You are on page 1of 7

(Biografi, Karya, dan Pemikiran Filsafat) 1. I.

Pendahuluan

Ketika membahas mengenai filsafat Islam, maka kita kita tidak dapat dan tidak boleh melewatkan pembahasan mengenai tokoh-tokohnya. Islam pada abad sekitar 5 hijriah, mengalami meraih masa keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, teologi (kalam), fiqih, astronomi, geografi, sejarah, termasuk juga filsafat. Pada saat itu, orang-orang Islam melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap ilmu pengetahuan dari Yunani ke dalam bahasa Arab, sehingga mulai saat itulah filsafat masuk dalam khazanah keilmuan Islam dan mewarnai corak pemikiran para ilmuawannya. Banyak ilmuawan yang lahir pada masa itu yang namanya masih tetap dikenang dan pemikirannya masih tetap berpengaruh hingga sekarang, seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Faraby, Ibnu Rusyd, dan Al-Ghazali. Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat dunia timur. Sebagai seorang ilmuwan besar, beliau bisa dikatakan memiliki tiga aspek; Dia adalah seorang pelajar yang baik dalam bidang filsafat dan sorang pemikir orisinal, tetapi dia mempelajari dan menulis buku-buku filsafat hanya demi kritisisme-desktruktif. Dia adalah seorang sufi dan siswa terpelajar dalam sufisme menuju garis-garis doktrin ortodok, dan sebagai seorang teolog, dia mendapat julukan Hujjah al-Islam dan telah meninggalkan jejak abadi dalam keyakinan ortodok.[1] Tulisan singkat ini bertujuan untuk mengenalkan pribadi Al-Ghazali sebagai seorang filosof, bukan sebagai yang lain, sebab pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Hal ini juga dikarenakan keterkaitan makalah ini dengan materi kuliah yang terfokus pada filsafat Islam. Sehingga agar pembahasan menjadi fokus, maka tulisan singkat ini hanya memuat tentang Al-Ghazali mulai dari biografi, hasil karya hingga pemikirannya, khususnya pemikirannya dalam bidang filsafat. 1. II. Biografi Al-Ghazali Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al-Ghazali. Ia berkunyah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid[2]. Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan (Iran) pada tahun 450 H. Nama Al-Ghazzali (dengan dua z) berasal dari kata ghazzalartinya tukang pintal benang karena pekerjaan ayah Al-Ghazali adalah memintal benang wol,sedangkan Al-Ghazali (dengan satu z), diambil dari kata ghazalah, nama kampong kelahiran Al-Ghazali. Yang terakhir inilah yang banyak dipakai.[3] Ayahnya adalah seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar.[4] Ayah AlGhazali juga seorang ahli tasawuf yang saleh. Ia meninggal dunia ketika Al-Ghazali dan saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum wafatnya, ia telah menitipkan kedua anaknya itu kepada seorang ahli tasawuf pula untuk dibimbing dan dipelihara.[5] Pada masa kecil, Al-Ghazali hidup dalam kemiskinan di bawah bimbingan seorang sufi, yang kelak memasukkannya ke salah satu sekolah penampungan anak-anak tak mampu yang memberikan jaminan kebutuhan hidup.[6] Di tanah kelahirannya, Thus, Al-Ghazali belajar sejumlah ilmu pengetahuan, ia belajar fiqih pada Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Rasikani. Setelah itu ia pergi ke Jurjan, belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili,[7] lalu ke Naysabur pada saat Imam al-Haramain Nuruddin Al-Juwaini menjabat sebagai kepala madrasah Nizamiyyah. Di bawah asuhan Al-Juwayni, Al-Ghazali belajar ilmu fiqih, usul, mantiq, dan kalam hingga imam Al-Juwayni meninggal dunia tahun 478 H.[8] Setelah Imam al-Haramain wafat, Al-Ghazali pergi ke Al-Ashar untuk berkunjung kepada menteri Nizam al-Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan para ilmuwan. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki AlGhazali. Menteri Nizam al-Muluk akhirnya melantik Al-Ghazali pada tahun 484 H sebagai guru besar (profesor) pada perguruan tinggi Nizamiyyah yang berada di kota Baghdad, dan mengajar di sana selama empat tahun[9]. Selama di

Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap golongan Bathiniyah, Ismailiyah, golongan filsafat dan lain-lain.[10] Pada tahun 488 H, Al-Ghazali menunaikan ibadah haji, setelah itu ia pergi ke Syiria (Syam) untuk mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama. Pada saat itulah ia sempat mengarang sebuah kitab yang saat ini sangat terkenal yaituIhya Ulumuddin. Al-Ghazali tinggal di Damaskus kurang lebih selama 10 tahun. Ia hidup amat sederhana, berpakaian seadanya, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak ibadah atau berbuat yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berkhalwat. Setelah itu, ia kembali ke Baghdad kemudian mengadakan majelis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya. Tetapi karena ada desakan dari Muhammad, penguasa waktu itu, Al-Ghazali diminta kembali ke Naysabur dan mengajar di perguruan Nizamiyyah. Pekerjaan ini hanya berlangsung selam dua tahun, dan akhirnya kembali ke kampungnya, Thus. Di kampungnya Al-Ghazali mendirikan sebuah sekolah yang berada di samping rumahnya, untuk belajar para fuqoha dan mutashawwifin (ahli tasawuf). Di kota Thus ini beliau akhirnya meninggal pada hari Senin, 15 Jumadil Akhir 505 H/1111 M.[11] Sesaat sebelum meninggal, beliau sempat mengucapkan kata-kata yang juga diucapkan oleh filosof inggris, Francis Bacon (w. 1626 M), yaitu, Aku menghadapkan ruhku keharibaan Tuhan. Meski jasdaku dikubur dalam tanah, namun akan bangkit bersama namaku pada generasi-generasi mendatang serta pada seluruh umat manusia.[12] III. Karya-karya Al-Ghazali Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam yang produktif. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain teologi Islam (kalam), hukum Islam (fiqih), tasawuf, akhlak dan adab kesopanan, kemusian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku itu berbahasa Arab dan yang lain ditulis dalam bahasa Parsi.[13] Pengaruh Al-Ghazali di kalangan kaum muslimin melalui karya-karyanya sangat besar sekali, sehingga menurut para orientalis, agama Islam yang digambarkan oleh kaum muslimin berpangkal pada konsepsi AlGhazali.[14] Adapun judul-judul karya tulis Al-Ghazali yang disusun sesuai dengan urutan tahun penulisan adalah sebagai berikut;[15] 1. Tahafut al-Falasifah (488 H), yang tertuju kepada para filosof dan para pengagumnya, untuk membantai pemikiran filosof yang bertentangan dengan akidah Islam, secara rasional. 2. Fadhaih al-Bathiniyyat wa Fadhail al-Mustazhhiriyyah (488 H), yang tertuju kepada golongan bathiniyyah untuk mengkoreksi paham merekan yang berbeda dan bertentangan dengan akidah Islam yang benar. 3. Al-Iqtishad fi al-Itiqad (488 H), karya yang terbesar dari Al-Ghazali untuk mempertahankan akidah Ahlusunnah secara rasional. 4. Al-Risalat al-Qudsiyyah (488 489 H), yang disajikan ringan untuk mempertahankan akidah Ahlusunnah. 5. Qowaid al-Aqaid (488 489 H), karya telogi Al-Ghazali yang mendeskripsikan materi akidah yang benar menurut Ahlusunnah. Karya ini yang mencakup karya nomor (4) di atas, kini termasuk dalam kitab Ihya Ulumuddin. 6. Ihya Ulumuddin (489 495 H), karya tulis Al-Ghazali yang terbesar , yang memuat ide sentral Al-Ghazali untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama Islam, termasuk teologi. 7. Al-Maqshad al-Asna: Syarh Asma Allah al-Husna (490 495 H), memuat pembahasan Al-Ghazali tentang nama-nama tuhan secara komprehensif, masalah-masalah teologi dan sufisme.

