You are on page 1of 44

BAB 1: Objek Pajak Pertambahan Nilai

A. Karakteristik PPN
1. PPN adalah pajak atas konsumsi umum dalam negeri y Konsumsi umum menunjukkan pajak dikenakan atas setiap yang dikonsumsi baik barang maupun jasa. y Dalam negeri menunjukkan tempat barang atau jasa dikonsumsi (destination principles). y Demikian halnya untuk ekspor barang produksi dalam negeri tidak dikenakan PPN di dalam negeri tempat barang diproduksi tetapi dikenakan di luar negeri tempat barang tersebut dikonsumsi. 2. PPN adalah Pajak tidak langsung

y Pemikul beban pajak dengan penanggung jawab atas pembayarannya ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. y Konsumen sebagai pemikul beban pajak diwajibkan membayar pajak yang terutang kepada penjual. y Pajak yang dipungut penjual wajib disetorkan ke kas negara oleh penjual. 3. PPN bersifat multi stage levy namun non kumulatif y Multi stage levy mengandung arti bahwa pengenaan PPN dilakukan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. y Untuk menghindari pengenaan pajak yang berganda maka PPN dalam setiap tahap (stage) tersebut tidak diakumulasi (non kumulatif). y Mekanisme non kumulatif yang dipilih adalah mekanisme pengkreditan Pajak Masukan (input tax) terhadap Pajak Keluaran (output tax).

B. Objek PPN Berdasarkan UU PPN 1984


1. Pengertian Pajak atas Konsumsi dalam UU PPN 1984 Dalam paragraf pertama penjelasan UU PPN 1984 yang menyatakan bahwa Pajak

Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Yang dituju sebagai

pemikul beban pajak yang sesungguhnya adalah konsumen (akhir) yang berada di dalam negeri. Jenis barang yang merupakan objek pengenaan pajak dinamakan oleh UU PPN 1984 sebagai Barang Kena Pajak dan untuk jasa diberi nama Jasa Kena Pajak. Pada dasarnya semua barang adalah barang kena pajak dan semua jasa adalah jasa kena pajak, kecuali yang dinyatakan dalam undang-undang tidak dikenakan pajak. Menyimpang dari karakternya sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri PPN dikenakan terhadap ekspor barang dan jasa kena pajak. Penyimpangan ini mengandung maksud untuk mengeluarkan unsur PPN pada barang yang diekspor. Barang kena pajak dan jasa kena pajak yang diekspor dikenai PPN dengan tarif 0% sehingga Pajak Masukan yang terkait dengannya dapat dikreditkan dan dikembalikan.

a.

Barang Kena Pajak Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang

bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud. (Pasal 1 angka 2 UU PPN 1984). Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.(Pasal 1 angka 3 UU PPN 1984).

Untuk menjelaskan barang apa yang dikenai pajak berdasarkan UU ini maka definisi tentang barang kena pajak mesti dirangkai dengan Pasal 4A ayat 2 UU PPN 1984 yang menyebutkan jenis barang yang tidak dikenai PPN, yaitu: 1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; 2) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; 3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, dan 4) Uang, emas batangan, dan surat berharga. Uraian detil mengenai nama-nama barang yang dimaksud dalam undang-undang terdapat dalam penjelasan undang-undang itu sendiri.

b.

Jasa Kena Pajak Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan

hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. (Pasal 1 angka 5 UU No 18 Tahun 2000). Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini. (Pasal 6 UU No 18 Tahun 2000). Untuk menjelaskan jasa apa yang dikenai pajak berdasarkan UU ini maka definisi

tentang jasa kena pajak mesti dirangkai dengan Pasal 4A ayat 3 UU PPN 1984 yang menyebutkan jenis jasa yang tidak dikenai PPN, yaitu: 1) jasa pelayanan kesehatan medis; 2) jasa pelayanan sosial; 3) jasa pengiriman surat dengan perangko; 4) jasa keuangan; 5) jasa asuransi; 6) jasa keagamaan; 7) jasa pendidikan; 8) jasa kesenian dan hiburan; 9) jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; 10) jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;

11) jasa tenaga kerja; 12) jasa perhotelan; 13) jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; 14) jasa penyediaan tempat parkir; 15) jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; 16) jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan 17) jasa boga atau katering.

2. Peristiwa hukum yang menjadi objek PPN berdasarkan Pasal 4 UU PPN 1984 Objek pajak dalam Pasal 4 UU PPN 1984 dapat dikelompokkan menurut mekanisme pelunasannya adalah sebagai berikut: a) Pajak atas konsumsi BKP atau JKP di dalam Daerah Pabean dimana Penjual berada di dalam Daerah Pabean; b) Pajak atas konsumsi BKP atau JKP di dalam Daerah Pabean dimana Penjual berada di luar Daerah Pabean; c) Pajak atas ekspor BKP dan JKP. Peristiwa hukum yang terutang PPN dalam ketiga kelompok tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat 1 dan ayat 2 UU PPN 1984.

a.

Pajak atas konsumsi BKP atau JKP di dalam Daerah Pabean dimana Penjual berada di dalam Daerah Pabean Peristiwa hukum yang terutang PPN dalam kategori ini diatur dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a

dan huruf c UU PPN 1984 yang tertulis sebagai berikut: a) penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b) ..

c) penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

Dari ayat tersebut maka suatu penyerahan terutang PPN apabila memenuhi syarat secara kumulatif, yaitu: 1) merupakan penyerahan barang kena pajak /penyerahan jasa kena pajak; 2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan 3) dilakukan oleh pengusaha.

Yang dimaksud dengan pengusaha dalam hal ini adalah meliputi pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. 1) Penyerahan Barang Kena Pajak: a) Pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak 1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;

2. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing); 3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; 4. pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak; 5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan; 6. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang; 7. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; 8. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak; b) Tentang pemakaian sendiri Pengertian pemakaian sendiri telah diuraikan lebih lanjut dalam Keputusan

Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 87/PJ./2002 yang mengatur sebagai berikut: y Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif; y Pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pemakaian sendiri barang kena pajak yang merupakan penyerahan barang kena pajak adalah pemakaian sendiri yang bukan untuk tujuan produktif.

c) Tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak 1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang; 2. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang 3. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang; 4. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; 5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c. 2) Pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. (Pasal 1 angka 7 UU PPN 1984). Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma. Berkaitan dengan pemakaian sendiri, Direktur Jenderal Pajak dalam Surat Keputusan Nomor:Kep-87/PJ./2002 menetapkan bahwa Pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak yang merupakan penyerahan barang kena pajak adalah pemakaian sendiri yang bukan untuk tujuan produktif. 3) Pengertian pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,

mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. (Pasal 1 angka 14 UU PPN 1984).

Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan / atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undangundang ini (Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984). Pengusaha ditentukan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila memenuhi syarat: a. melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak; b. di Dalam Daerah Pabean; dan c. dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai kewajiban: a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. memungut pajak yang terutang; c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan d. melaporkan penghitungan pajak. 4) Pengertian Daerah Pabean Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang- Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. (Pasal 1 angka 1 UU PPN 1984).

b.

Pajak atas konsumsi BKP atau JKP di dalam Daerah Pabean dimana Penjual berada di luar Daerah Pabean Peristiwa hukum yang termasuk dalam kategori ini diatur dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b,

huruf d dan huruf e yang berbunyi sebagai berikut: a) ..

b) impor barang kena pajak; c) ..

d) pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e) pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

Atas impor barang kena pajak atau pemanfaatan BKP tidak berwujud yang terutang PPN tidak mewajibkan konsumen untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

c.

Pajak atas ekspor BKP dan JKP Ketentuan mengenai ekspor jasa dan barang yang dapat dikenakan PPN terdapat dalam

Pasal 4 ayat 1 huruf f, g dan h yang mengatur sebagai berikut: f) ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; g) ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan h) ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Terkait dengan ekspor Jasa Kena Pajak telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 70/PMK.03/2010 yang menentukan batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai PPN. Rinciannya sebagai berikut: Jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut: 1. Jasa Maklon; 2. jasa perbaikan dan perawatan; 3. jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.

3. Peristiwa hukum yang menjadi objek PPN berdasarkan Pasal 16C dan 16D UU PPN 1984 a. Objek PPN berdasarkan Pasal 16C Dalam Pasal 16C UU PPN 1984 diatur pengenaan pajak untuk kegiatan membangun sendiri yang lengkapnya berbunyi: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. 1) Batasan yang terutang Pajak Atas Kegiatan Membangun Sendiri Sebagai tindak lanjut dari ketentuan ini telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010,berlaku sejak 1 April 2010 yang menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000. Dalam peraturan tersebut diatur hal-hal sebagai berikut: a) Kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain;

b) Bangunan sebagaimana dimaksud berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria: 1. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja; 2. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan 3. luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi). c) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. 2) Pajak Terutang Pajak Pertambahan Nilai terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah 3) Saat dan tempat terutang pajak y Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri terjadi pada saat mulai dibangunnya bangunan. y Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. 4) Pembayaran dan pelaporan y Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 40% (empat puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. y Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib disetor ke kas negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. y Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. 5) Pengkreditan Pajak Masukan Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut dinyatakan bahwa Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan. Pajak

Masukan yang dimaksud adalah Pajak Masukan yang dibayarkan atas perolehan barang atau jasa sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri semisal PPN atas pembelian semen, genteng, dan lain-lain, atau jasa desain dan jasa kena pajak lainnya yang terkait dengan itu.

b. Objek PPN berdasarkan Pasal 16D Objek pajak yang diatur dalam Pasal 16D berbunyi: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c. Dari ketentuan tersebut, sejak 1 April 2010 pada dasarnya setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak terutang PPN, kecuali untuk aktiva yang: 1) Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha (Pasal 9 ayat 8 huruf b UU PPN 1984); Yang dimaksud dengan kegiatan usaha dalam hal ini adalah penyerahan kena pajak. 2) Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan berupa perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan (Pasal 9 ayat 8 huruf c UU PPN 1984).

C. Tanggung Jawab Renteng dalam UU PPN 1984


Dalam UU PPN 1984 perubahan ketiga, tanggung jawab secara renteng tercantum dalam Pasal 16F. Selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar. Tanggung jawab secara renteng pada konteks Pasal 16F adalah pelimpahan beban tanggung jawab pembayaran ke kas negara atas pajak terutang, yang timbul akibat penyerahan barang kena pajak (Pasal 4 (1) huruf a) atau penyerahan jasa kena pajak (Pasal 4 (1) huruf c), kepada pembeli atau penerima jasa yang mestinya menjadi tanggung jawab penjual atau pemberi jasa sebagai akibat pajak terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak.

BAB 2: Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

A. Pengertian Pajak Penjualan atas Barang Mewah


Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan terhadap penyerahan barang kena pajak yang ditetapkan undang-undang sebagai barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha pabrikan dan dikenakan atas setiap impor barang yang tergolong mewah. Barang yang tergolong mewah di dalam UU PPN 1984 ditetapkan ke dalam dua golongan besar yaitu: BKP yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor, dan BKP yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor Pajak Penjualan atas Barang Mewah memiliki karakteristik yang agak berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu: a. PPnBM merupakan pungutan tambahan di samping PPN b. PPnBM hanya dipungut satu kali yaitu pada saat impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, atau atas penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh PKP Pabrikan dari BKP Yang Tergolong Mewah tersebut; c. PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN; d. Meskipun demikian, apabila eksportir mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, PPnBM yang dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali (Pasal 10 ayat 3 UU PPN 1984)(Untung Sukardji,2009). Pengertian Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah diberikan dalam penjelasan Pasal 5 ayat 1 huruf b UU PPN 1984 yaitu sebagai berikut: 1. barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok; 2. barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; 3. barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau 4. barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.

B. Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah


Disamping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap: a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. (Pasal 5 ayat 1 UU PPN 1984)

Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. (Pasal 5 ayat 2 UU PPN 1984).

