You are on page 1of 11

MASALAH KATA MAJEMUK, IDIOM, DAN FRASA

PENDAHULUAN Dalam bahasa Indonesia proses komposisi (yang menghasilkan kata majemuk) sangat produktif. Hal ini dapat dipahami, karena dalam perkembangannya bahasa Indonesia banyak sekali memerlukan kosakata untuk menampung konsep-konsep yang belum ada kosakatanya atau istilahnya dalam bahasa Indonesia. Umpamanya, untuk konsep sapi kecil atau sapi yang belum dewasa disebut anak sapi, yakni hasil penggabungan kata anak dan sapi; padahal dalam bahasa lain ada pedet (bahasa Jawa) dan ada bull (bahasa Inggris). Begitu juga, semua yang kecil bila dibandingkan dengan yang lain atau yang umum akan disebut anak , seperti anak sungai, anak kunci, dan anak tangga. Untuk menyatakan sesuatu yang menyerupai yang lain, maka digabungkanlah kata yang menyatakan sesuatu itu dengan kata yang dijadikan perbandingannya. Misalnya, merah darah yang berarti merah seperti warna darah; truk raksasa yang berarti truk besar yang melebihi ukuran biasa, karena raksasa itu lebih besar dari manusia; dan jalan tikus, yang berarti jalan kecil yang sukar dilewati mobil. Untuk menyatakan sesuatu yang dibuat dari sesuatu yang lain, maka digabungkanlah kata yang menyatakan barangnya dengan kata yang menyatakan bahannya, seperti lemari besi yang berarti lemari yang dibuat dari besi, sate kambing yang berarti sate yang dibuat dari daging kambing, dan sikat kawat yang berarti sikat yang dibuat dari kawat. Untuk menyatakan sesuatu yang berguna atau diperuntukkan bagi orang lain, maka digabungkan kata yang yang menyatakan barang sesuatu dengan kata yang menyatakan peruntukkan barang itu. Misalnya, lemari obat, berarti 'lemari tempat menyimpan obat, uang belanja berarti uang untuk keperluan belanja. Produktifitasnya proses komposisi itu dalam bahasa Indonesia menimbulkan berbagai masalah dan berbagai pendapat karena komposisi itu memiliki jenis dan makna yang berbeda-beda. Masalah itu, antara lain, masalah kata majemuk, idiom, dan frasa. Tiga masalah yang sering membingungkan. Adanya kerancuan antara kata majemuk dengan idiom dan kerancuan antara kata majemuk dengan frasa akan kita bahas dalam makalah ini, selain itu kita akan mencoba mencari perbedaan antara ketiganya. KOMPOSISI (KATA MAJEMUK) Pendapat Para Ahli Tata Bahasa Tentang Kata Majemuk Kata majemuk di dalam bahasa Indonesia sejak dulu sampai sekarang belum pernah terselesaikan, dalam arti sampai kini pendapat tentang konsepnya masih simpang siur, yang mengundang banyak perdebatan. Para ahli tata bahasa tradisional, seperti Sutan Takdir Alisjahbana (1953), yang berpendapat bahwa kata majemuk adalah sebuah kata yang memiliki makna baru yang tidak merupakan gabungan makna unsurnya-unsurnya, menyatakan bahwa bentuk kumis kucing dengan makna sejenis tumbuhan dan mata sapi dengan makna telur yang digoreng tanpa dihancurkan adalah kata majemuk. Tetapi, kumis kucing dengan

arti kumis dari binatang kucing dan mata sapi dalam arti mata dari binatang sapi bukanlah kata majemuk. Begitu juga dengan matahari dan mata hati karena tidak memiliki arti sebenarnya, maka adalah kata majemuk. Sebaliknya mata kiri dan mata adik bukanlah kata majemuk karena memiliki makna sebenarnya. Kelompok linguis yang lain berpijak pada tata bahasa struktural menyatakan suatu komposisi disebut kata majemuk. Kalau di antara unsur-unsur pembentuknya tidak dapat disisipkan apa-apa tanpa merusak komposisi itu. Bisa juga suatu komposisi disebut kata majemuk kalau unsur-unsurnya tidak dapat dipertukarkan tempatnya. Misalnya, bentuk adik mandi bukan kata majemuk, karena antara unsur adik dan unsur mandi dapat disisipkan kata lain, misalnya, menjadi adik sedang mandi; begitu juga tempat kedua unsur itu dapat dipertukarkan menjadi mandi adik. Sebaliknya, kamar mandi adalah kata majemuk, sebab antara unsur kamar dan unsur mandi tidak dapat disisipkan apa-apa, misalnya menjadi kamar sedang mandi adalah bentuk yang tidak berterima; begitu bentuk kamar mandi tidak dapat dibalik menjadi mandi kamar. Ada lagi kelompok lain yang membandingkannya dengan kata majemuk dalam bahasa-bahasa Barat. Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata majemuk dan bukan kata majemuk berbeda dalam hal adanya tekanan. Bentuk blackboard adalah kata majemuk kalau tekanannya dijatuhkan pada unsur pertamanya, yaitu black, dan dengan makna papan tulis. Tetapi kalau tekanannya dijatuhkan pada unsur kedua, yaitu board, maka bukanlah kata majemuk, sebab maknanya juga adalah papan hitam. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, pada bentuk orang tua bila tekanan dijatuhkan, baik pada unsur pertama. Maupun pada unsur kedua, maknanya sama saja. Jadi dalam bahasa Indonesia, menurut kelompok ini tidak ada kata majemuk itu. Linguis kelompok lain, ada juga yang menyatakan sebuah komposisi adalah kata majemuk kalau identitas leksikal komposisi itu sudah berubah dari identitas leksikal unsur-unsurnya. Umpamanya, bentuk lalu lintas mempunyai unsur lalu yang berkategori verba dan unsur lintas yang juga berkategori verba. Namun, komposisi lalu lintas itu tidak berkategori verba, melainkan berkategori nomina, seperti dalam kalimat lalu lintas di Jakarta sekarang sangat padat. Verhaar (1978) menyatakan suatu komposisi disebut kata majemuk kalau hubungan kedua unsurnya tidak bersifat sintaksis. Komposisi matahari, bumiputera, dan daya juang adalah kata majemuk, sebab tidak dapat dikatakan matahari adalah matanya hari (bandingkan dengan mata adik yang bisa dikatakan matanya adik); bumiputera tidak dapat dianalisis menjadi bumi milik putera (bandingkan dengan bumi kita yang dapat dianalisis menjadi bumi milik kita); dan daya juang yang tidak bisa dianalisis menjadi daya untuk berjuang. Bahwa matahari, bumiputera, dan daya juang adalah kata majemuk terbukti dari tidak dapat disisipkannya sesuatu di antara kedua unsurnya, menjadi matanya hari, bumi punya putera, dan dayaku juang. Kridalaksana (1985) menyatakan kata majemuk haruslah tetap berstatus kata. Yang termasuk kata majemuk seperti antipati, akhirukalam, geografi, mahakuasa, multinasional, dan pasfoto, karena memenuhi persyaratan sebagai bentuk yang

berstatus kata. Abdul Chaer (1994) berpendapat bahwa komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda atau yang baru. Komposisi terdapat dalam banyak bahasa. Misalnya lalu lintas, daya juang, dan rumah sakit dalam bahasa Indonesia; akhirulkalam, malaikalmaut, dan hajarulaswad dalam bahasa Arab; dan blackboard, bluebird, dan greenhouse dalam bahasa Inggris. Pendapat Ramlan (1985) tentang kata majemuk adalah suatu kata baru yang merupakan gabungan dua kata sebagai unsurnya. Misalnya, rumah sakit, meja makan, kepala batu, keras hati, panjang tangan, kamar gelap, mata kaki, dan masih banyak lagi. Begitu juga yang dinyatakan oleh Soedjito, kata majemuk adalah hasil dari proses penggabungan dua kata atau lebih yang menimbulkan satu makna baru yang khusus. Ciri-ciri Komposisi (Kata Majemuk) Ramlan (1985) berpendapat mengenai ciri-ciri kata majemuk adalah sebagai berikut: 1.Salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata Satuan gramatik yang unsurnya berupa kata dan pokok kata, atau pokok kata semua, berdasrkan ciri ini, merupakan kata majemuk karena pokok kata merupakan satuan grantik yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa dan seara gramatik tidak memiliki sifat bebas sehingga gabungan dengan pokok kata tentu tidak dapat dipisahkanatau diubah strukturnya. Dengan begitu jelaslah bahwa setiap gabungan dengan pokok kata merupakan kata majemuk. Misalnya: kolam renang, pasukan tempur, barisan tempur, lomba lari, kamar kerja, jam kerja, waktu kerja, dan masih banyak lagi. 2.Unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan atau tidak mungkin diubah strukturnya Satuan kaki tangan berbeda dengan meja kursi meskipun unsur-unsurnya sama, ialah semuanya berupa kata nominal. Di antara meja dan kursi dalam meja kursi dapat disisipkan kata dan menjadi meja dan kursi, sebaliknya di antara kaki dan tangan dalam kaki tangan tidak dapat disisipkan kata dan. Kalau disisipkan kata dan, maka artinya akan berbeda. Sedangkan menurut Soedjito, ciri-ciri kata majemuk adalah sebagai berikut: 1.Kata majemuk dibedakan dengan frasa 2.Komponen kata majemuk tidak dapt dibalik susunannya 3.Jika mengalami proses pembentukan kata, kata majemuk itu menjadi bentuk dasar secara utuh. Contoh: Kereta api perkeretaapian Tanggung jawab pertanggungjawaban Kambing hitam mengambinghitamkan 4.Salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata IDIOM Makna Idiom Abdul Chaer (1994) berpendapat bahwa idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, secara gramatikal bentuk menjual

rumah bermakna yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya; tetapi, dalam bahasa Indonesia bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna tertawa keras-keras. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi ialah yang disebut makan idiomatikal. Contoh lain dari idiom adalah bentuk membanting tulang yang bermakna bekerja keras, meja hijau dengan makna pengadilan, dan sudah beratap seng dengan makna sudah tua. Menurut Djoko Saryono, makna idiomatis adalah makna konstruksi yang maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditafsirkan atau dijabarkan dari makna unsur-unsur pembentuknya. Contohnya: tanah air negeri tempat lahir, besar kepala sombong, dan mengambinghitamkan menuduh bersalah. I.G.N. Oka dan Suparno (1994) menyatakan bahwa makna kias adalah makan yang sudah menyimpang dalam bentuk ada pengiasan hal atau benda yang dimaksudkan penutur dengan hal atau benda yang sebenarnya. Ada dua macam bentuk idiom, yaitu yang disebut idiom penuh dan idiom sebagian. Yang dimaksud dengan idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk seperti membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau termasuk contoh idiom penuh. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang bermakna buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus; daftar hitam yang bermakna daftar yang memuat namanama orang yang diduga atau dicurigai berbuat kejahatan; dan koran kuning dengan makna koran yang biasa memuat berita sensasi. Pada contoh tersebut, kata buku, daftar, dan koran masih memiliki makna leksikalnya. Contoh yang lain adalah sebagai berikut: Idiom Penuh Idiom Sebagian 1.makan angin: berjalan-jalan untuk menghirup hawa yang bersih. makan bawang: marah. makan tangan: beruntung besar. 2.duduk perut: mengandung. 3.buah bibir: yang selalu menjadi pembicaraan orang. buah hati: kekasih. 1.makan besar: makan (arti leksikal) secara besar-besaran. makan bebas: makan tanpa membayar. 2.uang duduk: uang (arti leksikal) yang dibayarkan sebagai imbalan peserta rapat. 3.buah hidup: buah yang masih segar. buah kaleng: buah yang diawetkan di dalam kaleng. FRASA Pengertian Frasa Abd. Syukur Ibrahim, dkk berpendapat bahwa frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa.

