You are on page 1of 6

KAJIAN HUKUM TATA NEGARA: PERGESERAN ORIENTASI POLITIS KE TEKNIS JUDUL BUKU : Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara

Jilid I & II PENULIS : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. PENYUNTING : M. Ali Safa'at dan Pan Mohamad Faiz PENERBIT : Konstitusi Press Walaupun judul buku Prof. Jimly adalah Pengantar akan tetapi apabila dilihat, dibaca, dan ditelaah ternyata bukan hanya sekedar pengantar, karena isinya sebenarnya sudah merupakan materi lanjutan dari HTN -- Winarno Yudho, Kepala Pusat Penelitian MKRI -Abstraksi:

Selama lebih dari 50 tahun sejak Indonesia merdeka, atau tepatnya dari tahun 1945 sampai tahun 1998 ketika terjadinya reformasi nasional (53 tahun sejak kemerdekaan), bidang ilmu hukum tata negara atau constitutional law agak kurang mendapat pasaran di kalangan mahasiswa di Indonesia. Penyebabnya ialah bahwa selama kurun waktu tersebut, orientasi bidang studi hukum tata negara ini sangat dekat dengan politik, sehingga siapa saja yang berminat menggelutinya sebagai bidang kajian yang rasional, kritis, dan objektif, dihadapkan pada risiko politik dari pihak penguasa yang cenderung sangat otoritarian. Selama masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, siklus kekuasaan mengalami stagnasi, sehingga dinamika demokrasi tidak dapat tumbuh dengan sewajarnya untuk memungkinkan berkembangnya pandangan-pandangan kritis mengenai persoalan-persoalan politik ketatanegaraan. Risiko kedua adalah bahwa bidang kajian hukum tata negara ini dianggap sebagai lahan yang kering, tidak begitu jelas lapangan kerja yang dapat dimasuki. Itulah sebabnya setelah kurikulum fakultas hukum menyediakan program studi hukum ekonomi, rata-rata mahasiswa fakultas hukum di seluruh Indonesia cenderung memilih program studi hukum ekonomi atau hukum perdata umum daripada program studi hukum tata negara. Di samping kedua risiko tersebut, para dosen dan guru-guru di bidang ini di tingkat sekolah menengah juga kurang berhasil membangun daya tarik keilmuan yang tersendiri, baik karena penguasaan mereka terhadap masalah yang memang kurang atau karena ketidakmampuan ilmu hukum tata negara sendiri untuk meyakinkan mengenai daya tarik ilmiah dan kebergunaan praktisnya, maka studi hukum tata negara di mana-mana menjadi kurang diminati. Namun kini, setelah terjadinya gelombang reformasi di ranah konstitusi, paradigma hukum tata negara berangsur-angsur telah bergeser dari orientasi politis menjadi teknis. Terlebih lagi dengan munculnya lembaga (tinggi) negara baru di bidang pengadilan ketatanegaraan yaitu Mahkamah Konstitusi. Berbagai kajian mengenai hukum dan konstitusi ibarat cendawan di musin hujan, tumbuh dan menjamur hampir di seluruh pelosok negeri ini. Oleh karena itu, sebuah pedoman utuh mengenai aspek-aspek hukum tata negara, kembali menjadi sangat

relevan untuk dijadikan dasar bagi setiap warga negara Indonesia, khususnya kalangan akademisi dan terpelajar. Apalagi, perkembangan konstitusi di seluruh penjuru dunia sudah sangat pesat, seperti munculnya fenomena bentuk negara baru European Union ataupun semakin runtuhnya teori klasik trias politica dari Montesquie. Sebuah buku karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. sebagai hasil pengembaraan intelektual dari belantara pemikiran-pemikiran mondial yang bersifat universal dipadukan dengan pemikiran-pemikiran lokal dengan sifat partikularistis mencoba memberikan jawaban dan pemahaman mengenai berbagai persoalan di atas. Gagasan monumental dan penyempurnaan pemikiran seputar Hukum Tata Negara dan Konstitusi di abad millenium ketiga ini, dengan cermat dan teliti telah dituangkan secara sistematis dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I & II. Semoga buku yang telah diterbitkan ini, bersama dengan pembacanya, dapat membantu meretas jalan untuk mewujudkan sistem ketatanegaraan Indonesia yang semakin kokoh, yang pada waktunya nanti juga akan menjadikannya sebagai negara hukum yang adil dan makmur. Akhirnya, sebagai Penyunting, saya ucapkan Viel Spa beim Lesen! --- END --Hukum tata negara Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata usaha (administrasi) negara Hukum tata saha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara Hukum acara perdata Indonesia Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Hukum acara pidana Indonesia Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.