C. Tarif dan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah


1. Tarif PPnBM Mulai 1 April 2010 dengan berlakunya UU Nomor 42 Tahun 2009 (perubahan ketiga UU PPN 1984) berdasarkan Pasal 8 ayat 1, tarif ditetapkan dengan ketentuan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Untuk ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah tarif yang berlaku adalah 0% sama dengan tarif PPN untuk ekspor barang kena pajak. Hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat 2 UU PPN 1984. 2. Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah a. Penggolongan BKP Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Berdasarkan PP Nomor 55 Tahun 2004 penggolongan BKP Yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor adalah sebagai berikut: 1) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 10%, adalah:  kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan pesawat penerima siaran televisi;  kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga;  kelompok mesin pengatur suhu udara;  kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran radio;  kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya. 2) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 20%, adalah:  kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin dan pesawat pemanas, selain yang disebut pada ayat (1);  kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya;  kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena, selain yang disebut pada ayat (1);  kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering, pesawat elektromagnetik dan instrumen musik;  kelompok wangi-wangian;

3) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 30%, adalah:  kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;  kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada ayat (1). 4) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 40%, adalah:  kelompok minuman tertentu yang mengandung alkohol;  kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan;  kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau wol;  kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang digunakan untuk meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu;  kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau campuran daripadanya;  kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, selain yang disebut pada ayat (3), kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;  kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak;  kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara;  kelompok jenis alas kaki;  kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor;  kelompok barang-barang yang terbuat dari porselen, tanah lempung Cina atau keramik;  kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu selain batu jalan dan batu tapi jalan. 5) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 50%, adalah:  kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus;  kelompok pesawat udara selain yang disebut pada ayat (4), kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga;  kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada ayat (1) dan ayat (3);  kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara;

6) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 75%, adalah:  kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang disebut pada ayat (4);  kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia dan/atau mutiara atau campuran dari padanya;  kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum.

b.

Penggolongan BKP yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Penggolongan BKP Yang Tergolong Mewah berupa kendaraan bermotor berdasarkan PP

Nomor 41 Tahun 2005 adalah sebagai berikut: 1) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 10%, adalah: a. kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder; b. kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari 1500 cc). 2) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 25%, adalah: a. kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc; b. kendaraan bermotor dengan kabin ganda (double cabin), dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem l (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.

3) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 30%, adalah: a. kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc; b. kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc. 4) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 50%, adalah: a. kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc; b. kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 3000 cc; c. kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semidiesel), berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc; dan d. semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf. 5) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 60%, adalah: a. kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc sampai dengan 500 cc; dan b. kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung, dan kendaraan semacam itu. 6) Kelompok BKP yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 75%, adalah: a. kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan

selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc; b. kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel) berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc; c. kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengar kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc; d. trailer, semi-trailer tipe caravan, untuk dari perumahan atau kemah.

c.

Pengenaan PPnBM untuk Kendaraan Bermotor Aturan pelaksanaan dari ketentuan mengenai PPnBM terdapat dalam Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP229/PJ./2003 serta penjelasannya pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE19/PJ.51/2003. Yang diatur dalam ketentuan tersebut terkait dengan mekanisme pemungutan PPnBM untuk kendaraan bermotor adalah sebagai berikut: 1) Objek PPnBM a) Impor Kendaraan CBU berupa Kendaraan pengangkutan orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, kendaraan Double Cabin, Kendaraan khusus, kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas silinder lebih dari 250 CC. b) Penyerahan kendaraan hasil perakitan/produksi di dalam Daerah Pabean berupa Kendaraan pengangkutan orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, kendaraan Double Cabin, Kendaraan khusus, kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas silinder lebih dari 250 CC. c) Penyerahan kendaraan bermotor berupa Kendaraan pengangkutan orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi dan kendaraan Double Cabin hasil pengubahan dari Kendaraan sasis atau Kendaraan pengangkutan barang. Syarat penyerahan BKP Yang Tergolong Mewah berupa kendaraan terutang PPnBM adalah apabila yang menyerahkan adalah Orang Pribadi atau Badan yang menghasilkan kendaraan bermotor atau menyuruh Orang Pribadi atau Badan lain menghasilkan kendaraan bermotor.

2) Bukan Objek PPnBM a) Kendaraan CKD; b) Kendaraan sasis; c) Kendaraan pengangkutan barang; d) Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 250cc; e) Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 16 (enam belas) orang atau lebih termasuk pengemudi.

3) Dibebaskan dari pengenaan PPnBM PPnBM dibebaskan atas impor atau penyerahan: a) Kendaraan bermotor berupa kendaraan ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan pengangkutan umum; b) Kendaraan protokoler kenegaraan; c) Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI; d) Kendaraan patroli TNI/POLRI.

Contoh penghitungan PPnBM untuk kendaraan bermotor Contoh cara menghitung PPnBM untuk kendaraan bermotor dapat dilihat dalam lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-540/PJ/2000. Dalam keputusan tersebut dijelaskan hal-hal sebagai berikut: 1. Dasar Pengenaan Pajak Harga Jual yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung PPN dan PPnBM atas penyerahan kendaraan bermotor yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pabrikan atau pihak yang menghasilkan, tidak termasuk PPN, PPnBM, dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Nilai Impor, tidak termasuk PPN dan PPnBM. Harga Jual yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung PPN atas penyerahan kendaraan bermotor yang tergolong mewah yang dilakukan oleh PKP selain Pabrikan atau pihak yang menghasilkan atau atas impor, termasuk PPnBM yang dikenakan atas penyerahan dari Pabrikan atau pihak yang menghasilkan atau atas impor kendaraan bermotor yang tergolong mewah tersebut.

2. Contoh penghitungan PPnBM a. Contoh mekanisme pemungutan PPN dan PPn BM Untuk kendaraan impor dalam keadaan CBU : 1) Kendaraan Bermotor: Importir Umum/industri Perakitan/ATPM. a) impor : Nilai Impor (DPP) PPN (10%) PPn BM (50%) Harga Impor b) penyerahan: Harga beli KB Keuntungan PPn BM dibayar Harga Jual (DPP) PPN (10%) Harga Penjualan 2) Distributor : a) Pembelian: Harga Beli (DPP) PPN (10%) Harga Pembelian b) Penyerahan: Harga beli KB Keuntungan Harga Jual (DPP) PPN (10%) Harga Penjualan 3) Dealer : a) Pembelian: Harga Beli (DPP) PPN (10%) Harga Pembelian b) Penyerahan: Harga beli KB : Rp340.000.000,: Rp340.000.000,: Rp 34.000.000,- (Pajak Masukan) Rp374.000.000, : Rp320.000.000,: Rp 20.000.000,: Rp340.000.000,: Rp 34.000.000,- (Pajak Keluaran) : Rp374.000.000,: Rp320.000.000,: Rp 20.000.000,- (Pajak Masukan) Rp342.000.000,: Rp200.000.000,: Rp 20.000.000,: Rp100.000.000,: Rp320.000.000,: Rp 32.000.000,- (Pajak Keluaran) Rp342.000.000,: Rp200.000.000,: Rp 20.000.000,- (Pajak Masukan) : Rp100.000.000,Rp320.000.000,-