8. Fayshal al-Tafriqat Baina al-Islam wa al-Zandaqah (497 H), berisi konsepsi Al-Ghazali tentang toleransi dalam bermadzhab teologi. Juga berisi tentang norma-norma yang dibuatnya untuk memecahkan soal pertentangan antara teks wahyu dan akal dengan cara pentakwilan yang terstruktur. 9. Kitab al-Arbain fi Ushul al-Din (499 H), memuat bahasan tentang teologi pada sepuluh pokok pertama, dan ditutup dengan suatu penjelasan mengenai hubungan akidah dan makrifat. 10. Qanun al-Tawil (tt., tetapi sebelum 500 H), berisi aturan-aturan pentakwilan ayat-ayat al-quran dan hadishadis nabi secara rasional. 11. Al-Munqidz min al-Dhalal (501 502 H), semacam autobiografi Al-Ghazali yang memuat riwayat perkembangan intelektual dan spiritual pribadinya, di samping penilaiannya terhadap metode para pemburu kebenaran, macam-macam ilmu pengetahuan dan epistemologinya. 12. Iljam al-Awwam an Ilmi al-Kalam (504 505 H), karya teologi Al-Ghazali yang terakhir. Di dalamnya terdapat konsepsi Al-Ghazali tentang kalam dan ayat-ayat dan hadis-hadis mutasyabihat dan pembelaannya terhadap paham salaf di bidang teologi. Selain itu, termasuk buku-buku pentingnya adalah Maqashid al Falasifah (Doktrin-doktrin Para Filosof), termasuk pula beberapa karya Al-Ghazali yang berkaitan dengan masalah asal-usul ilmu pengetahuan, seperti Al-Risalat alLaduniayyah dan Jawahir al-Quran, yang berkaitan dengan logika, seperti Miyar al-Ilm, Al-Qishtas al-Mustaqim, Mahakk al-Nadzar dan Al-Mustashfa, dan yang berkenaan dengan sufisme, sepertiMizan al-Amal, dan masih banyak lagi hasil karya beliau yang semuanya berjumlah kurang lebih 100 buah.[16] Pikiran-pikiran Al-Ghazali tidak hanya berpegaruh di kalangan umat Islam saja. Di Barat, Al-Ghazali pun memiliki pengaruh yang cukup kuat. Al-Ibri dan Raymond Martin banyak mengambil pikiran-pikiran Al-Ghazali untuk menguatkan pendiriannya. Demikian pula Pascal (Prancis, 1623 1662 M) dan filsofof-filosof Barat lainnya. Sebagiamana diakui oleh Asin Palacios, banyak persamaannya dengan Al-Ghazali dalam pendiriannya, bahwa pengetahuan-pengetahuan agama tidak bisa diperoleh dari akal pikiran, tetapi harus berdasarkan hati dan rasa. Bahkan Thomas Aquinas (Italia, 1226 1274 M) yang dengan pedasnya menyerang Al-Ghazali ketika menguraikan penglihatan (ruyat) manusia terhadap tuhan di akhirat, uraiannya sama dengan Al-Ghazali. Dante (Italia, 1265 1321 M) dalam bukunya, Devina Commidia (Komidi Ketuhanan) banyak mengambil tulisan Al-Ghazali tentang miraj. Tidak sedikit dari penulis-penulis Barat yang menerjemahkan buku-buku Al-Ghazali ke dalam berbagai bahasa Eropa, antara lain, Carra De Vaux menerjemahkan buku Tahafut al-Falasifah, De Boer dan Asin Palacios masingmasing menerjemahkan beberapa bagian dari buku Tahafut al-Falasifah, H. Bauer menerjemahkan Qowaid alAqaid, Barbier de Minard menerjemahkan A-Munqidz min al-Dhalal, dan D.B. Mac Donald menerjemahkan beberapa pasal dari Ihya Ulumuddin[17]. Bahkan Zwemmer, seorang orientalis Inggris telah memasukkan Al-Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang pilihan dari pihak Islam yang dimulai zaman Rasulullah hingga abad XX, yaitu nabi Muhammad SAW, Imam Al-Bukhori, Imam Al-Asyari, dan Imam Al-Ghazali.[18] Karangan Al-Ghazali, di samping ada yang sepaham dengan pemikiran-pemikirannya, ada pula yang menentang akan pendiriannya, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, dan lain-lain dari kalanangan fuqoha. Adanya penyerangan dari kalangan fuqoha dan Ibnu Rusyd adalah disebabkan sikap Al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu: 1. Mengingkari terhadap kebangkitan jasmani. 2. Membatasi pengetahuan tuhan kepada hal-hal yang besar saja. 3. Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya. Penyerangan ini termuat dalam kitabnya yang terkenal yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min al-Dhalal.[19]