Beberapa contoh: gedung sekolah itu, yang sedang membaca, akan pergi, sakit sekali, kemarin pagi, di halaman. Dari batasan di atas dapatlah dikemukakan bahwa frasa mempunyai dua sifat, yaitu: 1.Frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih. 2.Frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya frasa itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa, yaitu S, P, O, Pel, atau Ket. Abdul Chaer (1994) menyatakan frasa lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Baik dari definisi yang pertama maupun yang kedua kita lihat bahwa yang namanya frasa itu pasti terdiri lebih dari sebuah kata, pembentuk frasa itu harus berupa morfem bebas, bukan merupakan morfem terikat. Jadi, konstruksi belum makan dan tanah tinggi adalah frasa; sedangkan konstruksi tata boga dan interlokal bukan frasa, karena boga dan inter adalah morfem terikat. Dari definisi itu juga terlihat bahwa frasa adalah konstruksi nonpredikat. Ini berarti, hubungan antara kedua unsur yang membentuk frase itu tidak berstruktur subjek-predikat atau berstruktur predikatsubjek. Oleh karena itu, konstruksi seperti adik mandi dan menjual sepeda bukan frasa; tetapi konstruksi kamar mandi dan bukan sepeda adalah frasa. Dari definisi itu terlihat pula bahwa frasa adalah konstituen pengisi fungsi-fungsi sintaksis. Oleh karena itu dapat diakatakan kelompok-kelompok kata yang berada dalam kotakkotak fungsi pada bagan di bawah ini, yaitu nenek saya, sedang membaca, buku humor, dan di kamar tidur adalah frasa. Sedangkan kata nenek, membaca, komik, dan kemarin yang terdapat dalam bagan itu juga bukanlah frasa melainkan kata. S P O Ket Nenek saya sedang membaca buku humor di kamar tidur Nenek membaca komik Kemarin Berbeda dengan kata yang tidak bisa bisa diselipi apa-apa, maka hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain di dalam sebuah frasa cukup longgar, sehingga ada kemungkinan diselipi unsur lain. Misalnya, frasa nenek saya bisa diselipi kata dari sehingga menjadi nenek dari saya; frasa buku humor dapat diselipi kata buku mengenai humor; dan pada frasa sedang membaca dapat diselipi kata senang, sehingga menjadi sedang senang membaca. Penyelipan ini tidak dapat dilakukan kata. Umpamanya, ke dalam kata membaca tidak dapat diselipkan kata baru, sehingga menjadi *membarubaca. Selain itu, frasa mempunyai potensi untuk

diperluas dengan unsur-unsur lain. Maksudnya, frasa itu dapat diberi tambahan komponen baru sesuai dengan konsep atau pengertian yang akan ditampilkan. Misalnya, di kamar tidur dapat diperluas dengan diberi komponen baru, misalnya, berupa kata saya, ayah, atau belakang, sehingga menjadi di kamar tidur saya, di kamar tidur ayah, dan di kamar tidur belakang. Perluasan ini menurut keperluannya dapat dilakukan di sebelah kanan, seperti ketiga contoh di atas; dapat juga di sebelah kiri. Misalnya, frasa seorang mahasiswa dapat diperluas di sebelah kiri, misalnya, menjadi bukan seorang mahasiswa, atau hanya seorang mahasiswa. Seringkali dapat juga perluasan ini dilakukan di sebelah kiri dan di sebelah kanan sekaligus. Misalnya, frasa seorang mahasiswa dapat diperluas menjadi bukan seorang mahasiswa kedokteran. Jadi, di sebelah kiri ditambah kata bukan dan di sebelah kanan diberi kata kedokteran. PERMASALAHAN MENGENAI KATA MAJEMUK, IDIOM, DAN FRASA Ungkapan Idiomatis dan Kata Majemuk Pada bagian ini dibahas tentang cara membedakan ungkapan idiomatis seperti kaki tangan, panjang tangan, dan sapu tangan dengan bentuk majemuk biasa seperti rumah sakit, rumah makan, dan panti asuhan. Apakah ungkapan idiomatis dapat disebut kata majemuk? Mengapa bentuk seperti rumah besar dan rumah baru tidak dapat disebut kata majemuk? Seperti yang telah dijelaskan di atas, mengenai pengertian kata majemuk, dapat kita pahami bahwa kata majemuk (compound word) merupakan gabungan morfem, kata yang memiliki pola