan menetap disana selama 40 tahun. Pada tahun 1949, saat itu usianya 42 tahun, Schoun melangsungkan

perkawinannya di Lausanne. Istrinya keturunan Swiss-Jerman dan seorang pelukis. Pada tahun 1959, Schoun dan Istrinya berkunjung ke Amerika Barat atas undangan teman-temannya dari suku Indian Sioux dan Crow. Dengan ditemani suku Indian tersebut, Schoun beserta istrinya mengunjungi berbagai suku Indian lainnya sekaligus tempat dan tradisi "suci" mereka. Bukan hanya itu, Schoun dan istrinya diangkat menjadi keluarga James Red Cloud dari suku Sioux pada tahun 1959. Bebarapa tahun kemudian, Schoun dan istrinya diangkat menjadi keluarga suku Crow. Schoun melukiskan dan merefleksikan pengamatannya terhadap suku-suku Indian tersebut di dalam bukunya The Feather Sun: Plains Indian in Art and Philosophy (1990). Pada tahun 1980, Schoun dan istrinya berimigrasi ke Amerika Serikat, ia menetap di Indiana dan tetap aktif menulis sampai akhir hayatnya. Ia meninggal di Bloomington pada tahun 1998. Frithjof Schoun dikabarkan pula telah masuk Islam dan dikenal dengan nama Isa Nuruddin Ahmad al-Shadili al-Darquwi al-Alawi alMaryami. Kapan ia masuk Islam tidak banyak informasi mengenainya. Jika membaca nama barunya dapat diduga bahwa ia masuk Islam ketika ia berada di Aljazair melalui guru sufinya. Dari perjalanan hidup dan intelektualnya yang panjang itu Schoun kemudian dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka dalam filsafat perennial dan metafisika tradisional. Pemikirannya dipuji dan diikuti oleh para intelektual bertaraf internasional dan lintas agama. Dalam karyanya yang mencapai 20 lebih ia menegaskan kembali prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas. Schoun mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik semua agamaagama ortodoks. Ia mengungkap konsep Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya. Singkatnya, Schoun kemudian menjadi guru spiritual Sayyed Hossein Nasr. Nasr sangat memuji gagasan Schoun. "Karya-karya Schoun" kata Nasr, "adalah bagaikan hadiah dari langit" (The work of Schoun are like a gift from Heaven). Nasr menganggap bahwa kualitas yang ada pada karya-karya Schoun tidak terdapat pada karya orang lain dan ia adalah seorang figur yang terhebat dalam aliran filsafat perennial. (Nowhere is the combination of those qualities more clearly observable than in the works of Schoun, who is certainly the greatest figure of this school in the field of religion). Oleh karenanya, Nasr menganggap Schoun memiliki otoritas yang paling tinggi dalam metafisika tradisional dan filasafat perennial saat ini. Pujian Nasr ini diikuti juga oleh T.S. Eliot, seorang sastrawan terkemuka. Ia menulis: "Saya tidak menemukan karya lain yang lebih