Keuntungan Harga Jual (DPP) PPN (10%) Harga Penjualan

: Rp 20.000.000,: Rp360.000.000,: Rp 36.000.000,- (Pajak Keluaran) Rp396.000.000,-

4) Sub-Dealer/Showroom : a) Pembelian: Harga Beli (DPP) PPN (10%) Harga Pembelian b) Penyerahan: Harga beli KB Keuntungan Harga Jual (DPP) PPN (10%) Harga Penjualan : Rp360.000.000,: Rp 20.000.000,: Rp380.000.000,: Rp 38.000.000,- (Pajak Keluaran) Rp418.000.000,- (yang dibayar konsumen) : Rp360.000.000,: Rp 36.000.000,- (Pajak Masukan) Rp396.000.000,-

Apabila konsumen yang membeli kendaraan kepada Sub-dealer atau Showroom tersebut memiliki SKB PPn BM, maka perhitungan PPN atas penyerahan kendaraan bermotor dari Sub-dealer atau Showroom kepada pembeli adalah sebagai berikut : Penyerahan : Harga beli KB Keuntungan PPn BM dibayar Harga Jual (DPP) PPN (10%) Harga Penjualan : Rp260.000.000,: Rp 20.000.000,: Rp ,- (dibebaskan dengan SKB)

: Rp380.000.000,: Rp 28.000.000,- (Pajak Keluaran) Rp308.000.000,- (yang dibayar konsumen)

b. Contoh mekanisme pemungutan PPN dan PPn BM Untuk kendaraan impor dalam keadaan CKD atau kendaraan bermotor produksi dalam negeri: 1) Kendaraan Bermotor: Importir Umum/industri Perakitan/ATPM. a) impor : Nilai Impor (DPP) PPN (10%) PPn BM (-%) Harga Impor : Rp200.000.000,: Rp 20.000.000,- (Pajak Masukan) : Rp ,-

Rp220.000.000,-

b) penyerahan: Harga beli KB Keuntungan Harga Jual (DPP) PPn BM (50%) PPN (10%) Harga Penjualan 2) Distributor : a) Pembelian: Harga Beli (DPP) PPn BM (50%) PPN (10%) Harga Pembelian b) Penyerahan: Harga beli KB Keuntungan Harga Jual (DPP) PPN (10%) Harga Penjualan 3) Dealer : a) Pembelian: Harga Beli (DPP) PPN (10%) Harga Pembelian b) Penyerahan: Harga beli KB Keuntungan Harga Jual (DPP) PPN (10%) Harga Penjualan 4) Sub-Dealer/Showroom : a) Pembelian: Harga Beli (DPP) PPN (10%) : Rp370.000.000,: Rp 37.000.000,- (Pajak Masukan) : Rp350.000.000,: Rp 20.000.000,: Rp370.000.000,: Rp 37.000.000,- (Pajak Keluaran) Rp407.000.000,: Rp350.000.000,: Rp 35.000.000,- (Pajak Masukan) Rp385.000.000, : Rp330.000.000,: Rp 20.000.000,: Rp350.000.000,: Rp 35.000.000,- (Pajak Keluaran) : Rp385.000.000,: Rp220.000.000,: Rp110.000.000,: Rp 22.000.000,- (Pajak Masukan) Rp352.000.000,: Rp200.000.000,: Rp 20.000.000,: Rp220.000.000,: Rp110.000.000,: Rp 22.000.000,- (Pajak Keluaran) Rp352.000.000,-

Harga Pembelian b) Penyerahan: Harga beli KB Keuntungan Harga Jual (DPP) PPN (10%) Harga Penjualan

Rp407.000.000,-

: Rp370.000.000,: Rp 20.000.000,: Rp390.000.000,: Rp 39.000.000,- (Pajak Keluaran) Rp429.000.000,- (yang dibayar konsumen)

BAB 3: Fasilitas di Bidang PPN

A. Pengertian Fasilitas di Bidang PPN


Pada dasarnya fasilitas di bidang PPN adalah berupa keringanan yang diberikan kepada konsumen terhadap konsumsi barang atau jasa yang berdasarkan ketentuan terutang PPN. Berdasarkan Pasal 16B UU PPN 1984 fasilitas di bidang PPN hanya ada dua jenis yaitu: 1. Pajak terutang tidak dipungut, dan 2. Dibebaskan dari pengenaan PPN. Kedua fasilitas itu diberikan baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk: 1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; 2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; 3. impor Barang Kena Pajak tertentu; 4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan 5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

B. Perbedaan Fasilitas PPN Terutang Tidak Dipungut dan Dibebaskan dari Pengenaan PPN
Secara ringkas perbedaannya dapat disimpulkan sebagai berikut: Fasilitas dibebaskan 1. Pajak Masukan Tidak Dapat Dikreditkan 2. Tidak menyebabkan kelebihan pembayaran pajak 3. Di dalam Harga yang dibayar konsumen masih mungkin terdapat unsur PPN Fasilitas Tidak Dipungut 1. Pajak Masukan Dapat Dikreditkan 2. Dapat menyebabkan kelebihan pembayaran pajak 3. Di dalam harga yang dibayar konsumen tidak terdapat unsur PPN

Pengaruhnya bagi konsumen dapat dilihat dari contoh sederhana berikut: Misalkan untuk memproduksi satu unit buku oleh PKP Penerbit diperlukan komponen biaya sebagai berikut: a. kertas dengan harga per unit buku Rp6.000,00, Pajak Masukan Rp600,00 b. tinta dengan harga per unit buku Rp9.000,00, Pajak Masukan Rp900,00 c. ongkos cetak dengan harga per unit Rp11.000,00, Pajak Masukan Rp1.100,00 d. Laba yang diharapkan untuk satu unit buku Rp4.000,00

Dari data tersebut maka PKP Penerbit akan menjual satu unit buku apabila tidak ada fasilitas dengan rincian sebagai berikut: Total Harga Pokok (Rp6.000,00 + Rp9.000,00 + Rp11.000,00) Laba yang diharapkan untuk satu unit buku Harga Jual satu unit buku PPN terutang Jumlah yang dibayar konsumen Rp26.000,00 Rp 4.000,00 Rp30.000,00 Rp 3.000,00 Rp33.000,00