HUKUM INTERNASIONAL

Oleh karena itu, untuk memudahkan studi hukum internasional, perbedaan bentuk perjanjian lalu disederhanakan berdasarkan sifat mengikatnya, yaitu antara hard law (mengikat secara hukum) dan soft law (mengikat secara moral). Tidak dijelaskan secara terperinci bentuk perjanjian internasional yang masuk kategori hard law dan soft law. Yang biasa diajarkan, berdasarkan kebiasaan, bahwa bentuk perjanjian yang masuk kategori hard law adalah, agreement, treaty, protocol, statute, charter. sedangkan sisanya jatuh ke dalam kategori soft law. Alasan yang sering dikemukakan untuk membedakan sifat dari bentuk perjanjian internasional adalah tentang kewajiban negara dan ratifikasi. Dalam bentuk perjanjian yang bersifat hard law biasanya tercantum kewajiban-kewajiban negara secara terperinci dan membutuhkan suatu ratifikasi dari negara peserta. Misalnya, Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang. Konvensi tersebut bersifat hard law karena menjabarkan kewajiban-kewajiban negara peserta serta syarat ratifikasi. Sedangkan dalam Universal Declaration of Human Rights 1948, bentuk perjanjian tersebut bersifat soft law, meskipun menyebutkan kewajiban-kewajiban negara namun tidak membutuhkan ratifikasi dari negara. Perihal inilah yang kemudian membuat Kenneth W Abbott dan Duncan Snidal membuat konsepsi tentang legalisasi. Dengan membuat tiga alat ukur yaitu obligation, precision and delegation, mereka mencoba menilai bentuk-bentuk perjanjian internasional yang terlanjur dianggap memiliki sifat hard law dan soft law. Konsepsi mereka, menurut penulis, sangat membantu para pengkaji hukum internasional untuk menilai secara objektif suatu perjanjian internasional. Namun, yang belum berhasil dijabarkan oleh konsepsi tersebut adalah mengapa negara dalam membentuk perjanjian internasional lebih memilih salah satu bentuk diantara pilihan yang ada? Misalnya, mengapa negara-negara lebih memilih bentuk deklarasi dibanding traktat dalam membuat perjanjian mengenai hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights 1948) ? Adalah Andrew T. Guzman, pakar hukum internasional dari Universitas California, yang berupaya untuk menjawab persoalan tersebut. Beliau mengeluarkan teori reputasi. Teori reputasi didefinisikan bahwa dalam sebuah relasi, negara sangat memperhatikan citra (reputasi) dirinya dalam lingkungan. Asumsinya adalah negara akan sangat berhati-hati saat melakukan tindakan dalam fora internasional, tentu saja untuk menjaga citranya. Tindakan yang diambil oleh negara dipengaruhi oleh pilihan rasional (untung-rugi) sebab negara merupakan aktor rasional. Pada konteks pembuatan perjanjian internasional, negara memiliki dua tujuan. Pertama adalah kredibilitas dan mengikat. Artinya, pada saat negara membuat suatu perjanjian, maka secara tidak langsung kredibilitas mereka dipertaruhkan. Mengapa demikian? sebab para pihak harus melaksanakan isi perjanjian tersebut. Padahal ada peluang masing-masing pihak untuk melakukan pelanggaran perjanjian. Pada titik inilah tujuan kedua muncul yaitu sanksi. Jika ada salah satu pihak tidak menjalankan perjanjian,maka akan terkena sanksi. Sanksi di sini tidak diartikan sebagai sanksi langsung seperti perang atau embargo ekonomi dan militer, namun bisa meluas seperti hilangnya reputasi dan keuntungan di masa depan.