mengesankan tentang kajian perbandingan agama Timur dan Barat." (I have met with no more impressive work iin the comparative study of Oriental and Occidental religions). Dengan nada yang sama Huston Smith, seorang professor di bidang perbandingan agama mengatakan bahwa dia memberi makan jiwa saya, yang tidak bisa dilakukan oleh penulis lain yang masih hidup. Dia legenda hidup, suri teladan zaman. Saya tahu tidak ada pemikir lain yang masih hidup mampu menandinginya (Armas: 2004, 11-12). Sejarah Munculnya Filsafat Perennial Istilah filsafat perennial digunakan untuk pertama kali di dunia Barat oleh Augustinus Steuchus sebagai judul karyanya De Perenni Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540. Istilah tersebut dipopulerkan oleh Leibnitz dalam sepucuk surat yang ditulis pada tahun 1715. Namun gagasan mengenai filsafat perennial (filasafat abadi) ini tenggelam dalam peradaban Barat untuk masa yang sangat lama oleh aliran filsafat keduniawian yang lebih dominan di dunia Barat (Schoun: 1996, 82), suatu filsafat yang dibangun berdasarkan pandangan hidup sekular. Karena dominasi pandangan hidup sekular itu, nilai-nilai agama yang ada pada tradisi dan agama-agama menjadi terpinggirkan atau dibongkar. Rene Descartes, bapak filsafat modern, dengan prinsip cogito ergo sumnya telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Wahyu dan Intelek dalam struktur epistemologi terpinggirkan, dan semakin terpojok oleh filasafat Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa manusia hanya mengetahui yang phenomena bukan yang noumena. Wahyu dan Intelek tidak mendapat tempat dalam struktur epistemologi Kant. Sekularisasi epistemologi semakin bergulir dengan munculnya filsafat Hegel dan Marx yang mengenggap realitas sebagai perubahan dialektis. Bahkan sekularisasi epistemologi masuk juga dalam wilayah agama, sehingga tidak ada lagi yang sebenarnya sakral, abadi, dan universal. Semua hanya bersifat manusiawi. Dari latar belakang pemikiran Barat yang sedemikian itulah maka pada awal abad 20, Coomaraswamy (w. 1947) dan Guenon (w. 1951) menawarkan gagasan alternatif dengan menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada tradisi dan agama-agama. Nilainilai tradisi ini mereka sebut filsafat abadi (philosophia perennis), yang mengandung arti sebagai suatu kebenaran kekal di pusat semua tradisi (Armas: 2004, 10). Istilah lain yang sinonim dengan philosophia perennis ini adalah Sanatana Dharma dalam agama Hindu dan al-Hikmah alKhalidah atau al-Hikmah al-Laduniyah dalam agama Islam. Guenon yang pada tahun 1912 memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Wahid Yahya berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu spiritual. Meskipun ilmu-ilmu yang lain

harus tetap dicari, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual. Menurut Guenon, substansi ilmu spiritual bersumber dari Supranatural dan Transenden. Ilmu tersebut adalah universal, tidak dibatasi oleh kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan tersebut, menurutnya, sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusi yang unik untuk memahami Realitas Akhir (Armas: 2004, 11). Gagasan ini nampaknya berpengaruh pada Schoun. Adnin Armas menilai gagasan Schoun tentang religio perennis (agama abadi) hanya mengelaborasi gagasan atau ide Coomaraswamy dan Guenon (Armas: 2004, 9). Hal ini didukung oleh suatu bukti bahwa mereka telah berkorespondensi selam 20 tahun, di samping juga dapat dibuktikan dari kesimpulannya bahwa semua agama memliki kebenaran dan bersatu pada level Kebenaran. Apa dan Bagaimana Filsafat Perennial: Menelusuri Jejak "Jalan" Dalam Kontek Agama-Agama Filsafat perennial (philosophia perennis) dalam definisi teknisnya adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada. Dalam katakata Schoun sendiri adalah, the timeless metaphysical truth underlying the diverse religions, whose written sources are the revealed Scriptures as well as the writings of the great spiritual masters. Aldous Huxley memberikan definisi yang lebih jelas bahwa filsafat perennial adalah: pertama, metafisika yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan Ilahi dalam segala sesuatu: kehidupan dan pikiran; kedua, suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu dalam jiwa manusia identik dengan kenyataan Ilahi itu; dan ketiga, etika yag meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan, yang bersifat imanen maupun transenden, mengenai seluruh keberadaban (Rahman: 2004, 110). Pengetahuan filsafat perennial ini, memang memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini, dengan realitas Yang Absolut. Dasar-dasar teoritis pengetahuan tersebut, ada dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik, yang dikenal dengan berbagai konsep. Misalnya, dalan Agama Hindu disebut Sanatana Dharma, kabajikan abadi yang terus menjadi dasar kontekstualisasi agama dalam situasi apapun, sehingga agama selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis, dalam keluhuran hidup manusia. Begitu juga dalam Taoisme diperkenalkan konsep Tao, sebagai asas kehidupan manusia yang harus diikuti kalau mau alami sebagai manusia. Tao mengajak manusia untuk hidup secara alami (suci), yang dalam Islam diistilahkan dengan fitrah. Begitu pula dalam agama Budha, diperkenalkan konsep Dharma yang merupakan jalan untuk sampai kepada The Budha-nature, atau al-Din dalam Islam,