Tetapi meski demikian, Nicholson (2002:56) dalam pengantar buku Samudera Pemikiran Al-Ghazali menjelaskan, banyak orang yang mengagumi ketinggian ilmu dan keluasan pengetahuan sang Hujjah al-Islam. Mereka tanpa segan-segan mengagungkannya hinga taraf mengkultuskan figur sang imam. Bahkan mereka mengatakan, andaikan ada nabi setelah Muhammad, Ghazali-lah orangnya. Hal ini karena kajian-kajian Al-Ghazali membentang luas dari persoalan fisikal sampai metafisik, dari kajian-kajian eksoteris (syariah) sampai kajian esoteris (tasawuf). Ia membahas secara mendalam persoalan-persoalan fiqh, usul fiqih, logika, pengobatan, psikologi, pendidikan, politik, sosial, teologi, eskatologi, etika, filsafat, metafisika dan tasawuf.[20] IV. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali 1. a. Metafisika Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.[21] Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof). Mereka tidak dapat mengemukakan buktibukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika. Karena itu banyaklah pertentangan antara mereka sendiri dalam soal ketuhanan (metafisika).[22] Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabiiyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika, matematika dengan memberi beberapa catatan untuk menangkal ekses-ekses yang bisa ditimbulkannya.[23] Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof harus dinyatakan ateis, ialah:[24] 1. Qadimnya alam, Para filosof mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya tuhan atas alam sama dengan qadimnya illat atas malulnya (sebab atas akibat), yaitu dari segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman. 2. Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, Golongan filosof berpendirian bahwa tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan kata lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan zat tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil). 3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani, Menurut tinjauan para filosof dari segi pikiran, alam akhirat adalah alam kerohanian, bukan alam material (alam kebendaan), sebab perkara kerohanian itu lebih tinggi nilainya. Oleh karena itu, menurut mereka, pikiran tidak mengherankan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya. Semua ini memang disebutkan dalam al-Quran, tetapi dengan maksud untuk memudahkan pemahaman terhadap alam kerohanian bagi orang-orang biasa. Akan tetapi hal ini tidak bias dicapai disebabkan oleh kesibukan-kesibukan benda, dan baru dicapai di akhirat nanti, ketika kesibukan-kesibukan benda ini tidak lagi menjadi penghalangnya. Orang tidak merasakan keadaan tersebut sebagai penderitaan, disebabkan karena kesibukan-kesibukan materinya itu, sebagaimana halnya orang yang sedang takut, ia tidak akan merasakan kepedihan penyakit

yang dideritanya. Agar sesuai dengan suasana kerohanian, maka kebangkitan di akhirat nanti bersifat rohaniah pula. Jadi kebangkitan jasmani yang berarti badan kita akan kembali lagi tidak perlu terjadi. Dalam buku Tahafutul Falasifah, Al-Ghazali menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, di antaranya juga Ibnu Sina c.s. dalam dua puluh masalah. Di antaranya yang terpenting adalah:[25] 1. Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Di sini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh tuhan. 2. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah pada tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir andailkata tuhan menghendakinya. 3. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil-kecil (juziyyat). 4. Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semat-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al-Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan (ijraul adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Kalau Al-Ghazali tidak bersandar pada akal dan filsafat semata-mata, maka tidak perlu diartikan bahwa Al-Ghazali menentang pemakaian dan amal filsafat. Malah sebaliknya, seluruh prestasi Al-Ghazali dalam buku-bukunya itu dapat dianggap sebagai hasil akal dan karya filsafatnya yang bersungguh-sungguh disesuaikan dengan prinsip Islam. Kesimpulan kebenaran Al-Ghazali, yang dinamakan orang tasawuf Al-Ghazali, sebenarnya lebih tepat atau lebih berhak dinamakan filsafat Islam dibandingkan dengan hasil-hasil filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina misalnya.[26] Al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tahafut al-Falasifahyang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dhalal, Al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena Al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashfa fi `Ulum al-Fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, Al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani.[27] 1. b. Iradat Tuhan Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarahzarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang apat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[28] 1. c. Etika Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman Ala Thaqah al-Basyariyah. Maksudnya adalah agar manusia sejauh

kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali. Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan. Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan kebahagiaan (lazzat dansaadah). Kepuasan adalah kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang yang merasakan kebahagiaan. Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan marifatullah. Pada tahap ini manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan. Daftar Pustaka Al-Ghazali. 2002. Samudera Pemikiran Kedua).Yogyakarta. Pustaka Sufi. Al-Ghazali, Kumpulan Risalah Sang Hujjah al-Islam (Buku

Al-Ghazali. 2003. Kerancuan Filsafat (Tahafut al-Falasifah). Yogyakarta. Islamika Hamdi, Ahmad Zainal. 2004. Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern. Yogyakarta. Pustaka Pesantren. H. A. Mustofa. 1997. Filsafat Islam. Bandung. Pustaka Setia. http://forum.swaramuslim.net/members/profile_view_ind.php?id=2143 http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghazali Jahja, Zurkani. 1996. Teologi Al-Ghazali, Pendekatan Metodologis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Khan, Ali Mahdi. 2004. Dasar-dasar Filsafat Islam, Pengantar ke Gerbang Pemikiran. Bandung. Penerbit Nuansa Poerwantana, dkk. 1994. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung. PT Remaji Rosda Karya.

[1] Ali Mahdi Khan. 2004. Dasar-dasar Filsafat Islam, Pengantar ke Gerbang Pemikiran. Bandung. Penerbit Nuansa. Hal. 135 [2] http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghazali [3] Poerwantana, dkk. 1994. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung. PT Remaji Rosda Karya. Hal. 166 [4] H. A. Mustofa. 1997. Filsafat Islam. Bandung. Pustaka Setia. Hal. 214 [5] Poerwantana, dkk. Loc Cit. Hal. 166 [6] Al-Ghazali. 2003. Kerancuan Filsafat (Tahafut al-Falasifah). Yogyakarta. Islamika. hal. xxiv [7] H. A. Mustofa. Loc Cit. hal. 215 [8]Al-Ghazali. Loc Cit. hal. xxiv

[9] H. A. Mustofa. Op Cit, hal. 215 [10] Porwantana, dkk. Op Cit, hal. 166 [11] H. A. Mustofa. Op Cit, hal. 216 [12] Al-Ghazali. Op Cit, hal xxx [13] Poerwantana, dkk. Op Cit, hal 167 [14] Poerwantana, dkk. Ibid [15] HM. Zurkani Jahja. 1996. Teologi Al-Ghazali, Pendekatan Metodologis. Yogyakarta.Pustaka Pelajar. Hal. 11 [16] H.A. Mustofa. Op Cit. hal. 219 [17] Poerwantana, dkk. Op Cit. hal. 168 [18] H.A. Mustofa. Op Cit .Hal. 220 [19] H.A. Mustofa. Ibid. hal 221 [20] Al-Gahzali. 2002. Samudera Pemikiran Al-Ghazali, Kumpulan Risalah Sang Hujjah al-Islam (Buku

Kedua). Yogyakarta. Pustaka Sufi. [21] Poerwantana, dkk. Op Cit. Hal. 169 [22] Hamdi, Ahmad Zainal. 2004. Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern. Yogyakarta. Pustaka Pesantren. Hal. 145 [23] Jahja, Zurkani. 1996. Teologi Al-Ghazali, Pendekatan Metodologis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 76 [24] H. A. Mustofa, Op Cit. Hal. 230 [25] Poerwantana, dkk, Op Cit. hal. 170 [26] Poerwantana, dkk. Op Cit, hal. 170 [27] http://forum.swaramuslim.net/members/profile_view_ind.php?id= [28] Poerwantana, dkk. Op Cit, hal. 171

You might also like