gramatis dan pola semantis khusus. Pola-pola khusus tersebut berbeda dengan gabungan morfem dan kata biasa yang lazimnya hanya menghasilkan kekata atau frasa. Gabungan kata rumah dan kata sakit sehingga menjadi bentuk rumah sakit, berbeda dengan gabungan kata rumah dan kata besar yang menjadi bentuk rumah besar. Gabungan pertama memunculkan makna khusus, yakni rumah untuk merawat orang-orang sakit sedangkan gabungan kedua semata-mata menunjukkan bahwa rumah tersebut ukurannya besar sehinga dapat disebut rumah besar. Kenyataan kebahasaan yang terjadi pada bentuk rumah besar sama persis dengan yang terjadi pada bentuk rumah baru. Oleh karena tidak ada makna khusus yang lahir dari penggabungan kata-kata itu, keduanya cukup disebut kata kekata atau frasa. Di dalam kata majemuk, hubungan antarbagian-bagiannya demikian erat dan sama sekali tidak terpisahkan. Keeratan hubungan itu terlihat dari tidak mungkinnya dilakukan penyelipan atau penyisipan di dalam bagian-bagian kata majemuk itu. Selain itu, jika di belakang bentuk majemuk terdapat kata atau frasa penjelas, kata atau frasa itu akan memberikan penjelasan pada kata majemuk itu secara utuh. Bentuk majemuk rumah sakit tidak mungkin di tengah-tengahnya diselipi frasa khusus bedah, sehingga bentuk gabungannya menjadi rumah khusus bedah sakit. Bentuk itu salah dan jelas tidak berterima di dalam masyarakat bahasa kita. Kenyataan seperti ini menegaskan bahwa bagian-bagian di dalam kata majemuk berhubungan sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Satu-satunya kemungkinan menempatkan frasa khusus bedah hanyalah di belakang bentuk rumah sakit sehingga tuturannya menjadi rumah sakit khusus bedah. Frasa penjelas

khusus bedah tidak menjelaskan kata rumah dan kata sakit, melainkan menjelaskan bentuk rumah sakit itu secara utuh. Kenyataan yang persis sama terjadi pula pada bentuk rumah makan dan panti asuhan yang keduanya juga merupakan kata majemuk atau komposisi dalam bahasa kita. Pada bentuk rumah besar dan rumah baru, penyelipan morfem atau kata itu mungkin sekali dilakukan. Dengan diselipi kata ini atau itu di tengahnya bentuk tersebut akan menjadi rumah ini besar atau rumah itu baru, keduanya adalah bentuk yang benar dan berterima di dalam masyarakat bahasa kita. Kalau bentukbentuk itu kita beri kata sekali sebagai penjelas di belakangnya, kata itu tidak akan menjelaskan frasa secara utuh melainkan hanya kata yang paling dekat dengan penjelas itu sajalah yang dijelaskan. Kata sekali pada bentuk rumah besar sekali semata-mata menjelaskan kata besar, bukan kata rumah dan bukan pula kekata rumah besar. Demikianpun pada bentuk rumah baru sekali, kata sekali itu sematamata memberi penjelasan pada kata baru yang berada di depannya, bukan kata rumah dan bukan pula kekata rumah baru. Salah satu bentuk rumah kata majemuk adalah ungkapan-ungkapan yang sifatnya idiomatis. Gabungan morfem atau kata pada ungkapan idiomatis itu lazimnya juga melahirkan makna khusus seperti pada kata majemuk biasa. Bedanya terletak pada perunutan bentuk asal yang lebih sulit pada ungkapan idiomatis karena makna yang ditimbulkan seakan-akan tidak berkaitan langsung dengan wujud atau bentuk asalnya. Makna semantis yang dimunculkan dari ungkapan idiomatis kaki tangan adalah mata-mata atau dalam bahasa Jawa telik sandi, jadi makna itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kata kaki dan kata tangan. Demikian pula pada ungkapan idiomatis panjang tangan yang bermakna semantis suka mencuri. Orang yang suka mencuri sama sekali tidak panjang ukuran tangannya. Tangannya berukuran relatif sama seperti orang kebanyakan yang tidak suka mencuri. Pada bentuk sapu tangan yang makna semantisnya adalah alat pembersih tangan, muka, dan bagian tubuh kita yang lain, sama sekali tidak ada hubungannya dengan alat pembersih lantai yang dinamakan sapu dan organ tubuh manusia yang dinamakan tangan. Karena hubungan antara wujud atau bentuk dengan makna semantis itu seolah-olah tidak ada, untuk membedakan dengan bentuk majemuk yang biasa, bentuk-bentuk semacam itu disebut ungkapan idiomatis. Tentu saja ungkapan-ungkapan yang bermakna khusus semacam itu dapat digolongkan sebagai kata majemuk dalam bahasa kita. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada kata majemuk yang bersifat idiomatis, yaitu kata majemuk yang maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditafsirkan dari makna unsurnya masing-masing. Kata Majemuk dan Frasa Dalam pendidikan formal di sekolah sering dipertanyakan bedanya dengan frasa dengan kata majemuk. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab kalau kita melihat bahwa ada bermacam-macam konsep mengenai kata majemuk dalam bahsa Indonesia (lihat pembahasan mengenai pendapat para ahli tata bahasa tentang kata majemuk). Kalau kita ikuti konsep yang diajukan para tata bahasawan

tradisional yang melihat kata majemuk sebagai komposisi yang memiliki makna baru atau memiliki satu makna, maka bedanya dengan frasa adalah bahwa frasa tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal. Contoh bentuk meja hijau yang berarti pengadilan adalah kata majemuk, sedangkan meja saya yang berarti saya punya meja hijau adalah sebuah frasa. Kalau kita ikuti konsep linguis stuktural yang menyatakan bahwa kedua komponen kata majemuk tidak dapat disela dengan unsur lain. Contoh bentuk mata sapi yang berarti telur goreng tanpa dihancurkan karena tidak bisa disela dengan unsur lain, adalah sebuah kata majemuk. Sebaliknya, contoh mata guru yang berarti mata kepunyaan guru, karena dapat disela, misalnya menjadi mata guru adalah sebuah frasa. Kalau kita ikuti konsep bahwa salah satu atau kedua komponen kata majemuk berupa morfem dasar terikat, makanya bedanya dengan frasa adalah bahwa kedua komponen frasa selalu terdiri dari morfem bebas atau bentuk yang benar-benar berstatus kata. Contoh, bentuk daya juang karena memiliki komponen yang berupa morfem dasar terikat (yaitu juang) adalah kata majemuk; sedangkan bentuk lemari buku karena komponen-komponennya berupa morfen dasar bebas, adalah sebuah frasa, bukan kata majemuk. Menurut I. G. N. Oka dan Suparno (1994), orang lazim membedakan kata majemuk dengan frasa, perbedaan kata majemuk dan frasa dapat dinyatakan sebagai berikut: 1.Kata majemuk terdiri dari unsur-unsur yang anggotanya tidak dapat dipisahkan oleh unsur-unsur lain, sedangkan frasa terdiri dari unsur-unsur yang anggotanya dapat dipisahkan oleh unsur lain. Penyisipan unsur lain dalam kata majemuk itu mengakibatkan status kata majemuk menjadi bukan kata majemuk lagi. Ambillah contoh kata rumah makan, dengan menyisipkan kata untuk, satuan yang diperoleh bukan kata majemuk lagi, melainkan frasa rumah untuk makan, yang tentu saja bukan rumah makan. Pengetesan lain dalam bahasa Indonesia dilakukan dengan penyisipan yang biasanya diikuti oleh ajektiva. Kata orang besar yang berarti orang yang berpangkat tinggi merupakan kata majemuk, sedangkan orang penting merupakan frasa. Kata orang besar tidak dapat disisipi unsur yang tanpa mengubah statusnya menjadi frasa orang yang besar (orang yang badannya besar), sedangkan orang penting merupakan frasa karena terbukti dapat diperluas dengan yang menjadi orang yang penting. 2.Kata majemuk merupakan suatu keutuhan sehingga jika mengalami proses morfologis mendapatkan perlakuan sebagai satu bentuk dasar. Untuk membuktikan berlakunya ciri itu dapat digunakan afiksasi dengan morfem simultan atau morfem kombinasi yang mengapit bentuk dasar. Kata tanda tangan, misalnya, merupakan kata majemuk yang terbukti dari pembentukannya dengan morfem meN-ia atau peN-an menjadi menandatangani atau penandatanganan. Kata majemuk dibedakan atas dua jenis, yaitu yang komponennya berurutan dengan cara yang terdapat juga dalam frasa, jadi menurut kaidah urutan sintaksis dan yang komponennya berurutan dengan cara yang tidak mungkin menurut kaidah urutan konstituen sintaksis (Verhaar, 1993:99). Jenis pertama disebut kata majemuk sintaksis (syntactic compounds) dan jenis yang kedua disebut kata