yang berarti "ikatan" yang harus menjadi dasar beragama bagi seorang muslim. Harold melihat tentang perjumpaan yang amat penting antara Islam dengan filasafat Hindu dan Yunani dalam tiga hal: (1) bahwa baik filosof Hindu dan yunani telah mencapai kebenaran tentang satu Tuhan, sesuai dengan ajaran para nabi, (2) gagasan keagamaan universal seperti ini hanya dikenal oleh kaum elit yang "melek huruf", sedangkan massa yang "buta huruf" baik di dalam maupun di luar Islam menjadi korban kecenderungan bawaan manusia terhadap penyembahan berhala, dan (3) baik orang Yunani maupun Hindu mengenal Allah sebagai yang Esa dan mencari penyatuan rohani (ittihad) yang mengarah bukan saja ke pengetahuan ilmiah tetapi juga kepada pengetahuan akal budi yang mendalam (Kamal: 1997, 42). Al-Jili, sebagai mana para sufi lainnya, menjauh dari praktek harian agama Hindu dan mencari gagasan-gagasan metafisis Hindu yang dapat disamakan dengan doktrin persatuan Ilahi dalam Islam. Dia berusaha mendekati agama Hindu dengan menorobos kebenaran-kebenaran yang eksoterik sehingga kebenaran-kebenaran itu dapat mengungkapkan Kehadiran Allah Yang Maha Esa di balik selubung banyak patung (Kamal: 1997, 42). Nasr melihat perbedaan di antara agama sebagai ketentuan Ilahi lantaran perbedaan-perbedaan manusia (Legenhausen: 2002, 131). Selanjutnya ia mengklaim bahwa perbedaan eskatologis dari semua agama adalah "benar dalam semesta spiritual mereka sendiri (Legenhausen: 2002, 134). Dengan demikian, disebut perennial religion, maksudnya adalah ada hakikat yang sama dalam setiap agama, yang dalam istilah sufi sering diistilahkan dengan religion of the heart, meskipun terbungkus dalam wadah/jalan yang berbeda. Dengan wawsan ini, sangatlah mungkin dicapai suatu "kesatuan transenden agama-agama" atau istilah Schoun, The Transcendent Unity of Religions. Namun, kesatuan agama-agama ini hanya berada dan bisa dipahami pada level "esoteris" bukan pada level "eksoteris". Ada ilustrasi yang menarik yang diberikan oleh kaum perennialis kesatuan agama-agama ini. Jika esoterisme adalah cahaya, maka setiap agama menangkap cahaya itu dalam berbagai warna (sebagai agama-agama) dan berbagai "daya terang" ada yang terang sekali, ada yang menengah dan ada juga yang samar-samar. Maksudnya, tentu saja pada perumusan doktrin metafisiknya. Dari sudut pandang filsafat perennial, adanya aneka warna cahaya berikut "daya terang"-nya tidaklah penting, karena : Pertama, walaupun ada berbagai macam cahaya (merah, kuning, hijau, dan sebagainya), tetapi semua itu tetap dinamakan cahaya. Jadi kalau agama itu otentik, tetap ada inti (core) yang sama.