Guzman lalu melanjutkan, bahwa suatu perjanjian akan memiliki daya mengikat yang kuat jika bentuk perjanjian tersebut memiliki kehendak untuk terikat, prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme pemantau pelaksanaan perjanjian. Pada saat melakukan perjanjian, negara diasumsikan sebagai aktor rasional yang mengutamakan kepentingan nasionalnya. Ketika berhadap-hadapan dengan negara lain maka akan bertemu dua kepentingan yang berbeda. Untuk mengatasi hal tersebut maka diadakan negosiasi untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Karena masing-masing negara mengubah posisi idealnya, maka ada kemungkinan untuk tidak melaksanakan isi perjanjian. Mengapa demikian? sebab, ketika suatu negara mengubah kepentinganya dalam perjanjian maka ia berharap adanya konsesi lain yang didapat. Pelanggaran konsesi inilah yang sering timbul. Contoh: Dalam perjanjian perdagangan antara negara A dan B disepakati bahwa masingmasing pihak akan membebaskan bea masuk import. Secara ekonomi posisi negara A (negara industri) lebih kuat dibanding B (non industri), akan tetapi negara B memiliki pasar yang besar (jumlah penduduk lebih banyak). Saat negara B menyetujui bebas bea masuk import ada kemungkinan besar mempengaruhi industri lokal yang baru tumbuh, akan tetapi negara B berharap bahwa kesepakatan itu akan membawa negara A untuk memberikan transfer teknologi kepadanya. Nah, pada pemenuhan bebas bea impor negara B dan pemenuhan transfer teknologi dari negara A akan memunculkan kemungkinan pelanggaran sebab di negara B akan terjadi protes sedangkan negara A tidak akan melaksanakan transfer teknologinya. Oleh karena setiap negara sadar bahwa ada kemungkinan kesulitan untuk memenuhi suatu perjanjian maka negara tidak mau kehilangan reputasinya ketika tidak mampu melaksanakan isi perjanjian. Selain kehilangan reputasi, negara juga enggan mendapatkan sanksi. Kehilangan reputasi oleh suatu negara akan mengakibatkan tidak dipercayanya negara tersebut ketika membuat perjanjian-perjanjian berikutnya. Maka dari itu, saat membuat perjanjian-perjanjian yang kemungkinan sulit untuk dilaksanakan, negara-negara lebih memilih bentuk perjanjian yang bersifat soft law dibandingkan hard law. Hal ini untuk menjaga reputasi negara dalam fora internasional. Sebagai contoh perjanjian-perjanjian di bidang lingkungan internasional yang banyak memilih bentuk soft law. note : Guzman meminjam teori dari ilmu hubungan internasional, yaitu teori pilihan rasional untuk mendukung teori reputasinya.

KTT ASEAN ke 16 Proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah China atas 228 pos tarif dalam ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang dilakukan pada 3 April 2010 di Yogyakarta gagal. Akibat kegagalan itu, Indonesia akan menerapkan perjanjian tersebut secara penuh sesuai dengan jadwal. Kabar ini jelas merupakan berita buruk bagi kalangan industri dalam negeri sebab merekalah yang mengajukan ide untuk melakukan renegosiasi demi melindungi pasar domestik dari gempuran barang-barang China. Negosiasi secara bilateral merupakan salah satu cara mudah untuk melakukan penyesuaian atas ketentuan-ketentuan dalam ACFTA yang dianggap akan mengancam industri dalam