majemuk asintaksis (asyntactic compounds). Menurut Verhaar (1993), dalam pembedaan antara kata majemuk dan frasa tidak ada permasalahan dengan kata majemuk asintaksis. Justru karena komponenkompponennya mempunyai urutan yang itdak mungkin secara sintaksis, tentu saja mudah dikenali sebagai kata majemuk. Misalnya dalam bahasa Indonesia, kata bumiputera pasti tidak merupakan frasa, karena urutan bumi + putera dalam arti putra bumi tidak mungkin. Menurut peristilahan terkenal dari Takdir Alisjahbana, yakni hukum DM, artinya hukum bahwa yang diterangkan selalu mendahului apa yang menerangkan dapat kita uji: bumiputera mempunyai urutan MD, bukan DM; jadi ujaran tersebut adalah sintaksis; oleh karena itu, kata bumiputera pasti merupakan kata majemuk, bukan frasa (hukum DM memang sangat konsisten ditaati dalam bahasa Indonesia). Bagaimana sekarang dengan kata yang sintaksis urutan konstituennya? Apakah meja tulis, daya juang, matahari, rumah sakit, dan seterusnya merupakan frasa atau kata majemuk? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kata daya juang, meja tulis, matahari, dan rumah sakit merupakan kata majemuk, yaitu kata majemuk sintaksis, karena atas dasar pertimbangan semantis semata. Padahal, dalam linguistik adalah berbahaya sekali bila kita percaya pada pertimbangan semantis semata-mata, tanpa memperhatikan apa yang dapat kita tentukan tentang bentuk kata-kata yang bersangkutan. Salah satu cara untuk mengujinya adalah dengan reduplikasi. Kata matahari tidak pernah direduplikasikan menjadi *mata-mata hari, maka dari itu matahari adalah kata majemuk sejati. Dengan daya juang dapat kita uji pula: bentuk juang tidak pernah kita temukan sebagai morfem bebas; jadi boleh kita andaikan bahwa dalam kata daya juang pun bentuk juang berupa morfem terikat; maka dari itu harus kita simpulkan bahwa kata daya juang adalah kata majemuk, bukan frasa. Jika kita melihat pendapat dari Kridalaksana (1996) mengenai pemajemukan, yaitu proses penggabungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata, jelas menempatkan kata majemuk sebagai satuan yang berbeda dari frasa. Frasa adalah gabungan kata, bukan gabungan leksem. Secara empiris, Kridalaksana membedakan kata majemuk dari frasa dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1.Ketaktersisipan; artinya di antara komponen-komponen kata majemuk tidak dapat disisipi apapun. Buta warna adalah kata majemuk karena tidak dapat disisipi apa pun, sedangkan alat negara merupakan frasa karena dapat disisipi partikel dari, menjadi alat dari negara. 2.Ketakterluasan; artinya komponen kompositum (kata majemuk) itu masingmasing tidak dapat diafiksasikan atau dimodifikasikan. Perluasan bagi kompositum hanya mungkin untuk semua komponennya sekaligus. Misalnya kata majemuk kereta api dapat dimodifikasikan menjadi perkeretaapian. 3.Ketakterbalikkan; artinya komponen kompositum (kata majemuk) tidak dapat dipertukarkan. Gabungan seperti bapak ibu, pulang pergi, dan lebih kurang bukanlah kompositum, melainkan frasa koordinarif karena dapat dibalikkan (gabungan kata semacam ini memberikan kesempatan kepada penutur untuk memilih mana yang akan didahulukan). Gabungan seperti arif bijaksana, hutan