Kedua, walaupun cahaya memiliki daya terang yang beragam, tetapi semua cahaya (juga agama) akan membawa manusia pada Sumber Cahaya itu (Sumber Agama itu, yakni Tuhan), sekalipun ada yang tipis dan remang-remang. Sebab, jika ia terus menelusuri cahaya itu, ia akan tetap sampai kepada Sumbernya. "Sampai kepada Sumber" inilah yang paling penting dalam agama (Rahman: 2004, 114). Dengan cara inilah, filsafat perennial menguraikan keanekaragaman "jalan keagamaan" yang ada dalam kenyataan historis setiap agama, bisa diterima dengan lapang dada dan penuh toleransi. Pada hakikatnya, ajaran (perennial) Tuhan sebagaimana Tuhan itu sendiri hanya satu, tapi diungkap dengan banyak nama dan ajaran. "Yang Satu" ini dalam pandangan perennialis adalah "Yang Tidak Berubah," yang merupakan fitrah. Dengan cara transendental ini, dapat ditemukan adanya normanorma abadi yang hidup dalam hati setiap agama-agama besar maupun tradisi-tradisi spiritual kuno, yang oleh Schoun, seorang Genius Terbesar Metafisika Tradisional, diistilahkan dengan The Heart of Religion (jantungnya agama). The Heart of Religion inilah yang bersifat Ilahi, yang selalu disampaikan dan diajarkan oleh kalangan perennialis. Mereka beranggapan bahwa mengerti tentang hal tersebut adalah cara untuk mengerti "pesan ketuhanan" kepada manusia, sekaligus cara manusia kembali kepada Tuhannya. Menurut filsafat perennial, kesatuan transendental agama-agama hanya bisa dihayati melalui pendakian intelektual dan spiritual, yaitu pada tataran esoterik dan metahistoris. Pluralitas agama secara historis sulit dielakkan, karena agama diturunkan tidak sekaligus dalam titik waktu serta ruang yang sama, melainkan turun dalam momen-momen sejarah dari kontinum waktu dan ruang. Sebagai salah satu konsekuensinya adalah agama diterima dan dipahami oleh para pemeluknya dalam kemasan-kemasan dan simbol-simbol bahasa yang amat heterogen (Hidayat: 1998, 25). Hal ini dinyatakan pula oleh Kessler bahwa kesatuan agama-agama ada dalam dimensi esoterik. Orang yang memahami dimensi esoterik (orang yang mengenal philisophia perennis) melihat bahwa konflik-konflik dan perselisihan-perselisihan di antara berbagai tradisi dan agama hanya bersifat permukaan saja. Sebenarnya, di balik permukaan itu terdapat suatu kesatuan yang menakjubkan yang diakui oleh ajaran-ajaran mistik dari seluruh masa dan seluruh keimanan (Kessler: 1999, 555). Dimensi Perennial Dalam Islam Karya-karya Schoun telah mengisi suatu tempat khusus di kawasan penulisan yang sangat luas yang muncul semasa abad ini menyangkut metafisika dan agama, dan telah berusaha mempermasalahkan filsafat

perennial. Pandangan-pandangannya menyangkut metafisika universal, yang menurut istilahnya sendiri, religio perennis atau religio cordis yang telah dikemukakan untuk manusia melalui berbagai tradisi samawi. Dua dari buku-bukunya, Understanding Islam dan Dimensions of Islam, telah membicarakan tentang Islam yang seluruhnya dilihat dari sudut pandang metafisika murni dan makrifat atau esoterisme dalam pengertiannya yang paling universal. Islam and the Perennial Philosophy adalah karya ketiga Schoun yang menyangkut Islam dengan dimensi esoterik sufismenya. Disini ia memandang tradisi Islam dari perspektif filsafat perennial. Dengan demikian, ia membahas masalah-masalah yang bukan hanya ada dalam Islam, tetapi juga dalam semua agama dan yang pada kenyataannya menyangkut manusia dimanapun dan kapanpun dia berpaling untuk menghadapi kebenaran yang citranya telah dibawa oleh manusia sendiri. Schoun memulai pembahasannya dengan masalah perbandingan agama, di bidang yang dia merupakan ahlinya yang tiada bandingnya, demikian penilaian Nasr. Disini Schoun menyuguhkan penjelasan baru dengan jalan menguraikan sifat-sifat yang bertentangan antara Kebenaran dan Kehadiran dalam berbagai tradisi, dan terutama karena kedua sifat yang saling melengkapi ini mewujud dalam agama Kristen dan Islam. Schoun mengungkapkan bahwa wujud penyelamat dari yang Mutlak adalah Kebenaran atau Kehadiran, namun salah satunya tidak pernah berdiri sendiri. Kebenaran selalu disertai Kehadiran dan Kehadiran disertai Kebenaran. Secara eksoterik, unsur Kebenaran dalam agama Kristen merupakan dalil bahwa Kristus adalah Tuhan, dan bahwa Kristus sajalah Tuhan. Tetapi secara esoterik, Kebenaran Kristus di satu pihak berarti bahwa setiap Perwujudan dari Yang Mutlak identik dengan Yang Mutlak. Dilain pihak, ia berarti bahwa Perwujudan itu bersifat transenden dan selalu ada, karena Kristus berada dalam diri kita sendiri. Dialah hati yang sekaligus berupa Akal dan Kasih. Masuk ke dalam Hati berarti memasuki Kristus, begitu pula sebaliknya, Kristus adalah Hati dari makrokosmos, sebagaimana Akal merupakan Kristus dari mikrokosmos. "Tuhan menjadi manusia sehingga manusia dapat menjadi Tuhan", "Diri menjadi Hati sehingga Hati dapat menjadi Diri", dan itulah sebabnya mengapa "Kerajaan Surga ada dalam dirimu". Dalam gnosis (makrifat) inilah Islam dan Kristen bertemu, sebab Hati adalah Al-Qur'an yang imanen, atau Nabi yang imanen. Ini sama dengan mengatakan bahwa dalam Islam unsur Kehadiran diwakili oleh Al-Qur'an di satu pihak, dan di lain pihak oleh Nabi. Al-Qur'an adalah Kebenaran dan Kehadiran sekaligus. Ia merupakan Kebenaran karena mengajarkan bahwa hanya satu Yang Mutlak, dan ia merupakan Kehadiran karena sifat theopanic atau sakramentalnya yang merupakan asal usul dzikir, inti doa (Schoun: 1996, 15).