Dalam satu Masa Pajak, oleh PKP Penerbit akan dilakukan perhitungan kurang lebih sebagai berikut: Pajak Keluaran Pajak Masukan (Rp600,00 + Rp900,00 + Rp1.100,00) Pajak yang kurang disetor  Apabila mendapat fasilitas PPN terutang tidak dipungut: Pajak Masukan sebesar Rp2.600,00 dapat dikreditkan dan PPN terutang atas penyerahan buku sebesar Rp3.000,00 tidak dipungut. Yang dibayar oleh konsumen adalah sebagai berikut: Total Harga Pokok Laba yang diharapkan untuk satu unit buku Harga Jual satu unit buku PPN terutang Jumlah yang dibayar konsumen Rp26.000,00 Rp 4.000,00 Rp30.000,00 Rp 3.000,00 (tidak dipungut) Rp30.000,00 Rp3.000,00 Rp2.600,00 Rp 400,00

Perhitungan dalam satu Masa Pajak kurang lebih adalah sebagai berikut: Pajak Keluaran Pajak Masukan Pajak Kurang/(Lebih) dibayar Tidak dipungut Rp2.600,00 (Rp2.600,00)

Dalam buku yang dijual tidak terdapat unsur PPN. PPN yang sudah dibayar sebagai Pajak Masukan dikembalikan melalui proses pengkreditan Pajak Masukan.  Apabila mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN: Pajak Masukan sebesar Rp2.600 tidak dapat dikreditkan sehingga dibiayakan oleh PKP Penerbit dan menambah Harga Pokok Penjualan. Dengan demikian maka Harga Pokok menjadi Rp28.600,00 (Rp26.000,00 + Rp2.600). Yang dibayar oleh konsumen adalah sebagai berikut: Total Harga Pokok Laba yang diharapkan untuk satu unit buku Harga Jual satu unit buku Rp28.600,00 Rp 4.000,00 Rp32.600,00

PPN terutang Jumlah yang dibayar konsumen

(dibebaskan) Rp32.600,00

Perhitungan dalam satu Masa Pajak kurang lebih adalah sebagai berikut: Pajak Keluaran Pajak Masukan Pajak Kurang/(Lebih) dibayar dibebaskan Rp Rp -

Dalam buku yang dijual masih terdapat unsur PPN yaitu, PPN yang dibayar pada saat perolehan barang dan jasa yang tidak dapat dikreditkan. Secara yuridis yang menanggung pajak ini adalah PKP Penerbit, namun secara ekonomis tetap yang menanggung adalah konsumen melalui pembebanan di Harga Pokok.

C. Objek PPN yang Mendapat Fasilitas di Bidang PPN


1. Fasilitas PPN Terutang Tidak Dipungut Fasilitas PPN terutang tidak dipungut diberikan terhadap: a. Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dananya Berasal dari Hibah atau Pinjaman Luar Negeri Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN dan PPnBM, dan PPh dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai oleh hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri. Penjelasan lebih lanjut dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-19/PJ.53/1996 tanggal 4 Juni 1996 yaitu sebagai berikut: 1) Fasilitas PPN dan PPn BM tidak dipungut untuk proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah/dana pinjaman luar negeri, pada prinsipnya diberikan untuk : a) Pemasukan barang/jasa dari luar daerah pabean oleh kontraktor utama yang meliputi: impor Barang Kena Pajak (BKP), Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean, Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean.

b) Penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak oleh kontraktor utama kepada pemilik proyek. 2) Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh kontraktor utama dari sub kontraktor atau pihak lain, tetap terutang PPN yang bagi kontraktor utama merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan,

sepanjang Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut digunakan untuk mengerjakan proyek tersebut. 3) Dalam hal kontraktor utama melaksanakan proyek Pemerintah yang sebagian dananya dibiayai dari hibah/dana pinjaman luar negeri dan sebagian lainnya dari APBN/APBD/dana lain selain hibah/dana pinjaman luar negeri, maka ketentuannya adalah sebagai berikut : a) Atas penyerahan/penerimaan termin proyek yang dibiayai dari hibah/dana pinjaman luar negeri : Tidak dipungut PPN dan PPn BM, Faktur Pajak tetap dibuat dengan diberi cap "PPN dan PPn BM tidak dipungut", Surat Setoran Pajak tidak perlu dibuat.

b) Atas penyerahan/penerimaan termin proyek yang dibiayai dengan dana dari APBN/APBD/dana lain selain hibah/dana pinjaman luar negeri: terutang PPN Faktur Pajak harus dibuat, Surat Setoran Pajak harus dibuat,sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988.

b.

Fasilitas PPN di Kawasan Berikat Definisi kawasan berikat terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996.

Dalam PP tersebut kawasan berikat didefinisikan sebagai suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. Peraturan pelaksanaan untuk pemberian fasilitas di kawasan berikat adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997 yang telah mengalami beberapa perubahan dan perubahan ketujuh dilakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.04/2005 tanggal 19 Oktober 2005. Intisari dari fasilitas di kawasan berikat dapat diuraikan sebagai berikut: Fasilitas yang diberikan terhadap kegiatan usaha di Kawasan Berikat adalah PPN dan PPnBM terutang tidak dipungut atas:

1. Impor barang modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang sematamata dipakai oleh Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) termasuk PKB merangkap sebagai Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB); 2. Impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB; 3. Impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB; 4. Pemasukan Barang Kena Pajak (BKP) dari Daerah Pabean Indonesia lainnya (DPIL) ke PDKB untuk diolah lebih lanjut; 5. Pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut; 6. Pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka sub kontrak; 7. Penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan sub kontrak oleh Pengusaha Kena Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada PDKB asal; 8. Peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka sub kontrak dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya kepada PDKB asal; 9. Pengeluaran barang dari Kawasan Berikat yang ditujukan kepada orang yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan Bea Masuk, Cukai, dan Pajak dalam rangka impor; 10. Pemasukan alat pengemas (packing material) dan alat bantu pengemas dari DPIL ke Kawasan Barat untuk menjadi satu kesatuan dengan barang hasil olahan PDKB.