belantara, bujuk rayu bukanlah frasa melainkan kompositum. PENUTUP Simpulan Ada tiga golongan ahli yang telah bekerja di dalam sejarah pencarian identitas dan eksistensi kata majemuk bahasa Indonesia. Golongan pertama adalah para ahli tatabahasa tradisional yang telah menemukan sebuah pengertian atau arti lain yang tidak sama lagi dengan arti asal unsurnya sebagai ciri kata majemuk di dalam bahasa Indonesia. Golongan kedua adalah mereka yang ingin menolak pengertian baru itu, tetapi menemukan kedua unsurnya tidak dapat dipisahkan atau dibalikkan sebagai ciri kata majemuk. Sedangkan golongan ketiga adalah mereka yang menggunakan konsep kata majemuk bahasa-bahasa Barat untuk mencari ciri dan identitas kata majemuk bahasa Indonesia. Kalau golongan pertama dan kedua menemukan adanya kata majemuk bahasa Indonesia, tetapi golongan yang ketiga tidak menemukan apa-apa. Alhasil, menurut mereka dalam bahasa Indonesia tidak ada kata majemuk. Idiom adalah bentuk ujaran yang maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditasirkan dari makna-makna unsur pembentuknya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Sedangkan frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Masalah kata majemuk dan ungkapan idiomatis ternyata menerangkan bahwa salah satu bentuk kata majemuk adalah ungkapan-ungkapan yang sifatnya idiomatis. Perbedaannya hanya terletak pada perunutan bentuk asal yang lebih sulit pada ungkapan idiomatis karena makna yang ditimbulkan seakan-akan tidak berkaitan langsung dengan wujud atau bentuk asalnya. Untuk kata majemuk dan frasa, yang sering ditanyakan perbedaannya, dapat disimpulkan perbedaannya sebagai berikut: Kata majemuk Frasa 1. Kata majemuk terdiri dari unsur-unsur yang anggotanya tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat disisipi apapun di antara komponennya. 1. Frasa terdiri dari unsur-unsur yang anggota-anggotanya dapat dipisahkan oleh unsur lain dan dapat disisipi apapun di antara komponennya. 2. Kata majemuk merupakan suatu keutuhan sehingga jika mengalami proses morfologis mendapatkan perlakuan sebagai satu bentuk dasar (ketakterluasan) 2. Komponen-komponen frasa masing-masing/salah satunya dapat difiksasikan atau dimodifikasikan (mengalami proses morfologis) 3. Komponen-komponen kata majemuk tidak dapat dipertukarkan 3. Komponen-komponen frasa dapat dipertukarkan. Saran Dalam mempelajari morfologi, kata majemuk khususnya, hendaknya benar-benar memahami konsepnya terlebih dahulu. Begitu juga ketika mempelajari tentang permasalahan yang dibahas dalam makalah ini. Apa yang telah dijelaskan dalam

makalah ini hendaknya tidak menjadi acuan utama. Yang terpenting dan yang yang harus kita kerjakan adalah sebagai berikut: 1.Menyampaikan data sebanyak mungkin (kata majemuk maupun idiom dan frasa) dari pelbagai bidang penerbitan. 2.Mengadakan klasifikasi data yang telah ditemukan. 3.Menganalisa data yang telah diklasifikasikan dengan kaidah-kaidah alami bahasa Indonesia. 4.Menarik rumusan dari hasil analisa yang dikerjakan jika memang rumusan tersebut sudah bisa ditarik. DAFTAR RUJUKAN Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2002. Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Chaer, Abdul. 1993. Gramatika Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. -------. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Ibrahim, Abd. Syukur dkk.-. Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang. Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Kunjana, Rihab. dan Rahardi. 2001. Serpih-serpih Masalah Kebahasaindonesiaan. Yogyakarta: Adicita. Oka, I. G. N. dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ramlan, M. 1985. Morfologi. Yogyakarta: CV Karyono. -------. 1986. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono. Samsuri. 1987. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. ---------. 1988. Morfologi dan Pembentukan Kata. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soedjito. -. Morfologi. Malang: Universitas Negeri Malang. Solichi, M. Mansur. 1994. Penggunaan Bahasa Indonesia, Ditinjau dari: Tata Bunyi, Tata Bentuk, dan Tata Kalimat. Malang: IKIP Malang. Verhaar, J. W. M. 1993. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

You might also like