Demikianlah unsur Kebenaran dan Kehadiran ada dan selalu ada dalam setiap tradisi dan agama, tidak terbatas pada Kristen atau Islam saja, namun juga ada pada agama-agama dan tradisi-tradisi lainnya, seperti Hindu, Budha, Tao, dan lain-lain. Selanjutnya, Schoun membahas tentang masalah umum hubungan antara bentuk dan substansi dalam berbagai agama. Setiap agama, menurut Schoun, memiliki satu bentuk dan satu substansi. Substansi bersifat tak terbatas, sebab ia lahir dari Yang Mutlak, sedangkan bentuk adalah relatif dan terbatas. Setiap agama di luarnya adalah suatu bentuk, sedangkan sifat kemutlakan yang dimilikinya hanya dalam esensi hakiki dan supranaturalnya saja. Eksistensi Islam yang utama, demikian Schoun, adalah bahwa ia menempatkan dogmatik pada Yang Mutlak dan dengan demikian menjadi pesan dari yang esensial dan yang abadi. Dalam bagian akhir dari karyanya Islam and Perennial Philosophy ini, Schoun membicarakan tentang makna surga, dengan keadaan yang selain merupakan tujuan dari jalan ruhani dan juga, dalam hal tertentu, merupakan prinsip ontologis dari semua tingkat keadaan yang lebih rendah. Schoun memaknai surga berbeda dengan pemahaman awam yang "cukup puas menikmati Taman itu bukannya memikirkan Tukang kebunnya", dengan kata lain, yang berhenti pada ciptaan dan mengabaikan Sang Pencipta. Schoun memahami surga sebagai bayangan Tuhan dan bukan selubung yang menutupi-Nya; adalah "Yang Lahir" (AlZhahir) yang memperpanjang atau membiaskan "Yang Batin" (Al-Batin), sebagaimana pelangi memperpanjang dan membiaskan cahaya yang murni dan tak berwarna. Tepatnya, surga, bagi Schoun, adalah dimensi yang menyatukan kita dengan Tuhan; bukannya pakaian pengantin, surga adalah tubuh pengantin itu sendiri (Schoun: 1996, 181). Demikianlah beberapa pandangan Schoun tentang inti ajaran Islam yang bersifat perennial, yang dapat ditemukan dalam dimensi esoterisnya, bagian yang terdalam dari ajaran Islam. Kritik Para Pakar Terhadap Filsafat Perennial Bagi para ahli agama yang tidak percaya adanya "kesatuan transenden" agama-agama, maka perspektif filsafat perennial dianggap sebagai tidak ada dan hanya merupakan imaginasi para mistikus saja. Lebih-lebih jika mereka secara empiris hanya mampu melihat adanya pertentangan-pertentangan yang ada dalam agama-agama, seperti pertentangan menyangkut hal yang paling mendasar dari keimanan manusia atas suatu agama. Mereka tidak mau melihat adanya istilah Huston Smith The Common Vision of the World's Religions dari agamaagama.