2. Fasilitas Dibebaskan dari Pengenaan PPN Fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN diberikan terhadap: a. Barang Kena Pajak Tertentu dan Jasa Kena Pajak Tertentu Ketentuan mengenai BKP Tertentu dan JKP Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 jo PP Nomor 38 Tahun 2003. Dalam PP tersebut diatur bahwa: 1) Barang Kena Pajak yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah: 1. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya yang diimpor oleh

Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) atau oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI untuk melakukan impor tersebut, dan komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri yang diimpor oleh PT (PERSERO) PINDAD, yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI; 2. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN); 3. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama; 4. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya; 5. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa rawatan atau reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Udara Niaga Nasional; 6. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia;dan 7. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI atau pihak yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan atau TNI.

2) Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah: 1. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah; 2. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, kendaraan lapis baja, kendaraan angkutan khusus lainnya dan komponen atau bahan yang diperlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi oleh PT PINDAD, untuk keperluan TNI dan POLRI; 3. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN); 4. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama; 5. Kapal Laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, Kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional sesuai dengan kegiatan usahanya; 6. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi Pesawat Udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional; 7. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diserahkan kepada dan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia dan komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia;

8. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan Nasional yang diserahkan kepada Departemen Pertahanan atau TNI. 3) Jasa Kena Pajak tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah: 1. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi: a. Jasa persewaan kapal; b. Jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh; c. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal; 2. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi: a. Jasa persewaan pesawat udara; b. Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara; 3. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia; 4. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dan pembangunan tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah; 5. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana; dan 6. Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.

b.

Jasa Kebandarudaraan Tertentu Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2009. Di dalam PP

tersebut, dinyatakan bahwa: 1) Jasa kebandarudaraan yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terdiri atas: a) pelayanan jasa penerbangan; b) pelayanan jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara c) pelayanan jasa konter

d) pelayanan jasa garbarata (aviobridge); dan/atau e) pelayanan jasa bongkar muat penumpang, kargo,dan/atau pos. 2) Pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: a) untuk pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional yang melakukan angkutan udara luar negeri harus memenuhi syarat tidak mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dari satu Bandar udara ke bandar udara lainnya di wilayah Indonesia; b) untuk pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga asing harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. tidak mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dari satu bandar udara ke bandar udara lainnya di wilayah Indonesia; dan 2. negara tempat kedudukan wajib pajak yang mengoperasikan pesawat udara tersebut juga memberikan perlakuan sama terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional sesuai dengan asas timbal balik (reciprocal) berdasarkan perjanjian mengenai pelayanan jasa transportasi udara yang telah diratifikasi.

c.

Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Ketentuan mengenai fasilitas PPN untuk BKP Tertentu Yang Bersifat Strategis diatur

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun 2007. Rincian dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Yang dimaksud dengan BKP Tertentu Yang Bersifat Strategis adalah a) barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang; b) makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan; c) barang hasil pertanian; yaitu barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang: pertanian, perkebunan, dan kehutanan; peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau perikanan baik dari penangkapan atau budi daya,

yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan

atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini. d) bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran atau perikanan; e) air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum; f) listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) watt; dan g) Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI), adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur, baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, dengan ketentuan lebih lanjut. 2) Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa: a) barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut; b) makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan; c) bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan; d) barang hasil pertanian, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. 3) Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa : a) Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut; b) makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan; c) barang hasil pertanian; d) bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan; e) air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum;

f) listrik kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 (enam ribu enam ratus) watt; dan g) RUSUNAMI; dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

BAB 4: Pemungut PPN

A. Pengertian Pemungut PPN


Ketentuan mengenai Pemungut PPN terdapat dalam Pasal 16A UU PPN 1984 yang menyatakan: (1) Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; (2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pengertian Pemungut PPN merujuk pada ditetapkannya pembeli BKP atau penerima JKP sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara yang dalam ketentuan umum mestinya dibebankan kepada penjual. Berdasarkan wewenang Pasal ini telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang menunjuk suatu pihak sebagai Pemungut PPN yaitu: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 tanggal 24 Desember 2003 Tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan PPN dan PPnBM beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010tentang Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak Dan Gas Bumi Dan Kontraktor Atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan PPN dan PPnBM beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya. Berdasarkan aturan pelaksanaan tersebut maka pihak yang ditentukan sebagai Pemungut PPN adalah: 1. Bendahara Pemerintah dan KPPN; dan 2. Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi

B. Bendahara Pemerintah dan KPPN sebagai Pemungut PPN

Bendahara Pemerintah adalah Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten, atau Kota. 1. Objek Pemungutan PPN a. Dalam jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang. b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal:  pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;  pembayaran untuk pembebasan tanah;  pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;  Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh PT (PERSERO) PERTAMINA;  pembayaran atas rekening telepon;  pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; atau  pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal atas penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN terutang PPN namun dikecualikan dari pemungutan oleh Pemungut PPN maka pemungutan dilakukan oleh PKP penjual (Rekanan) sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku. 2. Mekanisme Pemungutan PPN Sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003, mekanisme pemungutannya adalah sebagai berikut: a. Penerbitan Faktur Pajak Standar dan SSP

 PKP rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak (Standar) dan SSP pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN baik untuk sebagian maupun seluruh pembayaran;  SSP tersebut diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas PKP Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penanda tangan SSP dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama PKP Rekanan Pemerintah;  Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP rekanan Pemerintah mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak;  Faktur Pajak dibuat dalam rangkap 3 (tiga): lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai Pemungut PPN. lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan Pemerintah. lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Bendaharawan Pemerintah atau KPKN. b. Pemungutan dan Penyetoran oleh Bendahara  Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada saat pembayaran dengan cara pemotongan secara langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah;  Penyetoran PPN dan PPnBM yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya bulan terjadinya pembayaran tagihan;  Dalam hal hari ketujuh jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya;  Dalam hal pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat dalam rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau PPn BM disetor di Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembarlembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai berikut: lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah; lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPKN; lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah dilampirkan pada SPT Masa PPN; lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos; lembar ke-5 untuk pertinggal Bendaharawan Pemerintah;

 Pada setiap lembar Faktur Pajak oleh Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungutan wajib dibubuhi cap "Disetor tanggal ........." dan ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah;

 Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau PPn BM. c. Pelaporan oleh Bendahara  Bendaharawan Pemerintah wajib melaporkan PPN dan PPnBM yang dipungut dan disetor ke Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara setempat, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya bulan dilakukan pembayaran tagihan;  Pelaporan pemungutan dan penyetoran PPN dan PPnBM dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (Form 1107 PUT).  Surat Pemberitahuan Masa dibuat dalam rangkap 3 (tiga) yang masingmasing diperuntukkan sebagai berikut: lembar ke-1, dilampiri Faktur Pajak lembar ke-3 untuk KPP. lembar ke-2, untuk KPKN. lembar ke-3, untuk arsip Bendaharawan Pemerintah

C. KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI DAN KONTRAKTOR ATAU PEMEGANG KUASA/PEMEGANG IZIN PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI SEBAGAI PEMUNGUT PPN
Yang dimaksud dengan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin adalah: a. kontraktor kontrak kerja sama pengusahaan minyak dan gas bumi; dan b. kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi, yang meliputi kantor pusat, cabang, maupun unitnya. 1. Objek Pemungutan o Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Rekanan kepada Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin; o Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dipungut oleh Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak; o Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak selain terutang Pajak Pertambahan Nilai juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah, maka jumlah Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang harus dipungut oleh Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin

adalah sebesar tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang berlaku dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.

2. Dikecualikan dari Pemungutan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin dalam hal: a. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00(sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; b. pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; c. pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero); d. e. pembayaran atas rekening telepon; pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau f. pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam hal atas penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN terutang PPN namun dikecualikan dari pemungutan oleh Pemungut PPN maka pemungutan dilakukan oleh PKP penjual (Rekanan) sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku.

BAB 5: Penyerahan BKP yang PPN-nya Dikenakan Satu Kali pada Tingkat Pabrikan

A. Pendahuluan
Ada beberapa produk berupa barang kena pajak yang secara teoritis harga sampai ke konsumen akhir sudah diketahui pada wilayah pabrikan. Untuk jenis barang kena pajak yang demikian diatur pengenaan PPN-nya tidak mengikuti ketentuan umum dengan mekanisme pengkreditan tetapi ditetapkan PPN terutangnya pada wilayah pabrikan dan tidak dikenakan PPN lagi pada stage berikutnya.Ini merupakan penyimpangan dari karakter PPN sebagai jenis pajak yang pemungutannya menggunakan multi stage tax. Pengenaan PPN dengan karakteristik demikian yaitu dikenakan sekali pada jalur produksi diterapkan pada:  Penyerahan Produk Rekaman Suara  Penyerahan Hasil Tembakau  Penyerahan Bahan Bakar Minyak

B. PPN atas Penyerahan Produk Rekaman Suara


1. Dasar Hukum Pengenaan PPN atas penyerahan produk rekaman suara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/KMK.03/2004 tanggal 2 April 2004. Sebagai peraturan pelaksanaannya telah diterbitkan Keputusan Direktur Jendera Pajak Nomor KEP-81/PJ./2004 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Produk Rekaman Suara dan telah dilakukan perubahan kedua dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-4/PJ/2008. 2. Objek PPN Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Produk Rekaman Suara oleh Produsen Produk Rekaman Suara. Yang dimaksud dengan Produsen Produk Rekaman Suara adalah orang pribadi atau badan yang memproduksi atau menghasilkan produk rekaman suara. 3. Pengelompokan produk rekaman suara 1. Kaset isi jenis A adalah produk rekaman suara di atas pita kaset yang berisi: a. lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah, yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia; atau b. lagu instrumentalia yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia.

2.

Kaset isi jenis B adalah produk rekaman suara di atas pita kaset yang berisi: a. lagu berbahasa asing dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa asing dan berbahasa Indonesia/Daerah, selain lagu keagamaan; atau b. lagu yang satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya warga negara asing; atau c. lagu instrumentalia yang satu atau lebih penciptanya warga negara asing.

3.

Kaset isi jenis C adalah produk rekaman suara di atas pita kaset yang berisi: a. lagu yang seluruhnya berbahasa daerah yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia; atau b. rekaman cerita, lawak, wayang, dan rekaman yang sejenis lainnya dalam bahasa Indonesia/Daerah; atau c. suara burung dan suara hewan lainnya; atau d. lagu keagamaan.

4.

Compact Disc jenis CD.1 adalah produk rekaman suara di atas compact disc yang berisi: a. lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah, yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga negara Indonesia; atau b. lagu instrumentalia yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia; atau c. lagu keagamaan.

5.

Compact Disc jenis CD.2 adalah produk rekaman suara di atas compact disc yang berisi: a. lagu berbahasa asing dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa asing dan berbahasa Indonesia/Daerah, selain lagu keagamaan; atau b. lagu yang satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya warga negara asing; atau c. lagu instrumentalia yang satu atau lebih penciptanya warga negara asing.

6.

Video Compact Disc jenis VCDK.1 adalah produk rekaman suara di atas, video compact disc dengan harga jual eceran di atas Rp10.000,- (sepuluh ribu rupiah) yang berisi: a. lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke), yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga Negara Indonesia; atau b. lagu instrumentalia beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke) yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia; atau c. lagu keagamaan beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke).

7.

Video Compact Disc jenis VCDK.2 adalah produk rekaman suara di atas video compact disc yang berisi:

a. lagu berbahasa asing dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa asing dan berbahasa Indonesia/daerah beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke), selain lagu keagamaan; atau b. lagu beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke) yang satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya warga negara asing; atau c. lagu instrumentalia beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke) yang satu atau lebih penciptanya warga negara asing. 8. Video Compact Disk jenis VCDK. Ekonomis adalah produk rekaman suara di atas video compact disc dengan harga jual eceran sampai dengan Rp10.000,- (sepuluh ribu rupiah) yang berisi: a. lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke), yang seluruh pencipta dan penyanyinya warga Negara Indonesia; atau b. lagu instrumentalia beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke) yang seluruh penciptanya warga negara Indonesia; atau c. lagu keagamaan beserta tayangan gambar (Video Compact Disc Karaoke).