negeri. Akan tetapi, setelah kegagalan proses negosiasi secara bilateral maka peluang untuk mengubah ketentuan ACFTA semakin kecil. Lantas, cara apakah yang masih dimungkinkan untuk renegosiasi ketentuan-ketentuan ACFTA? Cara lain yang mungkin adalah dengan mendorong isu tersebut dalam KTT ASEAN (ASEAN Summit) ke 16 yang berlangsung di Vietnam pada tanggal 8-9 April 2010. KTT ASEAN menjadi sarana yang penting karena merupakan forum tertinggi dalam pengambilan keputusan di ASEAN. Namun cara tersebut tidaklah mudah. Perihal kesulitan cara ini pernah diungkapkan oleh Hikmahanto Juwana (Kompas, 10/2/2010). Kesulitan tersebut terjadi karena Indonesia harus meyakinkan negara anggota ASEAN lain untuk mengubah ketentuan dalam ACFTA. Hal ini tentu saja sangat sulit karena kepentingan tiap-tiap negara anggota ASEAN pasti berbeda. Forum KTT ASEAN ke 16 memang tidak mengagendakan pembicaran khusus mengenai ACFTA. Namun, apabila diplomasi Indonesia mampu menyakinkan urgensi modifikasi dalam ACFTA bukan tidak mungkin akan dibuat sesi khusus untuk membicarakan masalah tersebut. Pertanyaanya adalah apakah pemerintah mempunyai niat untuk mendiskusikan masalah ACFTA dalam forum KTT ASEAN ke-16? Jika mendengarkan pernyataan juru bicara menteri luar negeri, Teuku Faizasyah, maka jawabanya tidak. Pemerintah Indonesia akan memfokuskan pada isu Myanmar dalam KTT ASEAN (The Jakarta Post, 7/4/2010). Kebijakan yang dikeluarkan oleh kementrian luar negeri, untuk tidak memfokuskan pada usaha memodifikasi ACFTA dalam KTT ASEAN, dapat dibaca bahwa pemerintah tidak terlalu peka atas dampak yang akan dirasakan oleh industri dalam negeri akibat pemberlakuan ACFTA.Padahal kalangan industri dalam negeri sudah mengeluh akibat dari pemberlakuan ACFTA tersebut. Upaya terakhir yang dapat dimanfaatkan Indonesia adalah mekanisme penyelesaian sengketa ACFTA yang telah disepakati pada tahun 2004. Dalam mekanisme tersebut terdapat beberapa metode penyelesaian sengketa yaitu konsultasi, mediasi atau konsiliasi dan arbitrase. Pemerintah dapat menggunakan salah satu mekanisme tersebut apabila pemerintah merasa industri dalam negeri terancam akibat berlakunya ACFTA. Dengan menggunakan forum tersebut pemerintah dapat memperoleh dua keuntungan. Pertama, ketika proses konsultasi atau mediasi diajukan, maka secara terselubung pemerintah dapat mengupayakan kembali negosiasi tarif yang telah gagal disepakati. Dengan demikian pemerintah dapat memodifikasi beberapa ketentuan yang dianggap merugikan industri dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah tidak perlu ragu untuk mengupayakan forum penyelesaian sengketa. Kedua, dengan memberdayakan forum penyelesaian sengketa ACFTA maka Indonesia secara nyata telah melakukan pemberdayaan ASEAN sebagai organisasi yang berbasis hukum. Hal ini akan menjadi preseden baik bagi perkembangan ASEAN ke depan yang hendak bertransformasi menjadi rule-based organization sesuai dengan Piagam ASEAN. Pada dasarnya perjanjian ACFTA dibuat dengan itikad baik dan fair. Hal ini dapat dibuktikan dengan program Early Harvest dimana China membuka pasarnya terlebih dahulu atas delapan produk yang dapat diakses oleh negara anggota ASEAN. Namun, terlihat program ini kurang dimanfaatkan oleh Indonesia padahal sebagian produk yang masuk dalam program tersebut adalah agrikultur yang menjadi salah satu andalan Indonesia

You might also like