F. Zaehner, seorang Kristen yang ahli Hindu dan sufi menyebut, alihalih kesatuan, justru lebih banyak pertentangan dalam agama yang satu dengan yang lain. Dari kalangan tradisional Islam seperti Naquib al-Attas, juga menolak gagasan filsafat perennial tentang "kesatuan transendental agama-agama" ini (Rahman: 2004, 117). Bagi Attas, sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam, tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lain di dunia, ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenistik, juga tidak sama dengan yang dipahami dalam tradisi mistisisme Timur maupun Barat (al-Attas: 2004, 44). Terlebih lagi Ziaduddin Sardar, seorang futuris Islam, baginya filsafat perennial dianggap sebagai '...could only produce an authoritarian cult' (hanya akan menyebabkan pemujaan yang bersifat otoritarian). Kritik Sardar ini, menurut tanggapan Budhy Munawar-Rahman, dikarenakan ia tidak mempercayai sama sekali bahwa seluruh realitas ini pada dasarnya bersifat "ketuhanan" (teofani). Oleh karena itu, lanjut Rachman, ia tidak mampu dan mau melihat realitas yang merupakan sacred form. Setiap form, menurut kaum perennialis, bersifat sacred, sebab ia merupakan manifestasi tajalli, dalam istilah sufi dari wujud asal. Sehingga, sebagai akibatnya, Sardar tidak dapat merasakan bahwa dunia ini adalah pancaran dari Surga. Barangkali, ia sekedar melihat dunia ini sebagai sesuatu yang "sekular" saja (Rahman: 2004, 118). Dalam perspektif filsafat perennial, disadari betul adanya "Yang Infinite" di balik kenyataan ini. Kaum perennialis percaya akan adanya dunia yang bersifat hirarkis (bertingkat-tingkat). Dari sudut pandang hirarkis atau tingkat-tingkat inilah "tradisi" sebagai jalan menawarkan kepada kita bagaimana menempuh pendakian dari tingkat eksistensi/realitas yang lebih rendah yaitu kehidupan sehari-hari sampai ke tingkat/realitas yang paling tinggi, kepada Tuhan (melalui pengalaman-pengalaman mistis, pengalaman kesatuan atau wahdat alwujud). Filsafat perennial sering mengambil istilah upaya dari Budhisme untuk menggambarkan perjalanan pendakian spiritual ini. Upaya sebagaimana dijelaskan Schoun adalah perspektif keruhanian dan cara penyelamatan yang ada dalam setiap agama. Meskipun secara lahiriah setiap konstruksi upaya kelihatan bertentangan, tetapi sebenarnya mempunyai "kesatuan transendental yang sama", yaitu sebagai sarana penyelamatan kehidupan rohani manusia. Dalam Islam, upaya dibangun atas gagasan realitas yang unik, yaitu tawhid, yang menjadi pokok pangkal kebenaran universal (Madjid: 2000, 180). Konsekuensi terpenting tawhid yang murni ialah sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu, tanpa memberikan peluang untuk melakukan sikap menyandarkan sesuatu apa pun selain daripada-Nya. Inilah al-islam, yang menjadi inti sari semua agama yang benar (Madjid: 2000, 181). Oleh karena itu, nabi dalam Islam