4. Mekanisme Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Produk Rekaman Suara: a. Kaset isi jenis A b. Kaset isi jenis B c. Kaset isi jenis C d. Compact disc jenis CD.1 e. Compact disc jenis CD.2 f. Video compact disc jenis VCDK.1

g. Video compact disc jenis VCDK.2 h. Video compact disc jenis VCDK. Ekonomis dipungut oleh Produsen rekaman suara dan disetor dengan cara penebusan Stiker Lunas PPN. 5. Dasar Pengenaan Pajak dan PPN terutang Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan produk rekaman suara adalah Harga Jual Rata-rata. 1. Harga Jual Rata-rata adalah: a. Rp8.000,- (delapan ribu rupiah) per buah untuk kaset isi jenis A;

b. Rp16.000,- (enam belas ribu rupiah) per buah untuk kaset isi jenis B; c. Rp7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) per buah untuk kaset isi jenis C; d. Rp20.000,- (dua puluh ribu rupiah) per buah untuk Compact disc jenis CD.1; e. Rp48.000,- (empat puluh delapan ribu rupiah) per buah untuk Compact disc jenis CD.2; f. Rp18.000,- (delapan belas ribu rupiah) per buah untuk Video compact disc jenis VCDK.1; g. Rp50.000,- (lima puluh ribu rupiah) per buah untuk Video compact disc jenis VCDK.2; h. Rp10.000,- (sepuluh ribu rupiah) per buah untuk Video compact disc jenis VCDK. Ekonomis. 2. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari Harga Jual Rata-rata. 3. Dalam setiap Harga Jual Rata-rata telah termasuk nilai tambah atas

penyaluran/keagenan/pengecer produk rekaman suara.

6. Penebusan Stiker Lunas PPN Penebusan stiker lunas PPN dilakukan dengan pembayaran dan atau dengan memperhitungkan Pajak Masukan; Pembayaran untuk penebusan stiker lunas PPN dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan untuk penebusan stiker lunas PPN adalah Pajak Masukan atas : a. pembayaran royalty; b. pembayaran pencetakan label; meliputi pembayaran untuk: 1) pencetakan cover rekaman suara; 2) pembelian kotak pembungkus rekaman suara; 3) pembelian sampul pembungkus rekaman suara. c. pembayaran biaya perekaman; d. pembelian kaset kosong; e. pembelian atau pembuatan master rekaman suara; dan f. pembayaran jasa periklanan pada televisi, radio, majalah, dan surat kabar. Pajak Masukan lainnya selain tersebut di atas dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan umum Pajak Pertambahan Nilai.

Tata cara penebusan dan penatausahaan stiker lunas PPN atas penyerahan produk rekaman suara adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-81/PJ./2004. 7. Produk rekaman suara yang dikecualikan dari ketentuan ini Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan produk rekaman suara berupa: a. Produk rekaman suara yang berisi materi buku pelajaran umum, pelajaran bahasa, atau pelajaran agama; b. Laser disc karaoke (LD.K); c. Digital versatile disc karaoke (DVD.K); dipungut dan disetor sesuai dengan ketentuan umum Pajak Pertambahan Nilai. Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan produk rekaman suara dimaksud adalah sebesar Harga Jual.

C. PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau


1. Dasar Hukum Dasar hukum yang berlaku yang mengatur mekanisme pengenaan PPN untuk penyerahan hasil tembakau adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 62/KMK.03/2002 tanggal 26 Februari 2002 tentang Dasar Perhitungan, Pemungutan, dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau. Petunjuk pelaksana dari ketentuan ini adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-103/PJ./2002 tanggal 28 Februari 2002.Ketentuan baru ini mulai diberlakukan pada 1 Maret 2002 menggantikan Keputusan Menteri keuangan Nomor 605/KMK.04/1990. 2. Objek Pajak Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas; penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh Pengusaha Pabrik hasil tembakau; atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir hasil tembakau

3. PPN Terutang Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas penyerahan hasil tembakau dihitung dengan menerapkan tarif efektif, yaitu sebesar 8,4%, dikalikan dengan Harga Jual Eceran.

Harga Jual Eceran hasil tembakau atas penyerahan hasil tembakau yang diberikan secara cuma-cuma kepada karyawan pabrik adalah sebesar 50% dari Harga Jual Eceran hasil tembakau untuk jenis dan merek yang sama, yang dijual untuk umum. Harga Jual Eceran hasil tembakau atas penyerahan hasil tembakau yang diberikan secara cuma-cuma kepada pihak ketiga adalah sebesar 75% dari Harga Jual Eceran hasil tembakau untuk jenis dan merek yang sama, yang dijual untuk umum.

4. Mekanisme Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan hasil tembakau dipungut oleh Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau Importir hasil tembakau dan disetorkan ke Kas Negara dengan memakai formulir Surat Setoran Pajak yang bentuknya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak,bersamaan dengan saat pembayaran Cukai atas pemesanan Pita Cukai hasil tembakau.

D. Pengenaan PPN atas Bahan Bakar Minyak


1. Dasar Hukum Dasar hukum yang dipakai sebagai acuan pengenaan PPN untuk penyerahan BBM adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 409a/KMK.04/1990 tentang Tata Cara Pemungutan Pembayaran dan Pelaporan PPN atas Penyerahan Bahan Bakar Minyak, Bukan Bahan Bakar Minyak, Produk Lain dan Pelayanan Jasa oleh PERTAMINA. 2. Objek Pajak Atas penyerahan BBM, Bukan BBM, Produk Lain dan pelayanan jasa oleh PERTAMINA terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dari Harga Jual/Penggantian. Untuk setiap penyerahan BBM, Bukan BBM, Produk Lain dan Pelayanan Jasa. PERTAMINA diwajibkan menerbitkan Faktur Pajak dan atau Faktur Nota Bon Penyerahan. 3. Mekanisme Pemungutan PPN a. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagai Pajak Keluaran atas penyerahan dan pemakaian sendiri BBM dilaksanakan secara terpusat di Kantor PERTAMINA; b. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagai Pajak Keluaran atas penyerahan Bukan BBM, Produk Lain dan Jasa Kena Pajak dilaksanakan oleh Unit/Daerah Operasi PERTAMINA yang melakukan penyerahan;

c.

Pemakaian sendiri BBM yang berasal dari dan dialirkan langsung ke kilang pengolahan/ pemurnian BBM dan pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak tidak diperhitungkan Pajak Pertambahan Nilainya.

4. Pengkreditan Pajak Masukan a. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Kantor Pusat PERTAMINA dan atau Unit/ Daerah Operasi PERTAMINA untuk impor dan atau pembelian Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak dan atau pemakaian sendiri Barang Kena Pajak yang mempunyai hubungan langsung dengan proses produksi (pengolahan/pengadaan), distribusi (angkutan) pemasaran dan manajemen merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran; b. Pengkreditan Pajak Masukan dilaksanakan secara terpusat di Kantor Pusat PERTAMINA;

You might also like