10

tidak perlu menjadi lebih dari seorang manusia, dan tidak ada alasan mengapa ia harus unik dengan adanya nabi-nabi lain yang mendahuluinya (Schoun: 1996, 34). Setiap nabi membawa pesan ketuhanan yang sama, yang disebut dengan "sikap pasrah" (islam). Ideide perennial Islam semacam ini adalah hal yang lazim dalam Al-Qur'an dan tradisi Islam. Sedangkan dalam agama Yahudi (dan juga Kristen), upaya dikonstruksikan melalui persaksian atas perjanjian antara Tuhan dengan suatu masyarakat suci (holy community). Karena itu, dalam agama ini diperlukan sakramen dan ekaristi sebagai penciptaan masyarakat suci. Penjelasan filsafat perennial tentang upaya ini, tentu saja kemudian membawa "tradisi yang bisa dilihat dari dua arah: dari sisi Ketuhanan adalah narasi tentang "asal-usul" dari seluruh realitas. Dari sudut manusiawi, adalah "jalan" kembali kepada Tuhan, kepada "Yang Asal". PENUTUP Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dari sudut pandang filsafat perennial, dalam Islam terkandung ajaran-ajaran yang bersifat abadi dan universal, yang berpangkal tolak konsep tawhid. Konsep tawhid ini memiliki implikasi sikap pasrah (islam) secara penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang kemudian melahirkan ajaran tentang rasa takut (khauf), cinta kasih, dan kesederhanaan. Pada akhirnya, memang tidak ada yang baru dalam filsafat perennial ini. Ia hanya menerjemahkan apa yang dulu secara tradisional menjadi keyakinan seluruh umat manusia, namun sekarang khususnya di zaman modern sudah dilupakan, dan nyaris tidak dikenal lagi dan selanjutnya mengakibatkan krisi pengenalan diri manusia. Oleh karena itu, menghidupkan kembali sudut pandang filsafat perennial ini begitu urgen dan menemukan momentumnya yang tepat. Filsafat perennial yang dikembangkan oleh Schoun ini telah memberikan kontribusi yang berharga dalam mengatasi persoalan pluralisme agama yang tak jarang melahirkan pertentangan dan perselisihan anrata pemeluk agama. Filsafat perennial telah menyingkap tabir yang selama ini menyelubungi para penganut agama untuk saling mengenal dan berdialog, dalam rangka menemukan Kebenaran Mutlak yang universal dan transenden, sehingga ditemukan "kesatuan transenden agama-agama". "Kesatuan transenden" itu tidak bisa ditemukan pada level luar (eksoterik) agama-agama, melainkan harus digali dalam dimensi esoteriknya, dimensi yang paling dalam dari agama-agama, dengan cara melakukan pengembaraan intelektual dan spiritual. Dalam hal ini John S. Dunne pernah menawarkan apa yang disebut dengan istilah "passing

11

over" atau melintas, yaitu "melintas" dari batas-batas satu budaya kepada budaya lain, dari satu cara hidup kepada cara hidup yang lain, dari satu agama kepada agama yang lain. Tetapi itu saja belum cukup. Dunne menambahkan bahwa proses "melintas" itu harus diikuti proses "coming backi" atau kembali, tetapi kembali dengan wawasan baru kepada budaya sendiri, cara hidup sendiri, agama sendiri (Hidayat: 2001, xiv). Dengan proses "passing over" dan "coming back" ini, seseorang akan sikap beragam yang lebih inkusif tidak memonopoli klaim kebenaran (truth claim) miliknya atau kelompoknya sendiri. Ia akan menjadi lebih toleran terhadap penganut agama lain, karena semua perbedaan itu pada hakikatnya merupakan fitrah Tuhan Yang Maha Esa. Namun proses itu tentunya juga menuntut kematangan dan kecerdasan intelektual dan spiritual, sehingga tidak terjebak dalam sinkretisme agama.

12

DAFTAR PUSTAKA Armas, Adnin, "Gagasan Frithjof Schoun tentang Titik Temu AgamaAgama", dalam Islamia, No. 3, Th. I, September November 2004. Attas, Naquib al-, "Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan AgamaAgama", dalam Islamia, No. 3, Th. I, September November 2004 Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998. Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF., (eds.), Passing Over, Jakarta: Gramedia, 2001. Kamal, Zainun, "Mencari Titik Temu Teologi Agama-Agama Dalam Era Pluralisme Agama", dalam el-Harakah, No. 46, Th. XIV, April Juni 1997. Kessler, Gary E., Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective, Canada: Wadsworth, 1999. Legenhausen, Muhammad, Satu Agama atau Banyak Agama: Kajian tentang Liberalisme dan Pluralisme Agama, Jakarta: Lentera, 2002. Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 2000. --------------, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 2004. O'collins, Gerald, dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996. Schoun, Frithjof, Islam and Perennial Philosophy, Terj. Rahmani Astuti, Islam dan Filsafat Perenial, Bandung: Mizan, 1994.

13

You might also like